Senin, Mei 17, 2021

Sejarah Peradaban Kuno (13): Kerajaan Tua MAULI dan Pagaroejoeng; Relasi Kerajaan Aru Padang Lawas dan Mauli Dharmasraya

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Peradaban Kuno di blog ini Klik Disini 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Padang Sidempuan di blog ini Klik Disini

Kerajaan Mauli pada masa ini, tempo doeloe disebut sebagai kerajaan yang berada di hulu sungai Batanghari. Seperti halnya Kerajaan Aru (di Padang Lawas), kerajaan di hulu sungai Batanghari ini sudah eksis pada era (kerajaan) Singhasari. Berdasarkan penemuan candi dan prasasati, menurut Schnitger (1936) tiga kerajaan ini sama-sama pendukung fanatik agama Boedha (sekre Bhairawa yang berpusat di Padang Lawas)---sekte yang berbeda dari (agama) Boedha di Sriwijaya (Palembang). Pada masa ini kerajaan Boedha sekte Bhairawa di hulu sungai Batanghari ini masuk wilayah (kabupaten) Dharmasraya (provinsi Sumatra Barat).

Nama Mauli pada masa ini hanya ditemukan di India dan Padang Lawas. Tidak diketahui arti kata Mauli tetapi di wilayah Padang Lawas kata mauliate artinya terimakasih. Pada zaman era Hindoe-Boedha kerajaan Poni diduga adalah Kerajaan Pane dan Kerajaaan Poli adalah Kerajaan Pasai (Pidi). Di sebelah utara Kerajaan Poli terdapat Kerajaan Lamuri (cikal bakal Kerajaan Atjeh). Sementara itu, terminologi pagar atau pager sangat luas, ditemukan di di Jawa dan di Sumatra. Pagar atau pager adalah terminologin yang serupa dengan masa kini (pagar). Di wilayah Padang Lawas terminologi pagar dengan menambah akhiran an menjadi pagaran yang menjadi nama generik sebagai nama-nama kota, seperti Pagaran Ri, Pagaran Dolok dan Pagaran Oetan (Pargarutan). Di wilayah Sumatera Selatan terminologi pagar ditemukan sebagai nama tempat seperti nama kota Pagaralam. Idem dito di wilayah Sumatera Tengah nama kota terkenal Pagar Ojoeng (diduga awalnya Pagar Oedjoeng) yang kemudian dikenal menjadi nama kerajaan (di Minangkabau)---Kerajaan Pagaroejoeng.

Lantas bagaimana sejarah Kerajaan Mauli dan sejarah Pagaroejoeng. Dalam artikel ini lebih difokuskan pada  relasi antara Kerajaan Aru (di Padang Lawas) dan Kerajaan Mauli (di Dharmasraya). Kerajaan Mauli diduga kuat adalah kerajaan pendahulu (predecessor) Kerajaan Pagaroejoeng. Ketika Kerajaan Pagaroejoeng masih eksis, Kerajaan Aru sudah memudar (terbagi menjadi kerajaan-kerajaan kecil). Kerajaan-kerajaan kecil ini dalam bentuk Koeria masih eksis ketika Kerajaan Pagaroejong dilikuidasi pada awal era Pemerintah Hindia Belanda (kerajaan-kerajaan kecil Koeria baru dilikuidasi Pemerintah RI pada awal pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda (1950). Lalu bagaimana relasi antara Kerajaan Aru (di Padang Lawas) dan Kerajaan Mauli (di Dharmasraya)? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Kerajaan Aru: Agama Boedha Sekte Bhairawa

Sangat naif menganggap pembagian wilayah (administrasi) masa kini sama dengan wilayah (yurisdiksi kerajaan) masa lampau dan zaman kuno. Wilayah kerajaan zaman kuno, meski tidak ada batas-batas yang jelas tetapi jauh lebih luas dari yang bayangkan pada masa ini. Wilayah Kerajaan Aru tentu saja tidak seluas Kabupaten Padang Lawas yang sekarang, tetapi Kerajaan Aru meliputi wilayah yang sangat luas, hingga ke Atjeh di utara dan hingga ke selatan di wilayah Riau dan Sumatra Barat yang sekarang (bahkan Jambi). Ibarat membaca sebuah buku tebal, halaman depan (awal) dan halaman belakang (akhir) tidak menggambarkan isi keseluruhan buku, tetapi harus dibaca lembar per lembar. Itulah sejarah.

Pendapat wilayah Kerajaan Aru ini kali pertama muncul dari Schnitger (1936) seorang kurator benda kepurbakalaan di Palembang yang telah melakukan ekskavasi di Padang Lawas dan Rokan (candi Manggis) serta Bangkinang (candi Muara Takus). Schnitger sangat yakin ada jalur lalu lintas (perdagangan) antara (Kerajaan Aru) Padang Lawas dengan wilayah Rokan dan wilayah Bangkinang. Candi Manggis, candi Muara Takus dan candi Padang Roco dibangun pada era yang sama.

Perdagangan adalah faktor penting dalam terbentuknya kota-kota pelabuhan perdagangan dan faktor penting semakin meluasnya pengaruh kerajaan. Kerajaan Aru yang diduga bermula di sekitar danau Siabu (candi Simangambat) bergeser ke pantai timur di sungai Baroemoen dengan kota-kota pelabuhannya Binanga dan Pane. Pengaruh Kerajaan Aru ini terus meluas hingga ke wilayah Riau yang sekarang di Rokan dan Bangkinang. Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, anda tidak akan memahami sejarah satu hal (kerajaan Aru, Padang Lawas, Tapanuli) tanpa memahami sejarah hal lain (kerajaan Muara Takus, Bangkinang, Riau) atau sebaliknya. Oleh karena itu dalam analisis sejarah seharusnya pendekatan dua sisi (dan lebih baik lagi semua sisi).

Candi Muara Takus di Bangkinang (diduga nama yang merujuk pada nama Bangka Inang, untuk membedakan dengan Bangko di Jambi dan Bangalis di Riau). Seperti disebut di atas, candi Simangambat lebih awal dibangun dari candi-candi di Padang Lawas. Candi Manggis (di hulu sungai Rokan), candi Muara Takus (di hulu sungai Kampar) dan candi Padang Roco (di hulu sungai Batanghari) dibangun sdetelah Kerajaan Aru berkembang.

Schnitger berpendapat bahwa bahwa ketika terjadi invasi Cola pada abad ke-11, ada tiga kerajaan uang ditaklukkan yakni Sriwijaja (Palembang), Pane dan Kedah (Semenjanjung Malaya). Pasca invasi ini muncul pusat peradaban di hulu sungai Kampar sebagai suksesi Kedah (candi Muara Takus) dan pusat peradaban di hulu sungai Batanghari sebagai suksesi Palembang.

Menurut berbagao ahli (seperti yang terbaca pada tulisan-tulisan sekarang), latar belakang invasi Cola ini karena arus perdagangan di selat Malaka dan pantai timur pulau Sumatra bergeser yang sebelumnya ke barat (India) kemudian ke timur (Tiongkok). Hal yang sama juga dengan di Jawa orientasi perdagangannya bergeser ke timur (Tiongkok). Invasi militer Cola ini hanya sampai Palembang (Sriwijaya).

Selama pendudukan Cola ini, seperti disebut di atas, diduga kuat muncul pusat kerajaan di hulu sungai Kampar dan hulu sungai Batanghari. Kerajaan Aru di bawah supremasi Kerajaan Cola menjadi pusat pendudukan Cola yang tetap mengontrol perdagangan di selat dan pantai timur Sumatra di wilayah hulu sungai Kampar dan hulu sungai Batanghari.

Pasca pendudukan Cola, Kerajaan Aru bangkit kembali. Demikian juga Kerajaan Srieijaya (Palembang) bangkit kembali. Pada saat kembangkitan kembali inilah dibangun candi-candi baru di daerah aliran sungai Musi. Candi-candi di hulu sungai Kmapar dan hulu sungai Batanghari dibangun.

Saat Kerajaan Aru menemukan kembali puncaknya, terdapat hubungan yang intens, apakah hubungan politik atau perdagangan, dengan Jawa (Kerajaan Singhasari). Kerajaan Aru yang telah memiliki agama (sekte baru) Bhairawa, Raja Kertanegara di Singhasari menjadi salah satu pendukung fanatik agama Boedha sekte Bahirawa. Hal itulah mengapa Schnitger berpendapat ada hubungan yang erat antara Kerajaan Aru Padang Lawas dengan Kerajaan Singhasari Malang. Kerajaan yang berpusat di hulu sungai Batanghari (yang disebut Kerajaan Mauli) juga pendukung agama Boedha sekte Bhairawa.

Pada tahun 1275 Radja Kertanegara dari Kerajaan Singhasari memberikan hadi patung kepada Raja Mauli, suatu wujud aliansi dengan kerajaan di Sumatra menghadapi ancamanTiongkok (Mongol). Pada patung ini terdapat prasasti yang mengindikasikan hubungan baik antara Kerajaan Singhasari dengan Kerajaan Mauli. Banyak penulis keliru menafasirkan ini sebagai penaklukan. Yang dapat dikatakan penaklukkan adalah ketika menyerang Kerajaan Sriwijaya yang mulai bangkit kembali, diserang kerajaan dari Jawa (Singhasari). Hal itulah mengapa kemudian patung-patung yang ditemukan di wilayah hulu antara sungai Batanghari dan sungai Musi berkarakter agama Boedha sekte Bhairawa seperti di Sarulangun dan Bangko.

Kerajaan Aru Padang Lawas semakin bersinar, seiring dengan terjadinya kemunduran di Kerajaan Sriwijaya Palembang. Salah satu dari dua kerajaan kuno di Sumatra ini tamat. Lantas bagaimana dengan Kerajaan Mauli? Yang jelas menurut Schnitger Kerajaan Aru diduga telah menyerang kerajaan di Muara Takus.

Kerajaan Singhasari atau Tumapel adalah sebuah kerajaan zaman kuno yang kini masuk wilayah Malang. Kerajaan Singhasari diduga terbentuk tahun 1222.  Kejayaan kerajaan Singhasari ketika Radja Kertanegara bertahta (1272-1292).  Pada tahun 1275 Radja Kertanagara yang beragama Boedha Batak (sekte Bhairawa) mengirim patung ke kerajaan Mauli di di hulu sungai Batanghari. Tampaknya Kertanagara melakukan yang sama di Bali, Pahang, Gurun (Lombok) dan Bakulapura. Kejayaan ini menjadi kehancuran Kerajaan Singhasari yang mana terbentuk Kerajaan Kediri di hulu dan Kerajaan Majapahit di hilir (1293). Kolaborasi Mongol dan Kerajaan Majapahit menjadi awal kejayaan Kerajaan Majapahit (kini masuk wilayah Mojokerto)

Kerajaan-kerajaan Boedha (sekte Bhairawa) di Sumatra sudah sangat maju ketika Kerajaan Majapahit mulai berdiri. Namun hanya satu kerajaan yang terbesar (setelah kemunduran Kerajaan Sriwijaya) yakni Kerajaan Aru yang berpusat di Padang Lawas yang wilayahnya mencapai Atjeh dan Riau dan hilir sungai Batanghari. Saat ini tampaknya kerajaan Mauli mencakup wilayah Sriwijaya di hulu sungai Musi. Jadi hanya tinggal dua kerajaan besar di Sumatra (Mauli dan Aru).

Pada fase inilah kelak terdapat pelabuhan-pelabuhan penting di bagian utara pulau Sumatra pada era (kerajaan Majapahit) yakni Mandailing, Pane dan Haru. Tiga pelabuhan di pantai timur Sumatra (bagian utara) menjadi wilayah (kerajaan Aru). Pelabuhan Mandailing diduga kuat berada di muara sungai Rokan, pelabuhan Pane diduga kuat di muara sungai Baroemen (Padang Lawas) dan sungai Bah Bolon (Simalungun) serta pelabuhan Haru di muara sungai Wampu (Langkat).

Kerajaan-kerajaan di Sumatra yang beragama Boedha (sekte Bhairawa) berbeda dengan sekte yang ada di Jawa pada era Majapahit. Salah satu patih terkenal di Kerajaan Majapahit adalah Gajah Mada (1336). Ada yang berpendapat bahwa Patih Gajah Mada ini berasal dari Sumatra (Kerajaan Aru). Hal itu karena di Jawa tidak ada (lagi) gajah dan nama Mada adalah sebutan orang Tiongkok untuk nama Bata(k).

Hubungan Kerajaan Majapahit terbentuk dengan Kerajaan Mauli semasa Raja Adityawarman (1347). Adityawarman mendapat gelar Maharajadiraja Srīmat Srī Udayādityawarma Pratāpaparākrama Rājendra Maulimāli Warmadewa, Nama gelar Adityawarman ini merujuk pada nama Rajendra (Cola) dan (kerajaan) Mauli.

Kerajaan Majapahit mencapai puncaknya pada masa Radja Hayam Wuruk (sejak 1350). Satu-satunya kerajaan yang setara adalah Kerajaan Aru Padang Lawas.

Apa yang bisa dibaca pada masa ini, berdasarkan Nagarakretagama (1365) disebut seolah-olah daerah kekuasaan Majapahit meliputi Sumatra, semenanjung Malaya, Kalimantan, Sulawesi, kepulauan Nusa Tenggara, Maluku, Papua, Tumasik (Singapura) dan sebagian kepulauan Filipina, Namun ada juga yang menayatakan bahwa wilayah-wilayah yang dimaksud dalah interaksi perdagangan Kerajaan Majapahit yang juga terhubung Campa, Kamboja, Siam, Birma bagian selatan, dan Vietnam dan bahkan Tiongkok. Pada fase ini mulai terjadi hubungan Kerajaan Majapahit di timur Jawa dengan Kerajaan Soenda di barat Jawa, tetapi menurut cerita harus berakhir dengan Perang Bubat. Gajah Mada disebut meninggal tahun 1364.

Tidak begitu jelas apakah Kerajaan Majapahit telah menaklukkan seluruh Sumatra. Faktanya dalam Negarakertagama hanya menyebut Mandailing, Pane dan Pane serta Haru. Nama-nama ini hanya mengindikasikan nama-nama pelabuhan di pantai timur. Pusat kerajaan Aru, Batak Kingdom sendiri berada di pedalaman.

Ada yang menyebut bahwa pada tahun 1377 Kerajaan Majapahit melancarkan serangan untuk menumpas pemberontakan di Palembang. Hal itu masuk akal, karena sudah menjadi bagian dari wilayah Kerajaan Mauli. Penumpasan itu dilakukan atas dasar hubungan yang erat antara Kerajaan Majapahit dengan Kerajaan Mauli pada era Adityawarman. Dalam hal ini, Kerajaan Mauli dapat diakatakan sudah menjadi kerajaan Melayu tetapi tidak demikian dengan Kerajaan Aru.

Lantas apakah Kerajaan Aru Batak Kingdom berseberangan dengan Kerajaan Mauli Melayu Kingdom? Tidak ada bukti-bukti yang mengarah ke situ (sebagaimana dilihat nanti).

Sesudah mencapai puncaknya pada abad ke-14, disebutkan kekuasaan Majapahit berangsur-angsur melemah, lebih-lebih setelah meninggalnya Hayam Wuruk pada tahun 1389. Ada juga yang berpendapat bahwa setelah Majapahit mengalami kemunduran kerajaan-kerajaan di bagian utara Sumatra dan Semenanjung Malaya memerdekakan diri, dimana semenanjung Malaya menjadi daerah kekuasaan Kerajaan Ayutthaya hingga nantinya muncul Kerajaan Malaka yang didukung oleh Dinasti Ming.

Pada era dinasti Ming di Tiongkok dengan laksamana terkenal Cheng Ho beragama Islam melakukan ekspedisi di Sumatra dan Jawa antara kurun waktu 1405 sampai 1433. Sejak tahun 1430 ekspedisi Cheng Ho ini telah menciptakan komunitas muslim China dan Arab di beberapa kota pelabuhan pantai utara Jawa, seperti di Semarang, Demak, Tuban, dan Ampel; maka Islam pun mulai memiliki pijakan di pantai utara Jawa.

Sejak Perang Salib di Eropa, orang-orang Moor beragama Isla dari Afrika Utara telah menyebar jauh hingga Sumatra dan Semenanjung. Sehubungan dengan banyaknya orang-orang Moor di Sumatra dan Semenanjung, maka hal itulah diduga mengapa Ibnu Batutah, orang Moor asal Tunisia pada tahun 1345 melakukan pelayaran ke Sumatra dan Semenanjung hingga Tiongkok. Kunjungan Ibnu Batutah ini terjadi pada tahun-tahun dimana Adityawarman naik tahta di Kerajaan Mauli. Sementara di pelabuhan-pelabuhan Kerajaan Aru di bagian utara sudah banyak orang Moor. Komunitas orang Moor berpusat di Muar, di sebelah tenggara kota Malaya (India). Dengan kehadiran orang-orang Moor ini di bagian utara selat Malaka tentulah tidak mudah Kerajaan Majapahit melakukan penetrasi (perdagangan) apalagi untuk melakukan serangan. Jadi apa yang dicatat dalam Negarakertagama lebih pada hubungan perdagangan bukan dalam konteks penaklukkan. Orang-orang Moor yang kemudian memperkaya kota pelabuhan Malaya (India) dengan pengaruh Islam yang kuat (terbentuknya Kerajaan Malaka). Sementara di seberang lautan di pantai timur pulau Sumatra masih eksis Kerajaan Aru.

Sejak ekspedisi Cheng Ho, Kerajaan Aru mulai terhubung dengan Tiongkok. Dalam posisi Kerajaan Aru diperkaya oleh orang-orang Moor dan hubungan yang intens dengan Tiongkok, Kerajaan Aru semakin perkasa. Sementara itu, sebelum Kerajaan Majapahit memudar (sejak 1389) tidak ada indikasi bahwa kerajaan lain telah mengalahkan Kerajaan Aru. Justru sebaliknya, Kerajaan Aru pernah menyerang Kerajaan Malaka (lihat Mendes Pinto, 1537).

Ada penulis yang menyebut bahwa kekuasaan Majapahit di pulau Sumatra hanya Indragiri, Jambi dan Palembang (berdasarkan catatan Tiongkok: Ma Huan penulis Cheng Ho). Hal itu mungkin ada benarnya karena Kerajaan Mauli memiliki hubungan era dengan Kerajaan Majapahit. Namun sebaliknya terdapat hubungan yang erat antara Kerajaan Aru dengan Tiongkok (Ma Huan). Sekali lagi tidak ada indikasi bahwa Kerajaan Majapahit (dapat) menaklukkan Kerajaan Aru.

Kerajaan-kerajaan di Sumatra eks bawahan Kerajaan Majapahit disebut telah diambilalih oleh Kerajaan Malaka seperti Indragiri (sungai Kampar). Dengan semakin menurunnya Kerajaan Majapahit mulai terbentuk kerajaan-kerajaan Islam di pantai utara Jawa (yang pertama Kerajaan Demak; Raden Patah). Kerajaan Majapahit sempat meminta bantuan kepada Portugis di Malaka tetapi akhirnya Kerajaan Demak yang unggul. Kerajaan Majapahit tamat pada tahun 1527. Saat inilah terjadi migrasi Hindoe ke Bali.

Pada tahun 1511 Kerajaan Malaka ditaklukkan oleh pelaut-pelaut Portugis. Pada saat ini sudah terbentuk Kerajaan Atjeh di ujung pulau Sumatra. Dalam tulisan lain disebut bahwa Kerajaan Demak telah mengambilalih Jambi dan Palembang (dari kekuasaan Majapahit). Kerajaan Demak juga disebut telah menyerang Portugis di Malaka. Kerajaan Demak telah dominan di Jawa, musuh yang tersisa, kebetulan Hindoe adalah Blambangan dan Soenda.

Lantas kapan Kerajaan Malaka mengambilalih Kerajaan Indragiri? Pertanyaan yang sama juga adalah sejak kapan Kerajaan Demak mengambilalih Kerajaan Jambi dan Kerajaan Palembang? Menurut Mendes Pinto yang pernah berkunjung ke Kerajaan Aru (1537) mengindikasikan ada hubungan yang erat antara Kerajaan Minangkabau di satu sisi dan di sisi lain Kerajaan Aru memiliki hubungan yang kuat dengan Kerajaan Indragiri dan Kerajaan Djambi.

Mendes Pinto mencatat bahwa Kerajaan Aru pernah menyerang (kerajaan) Malaka. Itu jelas sebelum tahun 1511. Namun kapan tepatnya tidak disebutkan. Jika laporan Mendes Pinto ini dijadikan patokan maka Kerajaan Aru diduga telah menjalin hubungan dengan Kerajaan Indragiri dan Kerajaan Jambi. Jalinan hubungan ini diduga dalam konteks Kerajaan Aru menyerang Kerajaan Malaka. Bagaimana dengan Palembang? Dalam laporan Mendes Pinto tidak ada indikasi hubungan Kerajaan Aru dengan Kerajaan Palembang. Namun besar kemungkinan wilayah Palembang berada di bawah kekuasaan Kerajaan Minangkabau.

Seperti disebut di atas, pada tahun 1377 Kerajaan Majapahit melancarkan serangan untuk menumpas pemberontakan di Palembang dan Kerajaan Majapahit memudar (sejak 1389). Namun tentu saja Kerajaan Demak belum terbentuk. Kerajaan Demak baru powerfull setelah sisa-sisa Kerajaan Majapahit benar-benar berakhir pada tahun (1518-1521). Pada era ini Kerajaan Demak dibawah pimpinan Patih Unus pernah menyerang Malaka (Portugis) tahun 1512. Kerajaan Demak sendiri baru berdiri tahun 1475. Jika begitu maka Kerajaan Demak paling tidak baru mengusasi Pelembang setelahnya.

Ada rentang waktu yang lama lebih dari satu abad (1377-1475). Pada rentang waktu ini tentu Kerajaan Majapahit tidak lagi berpengaruh kuat di Sumatra. Lalu apakah Kerajaan Palembang telah bangkit kembali, sebelum diambilalih Kerajaan Demak dari Kerajaan Majapahit? Jika memperhatikan laporan Mendes Pinto bahwa Kerajaan Aru memiliki hubungan erat dengan Kerajaan Indragiri dan Kerajaan Jambi, lalu kapal Kerajaan Demak mengambilalih Jambi? Antara tahun 1512 dan tahun 1537? Tampaknya tidak masuk akal karena Kerajaan Aru menyerang Kerajaan Malaka pastilah sebelum tahun 1511.

Dari kronologis sejarah dinamika di pantai timur pulau Sumatra, boleh jadi kota-kota atau kerajaan-kerajaan di pantai yang berhasil ditaklukkan Kerajaan Majapahit, katakanlah begitu, tetapi faktanya Kerajaan Aru masih tetap eksis hingga kehaditran Portugis (Mendes Pinto 1537).

Dalam hal ini tentu saja Kerajaan Mauli atau Kerajaan Minangkabau tidak pernah ditaklukkan Kerajaan Majapahit. Akan tetapi faktanya bahwa antara Kerajaan Minangkabau dan Kerajaan Aru damai-damai saja (Mendes Pinto 1537). Sejauh ini tidak ada indikasi bahwa Kerajaan Mauli maupun Kerajaang Minangkabau bersengketa dengan Kerajaan Aru. Justru sebaliknya Kerajaan Aru dan Kerajaan Minangkabau memili musuh bersama: Kerajaan Atjeh. Portugis di Malaka juga memusuhi Kerajaan Atjeh. Dalam konteks inilah utusan Portugis di Malaka (Mendes Pinto) dikirim ke Kerajaan Aru pada tahun 1537.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Kerajaan Aru dan Kerajaan Pagaroejoeng

Nama Pagaroejoeng paling tidak baru ditemukan pada tahun 1684 (lihat Daghregister 25 Desember 1684). Disebutkan Thomas Diaz utusan VOC dari Malaka melakukan ekspedisi ke Kerajaan Manicabosen (Minangkabau) di Pagger Oejong (Pagaruyung). Nama Minangkabau sudah diidentifikasi pada peta-peta Portugis, seperti halnya nama Bata[k] di pantai barat Sumatra. Pada peta-peta Portugis itu juga sudah diidentifikasi nama-nama seperti Malaka, Indragiri, Pelembang, Jambi dan Aru (ini sesuai dengan laporan Mendes Pinto, 1537). Terminologi Pagger bersifat generik untuk nama-nama tempat di Jawa.

Nama tempat dengan nama pagger di Jawa seperti Pagger Cadamangan (lihat Daghregister 4 Mei 1682). Nama Pagger Cadamangan ini berada di wilayah Tangerang (kini Kademangan); Pagger Paramboeling atau Pagger Paronbenking (lihat Daghregister 13 April 1687). Nama ini juga masih di sekitar Tangerang (Paroeng). Terminologi pagger juga dicatat oleh Jacob Couper tahun 1681 ketika pertama kali orang Eropa mengunjungi kerajaan Mataram. Couper mengidentifikasi pagar pembatas (lingkungan) kraton sebagai pagger. Rute yang dilalui Couper ini dari benteng Missier di Tegal ke Semarang, Japara dan Cartosoera, kemudian memutar ke selatan dan seterusnya ke Mataram lalu ke barat di Banjoemas (kembali lagi ke benteng Missier).

Nama tempat dengan nama pagger (pagar) belum tentu berasal dari Jawa, tetapi diduga dari bahasa Melayu Kuno (Sanskerta). Namun nama tempat yang dimulai nama pagar diduga kuat terkait dengan lingkungan krajaan yang dipagari pagar pembatas seperti pada cabdi-candi zaman kuno. Seperti disebut di atas, di Sumatra pada masa ini, tidak hanya Pagaruyung, tetapi juga ada Pagaralam dan Pagar Agung (wilayah percandingan di Sriwijaya Palembang). Nama tempat serupa ini sangat banyak di Angkola Mandailing Padang Lawas (Tapanuli Selatan) seperti Pagaran Dolok, Pagaran Ri dan Pagaraoetan (Pargarutan). Pagaran Julu (Paranjulu), Pagaran Bira dan Pagaran Mompang.

Dimana posisi GPS nama tempat Pagar Oejong sesuai deskripsi Thomas Dias berada di Kabuaten Tanah Datar yang sekarang. Dalam berbagai catatan sejarah masa kini Pagaroejoeng tersebut berseberangan dengan nama tempat Soeroaso. Dua nama tempat ini dipisahkan oleh sungai Soeroaso. Nama Soeroaso dari nama depan soero juga ditemukan di Jawa seperti Soerabaja, Soeracarta atau Cartasoera dan Sorosowan. Nama dua tempat Paggeroejong dan Soeroaso mengindikasikan adanya hubungan Jawa dan hulu sungai Indragiri (yang mana sungai Soeroaso sebagai salah satu cabangnya).

Lalu apa hubungannya Kerajaan Mauli di hulu sungai Batanghari (kini Darmasraya) dengan Kerajaan Minangkabau atau Kerajaan Pagaroejoeng di hulu sungai Indragiri. Banyak penulis menyebuat pada era Radja Adityawarman telah merelokasi kerajaan dari hulu sungai Batangari ke hulu sungai Indragiri.

Tidak diketahui apa yang menjadi alasan Adityarman relokasi dari hulu sungai Batanghari ke hulu sungai Indragiri. Apakah untuk menghindari (pengaruh dari kerajaan di Jawa Majapahit? Atau apakah Kerajaan Mauli ingin mendekatkan diri di pedalaman dengan Kerajaan Aru? Dalam perkembangannya di ketahui terbentuk kerajaan baru di hilir sungai Batanghari (Kerajaan Jambi) dan di hilir sungai Indragiri (Kerajaan Indragiri). Dua Kerajaan ini diduga awalnya adalah pelabuhan dari Kerajaan Minangkabau di pedalaman. Atas dasar itulah mengapa kelak diketahui bahwa Kerajaan Aru tidak hanya memiliki hubungan erat dengan Kerajaan Minangkabau tetapi juga dengan Kerajaan Indragiri dan Kerajaan Jambi (lihat Mender Pinto 1537). Seperti disebut di atas, kerajaan-kerajaan pantai (Palembang, Jambi dan Indragiri) pernah diambilalih oleh Demak dan Malaka (yang diasumsikan di bawah kekuasaan Kerajaan Majapahit).

Dengan memperhatikan hubungan erat antara Kerajaan Aru dengan Kerajaan Mauli di satu pihak dan antara Kerajaan Aru dengan Kerajaan Minangkabau, sesungguhnya ini mencerminkan ada jarak (kemudian) antara Kerajaan Minangkabau dengan Kerajaan di Jawa (Majapahit). Bagian hilir sungai Musi (Palembang) diduga menjadi bagian dari Majapahit dan bagian hulu sungai Musi menjadi wilayah yurisdiksi Kerajaan Minangkabau. Dengan demikian, pasca Kerajaan Majapahit hanya ada dua kerajaan besar di Sumatra (Kerajaan Aru dan Kerajaan Minangkabau). Tentu saja Kerajaan Atjeh belum terbentuk, demikian juga Kerajaan Johor belum begitu kuat (sukses Kerajaan Malaka).

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar: