Kamis, Mei 20, 2021

Sejarah Peradaban Kuno (17): Barus, Baros, Baroes dan Baroeas; Sungai Barus hingga Sungai Barumun; Titik Nol Islam Nusantara


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Peradaban Kuno di blog ini Klik Disini 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Padang Sidempuan di blog ini Klik Disini

Pada tahun 2017, Presiden Republik Indonesia Joko Widodo meresmikan penetapan Kota Barus sebagai Titik Nol Islam Nusantara. Dalam peresmian ini, Presiden sekaligus meresmikan Tugu Titik Nol Pusat Peradaban Islam Nusantara, suatu tanda navigasi pintu gerbang masuknya Islam di Nusantara. Sepintas penampakan tugu (monumen) tersebut menggambarkan tiga hal: Pertama, bola dunia seperti halnya tropi Piala Dunia yang memperlihatkan posisi strategis Indonesia. Kedua, bola dunia itu ditopang oleh tiga kaki yang menjadi basis sistem pengambilan keputusan adat Batak (dalihan na tolu); Ketiga, warna yang berbeda untuk tiga kaki bola dunia itu mewakili warna tradisional adat Batak.

Penetapan Kota Barus sebagai Titik Nol Islam Nusantara ternyata tidak semua pihak sepakat. Lalu, suatu seminar diadakan di Aceh. Satu panelis menyebutkan Kota Pasai adalah Titik Nol Islam Nusantara. Panelis lainnya yang satu panggung menyatakan, bukan Pasai tetapi Peureulak; sedangkan panelis satunya lagi, Titik Nol Islam Nusantara bukan Pasai dan juga bukan Peureulak tetapi Lamuri. Berbeda pendapat dalam satu panggung itu berarti memiliki bukti empiris yang berbeda satu sama lain. Tiga kota pelabuhan di pantai itu pada masa kini masuk wilayah administrasi provinsi Aceh. Sebaliknya, ada tiga orang ahli mengatakan bahwa secara defacto Titik Nol Islam Nusantara di Barus. Tidak ada beda pendapat diantara ketiganya. Tidak ada yang berpendapat di Sorkam atau di Tapus (semua mengatakan di Barus). Yang jelas, Pasai, Peureulak dan Lamuri di satu pihak dan Sorkam, Tapus dan Barus pada zaman kuno adalah bagian dari Kerajaan Aru di pedalaman yang berpusat di Padang Lawas. Nah, lho!

Lantas bagaimana sejarah Barus? Seperti disebut di atas, kota pelabuhan Barus adalah pelabuhan kuno, pelabuhan ekspor kapur barus (kamper) dan kemenyan yang hanya terdapat di Tanah Batak. Ada pendapat ahli lain bahwa kapur barus terdapat pada kitab suci (Injil dan Al Quran) sebagai kafura melalui bahasa Persia. Lalu bagaimana sejarah Barus? Yang jelas kota Barus adalah salah satu pelabuhan Kerajaan Aru Batak Kingdom pada zaman kuno. Bukan bagaimana ceritanya, tetapi bagaimana sejarahnya? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, sejarah adalah narasi fakta dan data dan semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Nama Pelabuhan Kuno: Barus, Baros, Baroes dan Baroeas

Di kota Padang Sidempuan pada masa ini, ada satu desa yang bernama Baruas (dekat Batu Na Dua). Besar dugaan bahwa nama Baruas adalah nama kuno sedangkan Batu Na Dua adalah nama baru. Batu Na Dua diduga kuat adalah ibu kota baru (kerajaan atau koeria) uantuk menggantikan Baruas. Wilayah Batu Nadua dan Baruas adalah dataran dengan area persawahan yang luas.

Desa Baruas ini dilalui oleh jalan kuno (dari Sihitang ke Pargarutan) sedangkan posisi desa Batu Na Dua berada di jalan baru (yang dibangun pada era Pemerintah Hindia Belanda tahun 1870) dari Sihitang-Padang Sidempuan ke Pargarutan. Ketika Charles Miller melakukan ekspedisi botani dari teluk Tapanoeli 1772, rute yang dilaluinya adalah jalan dari Loemort, Hoetaimbaroe, Simasom, Morang dan Batang Onang. Jika memperhatikan peta, posisi GPS desa Baruas yang sekarang berada di garis lurus antara Simasom dan Morang. Pada era Perang Padri, rute yang digunakan dari selatan Siabu, Pijorkolong ke Pargarutan melalui Sihitang dan Baruas atau Pijorkoling melalui Sidangkal, Hoetaimbaroe dan Simasom.

Nama Baruas mirip nama Barus. Pada era Portugis dieja sebagai Baros dan pada era VOC (Belanda) sebagai Baroes. Berdasarkan catatan seorang Cina yang pernah 10 tahun tinggal di Angkola yang dicatat di Batavia Daghregister 01-03-1701 disebutkan datang (tahun 1690) dari Batavia dari arah timur Panai dan kembali ke Batavia melalui Baroes dengan jarak 10 hari perjalanan.

Kita hanya menduga-duga hubungan Baroes [Barus] dan Baroeas [Baruas]. Lantas apakah nama Barus merujuk pada nama Baruas atau sebaliknya. Nama Barus atau Baruas bukanlah merujuk pada nama baru (new) tetapi diduga merujuk pada nama kuno, nama sungai yakni sungai Barus atau sungai Barumun. Aru dalam bahasa India selatan (Ceylon) adalah air atau sungai. Orang-orang India selatanlah pedagang-pedagang asing yang paling awal ke pantai barat Sumatra, melalui muara-muara sungai hingga menemukan koloni di dekat danau-danau pegunungan (danau Siasis atau danau Toba). Penggunaan nama aru (sungai) ini banyak ditemukan di pantai barat Sumatra seperti sungai B-aru-mun dan sungai S-aru[matinggi] (dekat danau Siasi), sungai B-aru-s (dekat danau Toba) da sungai Arau (dekat danau Singkarak). Hal itulah mengapa ada dugaan nama Barus, Baruas dan Barumum adalah nama-nama kuno (nama sungai dan nama tempat).

Dalam konteks perdagangan zaman kuno, nama-nama Barus dan Barumun begitu penting. Dalam hal inilah nama Baruas relevan. Nama Baruas dan Barumun di pedalaman dan nama Barus di pantai (sebagaimana Arau di Padang) sebagai pelabuhan. Wilayah Baruas, sungai Saroe (kemudian menjadi Batang Angkola) dan hulu sungai Barumun adalah penghasil produk kuno sejak zaman kuno seperti kamper (benzoin) dan kemenyan, suatu produk yang dibutuhkan sejak zaman (kerajaan) Mesir kuno. Pedangan-pedagang India selatan yang menghubungkan wilayah asal produk dengan wilayah tujuan produk.

Secara epistemologi, produksi dan konsumsi mendahului timbulnya perdagangan. Diduga kuat, wilayah Tanah Batak, terutama wilayah Angkola yang memproduksi hasil hutan kamper (pengawet) dan kemenyan (penyebahan) dan damar (penerangan) untuk kebutuhan konsumsi sendiri. Berita ini menjadi tersiar di pantai yang menyebabkan pedagang-pedagang asing dari India selatan memperdagankannya ke Arab. Dalam konteks inilah wilayah Angkola menjadi sentra produksi dan Barus terbentuk sebagai pusat perdagangan (pelabnuhan). Ada penulis yang menginterprasi nama kamper (kapur) melalui bahasa Persia (kafura) masuk ke dalam bahasa Arab sehingga terdapat pada kitab suci (Injil dan Al Quran). Satu nama lagi yang masuk ke dalam kitab suci (Injil) adalah nama gunung Ophir sebagai penghasil emas. Pelaut-pelaut Portugis menamakan gunung Pasaman (wilayah Mandailing) dengan nama Ophir dan orang Mandailing menyebut pelabuhannya dengan nama Oedjoeng Gading (pelabuhan yang banyak ekspor gading gajah). Orang India selatan menyebut pelabuhan lainnya orang Mandailing dengan nama Lingga Bajoe (kini Muara Soma). Pelabuhan orang Angkola awalnya di dekat danau Siais di Sangkoenoer (muara sungai Batang Toroe) baru bergeser ke Loemoet (muara sungai Loemoet). Kata ‘toroe’ diduga merujuk pada aru (sungai) yang diartikan ‘bawah’ sedangkan sungai dalam bahasa Angkola (pantai barat Sumatra) adalah ‘batang’. Pedagang-pedagang Arab zaman kuno menyebut bangsa penghasil kamper dan kemenyan ini adalah bangsa Batang, yang orang Eropa dieja menjadi Bata, Batak atau Batech. Jadi, nama kuno Batang atau Bata, nama Aru dan nama Barus adalah nama-nama yang kerap dipertukarkan (karena berada di wilayah yang sama).

Nama Barus, paling tidak, dapat disimpulkan sebagai nama zaman kuno. Suatu nama pelabuhan (ekspor) produk-produk kuno (kamper, kemenyan dan damar) dari wilayah (Tanah) Batak. Dalam konteks perdagangan zaman kuno inilah diduga terbentuk Barus sebagai pelabuhan kuno dan Aru sebagai kerajaan kuno di wilayah Batak (pulau Sumatra bagian utara). Sebagai kerajaan (yang bermula di Angkola Mandailing) kemudian bergeser ke hulu sungai Barumun (dengan terbentuknya candi-candi) menjadi pusat (kebudayaan) Batak (bahasa, adat Dalihan na Tolu, marga, aksara, seni dan sebagainya) yang menyebar dari pusat peradaban di muara sungai Barumun (Kerajaan Aru) menyebar ke selatan hingga Rao dan Pasaman dan ke utara (Simalungun, Karo, Gajo).

Tunggu deskripsi lengkapnya

Kerajaan Aru Batak Kingdom dan Masuknya Islam: Barus hingga Panai dan Kampar hingga Atjeh

Pada era VOC perdagangan kamper (benzoin) masih penting. Ini terlihat dari volume perdagangan di pelabuhan Amsterdam (lihat Oprechte Haerlemsche courant, 16-06-1671). Disebutkan dalam daftar komodiri sebanyak 8.694 pon Benjuyn Baros dari (pelabuhan) Ceylon di Amsterdam. Komoditi lainnya antara lain (yang diduga dari Hindia Timur) adalah indigo, gerah poeli, lilin dan gula.

Dalam daftar komoditi ini disebut benzoin Barus yang mengindikasikan bahwa benzoin berasal dari pelabuhan perdagangan di Barus. Komidi yang dipasarkan di pelabuhan Baru, selain benzoin adalah getah poeli dan lilin yang berasal dan dikumpulkan dari hutan-hutan di Tanah Batak. Indigo dan gula diduga dari (pelabuhan) di Jawa. Ini mengindikasikan produk Tanah Batak seperti benzoin masih eksis sejak zaman kuno.

Nama Baros sudah diidentifikasi pada peta-peta Portugis dengan nama Baros. Ini mengindikasikan bahwa Baros sangat penting di pantai barat Sumatra. Dalam peta in juga diidentifikasi nama Bathan yang diduga pelabuhan Batang atau Batahan. Sementara di pantai timur diidentifikasi nama Aru dengan nama d’Aru atau Daru. Di arah utara Aru diidentifikasi nama pelabuhan Ambuaru. Dalam perkembangannya nama Ambuaru kerap dipertukarkan sebagai Jambu Ajer (aru adalah sungai, berarti sungai Jambu). Jambu Aer ini berada di wilayah Perelak.

Berdasarkan laporan Mendes Pinto (1537) Aru adalah Kerajaan Aru Batak Kingdom. Wilayah Kerajaan Aru paling tidak hingga Karo dan Simalungun yang mana Mendes Pinto menyebut dua anak Radja Aru tewas dalam mempertahankan diri dari invvasi Atjeh, yakni pengeran di Nagur dan pengeran di Lingga. Setelah Kerajaan Aru memudar, pada era VOC kerajaan-kerajaan kecil masih eksis. Salah satu kerajaan itu bernama Kerajaan Simamora yang mana pelabuhannya disebut Jambu Ajer. Sedangkan kerajaan Sibajak Lingga (eks Lingga) dan kerajaan Goenoeng Raja (eks Nagur) pelabuhannya di hulu sungai Deli (Deli Tua yang sekarang). Kerajaan Aru sebelumnya hingga ke pantai utara di Atjeh. Kerajaan Lamuri yang sebelumnya Hindoe telah Islam dan kerajaan Islam baru ini relokasi ke pelabuhan Kerajaan Aru di Krueng Atjeh (kota Banda Aceh yang sekarang).

Pada era VOC (Belanda), pedagang-pedagang VOC bekerjasama dengan (kerajaan) Baroes dan kemudian dibangun benteng VOC (1667). Ini tidak lama setelah VOC menaklukkan pelabuhan Padang yang dikuasai oleh Atjeh (1665). Dalam hal ini VOC telah mengusir Atjeh dari pantai barat di Padang, Baroes dan Singkil (VOC juga membangun benteng di Singkil). Sejak VOC mengusir Portugis dari Malaka (1641) orang-orang Aceh juga diusir dari pelabuhan-pelabuhan dipantai timur seperti Deli (Lingga dan Nagur) dan Ambuaru (Simamora). Eks kerajaan-kerajaan kecil dari Kerajaan Aru (dan kerajaan Pagaroejoeng) telah dipulihkan kembali (oleh VOC). Dalam fase inilah, seperti disebut di atas, komoditi zaman kuno seperti benzoin mengalir kembali ke Eropa.

Menurut laporan seorang Cina yang dicatat di Batavia (1701) yang pernah 10 tahun di Angkola berangkat dari Angkola ke Baroes dalam 10 hari perjalanan. Ini mengindikasikan bahwa Baroes adalah pelabuhan dari penduduk Angkola (Kerajaan Aru). Kota pelabuhan besar di pantai barat pada saat itu adalah Padang (dimana masih terdapat benteng VOC).

Dalam laporan Radermacher (1787) berdasarkan laporan-laporan pedagang VOC di Baroes, disebutkan Radja Baroes bermarga Daulay. Tentu saja marga Daulay hanya ditemukan di Angkola. Ini mengindikasikan bahwa kerajaan (pelabuhan) Baroes adalah wilayah masuk Angkola. Sebab Kerajaan Simamora (seputar danau Toba), menurut laporan Radermacher, berorientasi ke pelabuhan di pantai timur (Jambu Ajer).

Dalam laporan Mendes Pinto (1537) ipar dari Radja Kerajaan Aru adalah Aquareeng Daholae yang diduga merujuk pada nama Abdul Karim Daulay. Mendes Pinto juga menyebut Radja Aru (telah) beragama muslim (Islam). Kerajaan kecil Baroes pada era VOC yang bermarga Daulay diduga sudah sejak Kerajaan Aru.

Lantas sejak kapan keberadaan pelabuhan Baroes? Paling tidak sejak kapan nama Baroes menjadi nama pelabuhan di pantai barat Sumatra? Pelabuhan yang disebut Baroes itu diduga kuat sudah eksis jauh sebelum terbentuknya Kerajaan Aru di Angkola Mandailing (Padang Lawas). Tentulah sulit ditemukan data atau keterangan tertulis. Dalam hal ini dapat dibandingkan dengan catatan di Eropa dan catatan pada prasasti di Palembang, Jakarta dan Koetai.

Dalam literatur Eropa terdapat keterangan bahwa sejak abad ke-2 M, lewat tulisan Ptolemaeus yang menyebutkan (pulau) Sumatra bagian utara dianggap sebagai daerah berbahaya karena diduga dihuni oleh sejumlah masyarakat kanibal, tetapi wilayah itu kaya dengan kamper, khususnya yang diekspor sejak abad ke-5 atau ke-6 M melalui sebuah tempat yang bernama Barus. Keterangan ini sedikit membantu bahwa paling tidak nama Barus sudah diketahui (di Eropa) sejak abad ke-5. Artinya apa? Prasasti Kedukan Bukit bertarik 682 (awal Sriwijaya) mengindikasikan Barus sudah dikenal jauh sebelum dikenal Sriwijaya (Palembang). Jika memperhatikan isi teks prasasti itu ditemukan nama Minana yang besar dugaan Binanga yang sekarang sebagai pelabuhan di pantai timur (pelabuhan Kerajaan Aru). Dalam teks itu mengindikasikan Minana atau Binanga sebegai kerajaan yang jauh lebih kuat dari Sriwijaya. Dalam hal ini, Kerajaan Aru (berpusat di Angkola Mandailing) terhubung dengan pelabuhan di pantai timur (Binanga) dan pelabuhan di pantai barat (Baroes). Sebagai catatan tambahan: Jika Sumatra bagian utara pada abad ke-2 sebagai kaya kamper, maka masuk akal jika pelabuhan Barus jauh lebih awal jika dibandingkan dengan pelabuhan Soenda di Jawa (prasasti Tugu, Cilincing abad ke-5) dan pelabuhan Koetai di Borneo (prasasti Mulawarman di Muara Kaman, awal abad ke-6).

Pelabuhan di pantai barat dapat dikatakan pelabuhan paling tua di Indonesia. Pelabuhan itu diduga adalah pelabuhan Barus (indikasi pada abad ke-2). Lalu sejak kapan kota-kota pelabuhan di Hindia Timur (nusantara) yang pada era Hindoe-Boedha sudah mulai datang pedagang-pedagang (Islam) dari Tanah Arab. Sebagaimana diketahui tahun hijrah pertama Islam adalah pada tahun 622 M atau abad ke-7). Dalam hal ini tentulah Islam masuk ke nusantara, paling tidak pada titik terdekat di pantai barat di Sumatra (di Barus) setelah abad ke-7. Pada masa ini disebutkan bahwa Islam masuk pertama di Nusantara di Barus pada abad ke-7.

Disebutkan bahwa keberadaan makam tua di kompleks pemakaman Mahligai, Barus berumur sejak abad ke-7 yang mana di salah satu makam pada nisannya tertulis Syekh Rukunuddin wafat tahun 672 Masehi (48 Hijriyah). Tahun setelah nabi Muhammad meninggal pada tahun 632 M. Khalifah terakhir (Sayyidina Ali bin Abi Thalib) meninggal pada tahun 661 M. Jadi masuknya Islam ke Nusantara pada masa Kekhalifahan Umayyah (661-750) yang beribukota di Damaskus (di Cordoba sejak 756 sampai 1031 M). Wilayah Dinasti Umayyah.

Dalam perkembangannya di Barus ditemukan prasasti tua yang disebut prasasti Lobu Tua (Prasasti Barus) suatu prasasti berbahasa Tamil ditemukan pada tahun 1873 (kini di desa Lobu Tua, kecamatan Andam Dewi, kabupaten Tapanuli Tengah). Prasasti ini berangka tahun 1088 M. Prasasti ini menyebutkan tentang adanya suatu serikat dagang bangsa Tamil di daerah Barus. Di Barus, para pedagang India tersebut membeli berbagai komoditas dari penduduk setempat (Tanah Batak).

Dalam berbagai tulisan disebutkan pada tahun 1025 Rajendra Chola, Raja Chola dari Tamil Nadu di India Selatan melakukan invasi ke Selat Malaka. Menurut Schnitger (1935) tiga kota pelabuhan yang ditaklukkan militer Chola adalah Panai, Kadaram (kini Kedah) dan Palembang (Sriwijaya). Pelabuhan Panai dala hal ini adalah pelabuhan Kerajaan Aru di hulu sungai Barumun.

Lantas mengapa Kerajaan Chola melakukan aneksasi di pelabuhan Panai (Kerajaan Aru)? Kerajaan Aru di hulu sungai Barumun, Kerajaan Kedah di Semenanjung dan Kerajaan Sriwijaya di muara sungai Musi telah menjalin aliansi dengan Tiongkok sehingga arus perdagangan dari nusantara mengarah ke Tiongkok (sebagaimana di Jawa juga). Sejak invasi Chola inilah dibentuk sarikat dagang India (Chola) di Barus pada tahun 1088.

Pada artikel sebelumnya telah diuraikan, pasca aneksasi Chola, Kerajaan Aru bangkit kembali, menjadi kerajaan yang jauh lebih besar dari sebelumnya. Pada masa inilah meminjam istilah Sshnitger (1935) para pemimpin Kerajaan Aru meningalkan (menghianati) agama Hindoe dan beralih ke agama Boedha (sekte Bhairawa) dari Indo China. Perkembangan agama Boedha sekte Bhairawa ini begitu pesat di Tanah Batak (Kerajaan Aru) yang akhirnya menimbulkan minat raja-raja Jawa (Singhasari) yang mana Radja Kernegara (radja terakhir Singhasari) menjadi salah satu pendukung fanatik sekte Bhairawa. Pendukung fanatik lainnya sekte Bhairawa ini adalah radja-radja Kerajaan Mauli di hulu sungai Batanghari (termasuk Radja Adityawarman di Minangkabau).

Dalam perkembangan berikutnya, Kerajaan Majapahit disebutkan melakukan invasi ke wilayah Sumatra. Apa pasal? Berbagai sumber menyatakan bahwa invasi ini pada era Raja Hayam Wuruk dengan patihnya yang terkenal Gajah Mada. Juga disebutkan bahwa Hayam Wuruk adalah Hindoe sedangkan Gajah Mada adalah Boedha. Lalu apa yang menyebabkan Majapahit (Hindoe) invasi ke Sumatra (yang Boedha, terutama sekte Bhairawa). Apakah perang agama? Besar dugaan adalah perang atas dasar agama tetapi aatas dasar konflik perdagangan yang mana kerajaan-kerajaan di Sumatra (Boedha) orientasi perdagangannya ke Tiongkok (sedangkan Majapahit ke India).

Bagaimana dengan Gajah Mada yang beragama Boedha? Pengaruh sekte Bhairawa sudah menghilang di Jawa (pada era Singhasari) dengan raja terakhirnya Kertanegara. Dalam hal ini ada beberapa penulis yang menyebut Gajah Mada berasal dari (Boefha sekte Bhairawa) Kerajaan Aru yang melarikan diri ke Jawa (Majapahit). Tujuan utama invasi Majaphit selain karena masalah politik perdagang, tetapi secara khusus Gajah Mada ingin balas dendam di Kerajaan Aru. Gajah Mada ada yang mengartikan Gajah Batak. Hal itu karena tidak ada gajah di Jawa (hanya di Sumatra) dan orang Tiongkok menyebut nama Bata[k] dengan aksen Mandarin adalah Mada (Ba-ta=Ma-da).

Setelah Raja Hayam Wuruk meninggal tahun 1389, Kerajaan Majapahit mengalami kemunduran. Sementara Kerajaan Aru Bangkit kembali. Ekspedisi Tiongkok (1401-1433) yang dipimpin oleh Cheng Ho yang beragama Islam juga ke Kerajaan Aru dan membina hubungan dengan Tiongkok. Satu abad kemudian Mendes Pinto berkunjung ke Kerajaan Aru pada tahun 1537. Disebutkannya Kerajaan Aru sedang berselisih dengan Kerajaan Atjeh. Mendes Pinto menyebut Radja Kerajaan Aru beragama Islam, dan militernya diperkuat oleh pedagang-pedagang Moor beragama Islam dari Afrika Utara.

Pasca Perang Salib di Eropa, orang-orang Moor (asal Mauritani, Maroko dan Tnnisia) yang banyak di bagian selatan Spanyol (Cordoba) mulai menyebar hingga menemukan jalan ke Afrika Selatan dan seterusnya ke India Selatan serta ke Hindia Timur di Sumatra bagian utara dan Semenanjung Malaya. Atas dasar banyaknya komunitas Moor, pada tahun 1345 Ibnu Batutah (Orang Moor asal Tunisia) berkunjung ke pantai timur Sumatra bagian utara dan Semenanjung Malaya serta Tiongkok. Jika mengikutu laporan Mendes Pinto bahwa Radja Aru beragama Islam, maka itu sudah terjadi sejak awal kehadiran Orang-orang Moor (sebelum ekspedisi Cheng Ho).

Ada penulis yang menyatakan bahwa Kerajaan Aru adalah Kerajaan Islam pertama di Nusantara (jauh sebelum kerajaan-kerajaan di wilayah Atjeh beragama Islam). Boleh jadi sesuai dengan fakta kehadiran orang-orang Moor di Kerajaan Aru (sebelum kadatangan Ibnu Batutah tahun 1345).

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar: