Prof. Dr. Mr. Todoeng Harahap |
***
Todung Harahap
lahir di Padang Sidempuan tahun 1896. Memulai pendidikan dasar di Sekolah Eropa
(Europeesche Lagere School=ELS) Padang Sidempuan tahun 1903. Namun ketika naik kelas dua,
ELS Padang Sidempuan ditutup karena dipindahkan ke Sibolga. Todung Harahap mau
tak mau ikut pindah sekolah ke Sibolga. Pada tahun 1910, Todung menyelesaikan
pendidikan di ELS dan ayahnya Mangaradja Hamonangan seorang pengusaha
perkebunan di Padang Sidempuan menyekolahkan Todung ke Negeri Belanda.
Di
negeri Belanda sendiri, sudah ada dua anak Padang Sidempuan yang studi, yakni:
Rajioen Harahap gelar Soetan Casajangan Soripada dan Abdoel Firman Siregar
gelar Mangaradja Soangkoepon. Sutan Casajangan tiba di Belanda tahun 1905 dan
Mangaradja Soangkoepon tahun 1910. Sutan Casajangan pada tahun 1908 mendirikan
dan presiden pertama Perhimpunan Hindia (Indisch Vereeniging) dan kembali ke
tanah air tahun 1914 dan jabatan terakhir sebagai Direktur Normaal School di
Meester Cornelis, Batavia. Mangaradja Soangkoepon kembali ke tanah air tahun
1917 dan memulai karir sebagai pejabat di Sumatra Timur dan jabatan terakhir
anggota Volksraad tiga periode berturut-turut mewakili ‘dapil’ Sumatra Timur.
Setelah semua
urusan selesai, Todung Harahap berangkat dari Batavia menuju Negeri Belanda
tahun 1911. Dari Batavia menumpang kapal Prinses Juliana tanggal 2 November
1911 dengan nama tertulis di dalam manifest kapal sebagai Si Todoeng (lihat Het
nieuws van den dag: kleine courant, 27-11-1911). Setelah menyelesaikan sekolah hukum
dengan gelar Meester (Mr) tahun 1919 Todoeng pulang ke tanah air..
Tiga
tahun sebelum Todoeng pulang ke tanah air, tahun 1916 tiba di Belanda anak
Padang Sidempuan bernama Sorip Tagor Harahap, alumni Sekolah Kedokteran Hewan
di Buitenzorg (Bogor) untuk melanjutkan pendidikan kedokteran hewan. Belum setahun
di Belanda, tahun 1917 Sorip Tagor (ompung Inez dan Risty Tagor) ini mempelopori
didirikannya Sumatranen Bond (lihat De Sumatra post, 31-07-1919). Organisasi anak-anak
Sumatra yang resmi berdiri tanggal 1 Januari 1917, dewan terdiri dari Sorip
Tagor (sebagai ketua); Dahlan Abdoellah, sebagai sekretaris dan Soetan Goenoeng
Moelia sebagai bendahara. (Salah satu) anggota (benama) Ibrahim Datoek Tan
Malaka (yang kuliah di kampus Soetan Casajangan). Sorip Tagor kelahiran Padang
Sidempuan 1888 sebelum melanjutkan pendidikan tinggi ke Buitenzorg adalah
alumni ELS Padang Sidempuan (1907). Sekolah Dokter Hewan Buitenzorg dibuka
tahun 1907 (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 30-06-1928). Sorip Tagor adalah
alumni pertama Sekolah Kedokteran Hewan di Buitenzorg.
Sarjana Hukum yang Menjadi Guru (1920)
Setelah berada di tanah air, Sutan Gunung Mulia
kenyataanya tidak menjadi ahli hukum, tetapi tidak diketahui mengapa pemerintah
mengarahkannya untuk menjadi guru. Lantas Sutan Gunung Mulia mendapat pelatihan
pendidikan guru dan kemudian ditempatkan sementara di Jawa. Baru tahun 1920,
Todoeng gelar Soetan Goenoeng Moelia diangkat pemerintah menjadi guru dan
ditempatkan sebagai kepala sekolah di Sipirok sebagaimana diberitakan Algemeen
Handelsblad, 18-07-1920. Selanjutnya Sutan Goenoeng Moelia, guru pendidikan
Eropa, diangkat menjadi kepala sekolah di Hollandsch Inlandsche School (HIS)
yang baru dibuka di Kotanopan (lihat Het nieuws van den
dag voor Nederlandsch-Indie, 02-05-1921). HIS adalah sekolah dasar yang diperuntukkan bagi
penduduk pribumi dengan pengantar Bahasa Belanda. Sedangkan ELS adalah sekolah
dasar yang diperuntukkan bagi orang Eropa/Belanda tetapi juga dimungkinkan
menerima siswa pribumi dengan persyaratan yang sangat ketat.
Sipirok dan Kotanopan berada di afdeeling
Mandheling en Ankola dengan ibukota Padang Sidempuan. HIS Kotanopan adalah yang
kedua di Mandheling en Ankola. Sebelumnya, tahun 1914 sudah didirikan
Hollandsch Inlandsche School (HIS) Padang Sidempoean. Gedung HIS Padang
Sidempuan adalah eks gedung Kweekschool Padang Sidempuan yang telah ditutup
tahun 1893. Soetan Casajangan adalah alumni Kweekschool Padang Sidempuan.
Sebelum studi ke Belanda telah mengabdi menjadi guru (kepala sekolah rakyat) di
Simapilapil selama 13 tahun. .
Dalam perkembangannya, untuk mengisi kekosongan 'kursi'
dewan yang ditinggalkan, untuk sidang di Volksraad, terhitung 17 Mei 1921 Sutan
Gunung Mulia juga akan menjadi Volksraad di Batavia (lihat juga Het nieuws van den
dag voor Nederlandsch-Indie, 02-05-1921). Ini berarti Sutan Gunung Mulia
memulai karir di panggung (politik) nasional yang tentu saja akan membawa misi
perbaikan pendidikan pribumi.
Meski Todoeng Harahap adalah sarjana hukum
pertama orang Batak, tetapi pers di era kolonial lebih mengakui Alinoedin
Siregar sebagai ahli hukum pertama orang Batak. Mungkin alasannya karena
Todoeng sendiri tidak intensif berkiprah di lapangan hukum walau bergelar
sarjana hukum. Todoeng lebih banyak menggeluti bidang pendidikan (pengajaran).
Alinoedin Siregar gelar Radja Enda Boemi kelahiran Batangtoru, Padang Sidempuan
meraih gelar doktor (PhD) bidang hukum di Universiteit Leiden tahun 1925.
Anggota Volksraad (1921)
Sutan Gunung
Mulia adalah orang pribumi yang terbilang termasuk pada fase awal di dalam
Volksraad (Dewan Rakyat). Melihat daftar keanggotaan Volksraad tahun 1921,
pribumi di Volksraad sebagian besar adalah alumni Belanda termasuk di dalamnya
Djajadiningrat. Dalam daftar juga terdapat H. Agus Salim. Presiden Volksraad
saat itu adalah Dr. WOM. Schumann (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 14-06-1921).
Volksraad adalah dewan nasional yang berada di
Batavia (Pejambon). Dewan yang lebih rendah berada di tingkat kota (gementee).
Seperti di Kota Medan, anggota dewan kota (gementeeraad) baru diberlakukan
untuk pribumi tahun 1918 yang mekanismenya dilakukan melalui suatu pemilihan
umum (oleh pemilih pribumi atas dasar pendapatan tertentu). Pribumi pertama
yang terpilih di Gementeeraad Kota Medan adalah Kajamoedin Harahap gelar Radja
Goenoeng, seorang guru di Padang Sidempuan yang setelah pension, tahun 1915
diangkat menjadi penilik sekolah di Medan. Untuk Volksraad, slot melalui
pemilihan umum baru dilakukan pada tahun 1927, yang mana untuk seluruh Sumatra
dijadikan satu ‘dapil’ dengan kandidat terpilih Abdoel Moeis. Pada periode
berikutnya, Sumatra dibagi empat ‘dapil’, masing-masing tiap ‘dapil’ satu
kursi. Dapil tersebut: Sumatra’s Westkust, Zuid Sumatra, Noor Sumatra
(Tapanoeli en Atjeh), dan Sumatra’s Oostkust. Dua anggota Volksraad yang
terpilih tahun 1930 adalah Dr. Alimoesa Harahap (dari dapil Noord Sumatra) dan
Abdoel Firman Siregar gelar Mangaradja Soangkoepon (dari dapil Sumatra’s
Oostkust).
Menengahi
Munculnya Perbedaan Batak dan Mandailing
Soetan
Goenoeng Moelia merasa perlu menengahi munculnya perbedaan Batak dan Mandailing
di Medan. Sumber permasalahan hanya karena segilintir orang yang coba menarik
perbedaan antara kaum Islam dengan penganut Kristen. Sementara pemerintah
(Belanda) membiarkan timbulnya masalah. Sebuah surat ditulis oleh Soetan
Goenoeng Moelia yang dikirimkan ke surat kabar De Sumatra Post yang terbit di
Medan dengan judul Batak dan Mandailingers.
De Sumatra post, 29-08-1922: ‘Editor yang
saya hormati. Sejak beberapa kali saya lihat koran Anda, misalnya dalam edisi
17 Agustus tahun ini dengan judul Batak dan Mandailingers, yang menyoroti
pertentangan yang terus mengasah antara Batak dan Mandailingers. Antagonisme,
karena mengungkapkan bahwa persoalan yang ada sekarang, tetapi hanya semata-mata
terjadi di pantai timur, yang terjadi beberapa bulan yang lalu. Ini muncul
karena benturan konflik kepentingan, di awal hanya bisik-bisik, kemudian berpindah
di dalam kehidupan terbuka. Munculnya isu ini bermula di surat kabar Pantjaran
Berita tentang peruntukkan tanah wakaf dan telah menjadi konsekuensi yang tidak
menguntungkan dari pertikaian ini. Untuk kasus ini muncul sebagai kontroversi
ini tampaknya sendiri hanya akan dibatasi di Pantai Timur, dan tidak merembes ke
Tapanoeli. Para Mohamtnedaansche emigran dari Tapanoeli memunculkan isu semua
yang berasal dari Mandailing, Padang Lawas, Angkola dan Sipirok menyebut diri
mereka Pantai Timur Mandailingers, yang mengambil nama untuk sebagian besar
yang berasal dari Mandailing dianggap sebagai nama yang dijadikan sebagai
sebutan asal untuk semua sebagai nama universal, yang dalam hal ini mereka
menempatkan diri mereka berlawanan dari emigran lain yang tingkat kemajuan
peradabannya masih lebih rendah dari Batak yang meliputi Karo, Simeloengoen dan
Toba, hanya dengan cara ini bisa membuat klaim untuk perlindungan yang tinggi
dari penguasa pemerintahan sendiri dalam hak pakai tanah wakaf terkait. Dalam
kondisi ini dikhawatirkan mengakibatkan ‘Batak’ dan ‘Mandailing’ karena itu
secara alami berkembang menjadi konsep, identik dengan Kristen dan Islam.
Kebingungan ini juga menjelaskan fenomena, mengapa pertikaian ini hal-hal motif
yang dikedepankan dengan latarbelakang agama. Padahal pemerintah yang liberal
sejak awal telah memberi ruang, jaminan bagi pemeluk agama Islam mengembangkan
peradabannya tanpa adanya intervensi pemerintah, tetapi kini soal yang muncul
seakan berjalan antagonis, dimana sekarang terbuka konflik. Sekarang di zaman
kita oleh beberapa faktor, kita dapat meringkas pengalaman orang tua kita untuk.kepentingan
nasionalisme, kebutuhan telah menjadi perlu untuk organisasi penduduknya
sendiri, berdasarkan yang mereka hanya bisa berbagi penentuan kepentingan
nasional umum. Mandailingers dari Oostkust keturunan Batak dan menyangkal
homogenitas populasi yang berasal dari Si Raja Batak. Untuk keberadaan sebanyak
60.000 Mandailingers sebagai kelompok yang terpisah, sebagai ras (sic) dan sisanya
sebagai Batak. Padahal secara adat dan etnologi yang tidak satupun dari mereka yang
berbeda, tetapi sebagai tes kritik bisa berdiri jelas bahwa gerakan ini pada
dasarnya tidak lain dipicu dari beberapa oknum yang bersifat chauvinis yang
pada dasarnya dimulai dari perselisihan pribadi diantara mereka yang mencoba
untuk mengembangnya agama sebagai alasan. Padahal di dalam anggaran dasar
organisasi sesuai aturan peraturan perundang-undangan tidak ditemukan hal yang
menjadi isu ini. Lalu, apakah mengesampingkan orang lain dari keanggotaan biasa
dari Batak. Namun baiknya, rekonsiliasi melalui saluran diplomatik untuk
menghindari munculnya keretakan yang tidak pada tempatnya. Saya menganjurkan,
solusi yang mungkin hanya dapat dilakukan dengan cara meningkatkan kesadaran bahwa
Batak dan Mandailingers sebagai satu dan terikat sebagai satu suku meski berbeda-beda
dalam keyakinan. Sutan Goenoeng Moelia’.
Soetan
Goenoeng Moelia telah menunjukkan jatidirinya sebagai pendidik yang terhormat,
tidak terkooptasi dalam perselisihan sejumlah oknum di kedua belah pihak.
Soetan Goenoeng Moelia melihat isu ini sebagi ekses yang terjadi di rantau
(Medan) karena segala macam peradaban telah berbaur dan campur aduk yang memang
pada waktu itu sudah muncul adanya saling memojokkan antar agama dari semua
penduduk local dan penduduk pendatang di Medan. Soetan Goenoeng Moelia telah
mencoba menengahi dengan melihat kembali pada akar dan asal awal peradaban baru
di Tanah Batak bahwa semuanya satu meski dalam keyakinan berbeda. Soetan
Goenoeng Moelia yang lahir dan besar di Padang Sidempuan tidak pernah melihat
dan bahkan mendengar kejadian serupa ini di kampong halamannya. Bahkan di tempat
kelahiran ayah dan ibunya di Sipirok, antar yang berbeda agama justru terdapat
harmoni. Sebagaimana diketahui sudah sejak awal (dahulu) masjid dan gereja
ditempatkan di lokasi yang sama dan sangat berdekatan. Boleh jadi, tulisan yang
dikirimkan oleh Soetan Goenoeng Moelia ingin mengungkapkan kearifan local yang
boleh jadi terabaikan di rantau. Soetan Goenoeng Moelia coba menengahi dengan
cara mengingatkan bahwa harmoni adalah visi nasionalisme para orang tua dahulunya.
Ini menunjukkan bahwa Soetan Goenoeng Moelia telah memperlihatkan dirinya
sebagai orang terpelajar, berpendidikan Eropa, seorang guru, seorang pendidik
dan seorang anggota dewan (Volksraad) yang terhormat, tetapi tidak melupakan
kearifan lokal yang telah dikembangkan dan dipraktekkan para orangtua sejak
doeloe.
Wakil Direktur
Normaal School di Meester Cornelis, Batavia (1927)
Soetan Goenoeng
Moelia menurut berita Bataviaasch
nieuwsblad, 15-03-1927 termasuk salah satu anggota dewan yang ditunjuk (kembali). Sementara itu, Soetan Goenoeng Moelia juga adalah guru kelas-1 dengan sertifikat guru Eropa, seperti halnya pangkat
terakhir Soetan Casajangan. Bataviaasch nieuwsblad, 26-07-1927 memberitakan
bahwa Soetan Goenoeng Moelia diperbantukan untuk membantu Direktur Normaal
School di Meester Cornelis, Batavia. Hal ini karena Soetan Casajangan yang
telah lama menjabat Direktur di sekolah tersebut telah meninggal dunia pada
bulan April 1927. Pada bulan Mei 1929 Soetan Goenoeng Moelia resmi diangkat
menjadi guru di Normaal School di Meester Cornelis (lihat Soerabaijasch handelsblad,
29-05-1929).
Soetan Casajangan mengundurkan diri karena mulai
lelah dan sakit. Permintaan Soetan Casajangan kemudian dikabulkan dan
diberhentikan dengan hormat sebagai Direktur Normaal School di Meester Cornelis (Jakarta) yang dimuat di koran De
Indische Courant yang terbit tanggal 18-03-1927. Tidak lama kemudian, tersebar
luas Soetan Casajangan pada tanggal 2 April 1927 telah menghembuskan nafas
terakhir, meninggal dunia karena stroke. Berita meninggalnya Soetan Casajangan
dimuat di koran De Indische Courant yang terbit tanggal 08-04-1927.
Kandidat dalam Pemilu Perdana (1927)
Selama
ini anggota dewan pusat ditunjuk oleh pemerintah pusat berdasarkan keputusan
Gubernur Jenderal. Pada tahun 1927 dilakukan untuk pertama kali pemilihan umum
dimana Sumatra dijadikan satu dapil dengan jumlah kursi hanya satu buah. Soetan
Goenoeng Moelia yang telah menjadi anggota dewan sejak 1921 termasuk nama yang
dicalonkan dari Tapanoeli.
De Indische courant, 15-02-1927 (Sumatera dan
Dewan Rakyat): ‘hari Jumlat telah ditetapkan kandidat dari Sumatra di Weltevreden
kecuali dr. Rivai dikeluarkan dari daftar lima lainnya kandidat Sumatera. Hal
ini karena Dr Rivai, meskipun orang Sumatra dan kelahiran Indonesia, tetapi karena
telah dinaturalisasi sebagai seorang Belanda, maka dia harus ditempatkan
sebagai kandidat Eropa/Belanda. Menurut undang-undang pemilihan baru pribumi
yang dinaturalisasi disamakan dengan Europeacea. Oleh karena itu, dalam
pemilihan berisi nama-nama dari Sumatera sebagai berikut: Abdul Moeis (Garut),
Sutan Goenoeng Moelia (Tapanoeli), Dr. Abdul Rasjid (Tapanoeli), Tjik Nang (Palembang),
dan Sutan Mohamad Zain (Weltevreden).
Dalam
pemilihan umum perdana ini akhirnya yang terpilih adalah Abdoel Moeis. Sekadar
diketahui Abdoel Moeis adalah sastrawan terkenal dari asal Sumatra Barat (Sutan
Mohamad Zain juga dari Sumatra Barat). Ini berarti Sutan Goenoeng Moelia dan
satu lagi kandidat dari Tapanoeli bersama lainnya harus merelakan satu diantara
mereka lolos ke Pejambon dalam pemilu pertama ini (sekarang dewan berada di
Senayan).
Kandidat Tapanoeli, yakni Soetan Goenoeng
Moelia dan Abdul Rasjid adalah dua tokoh Tapanoeli yang boleh jadi memiliki
fortopolio tertinggi dari penduduk (asal) Tapanoeli. Mereka berdua
masing-masing mewakili guru dan dokter. Dua profesi ini merupakan profesi yang
telah sejak lama dimiliki oleh penduduk Tapanoeli khususnya dari afdeeling
Padang Sidempuan (Mandheling en Ankola). Sebagaimana diketahui bahwa Willem
Iskander adalah pionir pendidikan di Indonesia, tahun 1857 studi untuk
mendapatkan akte guru ke Belanda (orang Indonesia pertama studi ke Belanda). Sejak
Willem Iskander membuka sekolah guru di Tanobato 1862, banyak (bahkan ratusan)
guru yang dihasilkan dari afd Mandheling en Ankola atau afd. Padang Sidempuan
(surplus guru). Sebelumnya, dua kakak kelas Willem Iskander bernama Si Asta dan
Si Angan studi kedokteran di docter djawa school di Batavia tahun 1854. Kedua
anak muda ini merupakan dua siswa pertama yang diterima yang berasal dari luar
Jawa (sekolah Docter Djawa School dibuka tahun 1851). Sejak itu sudah puluhan
dokter yang berasal dari Padang Sidempuan (Mandheling en Ankola) tersebar di
berbagai tempat (surplus dokter). Oleh karenanya kandidat yang mengemuka,
Soetan Goenoeng Moelia dan Abdul Radjid yang diusulkan dari Tapanoeli,
merupakan suatu representasi adanya surplus guru dan surplus dokter dari
Tapanoeli khususnya Padang Sidempua (Mandheling en Ankola).
Anggota Komisi Pendidikan HIS (1929)
Hollandsch-lnlandsch
School (HIS) sudah banyak didirikan di Hindia Belanda termasuk di Padang
Sidempuan. HIS sendiri pertama kali didirikan tahun 1914. Berdasarkan Keputusan
Gubernur Jenderal, tanggal 28 November 1927 dibentuk Hollandsch lnlandsch
Onderwljs Commissie. Komisi ini diketuai
oleh Prof. BJO Schrieke anggota terdiri dari 10 orang termasuk diantaranya Dr.
Mr. Sutan Goenoeng Moelia. Komite ini dibentuk untuk memberikan saran tentang
kebutuhan sosial untuk pendidikan dasar yang pengajarannya dengan bahasa Belanda
bagi penduduk pribumi (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 30-03-1929). Pada akhir tahun 1929 Sutan Goenoeng Moelia meminta dengan hormat mengundurkan diri karena ingin sekolah dan dikabulkan terhitung 1 Desember 1929 (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 18-01-1930).
Sebelum berangkat Soetan Goenoeng
Moelia studi ke Belanda masih sempat mendirikan persatuan orang-orang Kristen dari kalangan pribumi dengan memisahkan diri dari CSP dengan nama Persatuan Masehi Indonesia. Dari pihak Belanda sempat kaget dan meminta Soetan Goenoeng Moelia membatalkannya. Soetan Goenoeng Moelia menjelaskan secara diplomatis bahwa pertimbangannya karena orang Kristen pribumi sudah sangat banyak dan kami tidak ingin dipimpin oleh minoritas Belanda. Sekali lagi pihak Belanda mengusulkan agar niat itu ditarik kembali, toh juga Soetan Goenoeng Moelia tidak lama lagi akan berangkat studi ke Belanda. Akan tetapi Soetan Goenoeng Moelia tetap bersikeras dan lalu meminta Laoh, anggota Volksraad sebagai ketua dan E. Harahap sebagai sekretaris. Lalu kemudian muncul lagi permintaan, yang anehnya dari kalangan Ambon meminta inisial diubah karena mirip PNI, sedangkan yang dari kalangan Belanda (organisasi induk) meminta kata 'Indonesia' dihilangkan karena menurut mereka pemerintah penggunaan nama Indonesia belum dibenarkan. Perminntaan ini juga ditolak (lihat Het nieuws van den dag voor
Nederlandsch-Indie, 16-12-1930).
Soetan Gunung Moelia Mendirikan 'Persatuan Masehi Indonesia', Menolak Kata 'Indonesia' Dihilangkan (1930)
Apa yang ada dalam pikiran Soetan Goenoeng Moelia, anak Padang Sidempuan, di dalam detik-detik terakhir keberangkatannya pergi studi jauh ke Negeri Belanda? Bagi siapa yang telah membaca buku 'maha guru' Willem Iskander yang berjudul Siboeloes-boeloes, Siroemboek-roemboek yang terbit tahun 1870 di Batavia dapat memahami kegalauan Soetan Goenoeng Moelia ini. Satu prosa dalam buku ini mengisyaratkan 'perlawanan' terhadap Belanda. Apakah pemisahan dan pendirian organisasi itu semacam perlawanan? Kenyataan, belum setahun Willem Iskander untuk kali kedua studi ke Belanda tahun 1876 dikabarkan telah meinggal dunia. Namun yang jelas isi prosa tersebut telah meninggalkan pesan yang mendalam bagi pembacanya (yang tentu saja sudah dibaca oleh Soetan Goenoeng Moelia). Ataukah Soetan Goenoeng Moelia terinspirasi dari protes Dja Endar Moeda pada tahun 1901 di dalam korannya Pertja Barat bahwa orang pribumi yang Islam atau yang Kristen jangan dipisahkan secara politik dimana Kristen disamakan dengan Eropa.Belanda. Menurut Dja Endar Moeda 'kami bersaudara' dan memiliki 'perilaku yang sama' meski berbeda dalam keyakinan (politik pecah belah dihalangi oleh persaudaraan yang kuat).
Jiwa patriot bangsa ini tampaknya telah diteruskan oleh Soetan Goenoeng Moelia seperti halnya Dja Endar Moeda dan Willem Iskander. Mungkin banyak generasi sekarang yang bertanya-tanya, mengapa selalu muncul jiwa patriot kebangsaan (nasionalisme) yang kuat dari putra-putri afd. Mandheling en Ankola di setiap episode? Jawabnya adalah penduduk Mandheling en Ankola telah mengalami dua kali penderitaan yang sangat atas kezaliman. Pertama invasi padri yang telah menghancurkan akumulasi pengetahuan dan banyaknya korban jiwa. Kedua, tanam paksa (coffieculture stelsel) yang menyebabkan penderitaan penduduk dan banyak korban jiwa. Peristiwa kerusuhan tanam paksa ini direkam dengan baik oleh Edward Doewes Dekker yang kala itu tahun 1843 menjabat sebagai controleur di Natal yang membuat dirinya desersi dan mengadvokasi penduduk. Apa yang menjadi sumber ide Douwes Dekker tentang istilah Multatuli besar dugaan dari peristiwa ini (Edward Douwes Dekker kelak lebih dikenal dengan nama Multatuli, bukunya yang terkenal Max Havelaar). Dalam hal ini, tentu saja Willem Iskander yang lahir tahun 1839 secara langsung mengalaminya dan cerita dan jejak itu mudah diperolehnya karena rentang waktunya masih dekat antara kejadian dengan kesadaran nasionalnya. Sebuah prosa di dalam bukunya jelas-jelas ungkapan bentuk perlawanan yang terus mengingatkan bahwa kolonialisme adalah penderitaan. Boleh jadi, dalam hal ini di dalam jiwa Soetan Goenoeng Moelia masih ada jiwa patriot itu, bahwa musuh bersama adalah kezaliman apapun agamanya (padri beragama Islam, Belanda beragama Kristen).
Soetan Gunung Moelia Studi Doktoral, (kembali) ke
Belanda (1930)
Soetan Goenoeng
Moelia adalah berpendidikan tunggi dengan gelar ‘master’ (Mr). Syarat untuk
melanjutkan ke tingkat doktoral haruslah lulus ‘master’. Pada awal tahun 1930
Soetan Goenoeng Moelia berangkat studi (untuk kali kedua) ke Belanda yang kali
ini untuk mengambil gelar doctor (PhD).
Ada dua alasan kemungkinan Soetan Goenoeng Moelia
melanjutkan studi doktoral. Pertama,
meski bergelar ‘master’ pada bidang hukum tetapi aktivitasnya lebih banyak di
bidang pendidikan, seperti guru Eropa, Direktur sekolah HIS, anggota Volksraad
yang membidangi kemasyarakatan (termasuk bidang pendidikan), anggota komisi
pendidikan HIS. Untuk bidang pedagogi ini, belum ada pribumi yang berpendidikan
doktor, mungkin dilihatnya, kebutuhan ini sangat diperlukan dalam pembangunan pendidikan
pribumi dan diperlukan orang pribumi. Boleh jadi ini yang menjadi alasan
pertama mengapa Soetan Goenoeng Moelia masih bertekad untuk sekolah sekalipun
umurnya tidak muda lagi dan jabatannya sudah lebih dari cukup. Kedua, Soetan Goenoeng Moelia adalah
anak pensiunan guru di Padang Sidempuan, kota pendidikan, yang kini menjadi
pengusaha. Tentu saja ingin mempertinggi kualitas guru di keluarga dan
seadainya tabungan sendiri tidak cukup untuk membiayai studi masih ada ayah
yang berpotensi untuk membantu keuangan. Pemerintah Belanda tidak mudah
memberikan beasiswa, hanya satu kali yang diketahui pemerintah memberikan
beasiswa kepada pribumi yakni kepada Willem Iskander tahun 1857. Untuk
meloloskan itu perdebatannya di Volksraad sangat bertele-tele. Enam pribumi pertama
yang berhasil menjadi doktor sebelumnya, yakni Dr. Djajadiningrat, Dr.
Gondowinoto, Dr. Poerbatjaraka, Dr. Alinoedin Siregar gelar Radja Enda Boemi,
Dr. Apituley dan Dr. Ida Loemongga Nasoetion kenyataanya adalah atas biaya
sendiri dan bantuan orangtua (yang memang berkecukupan). Pendek kata: hanya
orang cerdas dan punya visi serta ‘setengah gila’ dengan dukungan pembiayaan
yang kuat yang bersedia (rela) studi doktoral kala itu (ketika lebih dari 90
persen penduduk pribumi masih buta huruf). Meski naïf (berkorban) untuk ukuran
jaman sekarang, tetapi setidaknya mereka telah menunjukkan dedikasi dan telah mempelopori
suatu tingkat pencapaian pendidikan di mata orang-orang Eropa/Belanda yang tentu
saja sangat diperlukan oleh kaum pribumi sendiri. Karena itu mereka termasuk pahlawan.
Ayah Sutan Gunung
Mulia, Mangaradja Hamonangan Meninggal Dunia di Padang Sidempuan (1933)
Berita meninggalnya ayah Sutan Gunung Mulia di Padang Sidempuan |
Sesungguhnya Sutan Gunung Mulia berada di
dalam tradisi keluarga guru. Ompungnya, Sjarif Anwar Harahap gelar Soetan
Goenoeng Toea berasal dari keluarga muslim. Sjarif Anwar memulai pendidikan
dasar di Sipirok dengan guru Nommensen (1862). Sebagaimana diketahui, Nommensen
datang pertamakali ke Tanah Batak tahun 1861 di Sipirok (sebelum berkiprah di
Silindoeng dan Toba). Setelah lulus sekolah, Soetan Goenoeng Toea awalnya
menjadi guru tetapi kemudian direkrut Asisten Residen Mandheling en Ankola di
Padang Sidempuan tahun 1875 untuk menjadi penulis (sjriver). Namun setelah
beberapa tahun Soetan Goenong Toea diangkat menjadi jaksa (hingga akhir
hayatnya) yang berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Soetan Goenoeng
Toea memiliki dua anak laki-laki, yakni: Djamin Harahap gelar Baginda Soripada
dan Mangaradja Hamonangan. Djamin awalnya menjadi mantri polisi di Medan dan
kemudian diangkat menjadi jaksa yang berpindah dari satu tempat ke tempat
lainnya di Sumatra Timur dan Tapanoeli. Sedangkan Mangaradja Hamonangan awalnya
adalah guru di Sipirok yang kemudian menjadi pengusaha dan menetap hingga akhir
hayatnya di Padang Sidempuan. Djamin
Harahap adalah ayah dari Amir Sjarifoedin gelar Soetan Soaloon, sedangkan Mangaradja
Hamonangan adalah ayah dari Todoeng Harahap gelar Soetan Goenoeng Moelia. Amir
Sjarifoedin kelahiran Medan dan Todoeng kelahiran Padang Sidempuan, keduanya
sama-sama mengikuti jejak karir ayah masing-masing (Like Son, Like Father).
Meraih Gelar Doktor
di Universiteit Leiden (1933)
Orang ketujuh
Indonesia yang meraih gelar doktor adalah Soetan Goenoeng Moelia dalam bidang
sastra dan filsafat di Universiteit Leiden dengan desertasi berjudul: ‘Het
primitieve denken in de moderne wetenschap', Mr. Todoeng Harahap gelar Soetan
Goenoeng Moelia, lahir di Padang Sidempoean (Algemeen Handelsblad, 09-12-1933).
Berita Sutan Gunung Mulia meraih doktor (PhD) |
Dr. Mr. Todoeng gelar Soetan Goenoeng Moelia menurut berita Bataviaasch
nieuwsblad, 20-01-1934 akan ditempatkan di HIK Bandoeng segera setelah tiba di negara ini dari Eropa. HIK adalah singkatan dari Holandsche Indische Kweekschool.
Anggota Dewan Akademik (1938)
Sutan Gunung
Mulia juga adalah anggota Bestuurs Academic. Dewan ini terdiri dari, presiden, Prof.
R. Hussein Djajadiningrat (anggota Volksraad), HA Loghem (Residen di West
Java), Dr GF. Piper (penasihat untuk Urusan Pribumi), RTA Hasan Soemadipradja (Bupati
Batavia) dan Dr. Mr. Todoeng Gelar Sutan Goenoeng Moelia (anggota Volksraad). Dewan
ini adalah dewan yang terbilang bergengsi (lihat Het nieuws van den dag voor
Nederlandsch-Indie, 30-07-1938).
Menjadi Pejabat di Departemen Urusan Ekonomi (1939)
Mr. Dr. Todoeng
SG Moelia sekarang secara resmi bertugas di Departemen Urusan Ekonomi. Namun terhitung
dari tanggal 8 Maret dikembalikan ke Departemen Pendidikan dan Agama. Soetan
Goenoeng Moelia akan kembali menduduki posisinya sebagai inspektur pada
pendidikan Inlandsch. Sementara fungsinya yang juga sebagai anggota dewan rakyat
(Volksraad) tetap diangkat oleh Pemerintah (lihat De Sumatra post, 25-02-1939).
Oleh karena
pimpinan Ketua Volksraad kosong atas kepergian Mr. WH Helsdingen, muncul
beberapa kandidat, namun hanya tiga calon kuat yang direkomendasikan yakni:
Prof. Dr. Mr. Djajadiningrat, Dr. Mr. Sutan Goenoeng Moelia dan M r. J. A.
Jonkman (lihat De Sumatra post, 01-02-1939).
Sayang, Soetan Goenoeng Moelia tidak dipilih Gubernur Jenderal, yang terpilih
adalah Jonkman yang saat ini menjabat sebagai Ketua Pengadilan di Semarang
(lihat Soerabaijasch handelsblad, 24-04-1939). Jabatan terakhir Dr. Mr. Sutan
Goenoeng Moelia di dewan sebelum perang adalah Wakil Ketua Volksraad (lihat Het
nieuwsblad voor Sumatra, 30-06-1949).
Sutan Gunung Mulia dan Mangaradja Soangkoepon: Dua
Macan Pejambon (1940)
Dr. Mr. TSG Moelia |
Mangaradja
Soangkoepon adalah anggota dewan fenomenal, sebagai macan Pejambon, maka selalu
terpilih dalam pemilu. Kini, Mangaradja Soangkoepon untuk ketiga periode secara
berturut-turut menjadi anggota Volksraad. Pada periode ketiga ini Mangaradja
Soagkoepon dan Sutan Gunung Mulia bahu membahu untuk berjuang untuk kepentingan
rakyat (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 12-02-1940).
Sutan Gunung Mulia terkesan kalem terhadap pemerintah Belanda tetapi pemikiran
dan substansinya sangat tajam terutama di bidang pendidikan, sedangkan
Mangartadja Soangkoepon terkesan galak terhadap pemerintah Belanda (kadang
tanpa kompromi).
Menteri Pendidikan
RI (1945)
Ketika Medan masih kampung, Padang Sidempuan sudah kota besar |
Mendirikan Partai
Politik (1945)
Soetan Goenoeng
Moelia juga terlibat dalam politik praktis dengan mendirikan partai politik.
Tanggal 18 November 1945, Dr. Soetan
Goenoeng Moelia mendirikan Partai Kristen Indonesia (Parkindo). Pendiri partai
politik lainnya adalah Amir Sjarifoedin dengan nama Gerakan Indonesia
(Gerindo). Hanya mereka dua bersaudara ini yang menggagas partai politik dari semua
anak-anak yang berasal dari Afdeeling Padang Sidempuan. Soetan Goenoeng Moelia
berbasis partai komunitas dan Amir Sjarifoedin berbasis partai nasional.
Namun untuk urusan organisasi kemasyarakatan anak-anak
Padang Sidempuan sangat banyak jumlahnya. Bahkan diantara mereka itu semuanya terbilang
pionir.
Pertama, Dja Endar
Moeda di Padang pada tahun 1900 mendirikan organisasi sosial pertama di
Indonesia yang diberi nama Medan Perdamaian. Organisasi ini juga didirikan di
Fort de Kock, Medan, Palembang, Batavia dan Pematang Siantar. Organisasi ini
bertujuan untuk kemajuan bangsa. Medan Perdamaian ketika masih dipimpin oleh
direktur (ketua) Dja Endar Moeda pada tahun 1902 sebagaimana dilaporkan De
Locomotief (edisi 21-08-1902) bahkan telah memberi sumbangan bagi peningkatan
pendidikan di Semarang sebesar f 14.490 yang diserahkan melalui Charles Adrian
van Ophuijsen yang saat itu menjabat sebagai Direktur Pendidikan Province
Sumatra’s Westkust (Pantai Barat Sumatra). Ini satu bukti bahwa Medan
Perdamaian tidak hanya organisasi multi etnik tetapi juga nyata untuk tujuan
semua bangsa (Indonesia) dan bahkan organisasi ini lebih tua (delapan tahun) dibandingkan
dengan organisasi sejenis Boedi Oetomo di Batavia tahun 1908. Keberadaan Medan
Perdamaian sebagai organisasi sosial pertama di Indonesia dan diketahui oleh
peserta kongres Boedi Oetomo yang pertama diberitakan oleh Soerabaijasch
handelsblad, 20-10-1908, yang isi beritanya sebagai berikut: ‘Pada pertemuan asosiasi Boedi Oetomo, yang
diselenggarakan di Djokdjakarta 3 Oktober 1908 (Kongres pertama Boedi Oetiomo,
red) pemerintah menanggapi pertanyaan dari Bupati Temanggoeng bahwa di luar
Djawa sudah ada asosiasi sejenis. (seperti misalnya, cabang) Medan Perdamaian
di Fort de Kock yang didirikan 17 Oktober 1907. Organisasi Medan Perdamaian
(sebagaimana) diketahui bertujuan untuk mewakili kepentingan anggota dan
populasi dalam satu kata: kemajuan. Untuk mencapai tujuan, organisasi Medan
Perdamaian telah diputuskan menerbitkan majalah (maandelijksch) yang akan
dicetak dan diterbitkan oleh penerbit pribumi Dja Endar Moeda di Padang yang
akan berisi ilmu sehari-hari yang berguna dan yang diperlukan di bidang
pertanian, peternakan, industri, pendidikan, kesehatan kampung, keadilan, dll.
Organisasi (cabang) Fort de Kock ini sudah memiliki anggota 700 orang’. Dengan
bukti ini, anggapan selama ini bahwa Boedi Oetomo yang pertama di Indonesia
harus dikesampingkan.
Kedua, Soetan
Casajangan mendirikan organisasi nasional ‘mahasiswa Indonesia’ di Belanda
tahun 1908 di satu sisi untuk memperkuat persatuan dan kesatuan di rantau dan
di sisi lain sebagai respon terhadap berdirinya Boedi Oetomo yang bersifat
kedaerahan (terbatas di Jawa saja). Boedi Oetomo didirikan para mahasiswa
STOVIA asal Jawa yang dipelopori oleh Soetomo pada tanggal 28 Mei 1908
(sekarang dijadikan sebagai Hari Kebangkitan Nasional). Mungkin Soetan
Casajangan kecewa dengan lahirnya organisasi yang bersifat kedaerahan Boedi
Oetomo ini, padahal sudah terang benderang sudah ada organisasi multi etnik
yang bersifat nasional yang didirikan oleh Dja Endar Moeda di Padang tahun 1900
dan telah didirikan oleh Mohamad Sjafei di Batavia. Inisiatif Soetan Casajangan
membentuk organisasi mahasiswa di Belanda yang dikenal sebagai Indisch
Vereeniging (Perhimpunan Indonesia) di satu sisi ingin mengingatkan para
penggagas Boedi Oetomo tidak mundur, dan di sisi lain ingin memperkuat
pemikiran maju Dja Endar Moeda yang bervisi nasional (Dja Endar Moeda adalah
kakak kelas Soetan Casajangan di Kweekschool Padang Sidempuan). Kongres Boedi
Oetomo pertama di Djokjakarta tanggal 3 Oktober 1908, Indisch Vereeniging secara resmi didirikan pada
tanggal 25 Oktober 1908. Misi dan instrument organisasi Boedi Oetomo
jika diperhatikan merupakan copy paste dari Medan Perdamaian. Hanya visi yang
berbeda: Medan Perdamaian bersifat nasional, sementara Boedi Oetomo bersifat
kedaerahan (di Jawa).
Ketiga, Sorip Tagor di
Belanda pada tanggal 1 Januari 1917 mengagas didirikannya Sumatranen Bond
(Persatuan Sumatra) yang pentolannya antara lain Sorip Tagor (sebagai ketua), Dahlan
Abdoellah (sekretaris), Soetan Goenoeng Moelia (bendahara) dan para anggota
yang mana satu diantaranya yang terkenal Tan Malaka). Sumatranen Bond ini
dibentuk untuk merespon dua hal, yakni di satu sisi gerakan Indisch Vereeniging
menjadi kendor setelah Soetan Casajangan pulang ke tanah air tahun 1914,
sedangkan di sisi yang lain Boedi Oetomo semakin diperhatikan oleh pemerintah (politik
pecah belah kedaerahan), sedangkan yang bersifat nasional disudutkan. Hal lain juga
soal dimana para anggota Boedi Oetomo semakin lupa visi nasional (baik senior
maupun junior) dengan munculnya Jong Java di Batavia di tingkat pemuda dan pelajar
serta mahasiswa. Pada bulan Desember 1917 anak-anak STOVIA asal Sumatra
membentuk Sumatranen Bond di Batavia yang dipelopoti oleh Mansoer (ketua),
Abdul Munir Nasution (wakil ketua) dan mahasiswa-mahasiswa lainnya. Sumatranen
Bond lambat laun menonjol sebagai Jong Sumatra. Sejak itu muncul jong-jong
lainnya.
Parada Harahap, The King |
Dengan demikian,
disadari atau tidak disadari, sengaja atau tidak sengaja, dalam kenyataannya ada
garis continuum pionir organisasi-organisasi di Indonesia mulai dari Dja Endar
Moeda, kemudian Soetan Casajangan, lalu Sorip Tagor dan Parada Harahap yang
kemudian di lapangan politik diteruskan oleh Amir Sjarifoedin dan Soetan
Goenoeng Moelia. Amir Sjarifoedin dengan organisasi baru Gerindo sesungguhnya
sudah menyambung jalur nasional (setelah PNI dengan pentolannya Ir. Soekarno yang
bersifat nasional dilarang), namun dalam perkembangannya berbagai organisasi
politik muncul (nasional vs agama). Soetan Goenoeng Moelia tampaknya memberi respon
dengan membentuk partai baru yang dikenal sebagai Parkindo (Partai Kristen
Indonesia). Yakni memperjuangkan minoritas (Parkindo ala Soetan Goenoeng
Moelia, Batak Bond ala Parada Harahap, Sumatranen Bond ala Sorip Tagor dan
Indisch Vereeniging ala Soetan Casajangan).
Untuk sekadar diketahui pionir dalam organisasi
tersebut masih berlanjut. Pada tahun 1947, dua anak Afdeeling Padang Sidempuan
meggagas lagi dua organisasi mahasiswa yang berbeda. Pertama, Lafran Pane mendirikan organisasi mahasiswa Islam (di luar
kampus) di Jokjakarta yang dikenal sebagai HMI (Himpunan Mahasiswa Islam). Kedua, Ida Nasoetion dan G. Harahap
mendirikan organisasi mahasiswa (di dalam kampus) di Jakarta yang disebut PMUI
(Persatuan Mahasiswa Universiteit van Indonesia). Organisasi ini meliputi
mahasiswa-mahasiswa di fakultas kedokteran, filsafat dan sastra di Jakarta
(kini UI), fakultas pertanian di Bogor (kini IPB), fakultas teknik di Bandung
(kini ITB), fakultas ekonomi di Makassar (kini Unhas) dan lainnya. Lafran Pane
adalah adik Sanusi Pane dan Armijn Pane. Ida Nasoetion adalah esais paling
berbakat dan ditakuti militer Belanda dan setahun setelah PMUI didirikan, Ida
Nasoetion hilang lenyap selamanya, menurut pers kala itu, diduga dibunuh
intelijen Belanda di Bogor. Ida Nasoetion adalah anak dari…(cari sendiri ya).
Menjadi Guru Besar
(1946)
Setelah tidak
menjabat Menteri Pendidikan, Sutan Gunung Mulia bertugas sebagai guru besar
Universitas Darurat Indonesia. Di ibukota Negara pengungsian di Jokjakarta
didirikan Universitas Darurat Indonesia.
Setelah pengakuan kedaulatan RI, ibukota kembali ke Jakarta lalu
fakultas-fakultas kedokteran Universiteit van Indonesia (peninggalan kolonial),
seperti fakultas kedokteran di Jakarta menjadi Universitas Indonesia, fakultas
pertanian di Bogor menjadi IPB, fakultas teknik di Bandung menjadi ITB dan
fakultas ekonomi menjadi Unhas. Di Jakarta, Prof. Sutan Gunung Mulia menjadi
guru besar di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Universitas Darurat
Indonesia di Jokjakarta kemudian menjadi UGM.
Menjadi Plt
Walikota Batavia (1949)
Prof. Sutan
Gunung Mulia menjadi Plt Walikota Batavia (lihat Het nieuwsblad voor Sumatra,
02-07-1949).
Sejak proklamasi, selama perang hingga pengakuan
kedaulatan beberapa pejabat yang berasal dari Afdeeling Padang Sidempuan adalah
Mr. Loeat Siregar sebagai walikota pertama Kota Medan, SM Nasution sebagai
gubernur pertama Sumatra Utara, Dr. Radjamin Nasoetion sebagai walikota pertama
Kota Surabaya (sejak era Jepang hingga era republik), Dr. Gindo Siregar (Mayor
Jenderal) sebagai Gubernur Militer Sumatra Utara, Mr. Gele Harun Nasoetion (Letkol)
sebagai residen pertama Lampung, Mr. Masdoelhak Nasoetion, PhD sebagai residen
pertama Sumatra Tengah (Sumatra Barat dan Riau) yang kemudian menjadi penasehat
hukum Ir. Soekarno dan Drs M. Hatta di Djokjakarta, Abdul Hakim Harahap sebagai
wakil residen Tapanoeli, Binanga Siregar sebagai residen Sumatra Timur, dan
tentu saja Amir Sjarifoedin Harahap sebagai tokoh sentral (the founding father
republic), sebagai Menteri Penerangan, Menteri Pertahanan dan Perdana Menteri
RI.
Ketua Komite Sumatera untuk KMB (1949)
Dalam rangka
persiapan Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag di Jakarta dibentuk Komite Kontak
Sumatra. Het nieuwsblad voor Sumatra, 30-06-1949 melaporkan komite kontak ini dibentuk
untuk fungsi koordinasi kepentingan Sumatera dalam arti luas. Komite ini
dipimpin oleh Prof. Dr. Mulia yang mana anggotanya termasuk Dr. Mansoor dari
Sumatra Timur, Mr. Abbas dari Tapanoeli, Mr Abdul Malik dari Palembang. Pembentukan
komite ini sebagai konsekuensi dari keputusan Konferensi Sumatera pertama untuk
mendirikan badan kontak. Melalui komite ini dikordinasikan wakil-wakil Sumatra
ke KMB.
Anggota Misi Indonesia ke PBB (1949)
Het nieuwsblad
voor Sumatra, 03-09-1949 memberitakan
bahwa Ketua Komite Kontak Sumatera, Prof. Mr. Dr. Todoeng gelar Sutan Gunung
Mulia akan berpartisipasi dalam diskusi di Majelis Umum PBB. Namun sebelum ke
Amerika, Ketua Kontak Sumatra beberapa waktu di Belanda dalam rangka berpartisipasi dalam diskusi dengan delegasi KMB. Sebagai koordonator Sumatra untuk
seluruh delegasi ke KMB diberikan kepada
Mr. Sjukur Sonpada dan RO Simatupang sebagai sekretaris. Wakil-wakil
Sumatra dalam komite Sumatra ini adalah Tengku Mohammad dari Indragiri, RDA.
Chalik Djojoningrat dari Jambi, Dr. Anas dari Minangkabau, N. Toha Effendi dari
Lampong, M. Jasin dari Bengkulen, E. Siagian dari Tapanuli dan Tengku Datuk
Kasim dari Siak.
Satu lagi anak Padang Sidempuan (selain Sutan Gunung
Mulia dan Mr. Sjukur Soripada) yang berpartisipasi dalam KMB adalah Abdul Hakim
Harahap yang secara khusus menjadi penasehat ekonomi. Abdul Hakim adalah mantan
wakil residen Tapanoeli, yang di era Jepang diangkat sebagai sekretaris dewan
Tapanoeli dan di era Belanda jabatan terakhir sebelum pendududkan Jepang sebagai
Kepala Kantor Ekonomi dan Keuangan Wilayah Indonesia Timur di Makassar.
Kekhususan lain dari Abdul Hakim dalam KMB ini adalah sangat fasih tiga bahasa
asing: Belanda, Inggris dan Prancis.
Masih menurut
berita Het nieuwsblad voor Sumatra, 03-09-1949 sebanyak 150 delegasi Indonesia
untuk KMB telah diterima oleh walikota Amsterdam, diantara mereka adalah Sultan
Hamid II, Moh. Hatta, Anak Agung, Dr. van Royen, Moh. Roem, Mangkunegoro,
Menteri Maarseveen dan anggota peninjau asing UNCL.
Ketua Pekan Ekonomi Indonesia (1952)
Setelah perang
dan pengakuan kedaulatan RI pada Desember 1949, kehidupan ekonomi rakyat sangat
berantakan dan tingkat kehidupan yang sangat parah. Prof. Sutan Gunung Mulia
melihat kenyataan itu untuk dibangkitkan agar kehidupan menjadi normal kembali.
Java-bode : nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 07-06-1952
memberitakan bahwa dalam kegiatan utama pameran yang akan dilaksanakan, panitia
persiapan Pekan Ekonomi Indonesia bertemu dengan hampir semua perwakilan bisnis
di Jakarta. Ketua Pekan Ekonomi Indonesia adalah Prof. Dr. TSG Mulia. Pameran ini
akan dimulai pada tanggal 10 Agustus. Panitia ini bekerja sama dengan
Kementerian Perdagangan dan Dewan Ekonomi Indonesia Pusat.
Pemilik surat kabar Java-bode: nieuws, handels- en
advertentieblad voor Nederlandsch-Indie adalah Parada Harahap. Surat kabar yang
terbilang tua ini, setelah pengakuan kedaulatan dan para pengusaha Belanda
keluar dari Indonesia, Java Bode diakuisisi oleh Parada Harahap. Sekadar
diketahui, Parada Harahap adalah pendiri dan presiden pertama Kamar Dagang
Indonesia tahun 1931. Kini, tahun 1952, Wakil Presiden Kamar Dagang Indonesia
adalah Prof. Sutan Gunung Mulia.
Di Medan juga
dibentuk kepanitiaan dengan Ketua Panitia adalah GB Josua (Haji Gading
Batubara), anak Sipirok pemilik Perguruan Josua, seorang patriot pendidikan di
era perang yang tetap menyelenggarakan pendidikan untuk rakyat republik di
Medan.
Penasehat Komite Pahlawan Sisingamangaradja (1953)
Prof. Sutan
Gunung Mulia dan Mayor Jenderal TB Simatupang adalah dua orang yang
mendedikasikan pemikiran tentang Sisingamangardja. Jika dua tokoh yang berbeda
keahlian dalam melihat satu tokoh lainnya akan lebih kuat. Sutan Gunung Mulia
melihat ketokohan Sisingamangardja dapat dijadikan sebagai panutan dan
inspirasi di dalam perjuangan pada bidang pendidikan. TB Simatupang melihat
ketokohan Sisingamangaradja sebagai model patriot bangsa yang pantang menyerah
hingga titik darah penghabisan. Radja Singamangaradja XII dan dua putranya
dibunuh oleh militer Belanda selama pertempuran di Dairi pada tanggal 17 Juni 1907.
De nieuwsgier, 16-03-1953 memberitakan masyarakat
Batak di Jakarta telah mengadakan pertemuan, yang berakhir dengan pembentukan komisi
untuk membayar penghormatan kepada pahlawan nasional Raja Sisingamangaradja
XII. Penasehat untuk komite peringatan Sisingamangaradja, yakni: Prof. Mr. Dr. Sutan
Gunung Mulia dan General-Majoor Simatupang ditambah dengan Mr. Prijono, Mr. AK
Pringgodigdo, Roeslan Abdulgani dan JK Panggabean. Untuk panitia pelaksana diketuai
oleh J. Mulia Panggabean dan sekretaris RO Simatupang. Panitia telah berangkat
untuk menjelajahi kemungkinan relokasi makam
Singamangaradja XII dan dua putranya dari Tarutung ke Soposurung
(Balige). Pada masa kolonial makam Sisingamangardja direlokasi ke Tarutung
dengan penjagaan ketat militer karena sosok Sisingamangaradja dianggap dapat
menjadi inspirasi bagi rakyat dan dapat menimbulkan resistensi bagi kehadiran
Belanda di Tanah Batak.
Seperti halnya
pekan ekonomi di Jakarta, di Medan juga kepanitiaan peringatan
Sisingamangaradja dibentuk yang mana ketua panitia adalah GB Josua (Haji Gading
Batubara), anak Sipirok pemilik Perguruan Josua. Mr. GB Josua adalah seorang
patriot pendidikan di era perang, meski dibawah tekanan militer Belanda. GB
Josua tetap menyelenggarakan pendidikan untuk rakyat yang berafiliasi republik
di Medan.
Pendiri Universitas Kristen Indonesia (1953)
Sutan Gunung
Mulia adalah pendidik tulen. Sebagai guru, dan kini menjadi guru besar di
Universitas Indonesia merasa perlu untuk mengembangkan pendidikan lewat jalur swasta
mulai dari pendidikan rendah hingga pendidikan tinggi. Upaya untuk memperluas
pendidikan tinggi, Sutan Gunung Mulia menggagas didirikannya Universitas
Kristen Indonesia.
De nieuwsgier, 16-10-1953 melaporkan tadi malam
berada di Auditorium HBS Kristen, Universitas Kristen Indonesia resmi dibuka.
Presiden yayasan yang mengelola universitas, Mr. Dr. TSG. Mulia memberikan
presentasi tentang sejarah kehidupan universitas di Indonesia dan mengatakan
bahwa di sini, tidak seperti banyak negara lain dimana orang asing telah
mengambil inisiatif, sebuah perguruan tinggi Kristen. Seluruh universitas
didirikan oleh inisiatif Indonesia sendiri. Universitas ini memiliki dua
fakultas sementara, satu untuk pedagogi dan pengajaran bahasa Inggris dan satu
lagi ekonomi yang akan melatih siswa pada tingkat sarjana muda. Untuk
perkuliahan bahasa Inggris dan kuliah diadakan di perguruan tinggi di Salemba
10 dan perguruan tinggi teologi di Pegangsaan Timur. ‘Kami masih kecil’
demikian Prof. Mulia dalam pengantarnya, tapi janganlah kita berkecil hati, Universitas
Yale yang terkenal sekarang di tahun pertama keberadaannya hanya memiliki satu mahasiswa.
Dalam acara ini ada banyak pembicara termasuk Menteri Pendidikan Mr. Moh. Yamin
merasa gembira karena akhir-akhir ini dimana-mana universitas didirikan oleh
inisiatif swasta. Prof. Dr. Purbatjaraka berbicara atas nama Universitas
Indonesia, menjelaskan secara etimologis (mahardika-merdeka) bahwa seseorang
yang merdeka bukan hanya mampu berjalan sendiri secara fisik, tetapi juga menyadari
di dalam kekuatan batin. Pembicara selanjutnya, atas nama akademi nasional yang
dipimpin Prof. Dr. Bahder Djohan.
Anak-anak Padang
Sidempuan sudah sejak dari doeloe selalu menjadi pionir dalam pendidikan. Sutan
Gunung Mulia adalah generasi pendidik lebih lanjut. Pionir Pendidikan Nasional
adalah Willem Iskander yang memulai studi ke negeri Belanda tahun 1857 (pribumi
pertama studi ke Belanda). Setelah lulus tahun 1861 pulang ke tanah air dan
mendirikan sekolah guru (kweekschool) di Tanobato tahun 1862. Dari sinilah
sumber guru untuk Padang Sidempuan dan sekitarnya. Pada tahun 1879 sekolah guru
yang lebih besar dibuka di Padang Sidempuan (sekolah guru Tanobato ditutup
tahun 1875) dengan guru dan direktur sekolah terkenal Charles Adrian van
Ophuijsen (penyusun tatabahasa dan ejaan Melayu). Dari Padang Sidempuan inilah
sumber guru-guru untuk Tapanoeli, Atjeh, Riaou dan Sumatra Timur, bahkan Djambi
dan Bengkulen. Pada tahun 1892 dari 18 sekolah negeri di Tapanoeli, sebanyak 15
buah berada di Afdeeling Mandheling en Ankola dimana tiga diantaranya di Padang
Sidempuan. Pada saat itu belum satupun sekolah negeri di Kota Medan. Ini menunjukkan bahwa di Padang Sidempuan dan sekitarnya sudah sejak awal surplus guru.
Generasi guru-guru
Padang Sidempuan inilah yang melahirkan sangat banyak guru berdedikasi,
wartawan pemberani dan sastrawan hebat. Salah satu alumni sekolah guru
Kweekschool Padang Sidempuan adalah pendiri sekolah swasta pertama di Padang
dan menjadi editor surat kabar pribumi pertama di Indonesia tahun 1897 (editor
Pertja Barat) dan editor pribumi kedua tahun 1902 (editor Pertja Timor di
Medan). Alumni lainnya adalah Soetan Casajangan orang pribumi kedua yang kuliah
ke negeri Belanda dan di akhir jabatananya menjadi direktur Normaal School di
Batavia. Kemudian Soetan Martoewa Radja, alumni terakhir Kweekschool Padang
Sidempuan yang menjadi kepala sekolah negeri di Pargaroetan, Sipirok dan Tarutung
yang di akhir masa jabatannya menjadi direktur Normaal School di Pematang
Siantar (ayah MO Parlindungan, pengarang buku Tuanku Rao).
Generasi berikutnya (setelah Kweekschool Padang
Sidempuan ditutup tahun 1893) adalah Radja Goenoeng sebagai penilik sekolah
pertama di Medan (1915), Abdul Azis Nasoetion mantan guru dan alumni pertama Sekolah
Menengah Pertanian di Buitenzorg membuka sekolah pertanian (pionir sekolah
pertanian) di Sumatra Barat, GB Josua alumni sekolah guru Poerworedjo yang
melanjutkan studi di Belanda, dan setelah pulang ke tanah air pada tahun 1930
membuka sekolah swasta (HIS dan MULO) di Medan dengan nama Perguruan Josua.
Anak Padang Sidempuan lainnya Abdul Hakim Harahap (Gubernur Sumatra Utara
ketiga) menggagas didirikannya dan menjadi presiden pertama USU tahun 1952
(akte pendirian dibuat oleh Hasan Harahap gelar Soetan Pane Paroehoem, notaris
pertama di Sumatra). Di Padang didirikan perguruan tinggi pertama tahun 1952
yang dipelopori dengan presiden pertama Mr. Egon Nasution. Sebelumnya Parada
Harahap telah mendirikan akademi wartawan 1951 dan kemudian Ali Mochtar
Hoetasoehoet melanjutkan dengan perguruan tinggi jurnalistik tahun 1952 yang
dikenal sebagai IISIP Jakarta. Pada tahun 1953 giliran Prof. Sutan Gunung Mulia
mendirikan Universitas Kristen Indonesia (UKI) di Jakarta.
Prof. Dr. Mr.
Soetan Gunung Moelia lahir dari keluarga guru di kota pendidikan Padang
Sidempuan, suatu kota yang memiliki tingkat demokrasi tinggi untuk urusan
keagaamaan (penerapan surah 109 dalam Alquran ditekakan di sini). Mungkin tidak
ada tempat lain di Indonesia dimana kaum Islam dan penganut Kristiani harmoni. Bahkan
sejak dari awal di Sipirok (35 Km dari Padang Sidempuan) dimana mesjid dan
gereja berdampingan (hampir seratus tahun mendahului keberadaan Mesjid Istiqlal
dan Gereja Katheral di Jakarta. Sipirok adalah daerah berpenduduk mayoritas
beragama Islam, tempat awal dari penyiaran agama Kristen di Silindoeng dan
Toba. Tempat dimana ayah dan ibu dari Sutan Goenoeng Moelia dilahirkan dan
dibesarkan.
Penasehat Dewan Pusat untuk Pameran Indonesia (1953)
Dewan Pameran
Indonesia Pusat (Dewan Pusat untuk Pameran di Indonesia) di bawah pimpinan Mr.
JM Laihad. De nieuwsgier, 26-10-1953 melaporkan bahwa sebagai konsultan akan
diundang antara lain; R. Suwirjo, Prof. Dr. Mr Mulia dan Mr. Sardjoto. Seperti
yang Anda tahu, penciptaan badan koordinasi tentu karena mereka ingin membuka
tahun 1954 Pameran di Jakarta, Surabaya, Semara.ig. Bandung dan Yogyakarta. Java-bode:
nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 30-10-1953
mencatat bahwa dalam Dewan Pengawas, antara lain R. Suwirjo, Ir Djuanda (Direktur
Dewan Perantjang Negara), Mr. Indra Kusuma (Direktur Bank Indonesia) dan Prof. Mr.
Dr. Sutan Gunung Mulia (Wakil Ketua Kamar Dagang Indonesia).
Editor Buku Ensiklopedia Indonesia (1954)
Prof. Sutan
Gunung Mulia bersama Prof. Hidding telah mempelopori dan menulis buku
eksiklopedia nasionasl Indonesia. Ensiklopedia ini diterbitkan oleh perusahaan
penerbitan Van Hoeve di Den Haag dan Jakarta. Buku yang terbit baru jilid satu
telah ditawarkan kepada Presiden Sukarno (lihat De nieuwsgier, 01-09-1954).
Jilid kedua dan ketiga akan segera menyusul. Menurut Algemeen Indisch dagblad:
de Preangerbode, 14-09-1954), buku Ensiklopedia Indonesia akan menjadi tonggak
dalam kehidupan budaya Indonesia. Buku pertama ini terdiri dari 480 halaman,
dengan 8 kartu berwarna, ratusan gambar, 32 halaman foto dan ringkasan sebanyak
38 halaman. Berdasarkan pengumuman dari penerbit keseluruhan ensiklopedia ini terdiri
dari tiga jilid yang total memiliki 1.600 halaman, 900.000 kata, ringkasan setebal
144 halaman, 16 gambar berwarna, 96 halaman foto dan 1.000 gambar dengan teks. Ini
adalah buku pertama di Indonesia yang memiliki skala nasional.
Untuk urusan tulis menulis bagi orang terpelajar
dari Padang Sidempuan sejak dari dulu sudah menjadi tradisi. Willem Iskander
adalah pribumi pertama studi ke Belanda (1857). Setelah selesai studi dan
mendapat akte guru lalu dengan inisiatif sendiri membuka sekolah guru di
Tanobato 1862 dan dua tahun kemudian diakuisi pemerintah dan dijadikan sekolah
guru (kweekschool) negeri yang ketiga. Willem Iskander adalah pribumi pertama
yang mengajar di kweekschool. Pada tahun 1864 buku pelajaran yang ditulisnya
diterbitkan di Batavia (buku pertama pribumi). Setelah itu banyak buku yang
ditulisnya yang diterbitkan. Penulis berikutnya yang terkenal adalah Dja Endar
Moeda, alumni Kweekschool Padang Sidempuan, novelnya diterbitkan tahun 1895 dan
beberapa novel lainnya serta buku-buku pelajaran yang diterbitkan di Padang.
Dja Endar Moeda adalah editor surat kabar pribumi pertama pada tahun 1897
(Tirto Adhi Soerjo baru menjadi editor pada tahun 1902). Dja Endar Moeda adalah
pemilik surat kabar dan percetakan sendiri dari kalangan peribumi. Dja Endar
Moeda dijuluki Radja Persuratkabaran Sumatra. Penulis lainnya adalah Soetan
Casajangan pribumi kedua yang kuliah di Belanda tahun 1905 (pendiri Indisch
Vereeniging tahun 1908). Soetan Casajangan banyak menulis makalah. Sebelum
pulang ke tanah air tahun 1914,
bukunya berjudul 'Indische Toestanden Gezien Door Een Inlander' (negara bagian
di Hindia Belanda dilihat oleh penduduk pribumi) diterbitkan di Belanda (buku
pribumi pertama yang beredar di Eropa). Parada Harahap adalah wartawan
dan penulis buku yang produktif. Tentu saja Soetan Goenoeng Moelia banyak
menerbitkan buku. Selanjutnya Mochtar Lubis adalah wartawan yang banyak menulis
buku. Di bidang sastra, selain Mochtar Loebis, seniornya banyak menulis buku dan
novel seperti Armijn Pane, Merari Siregar, Sanusi Pane dan lainnya. Penulis
penulis novel sastra lokal sangat banyak yang terkenal diantaranya adalah Soetan
Pangoerabaan Pane (ayah Armijn dan Sanusi Pane), Soetan Hasoendoetan dan Soetan
Martoewa Radja. William Marsden dalam bukunya History of Sumatra (1811) menyebutkan
(berdasarkan catatan seorang botanikus asal Inggris yang melakukan eskpedisi
kulit manis ke Padang Sidempuan di
Angkola tahun 1773) merasa kaget karena melihat kenyataan bahwa lebih dari
separuh penduduknya bisa baca tulis (dalam aksara Batak) yang melebihi semua
bangsa-bangsa di Eropa. Boleh jadi masuk akal dalam banyak bidang anak-anak
Padang Sidempuan adalah pionir. Selain yang disebut sebelumnya, siswa yang
diterima di docter djawa school (cikal bakal STOVIA) yang berasal dari luar
Jawa adalah dua kakak kelas Willem Iskander tahun 1854 (docter djawa school
dibuka 1851). Alionedin Siregar adalah alumni pertama Rechtschool di Batavia,
Sorip Tagor adalah alumni pertama Sekolah Kedokteran Hewan di Buitenzorg (juga
dokter hewan pertama studi ke Belanda), Abdoel Azis Nasoetion adalah alunni
pertama Sekolah Menengah Pertanian di Buitenzorg. Tiga dari tujuh pribumi
pertama bergelar doctor (PhD) di Indonesia dan jangan lupa perempuan pertama
orang Indonesia bergelar doctor adalah Ida Loemongga Nasoetion. Esais perempuan
pertama Ida Nosoetion (seangkatan dan setara dengan penyair Khairil Anwar dan
ahli prosa Idrus).
Mendirikan Sekolah Tinggi Teologi (1954)
Sutan Gunung
Moelia sebagai rektor Universitas Kristen Indonesia juga adalah ketua Dewan
Gereja-Gereja di Indonesia. Atas inisiatifnya dididirikan sekolah tinggi
keagamaan (theologische hogeschool) yang disebut Sekolah Tinggi Teologi (lihat Java-bode:
nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 07-09-1954). Hal yang sama juga telah dilakukan oleh Moestafa Hussein Nasoetion dalam menggagas didirikannya lembaga keagamaan Islam dalam bentuk pesantren tahun 1912 di Kotanopan (yang kini lebih dikenal lokasinya di Perbabaru), tempat dimana Sutan Gunung Mulia pernah menjadi Direktur HIS tahun 1920. Pesantren ini sejak dari dulu adalah pesantren terbesar di Sumatra, yang santrinya tidak hanya datang dari Tapanoeli sendiri, tetapi juga dari Sumatra Timur, Atjeh, Riau, Sumatra Barat, Djambi dan semenanjung.
Penasehat Kongres Pendidikan Swasta (1954)
Kongres
pendidikan swasta kedua diselenggarakan di Jakarta dengan pelindung Menteri Pendidikan
M. Yamin. Menurut panitia yang disiapkan oleh walikota Jakarta akan dihadiri lebih
dari 6000 perwakilan dari pendidikan swasta di seluruh Indonesia. Agung Sutadi
akan bertindak sebagai presiden kongres. Sebagai konsultan ditunjuk Ki Hadjar
Dewantoro (Taman Siswa), Ki Hadikusumo (Muhammadiyah), Prof. Dr Gunung Mulia
(Universitet Keristen Indonesia), Prof. Dr. Mr. Abdurachman (PT 17 Agustus),
Mr. Sutan Takdir Alisjahbana (Universitas Nasional) dan Mr Looymans (Kantor
Misi Central di Indonesia).
Anggota Misi Ekonomi Ke Jepang (1955)
Prof. Sutan G.
Moelia merupakan satu dari empat pimpinan misi yang mewakili Indonesia ke
Jepang. Misi ini juga akan mengikuti Kongres ke 15 International Chamber of
Commerce yang kebetuluan diselenggarakan di Tokyo (15-21 Mei). Dalam rombongan
ini representasi Indonesia terdiri dari 40 orang yang dibagi ke dalam komite perdagangan,
perbankan, keuangan, penilaian dan arbitrase, industri perkapalan, transportasi
dan komunikasi. Setelah kongres ini juga ada kongres kamar dagang industri
Jepang dimana Indonesia diundang untuk hadir khususnya membicarakan hambatan
perdagangan Indonesia-Jepang (lihat De nieuwsgier, 12-05-1955).
Kehadiran Todoeng Harahap gelar Sutan Gunung Mulia
di Jepang adalah kali kedua anak Padang Sidempuan ke Jepang. Ini seakan
mengingatkan ketika pertamakali orang Indonesia ke Jepang tahun 1932 dimana
pimpinan rombongan adalah Parada Harahap yang kala itu selain bertindak sebagai
Ketua Kamar Dagang Indoensia juga ketua rombongan misi dagang Indonesia yang
didalamnya termasuk M. Hatta yang baru lulus sarjana dari Belanda. Parada
Harahap kala itu memiliki koran bertiras besar Bintang Timoer. Di Jepang, pers
setempat menjuluki Parada Harahap sebagai The King of Java Press.
Membacakan Pesan Ir. Soekarno dalam Sidang Sinode
Ketiga (1956)
Algemeen
Indisch dagblad de Preangerbode, 19-07-1956
memberitakan bahwa Sinode Ketiga Dewan
Gereja di Indonesia yang telah diadakan pada tanggal 9 Juli di Jakarta. Pada
Sinode ini turut ambil bagian perwakilan dari gereja-gereja di Maluku,
Sumatera, Nias, pulau-pulau Sangir Talaud dan dan daerah lain di Indonesia.
Perwakilan dari Thailand, India, Swiss, Malaya, Filipina, Okinawa, Amerika, Australia
dan Belanda. Dalam acara pembukaan Sabtu Prof. Dr. TSG. Mulia membaca pesan
dari Presiden Soekarno kepada sinode, antara lain, presiden menyatakan fakta
bahwa asosiasi gereja suatu solusi ideal akan menjadi salah satu di Indonesia
yang akan membawa manfaat besar untuk negara. Pesan presiden diberikan dalam Sinode
Dewan Gereja di Indonesia adalah bukti bahwa di negeri ini kebebasan beragama diakui
sesuai dengan prinsip pertama, Pantjasila.
Ambil Bagian dalam Menengahi Kisruh di Tapanoeli
(1957)
Pemberontakan
yang terjadi di Sumatra (PRRI) telah merembes ke Tapanoeli. Kepala Staf
Angkatan Darat, Mayor Jenderal Nasution akan segera ke Sumatra untuk meredakan situasi.
Di sisi lain di
Jakarta diadakan pertemuan keprihatinan dari masyarakat Tapanuli yang dilakukan
pada hari Minggu di Jakarta yang memakan waktu lebih dari sepuluh jam untuk
membahas situasi terkini di Sumatera. Secara aklamasi, rapat memutuskan untuk
mendirikan sebuah unit kohesif di kalangan masyarakat Tapanuli di semua bidang
dan di seluruh wilayah Indonesia. Juga meminta cepat dilakukan build-up di
Tapanuli dalam jangka pendek. Dalam pertemuan hadir Abdul Hakim Harahap, Prof. Mr.
Dr. Sutan Gunung Mulia, Sutan Sinomba, Ir. Basjaruddin Nasution, Ir. Tarip
Harahap, Aminuddin Lubis, Mr. AM. Tambunan, M. Hutasoit, Mr. Rufinus Lumbantobing,
Ir. Debataradja, Mr. Elkana Tobing, S. Pandjaitan, Mayor Jenderal TB Simatupang
dan Binanga Siregar (anggota majelis konstituante untuk Tapanuli) yang tengah
ada urusan ke Bandung) (lihat Algemeen Indisch dagblad : de Preangerbode, 22-01-1957).
Menyambut Ir. Soekarno di Konferensi Gereja di
Parapat (195?)
Hari ini dimulai
(tanggal 18-22) konferensi gereja di Parapat. Selain peserta dari 12 negara
Asia dan Eropa yang diperkirakan dihadiri sekitar 100 delegasi. Para peserta
Asian berasal dari Jepang. Hong Kong, Hormosa, Filipina, Singapura, Malaka, Birma,
India. Pakistan, Ceylon dan Indonesia. Di antara peserta dan pengamat Dr. A.
Vissert Hooft, Sekretaris Jenderal Dewan Gereja Dunia di Jenewa, Dr CDT Niles, Presiden
Federasi Dunia Kristen. mahasiswa, juga dari Jenewa, Kyaw Tham, sekretaris
konsistori Asia, Freytag dari universifef dari Hamburg dan Shovik dari
Benemanken, anggota Komite Sentral Lutheran World Federation. Dari Belanda
sebagai pengamat Dr. Mackay, Sekretaris
Gereja Reformasi Belanda. Di antara yang menonjol di kalangan masyarakat
Batak Protestan termasuk Mr A. Tambunan, anggota parlemen dan .Ketua Dewan
Gereja Indonesia Prof. TGS Mulia dan dr. JK Panggabean, dr. L. Leimena, ds
Marantika, sekretaris Dewan Gereja Indonesia. Juga hadir Wakil Menteri F.
Urnbas yang Sabtu bersama dengan Presiden Sukarno. Uskup dr. Manikam dari
Gereja Lutheran di India hanya. Selain Dr. Mackay dari Gereja Reformasi Belanda
juga akan menjadi pengamat dari Inggris, Jerman, Perancis, Australia, Selandia
Baru, Amerika dan Denmark menghadiri konferensi. Para delegasi asing kemarin telah
mengunjungi paroki di Balige, Samosir dan Pematang Siantar. Para mahasiswa yang
tergabung dalam Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia juga akan menyelenggarakan kegiatan
kursus pelatihan kepemimpinan di Medan 22-24. Untuk mensukseskan konferensi di
Medan dipimpin oleh AES Nababan, pendeta muda dari HKBP di Medan.
Menerima Gelar Doktor Honoris Causa dari Vrije
Universiteit (1966)
Prof. Sutan
Gunung Mulia terpilih sebagai orang terkemuka Indonesia oleh Vrije Universiteit
dan berhak mendapat gelar kehormatan doctor honoris causa. Pilihan terhadap
pendidik umur 70 tahun ini diberitakan Koran-koran di Belanda didasarkan atas
penilaian karena dedikasinya di bidang pendidikan di Indonesia yang dianggap
sebagai pelopor (pioneer). Pengabdiannya di bidang pendidikan tidak
tertandingi, Karya-karyanya sangat fenomenal seperti buku Sedjarah Politik dari
Pergerakan Kebangsaan: Sejarah Politik Indonesia dan Sejarah Gerakan Nasional;
editor dari tiga jilid Buku Ensiklopedia Indonesia. Hal lain yang menjadi
kekuatannya adalah berhasil mempersatukan gereja-gereja di Indonesia, pendiri
Universitas Kristen Indonesia, pendiri Perguruan Tinggi Teologi Indonesia.
Disebutkan Profesor Mulia adalah orang Indonesia yang paling menonjol, di
negaranya sebelum terjadinya perang. Pernah menjadi wakil ketua Volksraad dan
di awal kemerdekaan menjadi Menteri Pendidikan. Sutan Gunung Mulia telah
berpartisipasi dalam pembangunan negara dan juga terlibat dalam konsultasi
internasional. Beberapa waktu Profesor Mulia adalah juga guru besar di
Universitas Indonesia di Jakarta.
Sutan Goenoeng Moelia Meninggal Dunia Usia 70 Tahun
(1966)
Tidak lama
setelah Soetan Goenong Moelia menerima penghargaan pertama kepada orang
Indonesia dari lembaga pendidikan di luar negeri, masih di Belanda, Sutan
Gunung Mulia diberitakan meninggal dunia:
‘Kemarin di Rumah Sakit Juliana di Amsterdam Prof. Dr.
Mr. TSG Mulia meninggal dunia. Mulia sudah di sini sejak 8 Oktober. Pada
tanggal 20 Oktober menerima doktor kehormatan di Vrije Universiteit, namun
kesehatannya semakin memburuk. Selama perawatan tidak berhasil dipulihkan.
Sutan Gunung Mulia meninggal pada usia 70 tahun. Prof. Mulia, selama
kunjungannya ke Belanda didampingi istrinya dan dua anaknya, Mulia juga
terkenal karena kepeloporannya dalam bidang ekumene dan orang yang memberikan
dorongan untuk penciptaan Dewan Gereja-gereja di Indonesia, di mana Mulia adalah
presiden kehormatan. Sampai kematiannya, Prof. Mulia adalah ketua Lembaga Alkitab
Indonesia. Jenazah akan diangkut ke Jakarta (Leeuwarder courant : hoofdblad van
Friesland, 12-11-1966).
***
Tidak banyak memang
tokoh penting di Indonesia. Namun, salah satu yang terpenting di bidang
pendidikan adalah Prof. Dr. Mr. Todoeng Harahap gelar Soetan Goenoeng Moelia
(1896-1966). Dia telah mewarisi ayahnya di bidang pendidikan, juga telah
meneruskan tokoh-tokoh pendidik terdahulu dari afdeeling Padang Sidempuan
seperti Dja Endar Moeda (1861-1926), Soetan Casajangan (1874-1927) dan De
Pioneer, Willem Iskander (1839-1876)
Buku-buku yang ditulis Soetan Goenoeng
Moelia, antara lain:
·
Het
primitieve denken in de moderne wetenschap (desertasi ). J.B. Wolters. Groningen, 1933.
·
Federale
conferentie Bandoeng 1948: Stuk no 110/Ned. Prae-adviezen van de Voor-
bereidende Sociaal Culturele Commissie.
·
India,
sedjarah politik dan pergerakan kebangsaan. Balai Pustaka, 1949.
·
Perserikatan
Bangsa-Bangsa : buku penuntun. 1952.
·
Ensiklopedia
Indonesia (jilid 1). W. van Hoeve, 1954.
·
Ensiklopedia
Indonesia (jilid 2). Van Hoeve, 1955.
·
Ensiklopedia
Indonesia (jilid 3), Van Hoeve, 1956.
·
Perniagaan
luar negeri : Teori dan prakteknja. Penerbitan Balai Pustaka, 1958
·
English
texts for the use of students and pupils preparing for the final examination of
high schools. 1974.
1 komentar:
Terima kasih banyak saudara atas info yang saya dapat dari blog saya... semoga ilmu dan wawasan kita selalu bertambah dan kita tetap selalu semangat didalam mengabarkan kabar baik , sehingga para kaum-kaum muda sekarang seperti saya sendiri , dapat mengetahui asal usul sebuah tokoh yang menggerakkan dan menciptakan sebuah revolusi yang bermakna bagi umat manusia yang berada pada zaman sekarang ini ...
Posting Komentar