Minggu, Mei 09, 2021

Sejarah Peradaban Kuno (5): Candi Padang Lawas, Terbesar di Sumatra; Kota-Kota Aru Berkembang Pesat, Saat Sriwijaya Memudar

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Peradaban Kuno di blog ini Klik Disini 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Padang Sidempuan di blog ini Klik Disini

Keberadaan candi pada masa kini dapat dikatakan representasi suatu kota di zaman  kuno, Candi tidak hanya pusat reliji (persebahan) di dalam kota dan sekitar, juga menjadi tempat pemakaman orang-orang terhormat. Candi adalah struktur terbesar dan terkuat di dalam kota, seperti halnya masjid pada kota-kota masa kini. Seperti halnya di Jawa, di Padang Lawas (Tapnuli) sebaran candi-candi banyak. Ini mengindikasikan banyak kota-kota di Padang Lawas. Kota-kota ini adalah kota-kota pelabuhan.

Wilayah Padang Lawas yang sekarang terdiri banyak sungai. Sungai utama adalah sungai Barumun, yang berhulu di pegunungan Bukit Barisan dan beruara ke pantai timur  (pulau) Sumatra. Cabang-cabang sungai ini di wilayah hulu, yang terbilang besar antara lain sungai Batang Pane, sungai Sangkilon dan sungai Sirumambe. Di hilir sungai Barumun bermuara sungai Kanan dan sungai Bila. Sungai-sungai di wilayah hulu sungai Barumun zaman kuno dapat dilayari kapal-kapal seperti sungai Batang Pane hingga Gunung Tua. Garis pantai (laut) pada saai itu tidak sejauh yang sekarang. Sungai Barumun, sungai Kanan dan sungai Bila telah menyatukan pulau-pulau kecil dan teluk-teluk sempit sehubungan dengan terbentuknya daratan (proses sedimentasi jangka panjang). Proses sedimentasi jangka panjang di daerah aliran singai Barumun dapat diperhatikan pada peta satelit wujudnya berbelok-belok. Secara umum, bentuk pulau Sumatra lebih ramping (bentuk pulau Jawa) dan compang-camping (bentuk Sulawesi atau Halmahera) pada zaman dulu jika dibandingkan dengan sekarang. Pembengkakan pulau ini sangat signifikan di pantai timur pulau Sumatra mulau dari Gajo hingga Lampong. Kota Palembang dan Kota Jambi, zaman dulu berada di pantai (muara sungai Musi dan muara sungai Batang Hari.

Lantas bagaimana sejarah percandian Padang Lawas (kota-kota) di hulu sungai Barumun? Seperti disebutkan pada artikel sebelum ini, kota-kota di hulu sungai Barumun bermula di pedalalaman (pergunungan dekat danau-danau) kemudian berkembang ke arah muara-muara sungai (pelabuhan). Hal serupa ini juga dengan kota-kota di Palembang dan Jambi. Lalu bagaimana kota-kota Padang Lawas berkembang? Terjadi pada saat kota-kota Palembang (Sriwijaya) memudar, sementara Jambi mulai berkembang. Bagaimana semua itu terhubung? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Candi Padang Lawas: Jawa dan Jambi

Untuk memahami sebaran percandian di Padang Lawas kita harus mulai dari laporan-laporan Schnitger (1935). Sebab, Schnitger adalah ahli (arkeolog) pertama yang melakukan penggalian situs, merekonstruksi dan melakukan interpretasi. Sejak dilaporkan kali petrama oleh Hung Huhn (1843) tidak ada orang yang kompeten untuk melakukan interpretasi terhadap keberadaan percandian di Padang Lawas. Satu hal yang penting saat kehadiran Schnitger masih banyak elemen-elemen candi (seperti makara, stupa) yang dapat dilihatnya langsung apakah yang ditemukannya sendiri saat penggalian, maupun yang berada di tangan penduduk dan yang direlokasi pemerintah ke kantor Controleur di Goenoeng Toea. Schnitger berpendapat bahwa di Padang Lawas orang-orang kerajaan dimakamkan di dalam stupa setelah kematian mereka, sedangkan makara wujud hewan (banteng, singa, gajah) sebagai wujud jiwa yang diringgalkan.

Jung Huhn, seorang geolog saat menjabat di Afdeeling Portibi (kemudian menjadi Padang Lawas) hanya melakukan pemetaan lokasi-lokasi dimana candi berada. Yang dicatat adalah wujud bangunan candi atau reruntuhan yang terhampar di atas permukaan tanah, apakah di bawah pepohonan atau di tengah padang ilalang maupun yang berada diantara seak-semak dan hutan sekunder.  LC Westenenk, yang menjadi peminat kepurbakalaan pada tahun 1920 dari Palembang mulai mengidentifikasi candi-candi Padang Lawas tetapi belum pada usaha kegiatan eskavasi. Westenenk adalah pejabat yang menemukan situs (prasasti) Sigoentang (Kedukan Bukit) di Palembang.

Penemuan-penemuan di situs percandian Padang Lawas tidak hanya membuat heboh di Jawa, tetapi juga di Eropa, khususnya di Belanda. Para pemerhati situs kuno dan benda-benda kepurbakalan mulai menggugah bahwa ‘kita selama ini hanya terpaku di Jawa, penemuan di Sumatra (Padang Lawas) membuka mata kita untuk lebih memahami zaman kuno di Hindia Timur, jauh sebelu kehadiran orang-orang Eropa’. Schnitger bekerja di tempat yang sepi dengan dedikasi tinggi (yang menjadi bidang keahliannya). Kebetulan usaha Schnitger ini didukung penuh oleh Pemerintah Hindia Belanda (sejak Dekrit tahun 1901 yang membentuk badan resmi ‘Komisi di Hindia Belanda untuk Penelitian Arkeologi di Jawa dan Madura’). Schnitger mengawali proses pemugaran, yang hasilnya dapat kita lihat seperti yang sekarang.

Reruntuhan bata yang bentuknya mengingatkan pada candi Mendoet atau candi Kalasan di Jawa. Hubungan antara Padang Lawas dan Jawa dapat ditafsirkan sebagai berikut: Bahwa pemujaan Bairhawa di Padang Lawas. Sekte ini bermula di Padang Lawas. Namun juga ada pengikutnya di Jawa pada zaman Kertanagara dengan candi Djago yang terkenal. Pada tahun 1275 Pangeran Jawa ini melakukan ekspedisi dengan menyusuri sungai Sumatera dengan bala tentaranya bahkan membawa patung dewa ke sungai Batang Hari di Jambi. Makara di sungai Batanghari ini bertarikh tahun 1064 (khas Hindu-Jawa). Salah satu makara yang ditemukan di Padang Lawas yang bertarikh tahun 1245 dengan sebuah prasasti (yang sebagian dalam bahasa Jawa Kuno dan sebagian dalam aksara khas Pra-India).

Penemuan-penemuan Schnitger telah menjelaskan bahwa, meski ada kesamaan, tetapi situs-situs di Jawa secara umum berbeda dengan di Padang Lawas. Satu hal yang pasti bahwa di Sumatra tidak ada struktur bangunan sebesar Borobudur, struktur candi di Sumatra berukuran sedang, tetapi tetap mengekspresikan tingkat seni yang luar biasa. Schnitger menyipulkan bahwa seni arsitektur Padang Lawas memiliki karakter tersendiri dan tidak menunjukkan keterikaitan langsung dengan Jawa (Tengah).

Prof NJ Krom (1923) menyimpulkan bahwa struktur dan arsitektur bangunan candi Padang Lawas dan Jawa berbeda. Disebutnya bahwa candi Padang Lawas memiliki kemiripan dengan India Selatan (dan Ceylon). Seperti diuraikan pada artikel sebelumnya bahwa gelombang pendatang (pedagang-pedagang India ke Sumatra, Jawa dan Semenanjung berasal dari wilayah yang berbeda). Sedangkan Dr FDK Bosch berpendapat bahwa candi Padang Lawas sebagai pendukung ajaran (sekte) Budha. Candi Muara Takus ada yang dibangun bersamaan dengan satu candi di Padang Lawas pada abad ke-12. Keberadaan candi Muara Takus diduga kuat terkait dengan peradaban awal di pedalaman di dekat danau (Maninjau dan Singkarak), seperti halnya candi Padang Lawas dari pedalaman di dekat danau Siais dan Siabu (dan danau Toba). Ini mengindikasikan bahwa pusat perdagangan di Padang Lawas lebih dulu berkembang jika dibandingkan dengan daerah aliran sungai Kampar.

Kehidupan di percandian Padang Lawas adalah kehidupan dengan rentang waktu yang lama (sejak abad ke-11). Ada juga yang berpendapat bahwa sudah dimulai sejak tahun 900an (lihat De Sumatra post, 02-09-1932).

Jika candi sudah eksis sejak abad ke-10 di Padang Lawas, maka kesinambungan antara candi Simangambat yang diduga sekitar abad ke-9 tidak terlalu jauh. Sangat masuk akal bahwa peradaban awal di candi Simangambat pusatnya telah bergeser ke Padang Lawas. Jika prasasti Kedukan Bukit di Palembang (682 M) dala suatu ekspedisi dari Minana (Binanga) ke Palembang, maka Binanga (di Padang Lawas) adalah pelabuhan dari pusat peradaban yang berada diantara daerah aliran sungai Angkola-Batang Gadis dan daerah aliran sungai Sihapas-Barumun. Jadi dalam hal ini Binanga (tempat dimana candi Sipamutung dan Tandihat)  sudah eksis sebagai pelabuhan pada abad ke -7. Dengan demikian, keberadaan candi di Padang Lawas baru mulai abad ke-10 atau abad ke-11, tetapi keberadaan Binanga sebagai pelabuhan diduga jauh sebelumnya pada abad ke-7.

Seperti disebut di atas, pada tahun 1275 Pangeran Jawa melakukan ekspedisi ke sungai Batang Hari di Jambi. Pangeran Jawa termasuk penganut sekte (Bhairawa) yang sama dengan di Padang Lawas. Schnitger mencatat bahwa Pangeran Jawa juga memberikan patung kepada pangeran sebelum Adityawarman yang ditemukan di sungai Dareh (Padang Betjo) yang dilaporkan oleh Westenenk. Schnitger juga menyatakan Adityawarman (1375) juga penganut sekte yang sama dengan Pangeran Jawa yang merujuk pada sekte di Padang Lawas.

Sekte Bhairawa mengindikasikan pemujaan, perayaan dan pengorbanan yang besar (manusia). Jika pendukung sekte ini ada di Jawa (Kertanegara) dan di Jambi-Sumatra Barat lantas mengapa menghilang jejaknya. Di Jawa pendukung sekte ini tidak menyerluruh, sementara di wilayah Melayu (Jambi dan Sumatra Barat) pengaruh Islam telah lama menghilangkan itu, sedangkan di wilayah Padang Lawas (Tanah Batak) masih tersisa dalam agama dan kepercayaan masyarakat ketika masih menemukan berita-berita tentang persembahan atau cara dimana sang terhukum bagian-bagian badan tertu dimakan. Sekte Bhairawa di zaman kuno praktek pengorbanan dan meminum darah dan bagian tubuh tertentu dimakan (persembahan dengan perjamuan yang sangat mengerikan). Candi-candi Padang Lawas umumnya menggambarkan praktek yang mengerikan itu. Penulis-penulis Belanda menyebut sekte Bhairawa ini merupakan pemujaan terhadap agama tertua budaya Batak yang ditransformasikan dalam kepercayaan animisme (sisa-sisa sekte Bhairawa dari zaman kuno) sebelum masuknya agama Islam (dan Kristen). Penelitian arkeologi Schnitger ini diketahui telah menjelaskan bentuk tertua dari agama (kepercayaan) orang Batak. Tarian topeng di Tanah Batak yang bertujuan untuk memuliakan perbuatan para leluhur juga mengarah ke sekte zaman kuno ini. Sekte Bhairawa pengikutnya diantara kelas-kelas tertinggi dan dilindungi serta disukai selama berabad-abad oleh raja-raja Jawa (Kertangera) dan Sumatra (Adityawarman). Salah satu peninggalan yang paling mengesankan dari ini adalah patung setan kolosal di wilayah gulu Batang Hari, pantai barat Sumatera dengan pisau dan tengkorak di tangan yang dibungkus dengan kain bersulam tengkorak dan berdiri di atas seorang lelaki tua. Patung terbesar di Sumatera ini adalah potret pangeran Minangkabau, Adityawarman yang pernah mendirikan candi di Jawa Timur pada tahun 1343 dimana ia meletakkan salinan kecil dari patung raksasanya. Catatan: Padang Rotjo pada masa kini dikenal sebagai Prasasti Padang Roco, sebuah prasasti yang ditemukan pada tahun 1911 di hulu sungai Batanghari, kompleks percandian Padangroco, nagari Siguntur, kecamatan Sitiung, kabupaten Dharmasraya, Sumatra Barat. Prasasti ini merupakan sebuah lapik (alas) arca Amoghapāśa yang pada empat sisinya terdapat manuskrip (NBG 1911: 129, 20e). Prasasti ini dipahatkan 4 baris tulisan dengan aksara Jawa Kuno, dan memakai dua bahasa (Melayu Kuno dan Sanskerta) (Krom 1912). Prasasti ini kini disimpan di Museum Nasional Indonesia di Jakarta dengan nomor inventaris D.198-6468 (bagian alas atau prasasti) dan D.198-6469 (bagian arca).

Schnitger yang juga melakukan penyelidikan di candi tertua di Simangambat tidak ditemukan praktek sekte Bhairawa seperti di Padang Lawas (lihat Deli courant, 13-07-1935). Boleh jadi bahwa, meski sama-sama Boedha, pendukung candi Simangambat telah berbeda dengan pendukung candi Padang Lawas. Namun demikian, pengikut sekte Bhairawa juga terdapat di Jawa dan Batang Hari.

Pada masa ini penganut sekte zaman kuno tersebut di Jawa tersebut dikenal sebagai Sri Maharaja Kertanagara meninggal tahun 1292. Kertanagara adalah raja terakhir yang memerintah Kerajaan Singhasari. Masa pemerintahan Kertanagara dikenal sebagai masa kejayaan Singhasari. Ia sendiri dipandang sebagai penguasa Jawa pertama yang berambisi menyatukan wilayah Nusantara. Menantunya Raden Wijaya, kemudian mendirikan kerajaan Majapahit sekitar tahun 1293 sebagai penerus dinasti Singhasari. Seperti disebut di atas, Kertanegara sejatinya adalah penganut agama Batak.nggu deskripsi lengkapnya

Tunggu deskripsi lengkapnya

Candi Padang Lawas: Rokan dan Muara Takus

Secara keseluruhan kawasan percandian Padang Lawas (yang jumlahnya berada, sekurang-kurangnya 26 area reruntuhan atau kota) yang luasnya sekitar 1.500 Km2. Kawasan seluas ini dapat dikatakan kawasan terluas tidak hanya di Sumatra bahkan jika dibandingkan di Jawa. Kawasan percandian Padang Lawas pada masa kini dapat dikatakan sebagai metropolitan zaman kuno. Percandian Padang Lawas, sebagai kawasan metropolitan haruslah bahwa kawasan itu ditopang oleh struktur pemerintahan yang besar dan kuat.

Sebagai pusat perkotaan zaman kuno dengan pelabuhan-pelabuhan yang banyak dan memiliki akses yang baik ke lautan (selat Malaka), secara ekonomi-perdagangan percandian Padang Lawas didukung wilayah-wilayah sumberdaya yang kaya di wilayah Mandailing, Angkola dan Toba serta wilayah Rao (Pasaman). Wilayah-wilayah ini kaya dengan hasil pertambangan (emas), hasil hutan (kamper, kemenyan), dan hasil perburuan (kulit harimau, gading dan berbagai fauna lainnya). Tentu saja didukung dengan sumber pangan dengan sawah-sawah yang luas di Angkola dan Mandailing dan secara khusus daging dan susu di padang penggembalaan Padang Bolak. Kawasan metropolitan zaman kuno ini menunjukkan dirinya sendiri sebagai kerajaan yang kuat dan makmur.

Saat melakukan penggalian di Padang Lawas, Schnitger mendapat laporan ditemukan candi di Rokan (Manggis) dan setengah hari lebih jauh ke selatan, di Aek Loeboek juga terdapat sebuah reruntuhan candi (lihat Deli courant, 17-07-1935). Disebutkan dua patung setan setinggi 1.5 meter dengan ular di tangan dan ular di kaki diantara Siboehoean dan Pasir Pengaraian. Patung ini disebutkan mirip dengan yang ada di sungai Langsat, hulu sungai Batang Hari (Sungai Dareh). Namun tidak disebutkan tahun patung ini.

Schnitger menyimpulkan bahwa ada jalan ke Muara Takus melalui Rokan, suatu hipotesis alternatif yang selama ini jalan dari Padang Lawas ke Muara Takus (hulu sungai Kampar) melalui Padang Sidempuan, Kotanopan dan Rao. Schnitger mencatat di Muara Takus, penduduk memiliki legenda yang menghubungkan kehancuran candi-candi Muara Takus oleh orang Batak (baca: Padang Lawas). Catatan: FM Schnitger saat itu adalah kurator museum perbakala di Palembang.

Schnitger mematahkan pendapat umum selama ini bahwa pembawa agama Budha di Sumatra hanya Sriwijaya, tetapi tidak demikian. Faktanya bahwa pada tahun 1030, seorang penakluk India Selatan (Chola) telah menaklukkan Kedah, Palembang dan Panei (Padang Lawas) dan oleh karena itu ketiganya adalah pusat seni dan budaya Budha yang berkembang pesat dan koeksistensi di ketiga kerajaan itu.

Nama Bhairawa diduga menjadi asal-usul terminologi biaro di Padang Lawas yang kemudian ‘bhairawa’ menjadi kosa kata ‘vihara’ dalam bahasa Sanskerta, Dalam bahasa Indonesia vihara menjadi wihara. Penggunaan kata biaro selain di Padang Lawas juga di wilayah Agam. Tentu saja terminologi vihara atau wihara harus dikaitkan dengan kelenteng (Konghuchu, Tionghoa).

Schnitger berpendapat bahwa kemunduran kekaisaran Palembang pada abad ke-13 sementara berkembang pesat di Panei, saat inilah Padang Lawas mendapat pendukung gagasan religius (sekte) Bhairawa ke Jawa dan mempromosikan keberadaan sekte setan yang hebat. Seperti disebut di atas pendukung sekte ini di Jawa dalah Kertanegara (1275) dan pendahulu Adityawarman di Sumatra (1375).

Schnitger juga melaporkan telah melakukan penggalian lima situs besar Palembang (yang lebih besar empat kali dari reruntuhan Muara Takus) dan menemukan patung Buddha yang sedikit lebih kecil di situs Palembang, yang kepalanya saya temukan lagi pada bulan April, dan yang direkonstruksi dan didirikan beberapa minggu kemudian di taman museum Palembaang. Patung iblis Batang Hari sama dengan Buddha Palembang dalam skema besar dan pengerjaan yang ahli yang mana keduanya adalah dewa yang sangat mengesankan. Tapi sementara yang pertama (Batang Hari) bersaksi tentang agama yang agak primitif sedangkan yang lain (Palembang) melambangkan keagungan yang tenang yang paling indah dan agung yang hidup dalam diri seorang laki-laki. Schnitger mengatakan bahwa bangunan situs Palembang tersebut kemungkinan besar dibangun pada abad ke-11 atau ke-12, yaitu pada saat mekarnya budaya Padang Lawas. Foto Padang Lawas (1935).

Seperti disebut di atas. Era Kedah, Palembang dan Padang Lawas sama-sama pernah ditaklukkan oleh Chola (1030), seperti pada artikel sebelumnya bahwa terdapat relasi antara Padang Lawas (Binanga) dengan Sriwijaya (Pelembang). Pada prasasti Kedukan Bukit (682) Radja Aru yang memperkuat Radja Sriwijaya. Namun dalam perkembangnya, (kerajaan) Sriwijaya mengalami kemunduran, tetapi (kerajaan) Aru (Padang Lawas justru semakin berkembang. Jika relasi kerajaan Sriwijaya dan kerajaan Aru dimulai dari ditemukannya prasasti Kedukan Bukit di Palembangm 682. Bagaimana dengan relasi kerajaan Aru dengan kerajaan Kertanegara? Narasi sejarah Kerajaan Aru akan dibuat artikel sendiri.

Prasasti Kertanegara bertarikh 1286. Prasasti ini terdapat pada arca Amoghapāśa, sebuah hadiah Radja Keṛtanagara dari kerajaan Singhasari di Jawa kepada Raja Kerajaan (Melayu) Dharmasraya di hulu sungai Jambi. Prasasti ini menceritakan bahwa pada tahun 1286 raja Kertanegara menghadiahkan arca yang dibawa dari Jawa ke Sumatra untuk ditegakkan di Dharmasraya. Dengan hadiah ini diharapkan agar rakyat Sumatra di hulu sungai Batanghari bergirang hati dan bersuka cita, terutama rajanya Srī Mahārāja Srīmat Tribhuwanarāja Mauliwarmmadewa. Isi prasasti tersebut adalah sebagaimana yang diterjemahkan oleh Prof. Slamet Muljana: ‘Bahagia! Pada tahun Śaka 1208, bulan Bādrawāda, hari pertama bulan naik, hari Māwulu wāge, hari Kamis, Wuku Madaṇkungan, letak raja bintang di baratdaya ...tatkalai itulah arca paduka Amoghapāśa lokeśwara dengan empat belas pengikut serta tujuh ratna permata dibawa dari Bhūmi Jāwa ke Swarnnabhūmi, supaya ditegakkan di Dharmmāśraya,sebagai hadiah Śrī Wiśwarūpa Kumāra. Untuk tujuan tersebut pāduka Śrī Mahārājādhirāja Kṛtanagara Wikrama Dharmmottunggadewa memerintahkan rakryān mahā-mantri Dyah Adwayabrahma, rakryān śirīkan Dyah Sugatabrahma dan samagat payānan hań Dīpankaradāsa, rakryān damun Pu Wīra untuk menghantarkan pāduka Amoghapāśa. Semoga hadiah itu membuat gembira segenap rakyat di Bhūmi Mālayu, termasuk brāhmaṇa, ksatrya, waiśa, sūdra dan terutama pusat segenap para āryya, Śrī Mahārāja Śrīmat Tribhuwanarāja Mauliwarmmadewa’.

Hubungan kerajaan Aru dan Sri Maharaja Kertanegara dapat dihubungkan dengan eksistensi kerajaan Singhasari (di Malang). Kertanegara adalah salah satu pengikut fanatik agama Batak (sekte Bhairawa) yang sudah sejak lama berkembang di Padang Lawas. Kertanegara adalah salah satu radja kerajaan Singhasari yang naik tahta pada tahun 1268. Seperrti disebut di atas, Kertanegara mengirim satu arca ke hulu sungai Batanghari pada tahun 1275. Kertanegara meninggal tahun 1292. Kertanegara adalah raja terakhir yang memerintah kerajaan Singhasari. Masa pemerintahan Kertanagara diketahui sebagai masa kejayaan Singhasari. Saat itu Kertanegara dipandang sebagai penguasa Jawa pertama yang berambisi menyatukan wilayah Nusantara. Menantunya Raden Wijaya, kemudian mendirikan kerajaan Majapahit sekitar tahun 1293 sebagai penerus dinasti Singhasari.

Sebelum berdiri Kerajaan Singhasari, sudah eksis Kerajaan Kadiri (di Kediri). Raja Kadiri yang terakhir adalah Sri Maharaja Kertajaya yang memerintah sekitar tahun 1194-1222. Pada akhir pemerintahannya, Radja Kertajaya dikalahkan oleh Ken Arok dari Tumapel (Singhasari). Kekalahan Kertajaya ini menandai berakhirnya masa Kerajaan Kadiri. Pada masa kerajaan Kadiri ini sudah sejak lama eksis kerajaan (Aru) di Padang Lawas. Sebagai kerajaan lama yang mengembangkan agama sekte Bhairawa di Padang Lawas yang menyebabkan kemudian radja Singhasari (Kertanegara) menjadi pengikut fanatik sekte Bhairawa (gabungan ajaran Hindoe dan Boedha).

Salah satu putra terbaik (afdeeling) Padang Sidempoean Sanusi Pane sangat mendalami kisah-kisah kerajaan di Jawa. Sanusi Pane yang pernah belajar di India (1928-1930), menambah kekayaan intelektualnya dalam memahami sejarah zaman kuno. Tentu saja Sanusi Pane mengetahui sejarah zaman kuno di kampong halamannya di Padang Sidempoean (candi Simangambat dan percandian Padang Lawas).

Saat di India, Sanusi Pane menulis suatu sastra (drama( dengan judul Airlangga (berbahasa Belanda, 1928) dan Eenzame Garoedavlucht (Penerbangan Garu yang Kesepian) tahun 1929. Sepulang dari India, Sanusi Pane menulis lagi naskah drama dengan judul Kertajaya (1932) dan Sandhyakala Ning Majapahit (1933). Sanusi Pane sebagai seorang guru dan sastrawan juga menulis buku sejarah tentang Indonesia seperti Sejarah Indonesia (1942) dan Bunga Rampai dari Hikayat Lama (1946) plus Indonesia Sepanjang Masa (1952). Sanusi Pane juga melakukan penerjemahan teks Kakawin Arjuna Wiwaha (bahasa Jawa Kuno) karya Mpu Kanwa yang diterbitkan pada  tahun1940.

Lantas mengapa Sanusi Pane banyak memperlajari sejarah Jawa pada zaman kuno seperti naskah-naskag yang ditulisnya baik bentuk drama, buku sejarah dan buku terjemahan? Sudah barang tentu Sanusi Pane ingin mempelajari relasi sejarah zaman kuno kampong halamannya dengan sejarah zaman kuno di Jawa. Bukankah Sanusi Pane adalah pewaris kerajaan kuno (Aru) di Padang Lawas (di sungai Barumun, sungai Pane dan sungai Sirumambe)? Hal itu pula mengapa saya harus mempelajari sejarah Jawa sebelum berani menulis sejarah peradaban zaman kuno di afdeeling Padang Sidempoean (Angkola en Mandailing).

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar: