Peta Boeloe Tjina 1862 |
De locomotief :
Samarangsch handels- en advertentie-blad, 04-06-1873: ‘Kekaisaran Atjeh
meliputi bagian utara pulau Sumatra.. di pantai timur dibatasi
sungai Tamiang yang menjadi batas antara Atjeh dan dependensi dari bawahan kami,
Sultan Siak… selatan sungai
Tamiang di sepanjang pantai timur terletak lanskap Langkat dan Baloe Tjina, yang
termasuk dependensi Siak…Sesuatu yang
diketahui baik adalah gunung Batoe Gapit, gunung dekat perbatasan Baloe Tjina dengan
ketinggian 6.155 kaki di atas laut dan, konon, orang Batak yang menghuni
lingkungan itu, yang mampu memberikan begitu besar jumlah sulfur yang mereka
gunakan untuk pembuatan mesiu… Saya telah
membuat keterangan di peta Sumatra (bagian utara) ini terutama didasarkan pada
laporan dari para pelancong Inggris..’
Peta Boeloe Tjina, 1870 |
Java-bode:
nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 28-04-1873: ‘Dari
Singkel dilaporkan bahwa orang Atjeh dan orang Batak di pedalaman sudah agak
lama tidak muncul, sehingga tidak ada perdagangan kamper yang menguntungkan. Ketidakhadiran
mereka akan mendeklarasikan fakta bahwa mereka terlalu sibuk dengan persiapan
mereka untuk perang (melawan Belanda). Para pedagang di Aceh berpendapat bahwa seluruh penduduk Tampat
Tuan (Tapaktuan) dan penduduk di NW (noordwest) Baloe Tjina akan bergabung
dengan Sultan Aceh (melawan Belanda)’.
Peta Boeloe Tjina 1880 |
Peta Kecamatan Hamparan Perak, Deli (google map) |
Sungai Belawan (1878) |
Asal Usul Nama Boeloe Tjina
Nama Bulu Cina adalah suatu fakta. Namanya doeloe adakalanya diucapkan dan ditulis berbeda (lafal) yakni Baloe Tjina atau Boeloe Tjina. Di awal kedatangan Belanda (1860an), nama Baloe Tjina dipetakan sebagai sebuah lanskap (onderafdeeling), tetapi kini hanya nama sebuah desa di Kecamatan Hamparan Perak. Lanskap Baloe Tjina ini dibatasi oleh Sungai Langkat di utara, Sugai Deli di selatan dan Gunung Gapit (Bataklanden) di sebelah barat. Jalur masuk dari pantai ke pedalaman di Bulu Cina melalui jalur Sungai Belawan. Ini berarti Lanskap Boeloe Tjina ditengahnya mengalir Sungai Belawan yang sebagian besar bersumber di Gunung Gapit.
Sungai Belawan, sungai Boeloe Tjina dan sungai Hamparan Perak adalah nama-nama yang menunjukkan sungai yang sama. Untuk keperluan tulisan ini sebut saja Sungai Boeloe Tjina. Sungai Boeloe Tjina terdapat di lanskap Boeloe Tjina. Dalam kamus georafi Nederlandsch Indie terbitan 1861, Boeloe Tjina terletak di sebelah utara singai Deli. Lebar sungai ini 270 meter dengan kedalaman enam meter yang airnya berasal dari gunung Seibaja. Pelabuhan Boeloe Tjina bernama Sam Pei yang dihuni sekitar 50 buah rumah tempat dimana sah bandar berada. Pelabuhan Sampei ini juga merupakan pasar utama di lanskap Boeloe Tjina. Setiap tahun pelabuhan ini mengekspor lada ke Penang sebanyak 600-700 kojang. Produk lain dari daerah ini adalah gambir, tebu, tembakau, beras, kacang. Juga dari pelabuhan ini diperdagangankan kuda dan bahkan budak. Produk utama yang masuk adalah opium dan ikan asin. Di daerah ini, orang Melayu umumnya bertani dan berdagang, sementara orang Batak dalam manufaktur seperti kain sarung, belati, pedang dan lainnya.
Dalam
analisis sepintas (sketsa) ini, nama Bulu Cina muncul di atas permukaan
(membesar) dan dikenal luas karena nama itu sudah cukup terkenal dan memainkan
peran penting dalam ekonomi wilayah (era perdagangan) sejak lama hingga paling
tidak di awal kedatangan Belanda (era kolonialisasi). Sebaliknya nama Bulu Cina
tenggelan di bawah permukaan (menyusut) dan mulai dilupakan karena perannya
tidak penting lagi dan (parallel) ada wilayah lain yang menggantikannya.Siklus
atau suksesi di atas wilayah yang disebut Bulu Cina tentu saja sudah silih
berganti. Boleh jadi sudah terjadi sebelum nama Bulu Cina ada. Namun sejauh ini
‘kita’ hanya memiliki informasi sekadarnya saja, bahwa kata ‘cina’ telah
digunakan penduduk setempat dan kemudian diadopsi oleh Belanda. Sebagaimana
diketahui umumnya Belanda sangat jarang menghapus nama dan mengganti dengan
nama baru (kecuali sangat khusus, karena alasan militer dan alasan politik)
untuk keperluannya sendiri saja tetapi tidak melarang penduduk setempat (asli) dan
tetap menggunakan nama lama, seperti Batavia (Sunda Kelapa/Jakarta), Buitenzorg
(Bogor) dan Fort de Kock (Bukittinggi). Terbukti setelah era kemerdekaan
nama-nama lokal secara alamiah menyingkirkan nama-nama baru buatan Belanda. Nama
Bulu Cina adalah nama adopsi, yang diadopsi oleh Belanda dari nama yang
melembaga di kalangan penduduk setempat di wilayah itu. Nama Bulu Cina adalah asli
buatan lokal (dapat dianggap sebagai kearifan lokal). Sebaliknya, tidak ada
alasan Belanda untuk menggantinya. Hal ini berlaku seperti Pondok Cina (di
Depok), Bidara Cina (di Batavia/Jakarta). Dalam
segi epistemology, kata ‘cina’ untuk nama-nama tempat tersebut selalu dikaitkan
dengan keberadaan komunitas cina di masa lampau (bukan masa selanjutnya).
Pondok Cina di masa lampau diketahui sebagai nama pelabuhan sungai di hulu
Sungai Ciliwung dimana di sekitarnya ditemukan banyak pondok-pondok para
pedagang cina yang melakukan aktivitas perdagangan bagi penduduk lokal yang
berada di sekitar. Pondok Cina adalah sebutan penduduk lokal terhadap wilayah
itu karena kehadiran orang-orang Cina. Hal ini tentu saja ‘analog’ dengan nama
Bulu Cina di Pantai Timur Sumatra. Secara
teoritis, nama Bulu Cina adalah pemberian penduduk lokal terhadap suatu tempat
dimana (besar kemungkinan) adanya komunitas Cina di sekitar hulu sungai
Belawan. Secara teoritis (pula), tidak ada keperluan penduduk pendatang untuk
memberi nama wilayah atas kehadirannya. Misalnya Kampong Jawa di tengah kota
Padang Sidempuan adalah asli pemberian (penyebutan) nama oleh penduduk setempat
karena kehadiran komunitas Jawa (tahun 1860an, lebih awal dari munculnya
komunitas Jawa di Deli). Demikian juga kemudian munculnya nama seperti Kampung
Keling, Kampung Mandailing, Kampung Cina di Medan adalah pemberian (penyebutan)
pihak lain. Pemberian
nama Baloe Tjina atau Boeloe Tjina terhadap komunitas Tjina di wilayah itu
boleh jadi berdasarkan cerita-cerita masa lampau yang tidak ditemukan lagi
jejak kehadiran komunitas tersebut. Atau juga pemberian nama Boeloe Tjina
karena komunitas tersebut masih eksis ketika nama itu mulai muncul sebagai
sebutan suatu wilayah. Hal ini juga boleh jadi berlaku untuk Laboehan Deli atau
Deli Toea (kalau ada keyakinan bahwa kata Deli berasal dari India). Hal ini
juga pernah diidentifikasi Perret tentang nama-nama wilayah (huta) di Ankola
dan Padang Lawas seperti nama kampong (huta) Pijor Koling, Siunggam, dan bahkan
Ankola (Angkola). Oleh
karenanya, nama-nama yang dikenal adalah nama pemberian penduduk setempat, maka
ketika komunitasnya tidak ada lagi (misalnya emigrasi atau punah karena bencana
alam, epidemic atau peperangan) nama pemberian itu nyatanya terus hidup dan
digunakan terus oleh penduduk lokal, meski komunitas atau orang-orangnya tidak
satupun yang tersisa wilayah itu. Boleh jadi ini terjadi di Padang Lawas dan
Ankola, dimana kehadiran komunitas India di masa lampau (bukti peninggalan
biaro/candi), tetapi sejauh ini tidak ditemukan pertalian komponen-komponen
budaya antara penduduk pendatang dengan penduduk lokal (sangat sulit menemukan kosa
kata yang digunakan di dalam bahasa Batak Ankola yang berasal dari India,
kecuali kata-kata yang sudah ditemukan secara luas di Sumatra/Nusantara). Hal
ini juga ditemukan di Bulu Cina, tidak ditemukan kosa-kata yang berasal dari
Cina di dalam bahasa Melayu (yang kebetulan Bulu Cina berbahasa Melayu). Bahwa
dikemudian hari ditemukan bukti-bukti baru (komponen budaya dari penduduk
pendatang) di wilayah-wilayah yang disebut Bulu Cina atau wilayah lainnya, itu
soal lain dan itu adalah penemuan baru. Penggunaan
kata ’cina’ untuk menunjukkan suatu tempat di Pantai Timur Sumatra pada awal
peradaban di awal era Belanda hanya ada di Baloe Tjina atau Boeloe Tjina. Tentu
saja itu suatu yang unik, suatu yang eksklusif. Karena itu pulalah Boeloe Tjina
dalam artikel ini menjadi penting dan bisa jadi menjadi jendela strategis untuk
melihat masa lampau di Deli, Sumatra’s Oostkust dalam pemahaman (studi) pada
masa kini. Pemahaman yang mendalam atas asal usul ini tidak hanya penting untuk
bidang ilmu sejarah dan antropologis, tetapi dapat digunakan untuk analisis-analisis
ekonomi (perhatian saya ada disini), analisis sosial dan bahkan dalam
penerapannya dalam dunia pendidikan termasuk pemerintahan.
Jadi asal nama
Bulu Cina, usulnya adalah sebagai berikut: Bulu Cina merupakan sisa peradaban
masa lampau yang kini hanya tertinggal sebuah kosa kata yakni ‘cina’ (dalam
nama Bulu Cina) yang secara historis nama cina digunakan penduduk setempat
(yang mendiami wilayah) sebagai nama tempat yang kemudian diadopsi
peneliti-peneliti Belanda berdasarkan informasi para pelancong Inggris menjadi
nama sebuah lanskap (kecamatan). Meski kini namanya Boeloe Tjina, namun
penduduknya dapat dikatakan seluruhnya berafiliasi sebagai Melayu yang boleh
jadi di masa lalu didominasi oleh orang-orang pendatang yang berasal dari China.
Dimana Letak Bandar
Boeloe Tjina, Bandar ‘Kota Cina’ dan Bandar Deli
Peta Kerajaan Aru (Peta Portugis 1619) |
Jika
kita mundur jauh ke masa doeloe, pelabuhan Boeloe Tjina yang disebut Sampei adalah
pelabuhan kuno yang sejaman dengan pelabuhan Aru/Panai (di muara sungai Baroemoen),
pelabuhan Haru (di muara sungai Wampu). Tiga Bandar ini disebut sebagai tiga Bandar
utama di pantai timur Sumatra yang 'ditaklukkan' oleh Majapahit di bawah panglima
Gajah Mada (sebagaimana disebut dalam buku Negarakertagama oleh Mpu Prapanca, 1365). Nama Panai dipertukarkan dengan Aru. Dalam peta Portugis (1619) di pantai timur Sumatra hanya teridentifikasi tanah Kerajaan Aru (Terra Daru), Dalam kamus geografi kuno Portugal, Kerajaan Aru adalah kerajaan tua Sumatra.yang meliputi bagian timur pantai
pulau dan Teluk Aru. Juga dalam kamus geografi ini disebut Pulau Aru, pulau - pulau yang terletak di Teluk Aru, di pulau Sumatera. Satu nama lagi yang disebut dalam peta 1619 adalah Ambuara. Dalam kamus geografi kuno Portugis, Pelabuhan Ambuara yang kemudian disebut pelabuhan Jambu Ayer, terletak di pantai utara Sumatera. Pelabuhan Jambu Ayer dalam peta Belanda terletak di muara sungai Wampu.
Oleh karena Deli belum disebut dalam buku Negarakertagama dan kamus Portugis, maka bandar Sampei (cikal bakal Boeloe Tjina) haruslah lebih dulu eksis daripada pelabuhan Deli (yang letaknya di Deli Toea yang sekarang). Dalam peta kuno tahun 1750 (peta Portugis) tidak teridentifikasi lagi, tetapi pelabuhan Deli terindentifikasi sebagai pelabuhan besar (seperti Malaka dan Pasai). Pelabuhan Deli ini terletak di hulu sungai Deli (lihat peta 1750: mungkin Deli Toea yang sekarang). Pada saat itu, sungai Deli dan sungai Boeloe Tjina sama-sama bermuara ke teluk Belawan. Di teluk Belawan sendiri hanya terdapat pulau Belawan (yang disebut pulau Kepala Angin). ..
Peta Deli (peta paling kuno, 1750)
Situs bandar 'Kota Tjina' (Peta 1915) |
Sementara daratan yang kini menjadi Pulau Sicanang
belum muncul (lihat peta 1750). Setelah seratus tahun kemudian (1865) di teluk
Belawan terindentifikasi (muncul) Pulau Sicanang mendampingi Pulau Kepala Angin
(kini disebut Pulau Belawan). Keberadaan
Bandar Sampei di Boeloe Tjina tentu saja dapat dikaitkan dengan penemuan sisa
pelabuhan kuno yang lain yang teridentifikasi tahun 1879 yang disebut ‘Kota
Tjina’. Jika pulau Sicanang belum muncul, maka bandar Sampei tidak terlalu jauh
ke dalam sungai Boeloe Tjina dan Bandar ‘Kota Tjina’ tidak terlalu jauh ke dalam ke dalam teluk (dimana bandar ‘Kota Tjina’ berada).
Dengan demikian, diduga kuat keberadaan
bandar Sampei lebih dulu ada (dan tetap eksis) dibanding bandar ‘Kota Tjina’
dan keduanya lebih dulu ada jika dibandingkan dengan bandar Deli (yang terletak
di Deli Toea). Dalam perkembangannya (karena tonase kapal lebih besar dan
sungai Deli mengalami pendangkalan) bandar Deli di hulu sungai Deli di pedalaman
pindah ke hilir muara sungai Deli yang disebut bandar Laboehan Deli. Dalam peta Belanda tahun 1818 hanya ada dua wilayah yang teridentifikasi sebagai wujud adanya pelabuhan atau bandar yang terkenal yakni: Dilli (Deli) dan Aru (Daru). Kedua pelabuhan ini ada di pantai timur Sumatra. Sedangkan dua pelabuhan lain di pantai barat Sumatra adalah Baros dan Singkel.
Mengapa
Kebesaran Nama Bulu Cina Menyusut Kemudian Tenggelam?Deli dan Aru, 1818 |
Rekod
pertama tentang adanya nama tempat bernama Bulu Cina muncul kali pertama pada
laporan seorang Inggris bernama John Anderson yang telah melakukan ekspedisi ke pantai timur Sumatra tahun 1822. Dalam laporan ini terindikasi dua jalur ekonomi penting yakni jalur sungai Deli dan jalur sungai Boeloe Tjina. Di jalur Deli (sungai Deli) di hilir terdapat Kesultanan Deli dan di hulu terdapat kerajaan-kerajaan Batak seperti Pulo Barian (Berayan) dan Kota Bangun. Saat kunjungan Anderson ini Kesultanan Deli dan Kerajaan Pulau Barian yang sama-sama menganut agama Islam tengah bertikai (persiapan perang) di Kota Jawa. Kesultanan Deli terdiri dari kampung-kampung Laboehan, Kampong Alei (tempat Sultan Deli, Mengedar Alam Shah), Kampung Tangah dan Kampung Besar. Sedangkan ke arah hulu masih terdapat kampung-kampung Batak seperti Meidan dan Babura masing-masing berpenduduk 200 jiwa. Terdapat banyak kampung ke arah hulu hingga Deli Toea yang dihuni oleh orang Batak yang jumlahnya mencapai 5.000 jiwa.
Sementara itu di jalur Boeloe Tjina terdapat kesultanan/kerajaan Batak seperti Boeloe Tjina dan Soenggal. Dua kerajaan ini tampak harmonis meski berlainan keyakinan yang mana Boeloe Tjina beragama Islam dan Kerajaaan Soenggal yang masih pagan (berpenduduk 20.00 jiwa). Kesultanan Boeloe Tjina berada di hilir sungai Boeloe Tjina dimana di muara sungai Boeloe Tjina terdapat bandar Sampai sebagai bandar Kesultanan Boeloe Tjina. Bandar Sampai berpenduduk 50 rumah sedangkan Boeloe Tjina di arah hulu bandar ini memiliki penduduk dengan 80 rumah (tempat Orang Kaya). Kampung-kampung lainnya di Boeloe Tjina adalah Pangalan Boeloe, Kelambir (tempat adik Sultan Ahmat, 25 rumah), Dangla (15 rumah), Kullumpang (tempat Sultan Ahmat, perkebunan lada, pamannya adalah Orang Kaya).
Diantara raja-raja dan sultan-sultan itu, yang pertama mendapat gelar dari Siak adalah Sultan Deli. Dengan gelar yang ada Sultan Deli lalu menganggap Deli (sekitar Laboehan), Boeloe Tjina, Langkat, Pertjoet dan tempat-tempat lainnya sebagai bawahannya. Sultan Deli merasa di atas angin karena dukungan Siak. Namun gelagat Sultan Deli ini mendapat resistensi terutama dari raja-raja Langkat (Perang Langkat) dan Raja Pulo Barian. Pada saat Anderson di Deli 1822/1823 perang antara Sultan Deli dan Raja Pulo Barian tengah memanas. Untuk mengimbangi kekuatan Sultan Deli, Radja Pulo Barian mendatangkan pasukan tambahan dari orang-orang Batak di hulu sungai Deli dan bahkan ada yang dari Siantar. Awal munculnya ketegangan karena Sultan Deli coba memonopoli arus perdagangan di DAS Deli, Raja Poeloe Barian tidak terima. .
Sementara itu di jalur Boeloe Tjina terdapat kesultanan/kerajaan Batak seperti Boeloe Tjina dan Soenggal. Dua kerajaan ini tampak harmonis meski berlainan keyakinan yang mana Boeloe Tjina beragama Islam dan Kerajaaan Soenggal yang masih pagan (berpenduduk 20.00 jiwa). Kesultanan Boeloe Tjina berada di hilir sungai Boeloe Tjina dimana di muara sungai Boeloe Tjina terdapat bandar Sampai sebagai bandar Kesultanan Boeloe Tjina. Bandar Sampai berpenduduk 50 rumah sedangkan Boeloe Tjina di arah hulu bandar ini memiliki penduduk dengan 80 rumah (tempat Orang Kaya). Kampung-kampung lainnya di Boeloe Tjina adalah Pangalan Boeloe, Kelambir (tempat adik Sultan Ahmat, 25 rumah), Dangla (15 rumah), Kullumpang (tempat Sultan Ahmat, perkebunan lada, pamannya adalah Orang Kaya).
Ekspor lada 1819-1822 (Anderson, 1826) |
Dalam peta Noord Sumatra yang diduga informasinya bersumber dari laporan Anderson terbit paling awal tahun 1862 (peta pertama dalam artikel ini) sebagai sebuah lanskap (kecamatan). Nama itu terus mengalir digunakan sebagai sebuah kawasan (lanskap) hingga tahun 1873 (ketika Perang Toba lagi hangat-hangatnya dan eskalasi Perang Atjeh mulai memanas). Di Deli sendiri tengah berlangsung babak baru ekonomi perkebunan (tembakau).
Selanjutnya dalam hubungannya dengan kedatangan Belanda, biasanya Belanda untuk memulai kolonisasi (pemerintahan sipil) di suatu wilayah, terlebih dahulu
memetakan wilayah ke dalam bentuk peta topografi. Untuk tugas ini para ahli
dikirim ke TKP dalam kegiatan ekspedisi dengan atau tanpa pengawalan militer.
Hal ini juga dilakukan sebelumnya di berbagai tempat seperti di afdeeling
Mandheling en Ankola (Tapanoeli) dengan mengirim Willer (1840) dan Junghun
(1845) baru kemudian van der Tuuk (1850). Di Sumatra bagian Utara (Pantai Timur
Sumatra dan Pantai Barat Sumatra) dikirim seorang ahli dari Batavia pada tahun
1850an akhir untuk melakukan pemetaan geologi (tentu saja pemetaan sungai dan penduduknya
di sekitar DAS). Dialah yang mengisi peta dan digunakan sebagai panduan awal
munculnya ide Nienhuys memulai melakukan kegiatan perkebunan tembakau di
sekitar Laboehan Deli (tidak jauh dari Boeloe Tjina).
Nienhuys
datang tahun 1865 bersamaan dengan dimulainya pemerintahan sipil dengan
menempatkan seorang controleur di Laboehan Deli, sebagai ibukota afdeeling
Deli. Hal yang sama juga dilakukan di afd. Batoebara, afd. Asahan dan afd. Laboehanbatoe
(keempat wilayah ini bagian dari wilayah Residentie Siak Indrapoera). Lanskap
Langkat, Lanskap Boeloe Tjina dan Lanskap Serdang meski sudah dipetakan secara
administratif tetapi belum ada kehadiran pemerintah.
Lantas
mengapa Laboehan Deli yang dipilih sebagai tempat pertama ditempatkannya
seorang controleur? Karena kampung Laboehan Deli ini merupakan tempat yang
strategis: (1) sudah ada pemimpin komunal, Sultan Deli yang memiliki dependensi
dengan Sultan Siak; (2) pelabuhannya telah tumbuh dengan baik karena
kapal-kapal dari Siak atau tempat lain semakin intensif (ukuran sesungguhnya bagi
Belanda adalah besar kecilnya perputaran volume perdagangan); (3) sangat dekat
luar negeri (Inggris) di Penang; (4) berada di hilir Sungai Deli dan karena itu
kantor controleur berada di hilir istana Sultan Deli (agar militer mudah keluar
masuk) dan juga fungsi controleur yang merangkap sebagai petugas bea dan cukai
lebih efektif dilakukan. Atas dasar itu, Laboehan Deli diproyeksikan sebagai
pusat pemerintahan di Deli, Langkat, Baloe Tjina dan Serdang.
Datoe dari Boeloe Tjina, 1870 |
Controleur,
Sultan Deli dan Nienhuys adalah tiga aktor penting yang memainkan peran dalam memulai
membangun regional wilayah. Semua bermula di Laboehan Deli, para Sultan dan
pangeran di Langkat, Boeloe Tjina dan Serdang wait and see. Dalam perjalanan
waktu, Nienhuys ternyata berhasil dalam memulai usahanya lalu memperluas
lahannya ke hulu sungai Deli hingga di kampong Medan Poetri (cikal bakal Kota
Medan). Kabar berita di Eropa atas hasil produksi Nienhuys ternyata tembakau Deli
terbilang jempolan, lalu lambat laun mengundang minat investor Eropa
berdatangan ke Deli. Beruntung Nienhuys yang kini sudah berpatner dengan
membangun perusahaan holding yang langsung ditandatangani oleh sang Ratu di
Belanda (1870).
Lahan-lahan
di kiri kanan sungai Deli telah menjadi hak penguasaan Nienhuys untuk masa
konsesi sekian tahun. Untuk para investor baru yang umumnya non Belanda
diarahkan oleh controleur ke Langkat (langkat hulu dan Langkat Hilir) dan
Serdang. Investor ini semakin banyak yang berdatangan karena jalur Terusan Suez
dibuka tahun 1869 yang membuat perjalanan Hindia Belanda ke Eropa/Belanda
semakin singkat yang mengakibatkan jalur Pantai Timur Sumatra di selat Malaka
semakin ramai (sebaliknya jalur Pantai Barat Sumatra semakin sepi).
Pada
masa inilah Boeloe Tjina dikerdilkan. Status controleur yang berubah menjadi
Asisten Residen di Laboehan Deli menyebabkan terjadinya penataan ulang wilayah:
Langkat (hulu dan hilir) menjadi satu afdeeling sendiri dan lanskap Boeloe
Tjina yang awalnya sebagai kandidat onderafdeeling lalu dihapuskan dan kemudian
dibentuk onderfadeeling baru di Medan (karena perusahaan Nienhuys dan partner
Deli Maatschappij telah pindah ke Medan Poetri). Lanskap Serdang sendiri
kemudian ditetapkan menjadi satu onderafdeeling di dalam wiayah afd. Deli.
Kebun Boeloe Tjina 1912 |
Ini
menjadi terungkap sendiri, Deli Maatschappij diduga menjadi penentu hilangnya Boeloe
Tjina sebagai suatu onderafdeeling, yang secara tidak langsung membuat Sultan
Deli boleh jadi sumringah karena Sultan dan para pangeran di Baloe Tjina telah ‘dikebiri’.
Satu competitor penting Sultan Deli telah mati suri. Sultan Deli kemudian
semakin menguat, tidak hanya karena wilayahnya semakin luas, tetapi faktor kedekatannya
dengan pemerintah dan investor utama (Deli Mij). Boeloe Tjina sendiri lambat
laun hilang lenyap dari peredaran. Boeloe Tjina kini menjadi tinggal kenangan, hanya
nama sebuah desa di Kecamatan Hamparan Perak, Kabupaten Deli.
Kota Tjina muncul 1913-1914, Baloe Tjina sudah ada sejak 1862 |
Bagaimana Munculnya Nama Boeloe Tjina?
Pertanyaan
bagaimana munculnya nama Baloe tjina atau Boeloe Tjina dan pertanyaan dimanakah letak yang sebenarnya Boeloe Tjina adalah pertanyaan yang sangat
mendasar dan masih merupakan teka-teki yang memerlukan pemikiran yang cermat
dengan pendekatan holistic dari berbagai sumber-sumber pendukungnya. Mari kita berandai-andai doeloe, bahwa di masa lampau bahwa penduduk Batak (di pedalaman) merupakan representasi dari originilitas penduduk Sumatra (paling tidak di Noord Sumatra). Pendapat ini pertama kali dikemukan Marsden 1773 yang bisa dibaca dalam bukunya The History of Sumatra (terbitan 1811). Kemudian mari kita menarik titik ekstrim di tiga tempat: Pertibie (di pantai timur Sumatra di hulu sungai Baroemoen, kemudian di era Belanda Pertibie menjadi Padang Lawas) yang menjadi pusat koloni India, Baros (di pantai barat Sumatra) yang menjadi pusat koloni Arab (Timur Tengah), dan Baloe Tjina atau Kota Tjina (di pantai timur Sumatra di hulu sungai Belawan) yang menjadi pusat koloni Tjina. Lalu kita berandai-andai joega, Melayu masih berada di Semenanjung atau Riaow. Situs-situs terpenting dari tiga tempat ini adalah situs Lobu Toea di Baros, situs komplek percandian di Pertibie (kini Portibi) dan situs Boeloe Tjina atau Kota Tjina di muara sungai Belawan (kini Deli).
Semua area koloni-koloni tersebut boleh jadi masih kosong atau sudah terdapat secara sporadis Melayu mendiami pantai-pantai..Lantas buat apa mereka membuat koloni? Mereka bertujuan untuk berdagang, melakukan transaksi dagang dengan penduduk lokal di pedalaman (Batak). Komoditi perdagangan utama kala itu adalah emas, benzoin, damar, kemenyan, kamper dan lainnya (tentu belum dikenal komoditi lada, tembakau atau karet). Di pantai barat (Baros) koloni berada di garis pantai (tidak ada sungai yang bisa dilayari jauh ke pedalaman), sementara di pantai timur sangat banyak sungai yang mengalir dari pedalaman ke pantai, seperti sungai Baroemoen dan sungai Belawan. Kapal-kapal para pedagang-pedagang tersebut di pantai timur dimungkinkan bisa memasuki pedalaman melalui sungai seperti di hulu sungai Belawan atau jauh ke pedalaman di hulu sungai Baroemoen. Lokasi koloni ke pedalaman dimaksukan untuk memperdekat dengan TKP (sumber komoditi).
Untuk tujuan terjadinya perdagangan, dalam hal ini metode transaksi dagang (antara penduduk koloni dengan penduduk lokal yang turun gunung) dilakukan dengan cara primitif (karena perbedaan bahasa) yakni dengan cara teknik pasar diam (seperti di awal tahun 1970an masih ditemukan antara pedagang kota dengan penduduk Kubu di Jambi). Transaksi dagang di tiga tempat ini bisa jadi dilakukan dengan cara barter (tidak dengan uang) yakni dengan saling mempertukarkan barang (komodi primer dari pedalaman dengan tembikar, keramik, manik-manik atau bahan logam atau peralatan terbuat dari logam serta kain yang dibawa pedagang pendatang. Alat transportasi dari pedalaman dilakukan dengan menggunakan kuda Batak (yang terkenal hingga era Belanda). Tiga tempat tersebut yang juga menjadi pelabuhan, merupakan simpul pertemuan pedagang pendatang yang datang dengan kapal-kapal dan penduduk pedalaman (Batak) yang datang dengan kuda-kuda tangguh. Penduduk Batak yang berada di selatan (Mandailing dan Angkola) dan timur (Simaloengoen) menuju Pertibie, penduduk Batak di barat (Silindoeng dan Toba) dan utara (Pakpak/Alas) menuju Baros, dan penduduk Batak di utara (Dairi) dan timur (Karo) menuju Boeloe Tjina atau Kota Tjina. Oleh karena sifatnya simpul perdagangan, maka tidak ada pertemuan budaya secara intensif yang membntuk budaya dominan dalam budaya Batak..
Kemashuran tiga pelabuhan utama kuno di Sumatra bagian utara ini memberi dampak yang besar terhadap kemakmuran di pedalaman. Konon lagu sekko-sekko adalah lagu primitif (bersifat magis) di Tanah Batak yang mengisahkan bentuk pemujaan terhadap hebatnya sekko (kemenyan) dalam memberikan kemakmuran bagi penduduk di Tanah Batak. Penduduk Batak dengan kekayaan yang dimiliki atas perdagangan besar dengan kolonial lama (Arab, India dan Tjina) memungkinkan penduduk Batak yang masih primitif berhasil mengembangkan kebudayaannya, seperti aksara dan sastra, budidaya pertanian domestik, senjata dengan menggunakan mesiu, arsitektur, manufaktur ulos, seni musik dan tentu saja ilmu pengetahuan (pengobatan, astronomi, dll) serta sistem sosial yang kompleks (tetapi teratur: dalihan natolu). Aksara Batak adalah aksara terunik di dunia: dapat dituliskan dari kri ke kanan (aksara latin) dan dapat ditulis dari atas ke bawah (aksara China) yang mengindikasikan aksara Batak merupakan konstruksi yang brilian untuk mempertemukan East-West yang tidak ditemukan dalam aksara lain di dunia.
Semua itu bersumber dari kemuliaan Tuhan yang menempatkan Tanah Batak sebagai tempat dimana tumbuh secara spesifik tumbuhan yang menghasilkan komoditi utama perdagangan dunia yang dibutuhkan oleh penduduk dunia di belahan barat maupun belahan timur kala itu (utamanya benzoin, kamper (kapor Baros) dan kemenyan), Dalam perkembangannya, Baros mulai bergeser ke teluk Tapanoeli, Natal, dan Singkel, Pertibie bergeser ke Panai di muara sungai Baroemoen, Boeloe Tjina atau Kota Tjina tidak bergeser tetapi berpindah-pindah tempat di sungai yang lebih dalam sesuai (perkembangan ukuran kapal dan adanya pendangkalan di hulu-hulu sungai).
Secara teoritis, ada sumber perdagangan atau komoditi, maka kesitulah para pedagang dari 'manca negara' berdatangan (dan bahkan membuat koloni), seperti Baros, Pertibie dan Baloe Tjina. Ketika nilai perdagangan menyusut (karena komoditi lama digantikan komoditi baru pada perdagangan dunia), koloni juga mulai tidak kondusif dan koloni (yang sudah berpuluh atau beratus tahun) lambat laun ditinggalkan secara pelan-pelan oleh para pendatang. Koloni-koloni yang sudah berkurang secara permanen (mungkin masih menyisakan konsulatnya), wilayah koloni yang mulai sepi pendatang ini mulai diisi oleh para penduduk pedalaman (sebagai perluasan teritorial karena tekanan kepadatan penduduk di pedalaman). Okupasi wilayah ini sangat wajar, karena secara tradisional penduduk pedalaman sudah kenal dalam era transaksi komoditi kuno (kapur baros, benzoin dan kemenyan). Tidak ada percampuran budaya, lalu penduduk pedalaman Batak menempati eks koloni. Oleh karena sudah mengenal nama-nama tempat koloni, para penduduk lokal tidak menggantikan nama-nama yang ditinggalkan, seperti Pertibie, Siunggam, Panai, Pejorkoling, Angkola. Hal ini karena nama-nama itu adalah nama yang muncul dan diserap oleh penduduk sejak awal. Hal ini juga nama Baros di pantai barat Sumatra dan dalam hal ini nama Baloe Tjina atau Boeloe Tjina di pantai timur di muara sungai Belawan. Lantas kapan munculnya Delhi atau Deli? Dari Deli Toewa ke Laboehan Deli lalu ke Medan (Poetri). Simak selanjutnya: Mengapa di Pertibie ada candi, di Deli tidak ditemukan. Apakah ada hubungan antara Pertibie dengan Deli?. . . .
Semua area koloni-koloni tersebut boleh jadi masih kosong atau sudah terdapat secara sporadis Melayu mendiami pantai-pantai..Lantas buat apa mereka membuat koloni? Mereka bertujuan untuk berdagang, melakukan transaksi dagang dengan penduduk lokal di pedalaman (Batak). Komoditi perdagangan utama kala itu adalah emas, benzoin, damar, kemenyan, kamper dan lainnya (tentu belum dikenal komoditi lada, tembakau atau karet). Di pantai barat (Baros) koloni berada di garis pantai (tidak ada sungai yang bisa dilayari jauh ke pedalaman), sementara di pantai timur sangat banyak sungai yang mengalir dari pedalaman ke pantai, seperti sungai Baroemoen dan sungai Belawan. Kapal-kapal para pedagang-pedagang tersebut di pantai timur dimungkinkan bisa memasuki pedalaman melalui sungai seperti di hulu sungai Belawan atau jauh ke pedalaman di hulu sungai Baroemoen. Lokasi koloni ke pedalaman dimaksukan untuk memperdekat dengan TKP (sumber komoditi).
Untuk tujuan terjadinya perdagangan, dalam hal ini metode transaksi dagang (antara penduduk koloni dengan penduduk lokal yang turun gunung) dilakukan dengan cara primitif (karena perbedaan bahasa) yakni dengan cara teknik pasar diam (seperti di awal tahun 1970an masih ditemukan antara pedagang kota dengan penduduk Kubu di Jambi). Transaksi dagang di tiga tempat ini bisa jadi dilakukan dengan cara barter (tidak dengan uang) yakni dengan saling mempertukarkan barang (komodi primer dari pedalaman dengan tembikar, keramik, manik-manik atau bahan logam atau peralatan terbuat dari logam serta kain yang dibawa pedagang pendatang. Alat transportasi dari pedalaman dilakukan dengan menggunakan kuda Batak (yang terkenal hingga era Belanda). Tiga tempat tersebut yang juga menjadi pelabuhan, merupakan simpul pertemuan pedagang pendatang yang datang dengan kapal-kapal dan penduduk pedalaman (Batak) yang datang dengan kuda-kuda tangguh. Penduduk Batak yang berada di selatan (Mandailing dan Angkola) dan timur (Simaloengoen) menuju Pertibie, penduduk Batak di barat (Silindoeng dan Toba) dan utara (Pakpak/Alas) menuju Baros, dan penduduk Batak di utara (Dairi) dan timur (Karo) menuju Boeloe Tjina atau Kota Tjina. Oleh karena sifatnya simpul perdagangan, maka tidak ada pertemuan budaya secara intensif yang membntuk budaya dominan dalam budaya Batak..
Kemashuran tiga pelabuhan utama kuno di Sumatra bagian utara ini memberi dampak yang besar terhadap kemakmuran di pedalaman. Konon lagu sekko-sekko adalah lagu primitif (bersifat magis) di Tanah Batak yang mengisahkan bentuk pemujaan terhadap hebatnya sekko (kemenyan) dalam memberikan kemakmuran bagi penduduk di Tanah Batak. Penduduk Batak dengan kekayaan yang dimiliki atas perdagangan besar dengan kolonial lama (Arab, India dan Tjina) memungkinkan penduduk Batak yang masih primitif berhasil mengembangkan kebudayaannya, seperti aksara dan sastra, budidaya pertanian domestik, senjata dengan menggunakan mesiu, arsitektur, manufaktur ulos, seni musik dan tentu saja ilmu pengetahuan (pengobatan, astronomi, dll) serta sistem sosial yang kompleks (tetapi teratur: dalihan natolu). Aksara Batak adalah aksara terunik di dunia: dapat dituliskan dari kri ke kanan (aksara latin) dan dapat ditulis dari atas ke bawah (aksara China) yang mengindikasikan aksara Batak merupakan konstruksi yang brilian untuk mempertemukan East-West yang tidak ditemukan dalam aksara lain di dunia.
Situs Cina di Boeloe Tjina 1912 |
Batakhuis te Boeloe Tjiina 1888-1889 |
(bersambung)
2 komentar:
Jenis Bambu pada masyarakat karo : buluh duri, buluh cina, buluh belin, dll. Pe nulis jangan mengabaikan jejak-jejak karo di buluh cina. Belanda menterjemahkan perang karo sunggal sbg batak oorlog. Hulu sei be lawan berapa di kaki gunung sibayak. Anderson sdh mengingatkan agar memperhatikan Maura-Maura sungai.
Terima kasih artikel sejarahnya, sangat bermanfaat
Bukuh cina Hamparan Perak Kampung saya
Posting Komentar