Sabtu, Mei 15, 2021

Sejarah Peradaban Kuno (11): Sejarah Marga di Angkola Mandailing; Pembentukan Marga Apakah Sudah Ada Sejak Zaman Kuno?

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Peradaban Kuno di blog ini Klik Disini 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Padang Sidempuan di blog ini Klik Disini

Yang mana yang lebih dahulu: marga atau adat? Keduanya dalam hal tertentu memiliki kaitan yang satu dengan yang lainnya. Marga di Tanah Batak berbeda dengan marga di Lampung. Namun antara satu marga dengan marga lainnya di Tanah Batak memiliki kesamaan. Persamaan utamanya adalah marga dipandang sebagai kesatuan genealogis (bukan teritorial). Antar satu marga dengan marga yang lain terbentuk jaringan sosial budaya masyarakat yang disebut inti adat (core culture). Hubungan antar marga itu di dalam core culture di wilayah Angkola Mandailing disebut sebagai adat dalihan na tolu (juga di Silindoeng dan Toba).

Marga dalam pengertian genealogis tentu saja tidak hanya di Tanah Batak. Marga secara genealogis dalam arti umum direpresentasikan sebagai keturunan yang kerap dijadikan sebagai family name yang pada setiap nama individu diidentifikasi sebagai last name. Meski tidak seperti marga di Tanah Batak, pemahaman marga (family name) ini dalam tradisi Eropa sudah berlangsung lama (dapat diperhatikan pada sejak era VOC). Tradisi Arab dalam hal keturunan ini diidentifikasi dengan penambahan kata bin atau binti. Jika merujuk pada penulisan nama, secara individu dalam tradisi Arab namanya menjadi panjang (sebearpa jauh generasi diatasnya yang ingin dijangkau). Namun dalam perkembangannya sejak era Hindia Belanda, orang-orang Arab mulai memperkenal nama marga (sebagaimana orang Eropa dan sejumlah etnik pribui seperti orang Batak). Sementara marga dalam tradisi orang Batak tidak sekadar penanda navigasi keturunan, lebih luas dari itu tetapi yang paling utama dalam hubungan adat (dalihan na tolu).

Lantas bagaimana sejarah marga di Tanah Batak khususnya di wilayah Angkola Mandailing Tapanuli Bagian Selatan? Tentu sudah lebih awal diteliti oleh para peneliti Belanda pada era Pemerintah Hindia Belanda. Namun itu hanya sebatas identifikasi dan sebaran. Dalam hal ini kita ingin mengetahui lebih luas, tidak hanya identifikasi dan sebaran tetapi juga kaitannya dala berbagai aspek utamanya pada konsep dalihan na tolu. Pencatatan marga sesungguhnya belu lama, tetapi eksistensi marga itu diduga sudah sejak lama. Lalu sejak kapan terbentuknya marga? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Sejak Kapan Terbentuknya Marga di Angkola Mandailing?

Tidak diketahui secara pasti sejak kapan terbentuknya marga dan sejak kapan marga dicatat. Secara eksplisit keberadaan marga, paling tidak dicatat oleh Asisten Residen Mandailing en Angkola, TJ Willer. Dalam laporannya yang diterbitkan pada tahun 1846 bahwa penduduk Angkola dan Mandailing serta Portibi (baca: Padang Lawas), TJ Willer menyatakan penduduk terdiri dari marga-marga. Di Angkola marga dominan adalah Harahap dan Siregar dan di Mandailing adalah Lubis dan Nasution.

Dalam pembentukan cabang Pemerintah Hindia Belanda di Afdeeling Mandailing dan Angkola, wilayah penduduk dibagi berdasarkan hak (ulayat) marga dalam kesatuan-kesatuan yang disebut hakoeriaan yang setiap hakoeriaan diangkat kepala Koeria (sebagai pemimpin lokal) yang diberi gaji oleh pemerintah. Di district Angkola Djoeloe, onderafdeeling Angkola daftar koeria yang ada (1840) adalah Kampong Baroe, Batoenadoa, Hoetaimbaroe, Pijorkoling, Saboengan, Simapilapil. Semuanya bermarga Harahap. Di district Angkola Dolok ada tiga koeria masing-masing bermarga Siregar yakni Sipirok, Baringin dan Paraoe Sorat. Di district Angkola Djae antara lain Moeara Tais (Dalimoente) dan Pintoe Padang (Daoelae).

Adanya kerajaan-kerajaan di Angkola (Mandailing) paling tidak sudah diketahui sejak 1690 sebagaimana dicatat di Batavia pada tahun 1701 (lihat Daghregister, 01-03-1701. Dalam laporan ini tidak disinggung tentang marga tetapi diidentifikasi raja-raja. Radja-radja itu diduga kuat kelak menjadi dasar pembentukan pemerintahan lokal (koeria). Pusat Angkola ini berada sekitar 10 hingga 11 kali hari perjalanan dari (pelabuhan) Baros.

Disebutkan penduduk di Angkola berkecukupan, surplus beras dan garam tergantung dari kota pantai timur di (pelabuhan) Panai. Untuk mendapatkan garam penduduk menukar dengan kemenyan (benzoin) dan lilin (kamper). Penduduk berpakain seperti pakaian yang digunakan di wilayah Melayu. Dalam catatan Charles Miller yang pernah ke Angkola pada tahun 1772 juga tidak menyinggung tentang marga. Charles Miller yang berangkat dari teluk Tapanoeli di Pulo Pontjang ke Angkola melalui Loemoet. Disebutkan ada radja di Loemoet. Radja-radja lainnya juga ada di Terimbaroe (Hoetaimbaroe), di Simasom (kelak terbagi dua Simapilapil dan Batoenadoea). Miller juga menyebut ada radja di Batangonang (kini nama kecamatan dengan ibu kota Pasar Matanggor).

Dimana pusat (ibu kota) Angkola tidak begitu jelas. Yang jelas sudah teridentifikasi nama-nama kota (Loemoet, Hoetaimbaroe, Simasom dan Batangonang). Kota-kota pelabuhan terdekat pada zaman kuno diantaranya di Binanga, Portibi dan Gunungtua dimana ditemukan candi-candi (yang dibangun antara abad ke-11 hingga abad ke-13). Pada prasasti yang ditemukan di candi Sitopayan tidak mengindikasikan nama marga hanya nama orang. Pada candi Simangambat (di Siabu) yang dibangun pada abad ke-9 tidak terdapat prasasti. Lantas sejak kapan pencatatan adanya marga di Angkola dan Mandailing masih misteri.

Sejak abad ke-2 M, lewat tulisan Ptolemaeus, wilayah Batak yang sekarang sudah dikenal sebagai wilayah berbahaya. Wilayah ini adalah wilayah kaya dengan kamper, khususnya yang diekspor sejak abad ke-5 atau ke-6 melalui sebuah tempat yang bernama Barus. Nama Batak sendiri baru dicatat pada awal abad ke-13 oleh M, Zhao (dengan nama Pa-t’a). Sejarah resmi dinasti Yuan mencatat kedatangan utusan dari Batak di istana maharaja Tiongkok pada tahun 1285. Nama Batak kali pertama dicatat orang Eropa adalah Nicolo de’ Conti tahun 1430 sebagai Batech. Nama tempat ini ditemukan kembali pada awal abad ke-16 melalui seorang Portugis Tomé Pires yang menyebut “seorang raja dari Bata” dalam laporannya Suma Oriental (1512-1515). Sebagai catatan tambahan: Pelaut-pelaut Portugis menaklukkan dan menduduki Malaka sejak 1511. Tome Pires mencatat tiga tempat yang menjadi pusat aktivitas dengan pedagang asing di Pesisir Timur Laut, yaitu Bata (di selatan Pasai) dengan barang perdagangan utama rotan, Aru yang memiliki cukup banyak kamper dan banyak kemenyan, serta Arcat (kini masuk wilayah Bagansiapi-api, Riau).

Berdasarkan catatan-catatan lama dari ‘pelancong’ Eropa dan Tiongkok paling tidak sejak abad ke-13 (era Singhasari di Jawa) sudah diidentifikasi nama (wilayah) Batak. Pada fase ini sudah ada relasi dengan Tiongkok dan memiliki perwakilan (utusan) ke Tiongkok yang mengindikasikan ada perintah dari seorang pemimpin tertinggi (raja). Adanya Radja di (kerajaan) Batak semakin kuat dengan catatan dari Tome Pires (1512-1515) pada awal era Portugis di Malaka (1511) dan keberadaan kerajaan Raja dan kerajaan Batak ini menjadi lebih jelas pada catatan Mendes Pinto yang berkunjung ke Kerajaan Aru Batak Kingdom yang rajanya beragama Islam. Mendes Pinto juga mencatat ipar dari raja itu yang menjadi utusan ke Malaka adalah Aquareeng Daholay. Nama ini dapat diartikan sebagai Abdul Karim Daulae, yang mana Daulae pada masa kini dikenal sebagai salah satu marga utama di Angkola (Padang Lawas).

Catatan Mendes Pinto (1537) dapat dikatakan sebagai catatan tertua dengan adanya nama marga. Marga ini di Angkola Mandailing mengikuti prinsip genealogis. Oleh karena rajanya dari pihak laki-laki maka prinsip ini sesuai dengan garis antara generasi raja-raja ke masa lampau, bahkan hingga pada awal terbentuknya kerajaan dengan prinsip pemerintahan dalihan na tolu. Daholai pada catatan Mendes Pinto diduga adalah Perdana Menteri Kerajaan Aru (dari Raja bermarga Harahap—marga yang dominan di Angkola dan wilayah-wilayah di Padang Lawas yang berdekatan dengan Angkola. Luasnya penerapan sistem marga ini hingga ke utara di Gajo dan Alas dan hingga ke selatan Rao dan Pasaman maka sejarah marga sudah barang tentu sudah eksis jauh sebelum catatan Mendes Pinto.

Catatan tentang keberadaan nama marga sejauh ini dapat dikatakan satu-sutunya berdasarkan catatan tertulis merujuk pada laporan Mendes Pinto (1537). Pada prasasti yang beraal dari abad ke-13 di candi Sitopayan (Gunung Tua) tidak ada indikasi marga, hanya indikasi gelar Raja seperti Radja Imba[lo] dan Rafja [Manga]langgar. Demikian juga pada prasasti kuburan tua di situs Lobu Dolok (desa Aek Tolong, kecamatan Padang Bolak) tidak ditemukan catatan nama marga hanya ada catatan tentang perlunya adat dilestarika (paradat) dan hukum yang ada dijalankan (paruhum). Adat yang dimaksid sudah barang tentu adat dalihan na tolu dan hukum adat adalah hukum adat yang berlaku sekarang (menghormati leluhur dan sebagainya) yang akan diuraikan di bawah. Namun sayangnya catatan prasasti ini tidak diketahui dibuat pada era yang mana. Makam-makam kuno di situs Lobu Dao (Saipar Dolok Hole) tidak ditemukan prasasti.

Meski demikian prinsip dalihan na tolu yang mengindikasikan eksistensi (kepetrluan) marga dapat ditelurusi luasnya penerapan sistem marga ini hingga ke utara dan selatan yang mengindikasikan awal penerapannya jauh di masa lampau.  Hal ini juga dapat diidentifikasi adanya sistem adat yang mencerminkan adat (termasuk bahasa dan aksara_ di Tanah Batak ditemukan di pulau-pulau Filipina. Migrasi orang dari Tanah Batak (Kerajaan Aru) diduga kuat sudah ada sejak era orang-orang Moor (jauh sebelum catatn Mendes Pinto dan sesudah catatan-catatan dari Tiongkok).

Sebelum TJ Willer (1846) mencatat adanya marga di Angkola Mandailing dan Portibi (Padang Lawas) dan penerapan marga dalam sistem kemasyarakatan (adat) dapat ditemukan pada risalah Radermacher (1787) berdasarkan catatan-catatan pedagang VOC baik di pantai barat maupun pantai timur. Radermacher mencatat bahwa Raja Baroes bermarga Daulae. Ini mengingatkan ke belakang pada catatan Mendes Pinto (1537). Keterangan Radermacher ini tidak hanya mengindikasikan Baroes adalah wilayah Angkola tetapi juga mengindikasikan Baroes adalah pelabuhan dari Kerajaan Aru di Padang Lawas (Angkola Mandailing) yang mana ipar Radja Kerajaan Aru adalah (bermarga) Daulae. Meski keteranga-keterangan antar era itu sangat sedikit tetapi terlihat ada kesinambungan (konsistensi) dari berbagai aspek tentang keberadaan marga sejak Mendes Pinto (1537), Radermacher (1787) dan TJ Willer (1846). Hingga saat ini hanya ditemukan dua wilayah yang memiliki kata marga di Indonesia (Sumatra). Lalu apakah ada hubungan antara marga di Kerajaan Aru dan marga di Kerajaan Sriwijaya.

Keberadaan Kerajaan Aru, selain mengacu pada catatan Ptolomeus (abad ke-2) dan laporan Eropa tentang keberadaan pelabuhan Barus (abad ke-5), juga dapat diketahui berdasarkan prasasti Kedukan Bukit 682 M. Disebutkan Raja Dapunta Hyang Nayik dari Binanga dengan 20.000 tentara tiba di (kerajaan) Sriwijaya di Hulu Upang (yang diduga kuat di Bangka yang sekarang). Pada dekade-dekade ini terdapat tiga raja bergelar Dapunta, yakni Raja Sriwijaya Dapunta Hyang Sri Jayanāga (lihat prasasti Talang Tuo 684 M) dan Dapunta Selendra (lihat prasasti Sojomerto). Dalam hal ini Dapunta Hyang Nayik adalah Raja dari Kerajaan Aru dengan ibu kota di Binanga (kini kecamatan di Padang Lawas Tapanuli dimana terdapat banyak candi-candi). Dalam hal ini pada abad ke-7 ini di nusantara diketahui tiga raja yang bergelar Dapunta yakni raja dari Kerajaan Aru (Dapunta Hyang Nayik), raja dari Kerajaan Sriwijaya (Dapunta Hyang Sri Jayanāga) dan raja dari Kerajaan Kalingga (Dapunta Selendra). Tiga raja dan kerajaan tentulah saling terkait dan memiliki hubungan baik. Bagaimana hal itu terkait dapat dijelaskan berdasarkan prasasti Kota Kapur (686 M). Kehadiran Raja Dapunta Hyang Nayik di Hulu Upang (Bangka) dalam rangka memperkuat (mungkin juga untuk mengukuhkan raja) Sriwijaya.

Berdasarkan catatan prasasti abad ke-7 ada hubungan yang bersifat langsung antara wilayah Sumatra bagian selatan (Kerajaan Sriwijaya) dengan Kerajaan Aru di bagian utara Sumatra. Besar dugaan bahwa penggunaan marga sudah eksis sejak abad ke-7 di pulau Sumatra. Hal ini juga pernah disebutkan oleh CB Nieuwenhuis dalam risalahnya tentang sejarah Batak (lihat Tijdschrift van het Aardrijkskundig Genootschap, 1887).

‘Mari kita bandingkan situasi ini dengan di Palembang, dimana itu negara dibagi menjadi marga atau distrik, sehingga pembagian politik kemudian kita sampai pada keyakinan bahwa ‘marga’ Batak tidak berbeda dari Palembang dan keduanya sesuai dengan hampir homonim kata dalam bahasa Sansekerta sebagai ‘warga’, yang berarti pembagian (wilayah). Dalam hal ini kita menolak sebagai kata keluarga yang memiliki makna eksklusif dari kata marga yang telah kita ganti dengan ‘suku’, membawa kita sedikit lebih dekat ke kemungkinan membentuk ide tentang sejarah wilayah Batak ini. Kita kemudian bisa mewakili bagaimana suku-suku yang berbeda menghuni seluruh Tanah Batak, sebagian suku pegunungan yang bergerak kurang mudah dan hanya sebagian suku kelompok pengembara yang tidak memiliki tempat tinggal permanen, tetapi setelah mereka bertahun-tahun disana-sini setelah berhenti bergerak lagi. Kita menjadi paham dalam hal ini dibuktikan dengan tradisi yang ada. Mereka yang selalu di lembah atau telah mendiami dataran luas, telah berulang kali pindah ke daerah yang sama terharu; suku-suku pegunungan tidak mencari mereka yang tidak dapat diakses untuk meninggalkan pegunungan, atau dimana ini belum terjadi, dia membawa pindahkan mereka lagi ke pegunungan. Sedangkan di daerah pegunungan perpindahan biasanya memiliki konsekuensi perang, tradisi memberi untuk penghapusan pada niat yang paling damai. Dapat diasumsikan bahwa ini hanya mungkin diantara orang-orang nomaden, yang, karena pemukiman mereka karena cara hidup mereka yang sementara alam karena itu sangat primitif, tidak takut untuk sepi dari mana mereka akan diusir oleh yang lebih kuat. Tapi meskipun relokasi berulang, setiap marga tetap berkelanjutan seluruhnya. Sekarang jika kepala-kepala suku atau marga ini mengklaim bahwa negara-negara ini hanya untuk 12 atau 15 generasi akan dihuni, tidak mungkin sebaliknya dengan ini dimaksudkan sebagai perpindahan terakhir mereka’.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Marga dan Adat: Dalihan Na Tolu di Angkola Mandailing

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar: