Senin, Juni 09, 2025

Sejarah Pantai Timur (13): Kerajaan Aru di Pantai Timur Sumatra; Aek Sungai Barumun Antara Sungai Rokan dan Sungai Ambuaru


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Pantai Timur Sumatra di blog ini Klik Disini

Dalam penulisan sejarah, judul mencari data seharusnya data membentuk judul. Sejarah sendiri adalah narasi fakta dan data. Fakta adalah situasi kondisi/peristiwa yang benar-benar ada atau terjadi. Sementara data adalah bukti yang dapat dilihat apakah dalam bentuk benda, kondisi alam, peta yang digambarkan dan catatan yang tertulis semasa. Demikian juga dalam menganalisis dan menginterpretasi sejarah tidak cukup dengan ibarat seorang buta yang memegang gadingnya tidak akan mampu melukiskan gajah yang sebenarnya. Oleh karena itu sajarah bukan imajinasi dan pula bukan angan-angan. Menulis sejarah haruslah menggunakan metodologi sejarah yang sesuai.


Haru adalah sebuah kerajaan pernah berdiri di wilayah pantai timur Sumatera Utara, berkuasa abad ke-13 sampai abad ke-16. Pada masa jayanya kerajaan ini merupakan kekuatan bahari yang cukup hebat, dan mampu mengendalikan kawasan bagian utara Selat Malaka. Pada abad ke-13, Kerajaan Hindu-Buddha ini mulai menganut agama Islam. Ibu kota Aru terletak dekat dengan Kota Medan, dikaitkan dengan negara penerusnya, yakni Kesultanan Deli. Pendapat ini diajukan oleh seorang orientalis Inggris Richard Olaf Winstedt. Akan tetapi, Groenveldt, seorang sejarawan Belanda, berpendapat bahwa pusat ibu kota Kerajaan Aru terletak jauh ke tenggara, yakni dekat muara Sungai Barumun dan Panai, di Kabupaten Labuhanbatu, dan karena itu terkait dengan pendahulunya yaitu Kerajaan Pannai yang bercorak agama Buddha. Gilles berpendapat ibu kotanya terletak dekat Pelabuhan Belawan, sementara sejarawan lain mengajukan pendapat bahwa lokasi pusat kerajaan Aru terletak di dekat muara Sungai Wampu dekat Teluk Haru, Kabupaten Langkat. Situs Kota Cina di kawasan Medan Marelan, dan situs Benteng Putri Hijau di Deli Tua, Namorambe, adalah situs-situs arkeologi di dekat Kota Medan, yang dikaitkan dengan Kerajaan Haru (Wikipedia).

Lantas bagaimana sejarah Kerajaan Aru di pantai timur Sumatra? Seperti disebut di atas sejarah adalah narasi fakta dan data. Banyak yang bertanya dimana lokasi pusat Kerajaan Aru. Tentu saja ada perbedaan pendapat. Fakta bahwa sungai Barumun berada diantara sungai Rokan (di selatan) dan sungai Ambuaru (di utara). Lalu bagaimana sejarah Kerajaan Aru di pantai timur Sumatra? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.

Kerajaan Aru di Pantai Timur Sumatra; Sungai Barumun Antara Sungai Rokan dan Sungai Ambuaru                                                                 

Dimana letak Kerajaan Aroe tempo doeloe? Sesungguhnya banyak data tentang dimana letak Kerajaan Aroe. Lalu seperti yang dikutip di atas mengapa ada yang menyebut Kerajaan Aroe berada di dekat Kota Medan, di dekat muara Sungai Barumun, di dekat pelabuhan Belawan, di dekat muara Sungai Wampu? Data yang paling valid adalah peta.


Hingga awal abad ke-19, nama Kerajaan Aroe masih dipetakan. Dalam Peta 1818 Kerajaan Aroe terletak di pantai timur Sumatra yang hampir sejajar dengan Baroes di pantai barat Sumatra. Dalam peta tersebut, wilayah Kerajaan Aroe dekat dengan pulau Aroe yang sejajar dengan kota Malaka di semenanjung Malaya. Kota Dilli (yang diduga adalah Deli (Deli Toea) di dekat Kota Medan yang sekarang ditandai sebagai wilayah Kerajaan Dilli/Deli. Dalam hal ini Kerajaan Aroe di utara dibedakan dengan Kerajaan Aroe di selatan.

Pada peta yang lebih tua (Peta 1724) letak Kerajaan Aroe berada di daerah lairan (DAS) sungai Brama. Nama Brama ini diduga kuat adalah Baroemoen yang berada di selatan sungai Casang (nama yang diduga sungai Asahan).


Sementara itu Kerajaan Dilli berada di daerah aliran sungai (DAS) Dilli (nama yang diduga kuat adalah Deli). Dalam peta tersebut di wilayah Kerajaan Dilli diidentifikasi suatu kota kerajaan. Sungai Dilli ini berada di sebelah utara sungai Casang (Asahan). Dalam Peta 1724 ini wilayah Kerajaan Aroe berada di dekat pulau Aroe (Eylanden van Aroe). Dalam peta tersebut di wilayah Kerajaan Aroe tidak ada penanda kota kerajaan. Boleh jadi Kerajaan Aroe tidak lagi berperan dalam perdagangan. Oleh karenanya dimana ibu kota Kerajaan Aroe tidak terinformasikan (meski tidak terlalu penting lagi, tetapi para pelaut dalam navigasi pelayaran perdagangan masih mengenal wilayah tersebut sebagai wilayah Kerajaan Aroe).

Dalam peta-peta yang lebih tua pada era Portugis (Peta 1598), nama Aroe diidentifikasi sebagai Terra Daru dan Isola Daru. Terra dalam bahasa Portugis adalah Tanah (wilayah) dan Isola adalah pulau. Terra Daru dan Isola Daru ini berada sedikit di utara Bancalis (Bengkalis) di sungai Rokan. Antara wilayah Bancalis dan Terra Daru ini diidentfikasi sebagai (wilayah) Tanjam. Sementara jauh berada di utara diidentifikasi nama Ambara (Ambuaru).


Dalam peta-peta lainnya era Portugis dan era VOC/Belanda serta dalam buku/majalah sejaman nama Terra Daru ini merupakan singkatan dari Terra de Aru atau Terra d’Aru. Oleh karena Isola Daru adalah Isola de Aru atau Isola d’Aru. Bagaimana dengan nama Bancalis? Tampaknya cukup jelas. Lalu bagaimana dengan nama Ambara yang juga dtulis sebagai Ambuaru di selatan Pedir (Pidi) dan Pecem (Pasay)? Para penulis sejaman mengindentifikasi nama Ambuaru sebagai (sungai) Djamboe Air. Dalam Peta 1598 belum diidentifikasi nama Dilli. Mengapa? Tampaknya belum menonjol atau belum ada.

Dalam peta yang lebih tua pada era Portugis (Peta 1565) nama Terra Daru juga telah diidentifikasi di dalam peta Sumatra. Wilayah Terra Daru ini di dalam peta berada tidak jauh di utara garis Equator (garis khatulistiwa). Sementara itu jauh di utara di dekat suatu teluk diidentifikasi nama Tuncan. Teluk tersebut diduga sebagai teluk Deli (pulau Sicanang) yang sekarang. Dalam hal ini apakah ada kaitan nama Tuncan dengan nama Si-Canang?


Peta 1565 dapat dikatakan peta tertua tentang pulau Sumatra semasa era Portugis. Nama peta sendiri masih diidentifikasi sebagai (pulau) Taprobana. Sebagaimana diketahui nama pulau Taprobana sudah diidentifikasi oleh Ptolomeus pada abad ke-2. Ini mengindikasikan bahwa pelaut-pelaut Portugis menganggap pulau Sumatra adalah pulau Taprobana di zaman kuno. Sebagaimana diketahui pelaut-pelaut Portugis menaklukkan kota Malaka pada tahun 1511 dan kemudian mendudukinya yang lalu dijadikan sebagai pos perdagangan utama Portugis. Pelaut-pelaut Portugis yang diduga mengumpulkan informasi geografis pulau Sumatra yang kemudian para kartografer Portugis membuat peta Sumatra (dan menambahkan nama Taprobana yang sudah lama dikenal di Eropa di dalam peta).

Nama-nama tempat yang diidentifikasi dalam Peta 1565 tampaknya bersesuaian dengan laporan Portugis sebelumnya yang dibuat oleh Mendes Pinto, seorang Portugis yang diutus dari Malaka untuk menyelidiki pulau Sumatra (di sebelah barat semananjung Malaya). Utusan Malak aini dikirim ke pantai timur Sumatra di kerajaan Aru Batak Kingdom, karena Portugis di Malaka dengan Atjeh (yang dibantu Turki) tidak dalam hubungan baik.


Mendes Pinto berkunjung ke pantai timur Sumatra pada tahun 1537. Di dalam laporan, Mendes Pinto menyebut kerajaan Aru Batak Kingdom beribukota di Panaju (Panai/Pane?). Kota ini diduga berada di di daerah aliran sungai Barumun, dimana sungai (Batang) Pane bermuara. Saat Mendes Pinto berada di Aru Batak Kingdom, kerajaan tengah berselisih dengan Kerajaan Atjeh. Kesultanan Aceh yang coba melakukan invasi ke selatan, mendapat perlawanan dari Kerajaan Aru. Sebelumnya tiga putra Raja Aru terbunuh di Lingua dan Nagur sebagaimana disebut Mendes Pinto. Nama tempat Lingua diduga Lingga (sekarang Karo) dan nama Nagur adalah Raya (sekarang Simalungun). Kekuatan militer Aru Batak Kingdom menurut Mendes Pinto sebanyak 15.000 pasukan, dimana sebanyak 8.000 orang Batak dan sisanya didatangkan dari Djambi, Indragiri, Broenai dan Luzon (Filipina). Raja Aru juga mengutus iparnya ke Malaka bernama Aquareng Daholay (apakah Daholay dalam hal ini Daulae?). Catatan: dalam beberapa sumber disebut kerajaan LambriKesultanan Atjeh di ujung utara Sumatra terbentuk tahun 1496.

Jika nama (kerajaan) Aru tehubung ke masa depan (Malaka, Atjeh serta Djambi, Indragiri, Broenai dan Luzon), lalu bagaimana dengan ke masa lampau. Dalam catatan Mahuan yang menyertai ekspedisi Chengho (1405-1433) menyebut nama Aru sebagai A-lu. Dalam laporan Ma Huan dari ekspedisi Cheng Ho tersebut (1405-1433) rutenya dari Jawa ke Palembang, lalu ke Man-la-ka (Malaka?) dan kemudian ke A-lu (Aru) dan selanjutnya ke Su-men-ta-la dan Lam-li.


Arutan rute ini masuk akal dari Palembang ke Malaka (semenanjung Malaya) lebih dahulu baru kemudian ke Aru (pantai timur Sumatra). Selanjutnya dari Aru ke Sumentala. Yang menjadi pertanyaan dimana Sumentala berada? Sejumlah peneliti terdahulu (era Hindia Belanda) mengintrepasi nama Su-men-ta-la sebagai Samudra (Pasai). Lamli tampaknya adalah Lambri (di Atjeh). Pengejaan Samudra (Sa-mu-dra atau Sa-mu-de-ra) secara morfologis kurang sesuai dengan Su-men-ta-la. Lantas apakah yang dimaksud Su-men-ta-la adalah Su-ngai-Ka-rang? Sebab secara morfologis So-ngi-ca-rang lebih sesuai dengan Su-men-ta-la. Nama Songicarang ditemukan dalam peta VOC (Peta 1704) yang berada di utara sungai Casang (Asahan?) sebelum Songi Dilly (Deli). Dalam laporan Ma Huan disebutkan Raja Nakur memimpin kerajaannya di pedalaman menyerang Sumentala dan Radja Sumentala terbunuh. Seperti disebut di atas dalam laporan Mendes Pinto (1537) yang menjadi penyebab Kerajaan Aru ingin membalas dendam kepada Kerajaan Atjeh karena sebelumnya tiga anak Radja Aru terbunuh oleh Atjeh di Lingua (Lingga?) dan Nakur (Raya?). Berdasarkan catatan-catatan yang ada tersebut Aru (A-lu) dan Na-kur (Raya) bersesuaian dengan Su-men-ta-la sebagai Songi Carang (Sungai Galang di daerah aliran sungai Ular di Perbaungan yang sekarang). Dalam hal ini Songi Carang (Sumentala) ini adalah pintu masuk ke pedalaman di wilayah Kerajaan Nakur. 

Dalam Peta 1704 atau peta-peta yang lebih tua belum diidentifikasi Kerajaan Dilli di daerah aliran sungai Dilli (bagian pedalaman teluk). Peta pertama yang mengidentifikasi Kerajaan Dilli ditemukan pada Peta 1724. Dalam laporan Mendes Pinto disebut pada akhirnya Kerajaan Aru dikalahkan oleh Kerajaan Atjeh. Besar dugaan setelah kunjungan Mendes Pinto ke Aru Batak Kingdom, lalu Kerajaan Aru sebagai kekauatan maritim (di wilayah pantai) lambat laun memudar (tetapi eksistensinya tetap ada di pedalaman sebagai kerajaan-kerajaan kecil seperti Kerajaan Kota Pinang, Kerajaan Bila yang didukung populasi di wilayah pedalaman di Padang Lawas, Labuhan Batu, Angkola, Sipirok dan Silindung.


Setelah Kerajaan Aru yang berpusat di daerah aliran sungai (DAS) Barumun memudar diduga terbentuk Kerajaan Dilli di daerah aliran sungai (DAS) Dilly yang terhubung dengan Lingga dan Nakur/Nagur. Kerajaan Dilly ini diduga kuat telah jatuh ke tangan Kerajaan Atjeh (yang menjadi kekuatan maritim di bagian utara Sumatra baik di pantai timur hingga ke Djohor maupun di pantai barat hingga Ticoe, Priaman dan Indrapoera. Sementara pendukung Kerajaan Aru di masa lampau (Angkola, Mandailing dan Silindung) meski populasinya tetap eksis tetapi akses ke pesisir menjadi sangat terbatas (dengan semakin menguatnya navigasi pelayaran perdagangan Atjeh). Situasi dan kondisi di pedalaman Angkola dapat dibaca pada laporan seorang Cina yang bermukim selama 10 tahun di wilayah Angkola yang dicatat dalam Daghregister, 01-03-1701. Orang Cina tersebut berada di Angkola paling tidak sejak 1691. Dalam laporannya disebutkan dia sangat diperlakukan baik oleh raja-raja. Dia menikah dengan gadis Angkola. Pada tahun 1701 setelah 10 tahun di Angkola kembali ke Batavia dengan istri dan seorang putrinya yang sudah berusia 3 tahun melalui pelabuhan Barus ke Padang dan kemudian dilanjutkan dengan kapal yang lebih besar ke Batavia.

Sementara Kerajaan Dilli di daerah aliran sungai (DAS) Dilli terbentuk (yang diduga menjadi aliansi Kerajaan Atjeh), di bagian pedalaman Sumatra Kerajaan Minangkabau masih eksis. Nama Kerajaan Minangkabau ini sudah disebut Mendes Pinto. Menurut Mendes Pinto jika Kerajaan Aru kekurangan kekuatan dalam melawan Atjeh dapat meminta pasukan tambahan dari (kerajaan) Minangkabau di selatan. Nama Kerajaan Minangkabau yang disebut Mendes Pinto pada era Portugis dikenal sebagai Kerajaan Pagaroejoeng pada era VOC/Belanda. Ibu kota Kerajaan Pagaroejoeng ini beribukota di wilayah Batusangkar yang sekarang.


Situasi dan kondisi di pedalaman di Kerajaan Pagaroejoeng dapat dibaca pada laporan Thomas Diaz, utusan Portugis di Malaka yang pernah berkunjung ke ibu kota Kerajaan Pagaroejoeng pada tahun 1684. Dalam laporan ini Kerajaan Minangkabau dengan nama Kerajaan Pagaroejoeng masih eksis. Thomas Diaz dalam laporannya menyebut Kerajaan Pagaroejoeng dan Kerajaan Johor mulai timbul perselisihan soal wilayah pantai timur Sumatra (terutama di daerah aliran sungai Siak dan sungai Kampar). Kehadiran Thomas Diaz di Pagaroejoeng kira-kira semasa dengan kehadiran pedagang Cina di wilayah Angkola. 

Kerajaan Aru yang telah dikenal sejak era ekspedisi Chengho (1405-1433) telah dikalahkan Kerajaan Atjeh (pada permulaan era Portugis di Malaka). Kerajaan Aru adalah penguasa selat Malaka (sebelum menguat Kerajaan Atjeh). Mendes Pinto dalam laporannya menyebut Kerajaan Aru pernah menyerang Kerajaan Malaka (dan kerajaan Malaka selalu takut kepada Kerajaan Aru—sebelum kehadiran pleaut-pelaut Portugis di Malaka). Kerajaan Aru yang lambat laun memudar pada era Portugis, namun namanya di pantai timur Sumatra masih disebut pada era VOC (yang masih dipetakan di dalam peta Sumatra bersama dengan Kerajaan Dilli). 


Kerajaan Dilli tampaknya muncul belakangan. Tidak disebut nama Billi dalam laporan Mendes Pinto (1537). Mendes Pinto hanya menyebut Aru Batak Kingdom (secara panjang lebar, di dalam lima bab). Di dalam Peta 1565 dapat dikatakan peta tertua (peta yang dibuat pertama kali oleh seorang kartografer Italia Giovanni Battista Ramusio yang dipublikasikan tahun 1560). Dalam peta Giovanni Battista Ramusio di pulau Sumatra didientifikasi dua lokasi kraton (tempat singgasana raja) yang keduanya di bagian pedalaman Sumatra. Yang pertama berada sedikit di utara garis ekuator di bagian dalam Terra Daru (melalui muara sungai Baroemoen). Besar dugaan letak kraton (yang menjadi pusat Kerajaan Aru) tersebut berada di wilayah Tapanuli Bagian Selatan yang sekarang. Yang kedua kraton terletak sedikit lebih jauh di selatan garis ekuator (sejajar dengan Indragiri). Kraton ini diduga adalah pusat kerajaan Minangkabau atau Kerajaan Pagaroejoeng (wilayah Batoe Sangkar). Sementara di wilayah di sekitar teluk (diduga Teluk Deli) digambarkan masih wilayah kosong. Sedangkan jauh di ujung utara Sumatra diidentifikasi nama-nama Paceem, Pedir dan Achin, tetapi tidak ada identifikasi keberadaan suatu kraton. Oleh karena itu secara umum dapat dikatakan pusat kerajaan di Sumatra berada di bagian pedalaman (Tapanuli Bagian Selatan dan Batoe Sangkar). Penggambaran dalam peta yang dibuat Giovanni Battista Ramusio (1560) bersesuaian juga dengan laporan Mendes Pinto (1537). Mendes Pinto di dalam laporannya menyebut jika Kerajaan Aru memerlukan tambahan pasukan dalam melawan Atjeh, dapat sewaktu-waktu mendatangkannya dari Minangkabao.

Wilayah teluk (Teluk Deli) berada di antara wilayah Kerajaan Aru (sungai Barumun) dan Kerajaan Atjeh (ujung utara Sumatra di Lambri). Dalam perkembangannya, seiring dengan memudarnya Kerajaan Aru, wilayah teluk semakin berkembang yang kemudian terbentuk Kerajaan Dilli (di bagian pedalaman teluk). Dalam hal ini Kerajaan Aru adalah satu hal, Kerajaan Dilli adalah hal yang lain lagi. Kerajaan Aru yang diduga sudah eksis sejak era teks Negarakertagama (1365) berakhir dengan terbentuknya Kerajaan Atjeh. Kerajaan Dilli (di utara) dalam hal ini dapat dikatakan sebagai suksesi Kerajaan Aru (di selatan).


Teluk di daerah aliran sungai (DAS) Dilli atau Dely ini tampaknya cukup unik dan cukup luas. Teluk memiliki pintu sendiri yang sempit, dan semakin lebar di bagian dalam teluk (mirip dengan teluk Banten, tetapi tidak menyempit di bagian luar, melainkan melebar). Pada Peta 1657, Songi Dely bermuara ke dalam teluk. Sementara di peta yang sama, yang berada di selatan diidentifikasi sungai barumun yang muaranya sangat besar (estuarium). Muara sungai yang sangat besar (sangat lebar) arus air cenderung pelan (sehingga dimungkinkan kapal masuk ke dalam dengan tenang). Sebaliknya, teluk Deli di bagian dalam perairan cukup tenang karena terlindung dari menyempitnya pintu teluk, tetapi di bagian luar teluk arus laut/gelombang akan cenderung lebih besar.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Sungai Barumun Antara Sungai Rokan dan Sungai Ambuaru: Sejarah adalah Narasi Fakta dan Data

Catatan-catatan tertulis, laporan-laporan ekspedisi para pelaut dan buku-buku yang ditulis sejaman adalah sumber penting dalam penulisan sejarah, terutama tentang suatu situasi dan kondisi serta peristiwa penting yang terjadi jauh di masa lampau. Sumber lainnya yang juga penting adalah keberadaan situs tua seperti artepak dan candi-candi serta bangunan-bangunan lainnya. Sudah barang tentu juga perlu dipahami peta geografis itu sendiri, yang secara geomorfologis situasi dan kondisi di suatu wilayah/area dapat berubah seiring dengan perbedaan masa (terutama adanya sedimentasi dan terbentuknya daratan baru).


Bagaimana nama (kerajaan) Aru sebelum era ekspedisi Chengho, dapat ditemukan nama Aru (A-lu) sebagai Hraw di dalam teks Negarakertgama (1365). Di dalam teks Negarakertagama disebut nama-nama tempat antara lain Djambi, Palembang, Tëba (Tebo?), Dharmagraya, Kandis, Kahwas, Manangkabo, Siyak, Rekan (Rokan), Kampar, Pane, Kampe, Hraw (Aru, Ara, Rao, Haru), Mandahiling (Mandailing), Tumihang (Tamiang), Batan, Lampung dan Barus.

Candi tertua yang ditemukan di pulau Sumatra berada di wilayah Tapanuli Bagian Selatan. Candi-candi di Tapanuli Bagian Selatan (di Angkola dan Padang Lawas) menurut para ahli arkeologi terhubung dengan era Hindoe/Boedha. Jumlah candi di wilayah Padang Lawas di daerah aliran sungai (DAS) Barumun sangat banyak. Candi terluar, yang lebih dekat ke wilayah pesisir di Padang Lawas berada tepat di pertemuan (muara) sungai Batang Barumun dan sungai Batang Pane. Ke arah hilir (laut) kedua sungai dengan nama tunggal sungai Barumun. Di daerah aliran sungai (DAS) Barumun inilah kemudian para pelaut/kartografer pada awal era Portugis mengindentifikasi nama Terra Daru atau Terra de Aru atau Terra d’Aru. Dalam hal ini peta adalah akumulasi pengetahuan.


Ada dua peta pada era Portugis: peta yang dibuat oleh kartograder Italia Giovanni Battista Ramusio (terbit 1560) dan peta yang dibuat oleh kartografer Jerman Sebastian Munster (terbit 1598). Giovanni Battista Ramusio diduga kuat menggunakan sumber-sumber Portugis/Spanyol. Sebastian Munster besar dugaan juga telah menggunakan sumber-sumber Belanda. Sebagaimana diketahui ekspedisi Belanda pertama ke Hindia Timur yang dipimpin Cornelis de Houtman dimulai pada tahun 1595 dari pelabuhan Texel dan tiba di Enggano/Lampong dan Banten pada tahun 1596. Ekspedisi Belanda pertama ini kembali ke Belanda tahun 1597. Lalu setahun kemudian terbit peta Sumatra yang dibuat seorang Jerman Sebastian Munster (terbit 1598).

Jadi, sebelum Kerajaan Dilli teridentifikasi (terbentuk), sudah sejak lama nama Aru dan Kerajaan Aru (di wilayah Padang Lawas, Tapanali Bagian Selatan) yang informasinya berserakan dalam julah banyak. Situs-situs kepurbakalaan yang ditemukan di wilayah Padang Lawas pada era Pemerintah Hindia Belanda telah memperkaya pemahaman umum tentang wilayah kuno daerah aliran sungai (DAS) Barumun. Dalam konteks inilah arti penting fakta dan data dalam menginterpretasi dan menuliskan narasi sejarah zaman kuno. Narasi sejarah bukanlah kumpulan angan-angan atau lukisan imajinasi.


Dalam narasi sejarah masa kini, seakan Haru sebuah kerajaan pernah berdiri di wilayah pantai timur Sumatera Utara diarahkan letaknya dekat dengan Kota Medan dengan negara penerusnya, yakni Kesultanan Deli. Sebagaimana yang dikutip dari Wikipedia di atas, pendapat tersebut diajukan seorang Inggris RO Winstedt. Gilles berpendapat ibu kotanya terletak dekat Belawan, sementara sejarawan lain mengajukan pendapat pusat kerajaan Aru terletak di dekat muara Sungai Wampu dekat Teluk Haru. Semua itu hanya sekadar mengajukan, tetapi tidak menunjukkan pembuktian. Yang bisa memberikan bukti hanya Groenveldt, seorang sejarawan Belanda, yang dengan tegas menyatakan ibu kota Kerajaan Aru terletak jauh ke tenggara, dekat muara Sungai Barumun dan Panai. Catatan: WP van Groenveldt adalah seorang Sinolog (ahli bahasa Cina) yang banyak memberi kontribusi dalam pengungkapan data-data berdasarkan catatan Tiongkok yang terkait dengan nusantara (lihat Groeneveldt, WP. Notes on the Malay Archipelago and Malacca. Compiled from Chinese sources. Verhandelingen Bat. Gen. XXXIX, 1880). WP van Groenveldt berangkat ke Hindia pada tahun 1861 (lihat Algemeen Handelsblad, 05-10-1861). Pada tahun 1864 WP Groeneveldt diangkat sebagai ahli bahasa Cina di Pontianak tahun 1864 (lihat Javasche courant, 23-08-1864). Pada tahun 1870 sebagai ahli bahasa Cina dipindahkan ke Padang (lihat Javasche courant, 16-09-1870). Pada tahun 1876 WP Groeneveldt, ditugaskan ke Tiongkok kepentingan emigrasi pekerja Tiongkok (lihat Dagblad van Zuidholland en 's Gravenhage, 21-01-1876). Pada tahun 1877 diketahui Groeneveldt telah kembali ke Hindia (lihat Dagblad van Zuidholland en 's Gravenhage, 03-02-1877). Pada tahun 1879 WP Groeneveldt sebagai pejabat di departemen pendidikan dan agama diketahui sebagai sekretaris Bataviaasch genootschap van kunsten en wetenschappen, te Batavia (lihat Utrechtsch provinciaal en stedelijk dagblad, 04-04-1879).

Keberadaan situs kepurbakalaan di Padang Lawas pertama kali dilaporkan oleh FW Jung Huhn, yang pernah sebagai ahli geologi dan diperbantukan pada Asisten Residen Angkola Mandailing untuk bertugas di wilayah Padang Lawas (1840-1843). Meski keberadaan candi-candi di Jawa sudah dilaporkan Raffles (1811-1816) tetapi hingga tahun 1870 belum ada perhatian yang intens terhadap kepurbakalan. Baru setelah dinas kepurbakalaan didirikan di Jogjakarta perhatian dan diskusi yang intens mulai terjadi. Pada tahun 1880 situs Padang Lawas mulai dikunjungi para pemerhati. Sejak penemuan prasasti di Palembang pada tahun 1920, perhatian kepurbakaan mulai diarahkan ke Sumatra. Sejak dinas kepurbakalaan direlokasi ke Palembang pada awal tahun 1930an secara perlahan situs Padang Lawas mulai mendapat perhatian serius. Pada tahun 1935 F Schnitger ahli arkelolog di Palembang mendengar temuan candi di Simangambat (Angkola-Mandailing), lalu bergegas untuk melihatnya. Pada tahun 1936 F Schnitger melakukan eskavasi di situs-situs kepurbakalan di Padang Lawas. F Schnitger menunjukkan bukti-bukti adanya kaitan candi-candi di Padang Lawas dengan candi Muara Takus (di hulu sungai Kampar). Sejak inilah mulai berkembang pemahaman umum tentang sejarah zaman kuno di Sumatra bagian utara (dengan area penting di Padang Lawas). F Schnitger menemukan indikasi bahwa candi sejaman dengan candi Boroboedoer (abad ke-9), semantara candi-candi di Padang Lawas berasal dari abad ke-11 hingga abad ke-14.


Banyak peneliti pada era Hindia Belanda yang sangat intens membahas dimana pusat kerajaan Sriwijaya. Mereka itu antara lain Coedes, Groeneveldt, Rouffer dan Obdeijn. Groneveldt dan Coedes sebelum tahun 1900, Roufter pada tahun 1920an dan Obdeij pada tahun 1940an. Temuan prasasti Tanjore di India (bertarih 1030) telah memperkaya pemahaman sejarah zaman kuno Sumatra. Uniknya nama-nama tempat di dalam teks prasasti Tanjore banyak yang mirip dengan nama-nama di wilayah Padang Lawas: Vidyadhara-torana (Torgamba); Pannai (Pane); Malaiyur (Malea); Mappappalam (Sipalpal); Mevilimbangam (Limbong); Ilangasogam (Binanga / Langga [Payung] Sunggam); Valaippanduru (Mandurana); Takkolam (Akkola); Madamalingam (Mandailing). Semua nama-nama tersebut pada masa ini adalah nama-nama yang masih eksis di Tapanuli Selatan (yang terkait dengan daerah aliran sungai Baroemoen).

Temuan prasasti Tanjore (1030) tidak hanya lebih memperjelas sejarah zaman kuno pulau Sumatra khususnya di bagian utara, juga prasasti Tanjore telah menghubungkan informasi yang ditemukan dalam peta-peta pada era Portugis (abad ke-16) dengan peta-peta Ptolomeus (abad ke-2). Catatan-catatan kuno dari Tiongkok yang dikontribusi oleh WP Groeneveldt dan eskavasi yang dilakukan oleh F Schbitger menjadi lebih komprehensif bagaimana sejarah zaman kuno Sumatra bagian utara dapat direkonstruksi. Hasil kajian V Obdeijn tentang studi geomorfologis pantai timur Sumatra menjadi lebih terang lagi bagaimana sejarah zaman kuno di pantai timur Sumatra berlangsung dari masa ke masa.


Nama Takkolam dalam prasasti Tanjore (1030) mirip dengan nama Tacola di pantai barat Sumatra bagian utara dalam peta Ptolomeus (abad ke-2). Lantas apakah nama Tacola dan Takkolam adalah Angkola di hulu sungai Barumun? Sebagaimana diketahui hulu sungai Barumun berada di gunung Malea (nama yang mirip dengan Malaijur pada prasasti Tanjore). Tentu saja nama Panai (Pane) dalam prasasti tersebut masih eksis sebagaimana tercatat di dalam teks Negarakertagam (1365). Dalam hal ini sungai Batang Pane bermuara di sungai Barumun di Binanga. Nama Binanga ini dicatat dalam prasasti Kedoekan Boekit (682) sebagai Minanga. Binanga dalam bahasa Angkola Mandailing adalah pertemuan dua sungai (lihat EJ Eggink, 1936). Besar dugaan Minanga/Binanga pada abad ke-7 masih merupakan garis pantai (di suatu teluk) sebagaimana didukung dengan temuan geomorfologis V Obdeijn. Ingat kembali seperti disebut diatas pada era Portugis pulau Sicanang masih merupakan suatu teluk.

Nama Tacola dalam peta Ptolomeus (abad ke-2) yang diduga sebagai Akkola/Angkola di Tapanuli Bagian Selatan, tidak hanya penting dalam catatan sejarah/peta kuno, tetapi di wilayah Angkola/Mandailing pada saat ini masih ditemukan pertambangan emas. Sebagaimana diketahuui produk zaman kuno yang penting di Mesir kuno (hingga era Ptolomeus) adalah emas, kamper/kapur Barus (bahasa pengawet/obat), kemenyan (bahasa obat/kosmetik), getah puli (bahan obat), getah damar (bahan api) dan gading (bahan ukiran). Di Sumatra sendiri kamper/kapur Barus hanya ditemukan di pantai barat Sumatra antara Air Bangis dan Singkil. Hal itulah mengapa di di zaman kuno nama Barus menjadi penting. Dalam catatan geografis Ptolomeus disebutkan kamper didatangkan dari pulau Aurea Chersonesus (pulau Sumatra) bagian utara.


Komoditi perdagangan zaman kuno seperti kamper dan emas menjadi faktor penting yang menghubungkan navigasi pelayaran perdagangan antara Sumatra (timur) dengan barat (Mesir, Arab/Persia dan Yunani/Eropa). Ini seakan memperkuat nama Tacola dalam peta Ptolomeus berada di bagian utara Sumatra sebagai Angkola. Yang juga menjadi penting diperhatikan nama peta Ptolomeus untuk Sumatra diidentifikasi sebagai Aurea Chersonesus. Aurea dalam bahasa Yunani kuno adalah emas (aurum). Lalu apa arti chesonesus? Nesus dalam bahasa Yunani kuno adalah pulau. Lalu bagaimana dengan nama Cherso? Apakah orang Mesir/Yunani kuno mengeja cherso dari kata yang umum digunakan di pantai barat Sumatra di wilayah Tacola? Dalam bahasa Angkola emas disebut sere. Apakah ada kaitan antara sere dengan cherso? Demikian juga dengan nama kamper (dalam bahasa Melayu) diturunkan dari bahasa-bahasa Yunani via Eropa/Portugis (camphora) yang berasal dari bahasa Arab (kafura) sebagaimana nama kafura ini sudah disebut dalam Al’Quran. Nama kafura/camphor diduga berasal dari bahasa Batak yakni hapur (yang kemudian ke bahasa Melayu sebagai kapur). Dalam konteks inilah muncul sebutan nama kapur Barus.

Ada hubungan antara barat (Mesir, Arab/Persia dan India) dengan pantai barat Sumatra pada zaman kuno sangat kuat. Lalu bagaimana dengan timur (terutama pantai timur Tiongkok)? Tampaknya posisi strategis wilayah Angkola menjadi penentu. Mengapa? Nama Tacola yang disebut dalam peta Ptolomeus diduga kuat berada di Hapesong (Batang Toru) yang di zaman kuno masih berada di garis pantai (dimana tepat sungai Batang Toru bermuara ke laut). Sementara itu, Binanga (di Padang Lawas) sebagai garis pantai. Oleh karena itu wilayah Angkola, antara Hapesong dan Binanga adalah jarak terpendek lebar pulau Sumatra di zaman kuno (cukup dengan jalan kaki dalam satu hari sudah terhubung).


Jarak terpendek lebar pulau Sumatra berada di wilayah Angkola (Tapanuli Bagian Selatan) menyebabkan pesisir pantai barat Sumatra dan pesisir pantai timur Sumatra dalam wilayah sebatas kabupaten pada masa ini (kabupaten Tapanuli Selatan sebelum pemekaran tahun 1998) memudahkan pergerakan orang dan komodisi di zaman kuno. Dalam catatan Tiongkok era dinasti Leang (502-556) disebutkan nama Po-lu-sse. Nama ini oleh sejumlah peneliti termasuk WP Groeneveldt pada era Pemerintah Hindia Belanda adalah Barus. Nama-nama lainnya yang disebut di dalam teks kuno Tiongkok tersebut adalah Tu-k'un, Pien-tiu of Pan-tiu, Mo-chia-man dan Pi-song serta Kiu-li of Ktu-tchiu. Nama-nama tersebut diduga adalah Mo-chia-man sebagai nama Pasaman, nama Tu-k'un adalah Tikoe, nama Pien-tiu of Pan-tiu adalah Panti dan nama Pi-song adalah Sipisang/Hapesong dan nama Kiu-li adalah (Huta) Puli. Semua nama-nama tersebut tampaknya berada di pantai barat Sumatra. Lalu pada abad ke-7 penziarah asal Tiongkok I’tsing singgah di pantai timur Sumatra dalam pelayaran ke Nalanda (India). Tidak lama kemudian, suatu ekspedisi di pantai timur Sumatra berangkat dari Minanga (diduga Binanga) ke arah selatan yang dicatat dalam prasasti Kedoekan Boekit (682) yang ditemukan di Palembang. Dalam konteks inilah adanya hubungan candi Simangambat (abad ke-9) di Angkola di pantai barat Sumatra terhubung dalam satu wilayah kecil dengan percandian di Padang Lawas di pantai timur Sumatra. Yang membatasinya adalah gunung Malea (yang menjadi hulu sungai Barumun).

Lantas bagaimana dengan bahasa Batak sendiri? Seperti disebut di atas banyak kosa kata bahasa Batak di zaman kuno yang diduga diadopsi oleh bahasa asing seperti hapur-camphor; sere-cherso; tor-tur, dan roha-roh. Dalam hal ini bahasa dan aksara adalah dua diantara elemen pembentuk kebudayaan. Bahasa dan aksara termasuk elemen kebudayaan yang dapat diwariskan antara generasi. 


Bahasa Batak memiliki aksara sendiri. Schroder (1926) dalam artikelnya yang dimuat dalam jurnal ilmiah di Amerika Serikat membutikan bahwa sisa aksara Fenesia ditemukan dalam aksara Batak. Aksara Fenesia (di laut Mediterania) yang sudah punah tetapi menurunkan aksara Yunani kuno dan seterusnya aksara Latin (alfabet). Aksara Batak sendiri berbeda dengan aksara Jawa. Aksara Batak bersifat abjad sedangkan aksara Jawa bersifat abugida (turunan dari aksara Pallawa). Aksara Fenesia juga bersifat abjad yang menjadi aksara alfabet (Yunani/Latin). Uli Kozok menemukan bukti bahwa aksara Batak bermula di Angkola lalu menyebar ke utara (Silndung. Toba dan Karo) dan tentu saja menyebar ke selatan (Mandailing, Rao dan Muara Takus). Satu yang penting lagi seorang ahli linguistik Inggris (sejaman dengan William Marsden) bernama John Leyden menemukan keunikan cara penulisan aksara Batak. John Leyden menggambarkan aksara Batak tidak ditulis dari kanan ke kiri (Arab) tetapi ditulis seperti orang Eropa dari kanan ke kiri. John Leyden juga mengidentifikasi aksara Cina yang ditulis dari atas ke bawah. Apa yang unik bagi John Leyden tentang aksara Batak adalah dapat ditulis dari kanan ke kiri, juga dapat ditulis dari atas ke bawah. Lantas apakah ini mengindikasikan perkembangan kebudayaan Batak tidak hanya mengadopsi dari barat (India, Arab, Eropa) juga mengadopsi dari timur (Tiongkok).

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur. Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar: