Rabu, Mei 19, 2021

Sejarah Peradaban Kuno (15): Deli Tua dan Penduduk Batak, Dekat di Mata Jauh di Hati; Perang Kerajaan Aru dan Kerajaan Aceh


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Peradaban Kuno di blog ini Klik Disini 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Padang Sidempuan di blog ini Klik Disini

Jangan bayangkan dulu Kesultanan Deli, karena sejarahnya masih baru. Yang jelas di hulu sungai Deli (di Deli Toea yang sekarang) pada era VOC terbentuk semacam kerajaan (vassal) bawahan Kerajaan Atjeh (seperti halnya di (pelabuhan) Padang. Lalu kemudian terbentuk kesultana (Deli) di muara sungai Deli di bawah kekuasaan Kerajaan Johor (Kerajaan Riau, 1770), tetapi diambilalih Kesulataan Atjeh 1854 (hingga kemudian dibebaskan Pemerintah Hindia Belanda, 1863). Pada era Riau hingga Hindia Belanda inilah yang disebut Kesultanan Deli. Sedangkan masa lampau Kerajaan Deli (Toea) berada di hulu sungai Deli.

Dalam catatan Pemerintah Hindi Belanda (Resident Riouw Netscher) hanya mencatat silsilah Soetan Deli di Labuhan (Deli) hanya sampai pada garis Panglima Mangindra Alam yang ditabalkan Riau sebagai Soeltan (di Labuhan). Pada era John Anderson (1823) Sultan Deli di Labuhan tengah berperang dengan Raja (Batak) di Pulau Braijan. Pangkal perkara karena Soeltan Deli di Labuhan menghalangi arus perdagangan dari dan ke pedalaman (Tanah Batak). Sementara itu Belanda (sejak era VOC hingga Pemerintah Hindia Belanda) tidak pernah akur dengan (kerajaan Atjeh). Inggris di pantai barat Sumatra masih memiliki hubungan diplomatik di (kerajaan) Atjeh.

Lantas bagaimana sejarah Kerajaan Deli (Toea) di hulu sungai Deli? Kerajaan ini terbentuk pasca perang antara Kerajaan Aru dan Kerajaan Atjeh. Kerajaan ini tidak berlangsung lama seperti halnya Kerajaan Aru dan Kerajaan Atjeh. Pada awal Pemerintah Hindia Belanda eks Kerajaan Deli Toea ini berada diantara penduduk Batak. Bagaimana bisa? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Kerajaan Aru vs Kerajaan Atjeh

Dalam laporan E Netscher yang pernah berkunjung ke Deli (1863) berdasarkan keterangan Raja Sibajak Lingga dan Radja Goenoeng Raja menyebutkan bahwa tahun 1613 Soeltan Atjeh mengklaim (pelabuhan) Deli, Djohor dan Pahang yang dalam perkembangan berikutnya pada tahun 1619 (kerajaan) Atjeh menyerang (pelabuhan) Deli (di Deli Tua yang sekarang) dan menghancurkannnya dengan susah payah (lihat Sumatra-courant: nieuws- en advertentieblad, 20-08-1864). Pelabuhan di hulu sungai Deli ini adalah pelabuhan di pedalaman dari penduduk Batak (seperti halnya Padang, salah satu pelabuhan Kerajaan Minangkabau Pagaroejoeng).

Elias Netscher, Resident Riouw juga mencatat bahwa sebelum serangan Atjeh 1619 itu, Deli telah diperkuat dengan benteng dan dibantu oleh Portugis dari Malaka. Sekitar tahun 1643 Deli digulingkan lagi oleh Aceh [catatan: pada tahun 1642 VOC mengusir Portugis dari Malaka dan Kamboja]. Pada tahun 1669 Deli melepaskan diri dari Aceh. Di penghujung abad ke-18, sekitar tahun 1770 Deli diserang oleh Soeltan Siak Radja Ismail [catatan: perebutan kekuasaan di Djohor dan VOC juga terlibat, Radja Ismail melarikan diri ke Siak dan terbentuk Kesultanan Siak].

Dalam laporan Portugis terdahulu, Mendes Pinto yang pernah berkunjung ke Kerajaan Aru dari Malaka pada tahun 1537 menyebutkan Kerajaan Aru tengah berselisih dengan Kerajaan Atjeh. Disebutkannya pangkal perkara itu karena dua anak Radja Aru, pangeran di Nagur dan pengeran di Lingga terbunuh dalam suatu invasi yang dilancarkan oleh Kerajaan Atjeh ke pedalaman. Nagur ini kira-kira di sekitar Simalungan dan Lingga di sekitar Karo yang sekarang.

Keberadaan Kerajaan Aru kali pertama dicatat Tomé Pires sebagai ‘seorang raja dari Bata[k]’ dalam laporannya Suma Oriental (1512-1515). Tome Pires juga mencatat tiga tempat pusat perdagangan di pantai timur bagian utara Sumatra yakni Bata dengan produk rotan, Aru dengan kamper dan kemenyan dam Arcat (wilayah Bagansiapi-api Bengkalis sekarang). Narasi-narasi tersebut dapat dilihat dalam artikel Daniel Perret (2013).

Dua dekade sebelumnya juga disebutkan bahwa Duarte Barbosa  sudah mencatat nama Kerajaan Aru yang ketika itu dikuasai oleh orang-orang kanibal penganut paganisme. Lima belas tahun setelah Mendes Pinto sumber-sumber Arab menyebut nama bangsa Batang. Nama Batang bisa dipertukarkan dengan nama Batang untuk nama (muara) sungai di (wilayah kerajaan) Aru, seperti sungai Batang (Natal) di Lingga Bayu atau Muara Soma yang sekarang. Bisa jadi Batang adala pelafalan orang Arab untuk nama Bata[k].

Saat mana Mendes Pinto berkunjung ke Kerajaan Aru, invasi (kerajaan) Atjeh ke pedalaman haruslah dipandang posisi GPS pusat Kerajaan Atjeh berada di selatan (baca: Padang Lawas) yang mana Nagur dan Lingga berada di wilayah utara (yang dekat dengan wilayah Atjeh). Mendes Pinto juga mencatat bahwa Kerajaan Aru memiliki kekuatan tentara sebanyak 15.000 orang yang mana tujuh ribu orang diantaranya didatangkan (direkrut) dari Indragiri, Jambi, Broenai dan Luzon (Filipina). Kekuatan cadangan dapat didatangkan sewaktu-waktu dari (kerajaan) Minangkabau di dataran tingggi. Malaka, di seberang selat Malaka dari Kerajaan Aru, sejak 1511 telah diduduki oleh Portugis. Kehadiran Mendes Pinto ke tetangga Kerajaan Aru (di Padang Lawas) dalam rangka menjalin hubungan dengan Kerajaan Aru, yang mana Portugis di Malaka juga berselisih dengan Kerajaan Atjeh. Mendes Pinto mencatat bahwa Kerajaan Aru diperkuat oleh orang-orang Moor beragama Islam dari Afrika Utara dan Kerajaan Atjeh diperkuat oleh militer dari (kerajaan) Turki. Catatan: Orang Moor adalah pendahulu (predecessor) orang Portugis ke Hindia Timur. Hubungan antara orang-orang Moor dan orang-orang Portugis terbilang dekat di Hindia Timur (berasal dari kawasan yang sama di Laut Mediterania). Mendes Pinto juga mencatat penduduk Aru masih pagan tetapi Radja sudah masuk Islam (boleh jadi karena keberadaan pedagang-pedagang Moor).

Jika dihubungkan keterangan dari E Netscher (1864) dan Mendes Pinto, sisa Kerajaan Aru di Simalungun dan di Karo masih eksis. Dua Radja Batak yang bertemu dengan Netscher adalah Radja Sibajak-Lingga dan Radja Goenoeng Raja. Radja Sibajak-Lingga diduga kuat adalah suksesi Pangeran Kerajaan Aru di Lingga (sekitar hulu sungai Deli yang sekarang) dan Radja Goenoeng Raja adalah suksesi Pangeran Kerajaan Aru di Nagur (sekitar Raya yang sekarang). Namun nama yang dicatat Mendes Pinto bisa jadi nama Lingga di Gajo (Atjeh) atau boleh jadi Lingga di Gajo telah bergeser ke Karo.

Kerajaan Aru di Padang Lawas sudah eksis sejak zaman kuno (era Hindoe-Boedha) dengan situsnya yang terkenal candi di Simangambat dan candi di Padang Lawas. Aroe dalam bahasa India Selatan (Ceylon) adalah air atau sungai sehingga Kerajaan Aru adalah kerajaan air di hulu sungau Baroemoen (B-aroe-moen). Dua nama gunung di Angkola Mandailing yang merujuk nama India adalah gunung Malea di Mandailing dan gunung Raja di Angkola. Dua nama gunung ini juga terdapat di Simalungun (Goenoeng Malela dan Goenoeng Raja) yang kini menjadi distrik Gunung Malela dan distrik Raya Kahean. Nama Raja merujuk pada Raja dan nama Malea atau Malela merujuk pada nama gunung Himalaya. Adanya migrasi di zaman kuno dari selatan (pada era Kerajaan Aru) ke wilayah utara maka berbagai aspek budaya yang tercermin seperti dalam pemerintahan adat (dalihan na tolu) dan aksara Batak menyebar dari selatan ke utara hingga wilayah Aceh (Alas dan Gajo). Invasi Kerajaan Atjeh ke wilayah Kerajaan Aru di Nagur dan Lingga diduga adalah invasi yang kedua. Yang pertama adalah ketika pelabuhan (kerajaan) Lamuri yang Hindoe menjadi Islam, kerajaan ini melakukan invasi ke wilayah Kerajaan Aru di Gajo di ujung utara pulau Sumatra. Sejak itu Kerajaan Lamuri yang telah bergama Islam relokasi ke muara sungai Kroeng Atjeh (merujuk pada nama di atas, di ateh) yang lalu terbentuk Kerajaan Atjeh). Dalam perkembangannya kraton Kerajaan Islam Atjeh relokasi ke pedalaman (di pusat kota Banda Aceh yang sekarang). Relokasi ini ke pelabuhan Kerajaan Aru (pelabuhan Ateh) di sungai Kroeng Atjeh yang berada antara kota pedalaman yakni kota Indaraputri dan kota Daruba (merujuk pada nama Aru, d-aru-ba, seperti halnya b-aru-mun). Ketika kraton Kerajaan Atjeh yang baru dibangun, juga dibangun kanal dengan menyodet sungai Daruba dialirkan melalui depan kraton ke sungai Kroeng Atjeh. Hal itulah mengapa kini sungai di depan Istana Aceh disebut sungai Daruba. Pelabuhan (bandar) di Ateh ini di era Kerajaan Aru adalah pelabuhan yang terhubung dengan kota di pegunungan (Tangse dan Takengon hingga Lingga). Seperti halnya nama Aru, Malea, Raja serta Nagur dan Lingga di satu sisi dan nama-nama Lamuri, Pasai atau Pidi dan Daja di sisi lain, nama Takengon dan Tangse juga merujuk pada nama India (era Hindoe-Boedha).

Sejak perselisihan Kerajaan Aru dan Kerajaan Atjeh (Mendes Pinto, 1537), diduga upaya Kerajaan Atjeh untuk menduduki Nagur dan Lingga tidak tercapai, meski pangeran Kerajaan Aru terbunuh dalam dua area perang tersebut. Namun Kerajaan Atjeh tetap mengklaim dua wilayah di Nagur dan Lingga sebagai wilayah yurisdiksinya, lebih-lebih setelah Kerajaan Aru telah mendirikan benteng pertahanan yang diperkuat Portugis di pelabuhan di hulu sungai Deli. Benteng dan pelabuhan di hulu sungai Deli inilah yang dipetakan pada pada peta-peta Portugis maupun peta-peta VOC sebagai Rijk Dilly (Kerajaan Deli) di Deli Tua yang sekarang.

Seperti yang dicatat dalam laporan E Netscher bahwa tahun 1613 Soeltan Atjeh mengklaim (pelabuhan) Deli, Djohor dan Pahang yang dalam perkembangan berikutnya pada tahun 1619 (kerajaan) Atjeh menyerang (pelabuhan) Deli (di Deli Tua yang sekarang) dan menghancurkannnya dengan susah payah. Pelabuhan di hulu sungai Deli ini adalah pelabuhan di pedalaman dari penduduk Batak (seperti halnya Padang, salah satu pelabuhan Kerajaan Minangkabau Pagaroejoeng). Pelabuhan ini menjadi mitra dagang Portugis (di Malaka) yang terletak di antara Kerajaan Atjeh di utara dan Kerajaan Aru di selatan (yang diperkuat oleh pedagang-pedagang Moor). Antara tahun 1537 hingga 1613 pelabuhan di hulu sungai Deli begitu penting bagi penduduk Batak di Nagur dan Lingga juga sangat penting bagi Portugis. Kemajuan pelabuhan inilah yang diduga menjadi pangkal perkara mengapa Kerajaan Atjeh mengklaim tahun 1613 dan pada tahun 1619 menyerangya hingga hancur (situsnya masih dapat dilihat sekarang). Legenda Putri Hijau adalah satu hal, fakta sejarah adalah hal lain lagi.

Hancurnya benteng (kerajaan) Deli di hulu sungai Deli, besar dugaan para pemimpin penduduk Batak mundur ke pedalaman (Sibayak dan Raya). Sementara Portugis sudah berakhir pula di Malaka (jatuh ke tangan VOC Belanda), maka pendudukan Kerajaan Atjeh terhadap wilayah Deli dimulai. Seperti dicatat Netscher, pada tahun 1669 Deli sempat melepaskan diri dari Aceh.

Pada fase ini peta-peta antara tahun 1669 (VOC) hingga 1818 (Pemerintah Hindia Belanda) ditandai dua kerajaan yakni Kerajaan Dilli (Deli) dan Kerajaan Aru. Tampaknya Kerajaan Aru telah dimekarkan dengan terbentuknya Kerajaan Dilli (yang diusung dua kerajaan Lingga di Karo dan Raya di Simalungun).

Seiring dengan bangkitnya kembali para pemimpin Batak di hulu sungai Deli dan terbentuknya kerajaan-kerajaan kecil di pedalaman dengan posisi GPS pelabuhan di arah hilir sungai Deli, perdagangan mulai dimanfaatkan oleh pedagang-pedagang VOC (dari Batavia). Perdagangan di muara sungai Deli dikontrol oleh raja-raja Batak di pedalaman seperti Hamparan Perak, Soenggal dan Senembah.

Bagaimana situasi dan kondisi perdagangan di Kerajaan Dilli dapat dibaca pada artikel Daniel Perret (2013) sebagai berikut: Kerajaan Atjeh merebut pelabuhan perdagangan Deli tahun 1612 dan kemudian (kerajaan) Aru tahun berikutnya (Panai? Setelah direbutnya Malaka oleh VOC Belanda tahun 1641, berdasarkan Daghregister, 00-06-1642, Arent Pater pergi ke Deli dan kembali dengan membawa delapan budak dan 270 gantang beras. Saat itu, Deli dianggap kawasan berbahaya karena sungai-sungainya sempit dan karena yang dihuni “orang-orang Batak” perampas (roofgierige Battaers). Selain itu, diketahui juga bahwa tahun 1644 sejumlah perahu berangkat dari Aceh menuju Perak dan singgah di Deli dengan muatan kain atau pakaian (cleden). Seseorang bernama Jooris Vermeeren yang singgah di Deli bulan Mei 1644 melaporkan bahwa tempat itu subur dan setiap tahunnya dapat memasok 300 sampai 400 last beras, delapan sampai sepuluh bahar lilin lebah, budak, kuda, serta sebahar kayu gaharu (agerhouwt). Ia juga membenarkan bahwa sebagian besar kain-kain berasal dari Aceh. Pada akhir tahun 1645, hubungan antara Deli dan Malaka tampak berjalan baik terbukti dengan panglima Deli mengirimkan seekor kuda sebagai hadiah kepada gubernur. Tahun 1648, sumber-sumber Belanda melaporkan bahwa sejumlah perahu meninggalkan Batavia menuju Deli dengan muatan kain atau pakaian dan garam. Tahun 1653, sumber Belanda juga mencatat kedatangan sebuah perahu bermuatan 40 lasten beras dari Deli. Tahun 1660-an, Schouten menyebut kota Dely Aru memiliki peran yang tidak begitu penting dalam perdagangan. Meskipun demikian, kain atau pakaian terus datang dari Aceh dan Batavia. Tahun 1670-an, Deli mengirim ke Batavia ikan (atau telur ikan) asin (gesoute vischkuyten), lilin lebah dan kacang, sebaliknya Batavia mengirim garam dan keramik. Tahun 1682, sebuah perahu berangkat dari Batavia menuju Deli melalui Malaka, dengan muatan antara lain besi bekas (oud ijser), tembaga, keramik, benang emas Tiongkok (chinees goutdraat) dan tembakau (?) (tubacq) Tiongkok. Dalam Daghregister 01-03-1701 disebutkan seorang Cina sudah berdiam selama 10 tahun di Angkola yang datang dari Malaka ke Pande (Panai) dan pulangnya ke Batavia via Baros 10 hari perjalanan. Dalam peta Aru digambarkan terletak di muara Sungai Barumun dan kelihatan seperti tempat yang lebih penting dibandingkan dengan Deli.

Pada tahun 1770 pusat perdagangan di Deli jatuh ke tangan Kerajaan Siak. Ini berarti wilayah Deli yang sempat bangkit pasca Kerajaan Atjeh, kembali di bawah kekuasan asing. Tampaknya Kerajaan Aru sudah lama memudar sehingga pelabuhan-pelabuhan penting di pantai timur di bawah kerajaan-kerajaan kecil (pecahan Kerajaan Aru) dengan mudah jatuh dari satu kekuasan kerajaan yang lebih besar (Atjeh) ke kekuasan lainnya (Siak).

Pada tahun 1772 seorang Inggris Charles Miller melakukan ekspedisi botani ke pedalaman Angkola hingga Batang Onang (Padang Lawas), Dalam laporan Miller ini di wilayah Angkola hanya eksis kerajaan-kerajaan kecil seperti Loemoet, Hoetaimbaroe, Simasom dan Batang Onang. Gambaran ini tampaknya kurang lebih serupa dengan di eks wilayah Kerajaan Aru di Deli. Kerajaan Aru sudaj lama berakhir, yang ada hanya kerajaan-kerajaan kecil di Tanah Batak. Kerajaan besar yang masih eksis adalah Kerajaan Atjeh, Kerajaan Siak dan Kerajaan Pagaroejoeng (keberadaan kerajaan Pagaroejoeng ini kali pertama dilaporkan oleh Thomas Dias, 1684).

Tunggu deskripsi lengkapnya

Kerajaan di Deli Toea: Tuanku Panglima Gocah Pahlawan 1632?

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar: