Kamis, Agustus 05, 2021

Sejarah Peradaban Kuno (94): Orang Ulu Alak/Urak Ulu di Muara Sipongi; Asal Usul Keberadaan di Sibinail dan Tamiang Mudo

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Peradaban Kuno di blog ini Klik Disini 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Padang Sidempuan di blog ini Klik Disini

Orang Ulu adalah orang yang mengidentifikasi diri sebagai Alak/Ulak Muarasipongi. Orang (halak, ulak) Ulu umumnya berasal dan tinggal di wilayah desa Aek Sibinail dan desa Tamiang Mudo, kecamatan Muarasipongi, kabupaten Mandailing Natal. Orang Ulu dibedakan dengan orang Mandailing maupun orang Natal maupun orang Lubu (Siladang). Hal ini karena bahasa orang Halak Ulu memiliki perbedaan. Bagaimana kehadiran masyarakat (orang) Ulu belum tergali sepenuhnya.

Para peneliti terdahulu mengidentifikasi orang (halak) Ulu sebagai orang (etnik) Ulu. Disebutkan tempo doeloe orang Ulu tersebar di Rao dan Mandailing. Pada masa ini orang Ulu yang juga disebut Urak Ulu atau Orang Tanah Hulu tinggal di lembah perbukitan dimana terdapat desa Sibinail dan desa Tamiang Mudo (sekitar 10 Km dari Kota Muara Sipongi. Kedua desa ini berada di timur muara Sipongi (berbatasan dengan kecamatan Rao Utara). Para peneliti terdahulu juga menyebut sisa-sisa peninggalan era Hindoe Boedha masih terlihat dalam kehidupan masyarakat Ulu. Bahasa Ulu berakar pada bahasa Melayu yang kini sudah tercampur dengan bahasa Batak. Pada saat ini populasiorang Ulu diperkirakan sekitar 135 keluarga. Awalnya orang Ulu berada di tiga kampung yakni Sibinail, Ranto Lolo dan Tamiang Mudo yang dalam perkembangannya dibentuknya menjadi dua desa. Disebukan jumlah mereka yang sekarang sudah sangat berkurang karena sebagian dari mereka pada masa lampau pindah ke wilayah orang Siladang (orang Lubu) di Panjaboengan.

Lantas bagaimana sejarah orang Ulu (Urak Ulu) di wilayah kecamatan Muarasippngi? Seperti disebut di atas orang (halak, urak) Ulu sudah lama berada di pemukiman yang sekarang, namun asal-usul terkesan masih simpang siur. Lantas bagaimana sejarah orang Ulu (Urak Ulu) diantara pemukimana orang Mandailing? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Orang Ulu, Orang Alak Ulu di Mandailing

Pada zaman kuno, antara Loeboe Raja di utara dan Loeboe Sikaping di selatan adalah wilayah yang sangat penting. Di wilayah ini adalah hulu dari sungai-sungai besar yang mengalir ke pantai barat maupun ke pantai timur. Di wilayah ini tidak hanya terdapat pertambangan emas, juga hutan-hutan kamper dan kemenyan. Produk-produk berharga di zaman kuno itu diduga menjadi sumber kekayaan penduduk dan menjadi pemicu para pedagang-pedagang dari jauh hingga Eropa berdatangan. Wilayah ini dapat dikatakan wilayah penduduk yang sudah eksis sejak zaman kuno.

Loeboe Raja (gunung dekat Padang Sidempuan) adalah hulu sungai Batang Angkola yang bertemu sungai Batang Gadis di (danau) Siabu sebelum mengalir ke arah pantai barat Sumatra. Ke danau ini juga bermuara sungai Muara Sada melalui kampung Simangambat. Di sebelah timur hulu sungai Muara Sada adalah hulu sungai Barumun. Sementara itu di gunung Sorik Marapi berhulu sungai Batang Natal dan gunung Malintang berhulu sungai Batahan yang mengalir ke pantai barat Sumatra. Sedangkan di hulu sungai Batang Gadis bermuara sungai Pakantan yang berhulu di Gunung Sikalabu (G Kulabu). Masih dari daerah Pakantan juga menjadi hulu sungai Sibinail yang bermuara ke sungai Batang Sumpur (sungai Rokan). Sungai Sumpur/Rokan berhulu di Loeboe Sikaping. Di gunung Sikalabu juga adalah hulu sungai Pasanan dan sungai Sikarabo yang bermuara ke pantai barat di Air Bangis. Masih di sekitar Loeboe Sikaping di sekitar Panti adalah sungai Kampar (Kanan). Wilayah antara Loeboe Raja dan Loeboe Sikapiung inilah wilayah penduduk Angkola Mandailing. Pada muara-muara sungai inilah terdapat pelabuhan-pelabuhan penting. Di pantai barat Sumatra pelabuhan-pelabuhan: Muara Kiawai (sungai Pasaman), Oedjoeng Gading (sungai Sikarabo), Batahan (sungai Batahan), Linggabajoe (sungai Batang/Natal) dan Sangkoenoer (sungai Batang/Toru). Sedangkan di pantai timur Sumatra pelabuhan-pelabuhan: Binanga (sungai Barumun yang berhulu di gunung Malea dan gunung Loeboe Raja), Rokan (sungai Sumpur), Muara Takus (sungai Kampar). Catatan: semua pelabuhan zaman kuno ini masih sangat dekat ke pantai (tidak seperti sekarang terkesan di pedalaman). Kelak di Binanga dibangun candi Padang Lawas, di Rokan dibangun candi Manggis dan di Muara Takus dibangun candi Muara Takus. Jangan lupa di Simangambat di danau Siabu pertemuan sungai Batang Angkola dan sungai Batang Gadis sudah lebih awal dibangun candi Simangambat.

Antara Loeboe Sikaping hingga Loeboe Raja dikatakan wilayah Angkola Mandailing hal ini didasarkan prasasti yang ditemukan pada era Hindia Belanda di Panti berbahasa dan kasara Batak. Dalam hal ini orang Leuboe halak Siladang berada di hulu sungai Batang Gadis sementara itu, orang Ulu alak Ulu berada di hulu sungai Rokan (sungai Sibinail). Seperti pada artikel sebelumnya dipertanyakan siapa orang Lubu yang sebenarnya, maka dalam artikel ini dipertanyakan siapa siapa sisungguhnya orang Ulu. Sebagaimana untuk memahami orang Koeboe, dalam hal ini untuk memahami orang Lubu dan orang Ulu tidak cukup dilihat dari situasi dan kondisi geografis yang sekarang, tetapi harus memperhatikan situasi dan kondisi geografis pada zaman kuno (pada zaman candi-candi).

Nama sungai Sibinail paling tidak sudah diidentifikasi pada tahun 1854 (lihat Bijdragen tot de taal-, land- en volkenkunde van Nederlandsch-Indië, 1854). Disebutkan di timur laut gunung Kelaboe yang menurun yang memisahkan wilayah sungai Sibenajer [Sibinail] dan sungai [Batang] Gadis. Seperti disebut di atas sungai Batang Gadis bermuara di pantai barat, sedangkan sungai Sibinail melalui Rao bermuara ke sungai Rokan di pantai timur. Rokan juga adalah nama kampong (tidak jauh dari Rao).

Bahasa orang Koeboe, orang Oeloe maupun orang Loeboe diketahui sama-sama memiliki akar bahasa yang sama (mirip bahasa Melayu). Bahasa Melayu orang Oeloe dan orang Loeboe memiliki kekerabatan yang sangat dekat bahasa orang Rao. Bahasa Melayu orang Oeloe, orang Loeboe dan orang Rao yang di satu sisi memiliki kemiripan satu sama lain, memiliki grad asai dengan bahasa Rokan, bahasa Melayu (Minangkabau) dan bahasa Melayu (Riau) apalagi dengan bahasa Batak (Angkola Mandailing)., Ini seakan menggambarkan orang Oeloe, orang Rao dan orang Loeboe sangat berdekatan apalagi secara geografis dapat dikatakan dalam satu kawasan.

TJ Willer, seorang pejabat yang pernah bertugas di Afdeeling Angkola Mandailing dan Afdeeling Padang Lawas (1841-1846) telah mengidentifikasi orang Loeboe dan orang Oeloe.b Dalam majalah Tijdschrift voor Neerland's Indië jrg 2, 1839 disebutkan Loeboe memiliki sepuluh kampung besar dengan empat Raja, enam puluh Panghulu dan berpenduduk 10.000 jiwa, termasuk di wilayah Batak. Sementara pada peta 1854 hanya wilayah (distrik) Oeloe yang diidentifikasi di sebelah timur distrik Pakantan dan distrik Klein Mandailing (Mandailing Djoeloe). Ini dapat ditafsirkan bahwa orang Oeloe berada di sekitar kecamatan Muarasipongi yang sekarang. Dalam hal ini terkesan orang Loeboe dan orang Oeloe saling dipertukarkan atau dianggap sama, tetapi TJ Willer membedakannya secara tegas.

Berdasarkan majalah Tijdschrift voor Neerland's Indië jrg 2, 1839, selain distrik Oeloe terdapat sejumlah distrik yang diidentifikasi yang saling berdekatan yakni Angkola, Mandailing Godang, Padang Lawas, Tambusai, Mandailing Djoeloe, Rao dan Alahan Pandjang (menjadi Bonjol). Semua distrik-distrik ini memiliki raja-raja sendiri, kecuali satu-satunya di distrik Rao (yang berada di bawah Kerajaan Minangkabau/Pagaroejoeng).

Rao memiliki dua puluh kampung besar dengan Radja dari suku Manangkau dan lima belas Panghulu, sedangkan setiap kampung memiliki sepuluh Panghoelus lagi. Dapat dihitung populasi lanskap (distrik) ini hampir 25.000 jiwa. Secara sukarela diserahkan kepada Pemerintah (Hindia Belanda) pada tahun 1832, populasinya bagaimanapun, menurun lagi pada tahun 1834, tetapi sejak itu lanskap ini diambil kembali oleh pemerintah pada tahun 1835. Sementara itu Alahan Pandjang memiliki raja sendiri dan tujuh penghulu yang kemudian jatuh ke tangan Padri, suatu pemerintahan sekte agama orang Melayu yang pemerintahan dijalankan oleh empat imam yang sejak itu disebut Bonjol menggantikan nama Alahan Pandjang. Dalam perang Padri distrik Alahan Pandjang dikembalikan haknya.  

Dari keterangan-keterangan di atas, bahwa pada akhirnya distrik Alahan Pandjang dan distrik Rao tidak lagi memili raja sendiri seperti distrik-distrik tetangganya. Lantas mengapa distrik Rao beraja ke Minangkabau (Pagaroejoeng). Dalam hal ini Alahan Pandjang hanya hilang kerajaannya karena dianeksasi Padri. Apakah ketika Rao beraja ke Minangkabau sebagian penduduk memisahkan diri dari Rao sebagai (distrik) Loeboe atau Oeloe yang mengintegrasikan diri ke wilayah Mandailing?

Tunggu deskripsi lengkapnya

Orang Oeloe dan Orang Loeboe pada Era Zaman Kuno

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

 

Tidak ada komentar: