Sabtu, Mei 29, 2021

Sejarah Peradaban Kuno (25): Pemerintahan Sejak Zaman Kuno, Kerajaan Aru Berbasis Luhat; Kepala Luhat, Kuria hingga Demang

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Peradaban Kuno di blog ini Klik Disini 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Padang Sidempuan di blog ini Klik Disini

Setua apa adanya sistem pemerintahan di Angkola Mandailing dapat dilacak sejak zaman kuno dengan memperhatikan keberadaan candi-candi yang ada sekarang seperti di Siabu dan Padang Lawas dan membaca prasasti-prasasti. Pada prasasti ditemukan kedudukan raja dan eksistensi kerajaan dan bangunan candi mengindikasikan adanya raja yang mengorganisasikan penduduk untuk membangun candi untuk tempat pemujaan. Raja dan organisasi (kerajaan) inilah awal sejarah pemerintahan pada zaman kuno.

Seperti sudah dideskripsikan pada artikel-artikel sebelumnya, Kerajaan Aru adalah suatu kerajaan besar. Kerajaan tidak hanya mengorganisasikan sumberdaya (produksi dan perdagangan), juga mengorganisir penduduk ke dalam pemerintahan yang semakin meluas. Kerajaan Aru memiliki banyak pelabuhan, banyak membangun candi dan juga banyak terbentuk elemen kebudayaan (bahasa, aksara, sastra, marga, adat dalihan na tolu, religi dan seni termasuk seni arsitektur dan seni tenun). Satu hal yang khas dari karakteristik Kerajaan Aru ini adalah sistem pemerintahannya yang berbeda dengan di Jawa maupun di Sumatra (Sriwijaya, Dharmasraya, Atjeh dan Minangkabau atau Pagaroejoeng). Kerajaan Aroe bukanlah kerajaan monarki atau oligarki, tetapi suatu kerajaan yang khas, suatu bentuk federasi dari luhat-luhat (sarikat teritorial). Hal itulah mengapa tidak ada perselisihan-perselisihan di antara kerajaan-kerajaan di dalam federasi mulai dari Rokan hingga Gajo, dari Barus hingga Panai. Perselisihan hanya terjadi dengan pihak lain seperti Kerajaan Atjeh.

Lantas bagaimana sejarah asal usul serta perkembangan sistem pemerintahan zaman kuno di Angkola Mandailing? Sistem pemerintahan berawal dari kerajaan-kerajaan yang kemudian terbentuk federasi (Kerajaan Panai atau Kerajaan Aru). Pasca memudarnya Kerajaan Aru, federasi besar semakin longgar dan semakin menguat pada faderasi-federasi yang lebih yang kerap disebut satuan luhat yang pada era Pemerintah Hindia Belanda federasi luhat ini disebut Koeria kemudian diintegrasikan dengan struktur Pemerintahan Hindia Belanda dengan membentuk afdeeling (semacam kabupaten) dan district (semacam kecamatan). Meski demikia, karakteristik sistem pemerintahan masih eksis antar era. Mengapa bisa begitu? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Sistem Pemerintahan Tradisional: Kerajaan Aru Suatu Federasi

Kerajaan Aru atau Kerajaan Panai dibangun atau dibentuk tidak dengan kekuatan (power), tetapi terbentuk dari persatuan (dan kesatuan) yang menjadi suatu kekuatan (teritorial). Hal itu yang membedakan (sistem) Kerajaan Aru berbeda dengan Kerajaan Pagaroejoeng dan Kerajaan Atjeh. Tidak ada intrik-intrik perebutan kekuasan di Kerajaan Aru. Sebab Radja di Kerajaan Aru adalah semacam primus interpares atau kepala suku (seperti presiden pada masa kini).

Radja Aru berasal dari salah satu kerajaan-kerajaan kecil. Sementara di Jawa seperti di Kediri, Singhasari dan Majapahit posisi raja bersifat turun temurun. Hal serupa ini juga di Kerajaan Pagaroejoeng. Sedangkan di Atjeh bersifat oligarki. Sifat turun temurun (genealogis) hanya pada tingkat yang lebih rendah (raja huta, raja pamusuk). Federasi huta-huta ini disebut luhat yang diposisikan sebagai pemimpin wilayah (luhat) adalah Raja Panusuan Bulung (huta paling tua). Federasi luhat inilah yang membentuk supra federasi (Kerajaan Aru). Struktur federasi (luhat) inilah yang tidak pernah berubah sepanjang masa, sebelum dan sesudah esksistensi Kerajaan Panai atau Kerajaan Aru.

Federasi ini diduga kuat bermula di wilayah Angkola Mandailing yang mengawali terbentuknya Kerajaan Panai atau Kerajaan Aru. Pada awal terbentuknya Kerajaan Aru ini melalui pedagang-pedagang India di Barus pengaruh Hindoe Boedha masuk. Salah satu wujud dari pengaruh Hindoe Boedha ini adalah diadopsinya ajaran Hindoe Boedha yang kemudian dibangun candi di Simangambat, Siabu (candi ini terus ditingkatkan, ibarat masjid pada masa ini terus ditingkatkan). Dalam hal ini sistem pemerintahan sudah terbentuk stabil (Kerajaan Aru).

Sebelum masuknya pengaruh Hindoe Boedha diduga kuat sudah terbentuk sistem pemerintahan pada tingkat huta yang bersifat genealogis (marga). Federasi huta-hita ini mebentuk sistem pemerintahan luhat. Federasi luhat-luhat inilah yang kemudian terbentuk awal Kerajaan Aru yang menjadi regulator dalam pembangunan candi yang membutuhkan daya dan dana (dengan cara marpege-pege dalam bahasa yang masih dikenal sekarang). Untuk membangun dan terus meningkatkan struktur dan memperkaya arsitektur candi boleh jadi mengundang ‘insinyur’ dari wilayah lain atau kota lain di India. Candi ini dibangun tidak jauh dari gunung Malea (yang diduga merujuk pada nama gunung Himalaya, seperti halnya nama gunung Semeru di Jawa). Gunung di sebelah utara disebut gunung Raja (kini Lubuk Raya) dan di sebelah selatan gunung Sarik. Seperti halnya nama Malea, nama Raja dan Sarik juga merujuk pada nama India. Tiga gunung memiliki arti kosmologi dalam ajaran agama di sekitar candi.

Sistem pemerintahan yang khas (pemerintahan tradisional basis marga dan dalihan na to lu), secara geopolitis tidak terlalu pengaruh dari kehadiran pedagang-pedagang India yang juga telah berkoloni karena berada di pedalaman. Para pedagang-pedagang India ini yang memainkan perdagangan ke luar (dengan pelabuhan ekspor di Baroes) dan ke dalam juga mengintroduksi berbagai pengetahuan seperti aksara, pengetahuan religi, teknologi dan kesusatraan. Dalam perkembangannya, federasi (kerajaan) yang semakin meluas dan volume perdagangan yang terus meningkat, manjadi faktor ibu kota relokasi ke sisi pegunungan Bukit Barisan, yang mana paling tidak masih terlihat gunung Malea, di suatu tempat di sekitar Sibuhuan yang sekarang (hulu sungai Barumun). Hal itulah mengapa candi baru dibangun di muara sungai Sangkilon (sedikit di hilir Sibuhuan). Relokasi ibu kota ini juga diduga terkait dengan berkembangnya pelabuhan di Binanga (kawasan dimana sungai Pane juga bermuara). Dalam hal  ini Kerajaan Aru memiliki dua pelabuhan utama, pelabuhan Baroes di pantai barat sebagai pelabuhan internasional dan pelabuhan Binanga di pantai timur sebagai pelabuhan domestik. Perlu dicatat saat itu Binanga masih pantai. Kerajaan Aru yang semakin kaya dengan dua pelabuhan menjadi modal untuk memulai ekspansi. Ekspansi pertama ke wilayah utara.

Ekspansi ke wilayah utara ini ke wilayah yang kini menjadi kabupaten Simalungun. Wilayah perdagangan di bagian utara kawasan Padang Lawas (Sipiongot yang sekarang) sudah terhubung ke Silindoeng dan Humbang. Arus perdagangan dari Silindoeng dan Humbang bergeser dari Baroes ke Binanga, demikian juga dari Simalungun yang juga menarik arah perdagangan ke Binanga. Dalam fase ini federasi Kerajaan Aru semakin meluas ke Silindoeng, Humbang, Simalungun dan Toba. Pelabuhan utama Kerajaan Aru tidak lagi di Baroes tetapi kini di Binanga. Hal itu didukung dengan semakin intensnya lalu lintas perdagangan di selat Malaka (India, Tingkok an Jawa). Seiring dengan perluasan wilayah federasi ini ke utara, berbagai elemen budaya dan adat juga meluas seperti sistem marga, adat dalihan na tolu, aksara dan sebagainya. Wilayah Simalungun menjadi wilayah budaya Angkola Mandailing yang dari sini menyebar ke wilayah seputar danau Toba dan wilayah di utara danau di wilayah Kato yang sekarang. Demikian seterusnya hingga wilayah Alas dan Gayo yang sekarang (kini masuk wilayah Provinsi Aceh). Perluasan federasi ini ke wilayah utara, juga terjadi ke selatan seperti daerah aliran sungai Rokan, sungai Pasaman.

Dengan semakin meluas dan menguatnya federasi Kerajaan Aru dan tentu saja dengan semakin meningkatnya volume perdagangan dan kemakmuran, Kerajaan Aru mulai melakukan ekspansi ke wilayah yang lebih jauh yakni dengan memperkuat Kerajaan Sriwijaya (lihat prasasti Kedukan Bukit 682 M). Dalam prasasti ini disebut raja Dapunta Hiyang (Raja Kerajaan Aru) memimpin 20.000 tentara yang diberangkatkan dari Binanga dengan tujuan Hulu Upang, ibu kota Kerajaan Sriwijaya (pulau Bangka yang sekarang). Dalam prasasti ini nama Binanga dicatat Minana. Dengan demikian terbentuklah aliansi Kerajaan Aru dan Kerajaan Sriwijaya.

Ekspanasi ke Kerajaan Sriwijaya ini lebih memperkuat aliran perdagangan Kerajaan Aru ke Tiongkok melalui Kerajaan Sriwijaya di pulau Bangka. Aliansi ini juga diperluas dengan melakukan invasi ke Jawa (Kerajaan Tarumannagara dan Kerajaan Kalingga). Diduga kuat sebagian dari 20.000 tentara Kerajaan Aru ini bersama tentara Kerajaan Sriwijaya dalam invasi ini. Namun sebelum itu Kerajaan Sriwijaya juga memperluas wilayah hingga ke daerah aliran sungai Batanghari (Jambi), sungau Musi (Palembang) dan  sungai Tulang Bawang (Lampung). Dua matarhari inilah yang berkuasa di pulau Sumatra.

Bentuk federasi ini di dalam Kerajaan Aru dapat dibaca pada prasasti Sitopayan di Gunung Tua. Disebutkan dalam prasasti Sitopayan I dalam membangun candi oleh dua raja yakni Hang Tahi dan Si Ranggit sedangkan pada prasasti Sitopayan II disebut nama empat nama raja yakni Pu Sapta, Hang Buddhi, Sang Imba dan Hang Langgar. Bentuk federasi yang lebih luas dari Kerajaan Aru atau Kerajaan Panai dapat dibaca pada prasasti Batugana. Pada prasasti Batugana, wilayah Dharmasraya di hulu sungai Batanghari sebagai bagian dari federasi Kerajaan Aru. Kerajaan Dharmasraya ini juga disebut Kerajaan Mauli. Salah satu raja terkenal di Kerajaan Mauli adalah Radja Adityawarman (yang kemudian membentuk kerajaan baru, Kerajaan Malayu dan relokasi ke hulu sungai Indragiri yang kelak dikenal sebagai Kerajaan Pagaroejoeng).

Tunggu deskripsi lengkapnya

Pasca Kerajaan Aru: Luhat, Janji, Kuria

Pada awal era VOC, federasi Kerajan Aru mulai melemah, wilayah yang begitu luas hingga era Portugis, semakin menyusut dengan semakin menguatnya Kerajaan Aceh. Beberapa wilayah anggota federasi Kerajaan Aru di wilayah Gajo diivasi oleh Kerajaan Aru. Dalam menahan invasi Kerajaan Atjeh yang berpusat di ujung utara pulau Sumatra (kini kota Banda Aceh) dua anggota federasi Kerajaan Aru membentuk aliansi yang diidentifikasi pada awal VOC sebagai Kerajaan Deli yang berpusat di Deli Tua yang sekarang. Kerajaan Baru tersebut dipimpin oleh Radja Goenoeng Raja di Nagur (kini Simalungun) dan Radja Sibajak di Lingga (kini Karo).

Pada tahun 1613 Kerajaan Atjeh mengklaim dua wilayah federasi. Boleh jadi klaim itu didasarkan atas kekalahan pasukan Kerajaan Aru di Nagur dan Lingga dimana dua anak Radja Kerajaan Aru terbunuh. Keterangan ini dapat dilihat dalm catatan Mendes Pinto yang pernah berkunjung ke Kerajaan Aru pada tahun 1537. Pada saat kunjungan Mendes Pinto ini Kerajaan Aru masih cukup kuat dengan 15.000 tentara yang diperkuat pedagang-pedagang Moor yang mana tujuh ribu diantara pasukan itu berasal dari Indragiri, Jambi, Broenai dan Luzon. Mendes Pinto mencatat bahwa Raja Kerajaan Aru beragama Muslim. Dalam menghadapi ancaman itu, Kerajaan Deli diperkuat dengan benteng dengan dukungan Portugis. Kerajaan Aceh menyerang pusat Kerajaan Deli pada tahun 1619 dan hancur (sisa situsnya masih dapat dilihat sekarang). Kerajaan Deli kembali bangkit, namun pada tahun 1643 Kerajaan Deli ditaklukkan Aceh. Tidak ada lagi bantuan Portugis karena pada tahun 1642 VOC mengusir Portugis dari Malaka. Pada tahun 1669 Kerajaan Deli melepaskan diri dari Keajaan Aceh.

Seperti halnya federasi di Simalungun dan Karo, federasi Kerajaan Aru kembali menyusut yang mana sejumlah federasi di wilayah danau Toba membentuk tiga kerajaan yakni Kerajaan Silindoeng dengan pelabuhan di teluk Tapian Na Oeli, Kerajaan Boetar dengan pelabuhan di pulau Seruni (kini Tanjung Balai) dan Kerajaan Simamora dengan pelabuhan di Singkil dan Ambuaru (sekitar Perlak yang sekarang). Tiga kerajaan ini masih dicatat Radermacher tahun 1787. Sebelumnya Kerajaan Deli dengan pelabuhan di muara sungai Deli diserang Kerajaan Siak pada tahun 1770. Kelak diambilalih oleh Kerajaan Aceh. Anggota federasi Kerajan Aru di Rokan sudah berafiliasi dengan Kerajaan Siak dan anggota federasi di wilayah Pasaman berafiliasi dengan Kerajaan Pagaroejoeng. Kerajaan Aru yang sudah eksis selama 1.000 tahun hanya tersisa wilayah Angkola, Mandailing dan Padang Lawas dari pelabuhan Loemoet hingga pelabuhan Kota Pinang (kembali ke posisi semula pada abad ke-7). Tiga wilayah ini disebut tiga luhat yang solid.

Pada era Padri, dua luhat Mandailing dan Angkola berafiliasi dengan Pemerintah Hindia Belanda sejak 1833. Dalam serangan ke benteng Bondjol dipimpin oleh Radja Gadumbang dari Mandailing (Radja Hoeta Godang). Benteng Bondjol akhirnya pada tahun 1837 berhasil ditaklukkan. Pada serangan berikutnya di Daloe-Daloe pada tahun 1838 dipimpin oleh Radja Patoean Soeripada dari Angkola (Radja Batoenadoea). Benteng Daloe-Daloe berhasil ditaklukkan dan luhat Padang Lawas dapat dibebaskan dari pengaruh Padri. Dalam hal ini terlihat penerapan federasi dua luhat yang mana kepemimpinan bersifat dinamis, pada saat tertentu salah saru raja dari Mandailing dan pada saat yang lain salah satu raja dari Angkola.

Pada tahun 1840 dibentuk cabang Pemerintahan Hindia Belanda, tiga luhat tersebut ke dalam dua afdeeling yakni Afdeeling Angkola Mandailing dan Afdeeling Portibi atau Afdeeling Padang Lawas. Di Afdeeling Angkola Mandailing pemerintahan lokal dibagi ke dalam sejumlah koeria. Di Afdeeling Padang Lawas tidak menggunakan nama koeria tetapi menggunakan nama luhat (sama dengan nama wilayah atau luhat).

Afdeeling Angkola Mandailing dibagi menjadi dua onderfadeeling, yakni Onderafdeeling Mandailing ibukota di Panjaboengan dan Onderafdeeling Angkola dengan ibu kota di Padang Sidempoean. Onderafdeeling dibagi menjadi tiga distrik, yakni Angkola Djae ibu kota di Pintoe Padang, Angkola Djeoloe ibu kota di Padang Sidempoean dan Angkola Dolok ibu kota Sipirok. Pada setiap district terdiri dari beberapa koeria yang dikepalai oleh kepala koeria. Di Onderafdeeling Mandailing Godang koeria-koeria terkenal antara lain Panjaboengan, Pidoli dan Goenoeng Toea. Di Onderafdeeling Mandailing Djoeloe koeria terkenal antara lain Kotanopan dan Hoetagodang.

Kepala koeria ini pada dasarnya kerajaan-kerajan kecil yang berdasarkan prinsip genealogis (turun temurun). Pada zaman kuno, wujud koeria-koeria inilah yang kemudian membentuk federasi yang lebih besar dengan terbentuknya Kerajaan Aru. Kerajaan-kerajaan kecil (koeria atau luhat) ini dipimpin oleh Raja Panusunan Bulung (raja pamungka huta) sebagai Primus Interpares yang terdiri dari beberapa huta (Raja Pamusuk). Luhat adakalnya disebut Janji.

Di Silindoeng dan Toba tidak disebut koeria atau luhat tetapi disebut negeri. Negeri, bukan nagari. Di Residentie Padangsche Bovenlanden yang beribukota di Fort de Kock (kini Bukit Tinggi) huta disebut nagari. Sementara yang setara dengan koeria, luhat dan negeri di wilayah tersebut disebut laras. Laras cenderung bersifat teritorial, sedangkan koeria, luhat atau negeri cenderung bersifat genealogis (satu marga utama).

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar: