Oleh Akhir Matua Harahap[2]
Pada masa ini
Tapanuli Bagian Selatan (Tabagsel) terdiri dari empat kabupaten dan satu kota,
yakni: Kabupaten Mandailing Natal, Kabupaten Tapanuli Selatan, Kabupaten Padang
Lawas Utara, Kabupaten Padang Lawas dan Kota Padang Sidempuan.Lima wilayah ini
meski kini berbeda secara administratif namum dari sudut pandang mana pun
kelima wilayah ini memiliki karakteristik yang sama: bahasa, budaya, sosial,
ekonomi dan sebagainya. Oleh karenanya kelima wilayah ini tetap terikat dalam
satu kesatuan sosial dan ekonomi yang disebut Tapanuli Bagian Selatan
(Tabagsel).
Tiga isu utama
pada masa kini di Tapanuli Bagian Selatan, yakni pendidikan, agrisbisnis dan
ekonomi tengah mengalami permasalahan yang akut: tingkat kualitas pendidikan
(penerimaan siswa di PTN terbaik) sudah sangat menurun, gerak pembangunan
sektor pertanian dan pengembangan bisnis pertaniannya mengalami perlambatan,
dan juga produk-produk unggulan telah lama kalah bersaing, sementara produk
yang dapat diandalkan masih belum teridentifikasi dengan baik.
Padahal di masa
doeloe dua dari tiga tiga isu utama tersebut memiliki success story di Afdeeling Mandheling en Ankola (nama lain Tabagsel
tempo doeloe) yang dibicarakan di tingkat nasional (Hindia Belanda), yakni:
pendidikan dan agribisnis.
Pionir
Pendidikan Nasional[3]
Dari Docter Djawa School menjadi STOVIA lalu menjadi UI |
Pada tahun 1857,
Si Sati lebih memilih untuk menjadi guru. Boleh jadi Si Sati berpikir, sudah
banyak yang menjadi dokter, tetapi belum satupun yang menjadi guru. Si Sati
berinisiatif untuk sekolah guru langsung ke Belanda. Permintaanya diteruskan Asisten
Residen Mandheling en Ankola ke Menteri Pendidikan di Batavia. Namun permintaan
sempat tertahan di Dewan di Batavia karena soal pembiayaan. Hal ini tidak
masalah bagi siswa dokter di Batavia karena orang tua mereka masih mampu
membiayainya. Akan tetapi sekolah ke Belanda tentu sangat mahal. Akhirnya Dewan
mengabulkan Si Sati berangkat ke Belanda, hanya karena satu hal: produksi kopi
di Mandheling en Ankola terus meningkat dan harga kopi Mandheling dan kopi
Ankola telah melambung harganya (dan terbukti harga kopi Mandheling dan kopi
Ankola diapresiasi sebagai harga kopi tertinggi dunia tahun 1862).
Budidaya
kopi di Afd. Mandheling en Ankola dimulai pada tahun 1841. Awalnya tidak mudah,
karena penduduk protes dan melakukan pemberontakan. Peristiwa ini direkam oleh
Edward Douwes Dekker (kelak namanya lebih dikenal sebagai Multatuli) yang tahun
1843 menjadi controleur di Natal. Lalu lambat laun situasi dan kondisi semakin
kondusif, budidaya kopi jalan terus. Ketika AP Godon, Asisten Residen yang baru
datang tahun 1848, produksi kopi sudah melimpah tetapi tidak tersalurkan. Godon
bernisiatif dengan mengajak penduduk membuka jalan dari Mandailing menuju
Natal. Pada tahun 1851 kopi Mandheling en Ankola sudah diperdagangkan di
Padang. Aliran kopi semakin kencang menuju Padang ketika jalan dari Ankola
menuju Loemoet sudah dibuka pada tahun 1856. Produksi dan perdagangan kopi
adalah ‘password’ anak-anak Mandheling en Ankola untuk mendapatkan pendidikan
yang lebih tinggi. Dalam bahasa sekarang, Belanda doeloe menganggap ‘tidak ada
makan siang gratis’.
Pada tahun 1861
Si Sati yang mengubah namanya menjadi Willem Iskander selesai ‘kuliah’ di
sekolah guru di Harlem, Belanda dan lalu pulang kampong. Pada tahun 1862 Willem
Iskander membuka sekolah guru (kweekschool) di Tanobato. Willem Iskander
‘memilih’ murid-murid alumni dari sekolah rakyat, anak murid teman-temannya
yang menjadi guru untuk dididik oleh Willem Iskander sendiri di Tanobato. Baru
dua tahun, Kweekschool Tanobato sudah diakuisi oleh pemerintah menjadi sekolah
guru negeri (yang ketiga) dan dalam lima tahun sejak didirikan sudah menjadi
sekolah guru terbaik di Sumatra.
Anak-anak
Mandheling en Ankola sejak 1858 secara regular ke Batavia untuk mengikuti
pendidikan kedokteran tetapi juga sejak 1862 berdatangan ke Kweekschool
Tanobato untuk dididik menjadi guru. Para alumni sekolah kedokteran asal
Mandheling en Ankola telah melampaui wilayahnya, lalu alumni sekolah guru
Tanobato sudah mulai memenuhi seluruh wilayah Mandheling en Ankola. Melihat
banyaknya sekolah-sekolah rakyat yang dibangun oleh lulusan sekolah Tanobato
bersama penduduk, pada tahun 1873 pemerintah akan segera mendirikan sebanyak 10
unit sekolah pribumi (Inlandsche School) di Tapanoeli (lihat Sumatra-courant:
nieuws- en advertentieblad, 02-04-1873).
Pada tahun 1873
beredar berita di surat kabar di Batavia bahwa sekolah guru yang lebih besar
kapasitasnya akan dibangun di Tapanoeli, yakni dengan melikuidasi Kweekschool
Tanobato dan membangun sekolah guru di Padang Sidempuan. Ini diduga berkaitan
dengan ibukota afd. Mandheling en Ankola sejak 1870 sudah dipindahkan dari
Panyabungan ke Padang Sidempuan. Untuk menjadi kepala sekolah Kweekschool
Padang Sidempuan yang akan dibuka tahun 1879 diusulkan Willem Iskander. Namun
untuk menjadi kepala sekolah, Willem Iskander harus terlebih dahulu memiliki
akte kepala sekolah. Pada tahun 1875 Willem Iskander berangkat ke Belanda,
tetapi belum setahun di Belanda dikabarkan Willem Iskander telah meninggal
dunia (lihat De Locomotief, 31-07-1876).
Akhirnya
Kweekschool Padang Sidempuan dibuka tahun 1879 dengan siswa yang diterima 18
orang dari kapasitas 20 siswa. Direktur yang diangkat adalah Mr. Harmsen. Pada
tahun 1883, salah satu guru di sekolah itu diangkat menjadi direktur untuk
menggantikan Harmsen, namanya Charles Adrian van Ophuijsen. Sejak ditangani
Ophuijsen, Kweekschool Padang Sidempuan menjadi sekolah guru terbaik di Hindia
Belanda (lihat Bataviaasch handelsblad, 30-06-1885). Charles Adrian van
Ophuijsen menjadi guru di Padang Sidempuan selama delapan tahun dimana lima
tahun terakhir menjadi kepala sekolah. Alumni Kweekschool Padang Sidempuan
sebagian besar menjadi guru tetapi yang lainnya menjadi penulis di kantor
pemerintah. Beberapa tahun setelah pendirian Kweekschool Padang Sidempuan, juga
didirikan sekolah eropa. Situs sekolah guru tersebut kini menjadi SMA N-1
Padang Sidempuan, situs Sekolah Eropa tersebut adalah gedung BPDSU/Bank Sumut
Padang Sidempuan.
Untuk
Residentie Tapanoeli sendiri pada tahun 1892, sebagaimana diberitakan koran
Algemeen Handelsblad, 23-11-1892 terdapat sebanyak 18 sekolah negeri yang mana
15 buah berada di Afdeeling Mandheling en Ankola. Jumlah ini tidak banyak
berubah. Pada tahun 1908 sekolah negeri di Residentie Tapanoeli hanya ada
sebanyak 19 buah yang mana 15 buah diantaranya berada di Afdeeling Mandheling
en Ankola, yakni: di Padang Sidempuan, Simapilapil, Batu Nadua, Pargarutan,
Sipirok, Bungabondar, Panyabungan, Tanobato, Muarasoma, Gunung Baringin,
Kotanopan, Huta Godang, Manambin, Batang Toru dan Sibuhuan. Sedangkan empat
yang lainnya satu sekolah berada di Sibolga dan tiga buah di Nias Eiland.
Jumlah keseluruhan murid di 19 sekolah tersebut berjumlah sebanyak 2.400 siswa
(lihat Algemeen Handelsblad, 23-11-1892).
Salah satu
alumni Kweekschool Padang Sidempuan (lulus 1884) bernama Dja Endar Moeda,
setelah pension jadi guru, hijrah ke Padang dan tahun 1895 mendirikan sekolah
swasta di Padang. Dja Endar Moeda sangat aktif menulis buku (buku pelajaran dan
buku bacaan novel). Pada tahun 1897, Dja Endar Moeda ditawari oleh Penerbit
surat kabar Perja Barat untuk menjadi editor. Pada tahun 1900, Dja Endar Moeda
mengakuisisi Koran Pertja Barat dan sekaligus percetakannya menjadi milikinya.
Sejak itu, bisnis Dja Endar Moeda berkembang, lalu mendirikan toko buku,
mencetak buku-buku karangannya. Selain itu, Dja Endar Moeda tetap bertindak
sebagai editor Pertja Barat, Dja Endar Moeda juga menerbitkan majalah Insulinde
(di Padang) tahun 1901 dan majalah Tapian Naoeli (di Sibolga) 1902.
Pendiri
Organisasi di Indonesia
Sekolah Eropa
Padang Sidempuan kemudian alumninya banyak yang melanjutkan studi ke Dokter
Djawa School di Batavia. Dr. Ahmat alumni sekolah Eropa Padang Sidempuan adalah
seangkatan dengan Dr. Wahidin. Sejumlah alumni sekolah ini yang menjadi lulusan
Dokter Djawa School antara lain Dr. Haroen Al Rasjid (Nasution) ditempatkan di
Padang dan Sibolga dan Dr. Muhamad Hamzah (Harahap) yang ditempatkan di
Lampong. Keduanya sama-sama lulus tahun 1901. Dua anak Padang Sidempuan
berikutnya adalah Dr. Abdul Hakim dan Dr. Abdul Karim (keduanya seangkatan
dengan Dr. Tjipto) yang lulus tahun 1902. Satu lagi yang terkenal adalah Dr.
Muhamad Daulaj yang lulus tahun 1905 dan setelah berdinas di Jawa Timur
ditempatkan di Medan dan berdedikasi memberantas penyakit kusta di Deli. Tahun
1902 Docter Djawa School berganti nama menjadi STOVIA.
Alumni-alumni
Kweekschool Padang Sidempuan sangat mahir menulis (sebagaimana halnya alumni
Kweekschool Tanobato). Mungkin ini berkat guru mereka Charles Adrian van
Ophuijsen. Selain Dja Endar Moeda adalah Soetan Martoewa Radja (ayah MO
Parlindungan) alumni Kweekschool Padang Sidempuan yang terakhir (1892) yang
menjadi guru dan juga penulis buku
pelajaran dan novel. Lalu, Mangaradja Salamboewe (anak Dr. Asta, dokter pertama
dari luar Jawa) yang menjadi editor koran Pertja Timor di Medan (1902-1908).
Satu lagi, Soetan Casajangan, setelah pension jadi guru lalu pada umur 30 tahun
berangkat studi ke Belanda tahun 1905. Soetan Casajangan adalah tiga orang
pertama pribumi yang kuliah di Belanda. Ayah Soetan Casajangan adalah
Manggaradja Soetan, salah satu murid Willem Iskander.
Soetan
Casajangan pada tahun 1908 di Leiden mendirikan perhimpunan mahasiswa Indonesia
(Indisch Vereeniging). Pada tahun 1908 juga Boedi Oetomo didirikan di Batavia
oleh mahasiswa-mahasiswa STOVIA yang berasal dari Jawa.Boedi Oetomo dipelopori
oleh Soetomo, teman seangkatan dengan Radjamin Nasoetion yang lulus tahun 1912.
(Kelak Dr. Soetomo menjadi direktur rumah sakit di Surabaya dan Dr. Radjamin
Nasution setelah berpindah-pindah tempat termasuk di Medan kemudian menjadi
anggota dewan kota Surabaya lalu diangkat menjadi walikota Surabaya. Dr.
Radjamin Nasution adalah walikota pribumi pertama di Surabaya (sejak 1942).
Dua organisasi
sosial ini ternyata bukan yang pertama didirikan di Indonesia. Akan tetapi jauh
sebelumnya di Padang pada tahun 1900 didirikan organisasi sosial bernama Medan
Perdamaian. Organisasi ini digagas dan menjadi direktur pertama adalah Dja
Endar Moeda. Medan Perdamaiaan tidak hanya ada di Padang, tetapi juga di Fort
de Kock, Medan, Palembang, Batavia dan Pematang Siantar. Dengan demikian, Medan
Perdamaian adalah organisasi social pertama yang didirikan di Indonesia (bukan
Boedi Oetomo).
Soerabaijasch
handelsblad, 20-10-1908: ‘Pada pertemuan asosiasi Boedi Oetomo, yang
diselenggarakan di Djokdjakarta 3 Oktober 1908 (Kongres pertama Boedi Oetiomo,
red) pemerintah menanggapi pertanyaan dari Bupati Temanggoeng bahwa di luar
Djawa sudah ada asosiasi sejenis. (seperti misalnya, cabang) Medan Perdamaian
di Fort de Kock yang didirikan 17 Oktober 1907. Organisasi Medan Perdamaian
(sebagaimana) diketahui bertujuan untuk mewakili kepentingan anggota dan
populasi dalam satu kata: kemajuan. Untuk mencapai tujuan, organisasi Medan
Perdamaian telah diputuskan menerbitkan majalah (maandelijksch) yang akan
dicetak dan diterbitkan oleh penerbit pribumi Dja Endar Moeda di Padang yang
akan berisi ilmu sehari-hari yang berguna dan yang diperlukan di bidang
pertanian, peternakan, industri, pendidikan, kesehatan kampung, keadilan, dll.
Organisasi (cabang) Fort de Kock ini sudah memiliki anggota 700 orang’.
Ini menunjukkan
bahwa peserta kongres pertama Boedi Oetomo sudah mengetahui adanya Medan
Perdamaian (suatu organisasi yang telah didirikan sejak 1900). Untuk sekadar
diketahui bahwa Medan Perdamaian adalah organisasi yang tidak eksklusif bagi
dirinya sendiri. Medan Perdamaian ketika masih dipimpin oleh direktur (ketua)
Dja Endar Moeda pada tahun 1902 sebagaimana dilaporkan De Locomotief (edisi
21-08-1902) bahkan telah memberi sumbangan bagi peningkatan pendidikan di
Semarang sebesar f 14.490 yang diserahkan melalui Charles Adrian van Ophuijsen
yang saat itu menjabat sebagai Direktur Pendidikan Province Sumatra;s Westkust
(Pantai Barat Sumatra). Ini dengan sendirinya menunjukkan bahwa Medan
Perdamaian, organisasi sosial pribumi pertama di Indonesia membuktikan sifatnya
yang memang multi etnik dengan sasaran seluruh populasi (pribumi) di seluruh
Nederlandsch Indie (Hindia Belanda). Sekadar diketahui, arsitektur organisasi
(baru) Boedi Oetomo sesungguhnya adalah copy paste dari organisasi (lama) Medan
Perdamaian. Hanya saja bedanya: Medan Perdamaian tetap cenderung bersifat multi
etnik (nasional), sedangkan Boedi Oetomo cenderung bersifat terbatas di Jawa
(kedaerahan).
***
Sejak Soetan
Casajangan berada di Belanda, sejumlah anak-anak Padang Sidempuan (Mandheling
en Ankola) yang menyusul adalah Abdoel Firman (Siregar) gelar Mangaradja
Soeangkoepon yang datang tahun 1910, lalu diikuti oleh Todoeng (Harahap) gelar
Soetan Goenoeng Moelia tahun 1911 dan Amir Sjarifoedin.
Sementara
itu di STOVIA, anak-anak Mandheling en Ankola semakin banyak setelah Radjamin
Nasution. Mereka itu antara lain: Djabangoen, Paroehoeman, Abdul Munir
Nasution, Diapari Siregar, Casmir Harahap, Alimoedin Pohan, Soetan Namora.
Selain itu anak-anak Mandheling en Ankola juga kuliah di sekolah tinggi hokum
(rechtschool), lalu di Bogoruntuk sekolah kedokteran hewan dan sekolah menengah
pertanian.
Anak-anak
Mandheling en Ankola lulusan STOVIA yang menyusul ke Belanda, antara lain
Soetan Parahoeman, Aminoedin Pohan, Diapari Siregar, Gindo Siregar dan Ida
Loemongga. Yang juga menyusul studi ke Belanda adalaha lulusan Rechtschool
Batavia seperti Alinoedin (Siregar) gelar Radja Enda Boemi, juga lulusan dari Sekolah
Kedokteran Hewan di Bogor, seperti Sorip Tagor (Harahap). Anak-anak Mandheling
en Ankola lainnya yang menyusul dari kalangan guru antara lain: Gading Batoebara
Josua (GB Josua).
***
Medan Perdamaian
dan Boedi Oetomo hingga tahun 1917 keduanya masih eksis. Dua organisasi sosial
kemasyarakatan ini selama ini didominasi oleh golongan senior (lebih tua). Organisasi
Medan perdamaian tidak hanya pernah membantu pendidikan di Jawa, tetapi juga
para pendiri Boedi Oetomo sudah mengetahui adanya Medan Perdamaian. Arsitektur
Boedi Oetomo persis sama dengan Medan Perdamaian (copy paste).
Lantas, dalam
perkembangan berikutnya, di Belanda muncul organisasi sosial yang lebih radikal
yang dipelopori generasi yang lebih muda (junior). Adalah Sorip Tagor (kakek
Inez dan Risty Tagor) yang mempelopori didirikannya organisasi Sumatranen Bond
yang lebih progresif, karena setelah era Soetan Casajangan, organisasi Indisch
Vereeniging sudah mulai kendor dalam urusan kemajuan bangsa. Pada tanggal 1
Januari 1917, Sumatranen Bond resmi didirikan dengan nama ‘Soematra Sepakat’
Kelak
Indisch Vereeniging berganti nama menjadi Persatoean Pelajar Indonesia (PPI) tahun
1920an yang dipimpin oleh M. Hatta dan kawan-kawan. PPI menjadi lebih radikal
ketika pengurus berikutnya dipimpin oleh Parlindoengan Loebis yang menganut
paham anti fasis yang menyebabkan dirinya ditangkap tentara Jerman dan
dimasukkan ke dalam konsentrasi NAZI, 1941.
Dewan Sumatranen
Bond ini terdiri dari Sorip Tagor Harahap (sebagai ketua); Dahlan Abdoellah,
sebagai sekretaris dan Soetan Goenoeng Moelia sebagai bendahara. (Salah satu)
anggota (benama) Ibrahim Datoek Tan Malaka (yang kuliah di kampus Soetan
Casajangan). Tujuan didirikan organisasi ini untuk meningkatkan taraf hidup
penduduk di Sumatra, karena tampak ada kepincangan pembangunan antara Jawa dan
Sumatra. Mereka yang tergabung dalam himpunan ini menerbitkan majalah yang akan
dikirim ke Sumatra dan mengumpulkan berbagai buku yang akan dikirimkan ke
perpustakaan di Padang, Fort de Kock, Sibolga, Padang Sidempoean, Medan. Koeta
Radja dan di tempat lain di Soematra
(lihat De Sumatra post, 31-07-1919).
Sebelum
adanya nama Sumatra Sepakat ini di Medan pernah didirikan organisasi social
bernama Tapanoeli Sepakat pada tahun 1907 yang didirikan oleh Dja Endar Moeda
yang kemudian organisasi ini mendirikan surat kabar Pewarta Deli (1910).
Tapanoeli Sepakat didirikan untuk merespon begitu kuatnya organisasi ekonomi
komunitas Tionghoa di Medan. Organisasi Tapanoeli Sepakat ini kemudian
menghilang setelah berdirinya cabang organisasi multi etnik Medan Perdamaian.
Di Batavia juga
didirikan Sumatranen Bond. Organisasi ini dibentuk oleh mahasiswa-mahasiswa
STOVIA yang berasal dari Sumatra. Sumatra Bond yang disebut Jong Sumatra
didirikan pada tanggal 8 Desember 1917.
Asosiasi pemuda ini lahir dari suatu pemikiran bahwa intesitas
(pembangunan) hanya berada di Jawa dan di Sumatra dan pulau-pulau lainnya
terabaikan. Dengan kata lain pemikirannya sama dengan Sumatranen Bond yang
berada di Belanda. Susunan pengurus Jong Sumatranen di Batavia ini adalah
Tengkoe Mansoer sebagai ketua, Abdoel Moenir Nasoetion sebagai wakil ketua,
Amir dan Anas sebagai sekretaris serta Marzoeki sebagai bendahara (lihat De
Sumatra post, 17-01-1918).
Mendobrak
Kemapanan
Sumatranen Bond
seakan setback dari Medan Perdamaian dan Indisch Vereeniging. Akan tetapi itu
adalah bentuk protes anak-anak Padang Sidempuan Mandheling en Ankola dengan
semakin kuatnya Boedi Oetomo yang terus di jalur organisasi kedaerahaan (hanya
di Jawa). Situasi dan kondisi serupa inilah yang menyebabkan munculnya berbagai
organisasi baru baik di kalangan senior maupun junior. Di Tapanoeli, pada tahun
1922 bersama Manullang, Parada Harahap mendirikan organisasi pemuda Sumatranen Bond di Sibolga sebagai respon
adanya Sumatranen Bond di Belanda dan Batavia.
Pada tahun 1922
juga Parada Harahap hijrah ke Batavia, awalnya bekerja sebagai wartawan Sin Po
lalu mendirikan surat kabar Bintang Hindia terbit pertama 1 Januari 1923 dan
kemudian mendirikan kantor berita pribumi pertama Alpena. Pada tahun 1925
Parada Harahap dinobatkan pers Eropa/Belanda sebagai wrtawan terbaik. Pada
tahun 1926 Parada Harahap menulis buku Dari Pantai ke Pantai, yang isinya
bersumber dari laporan perjalanannya ke semua pelosok Sumatra (buku yang
pertama ditulis seorang wartawan). Pada tahun 1926 ini juga Parada Harahap
mendirikan koran Bintang Timoer. Dalam tempo satu tahun koran Bintang Timoer
sudah merupakan koran paling tinggi tirasnya di Batavia.Pada tahun 1927 Parada
Harahap dengan kawan-kawan mengadakan rapat untuk menyusun kembali Sumatranen
Bond dimana Parada Harahap bertindak sebagai sekretaris dan ketua Soetan
Muhamad Zein sebagai ketua.
Parada
Harahap adalah dulunya pada usia 14 tahun, seorang krani di sebuah perkebunan
di Sumatra Timur. Tidak tahan melaihat praktek poenalie sanctie (terhadap para
kuli) membongkar kasus-kasusnya dan mengirim laporannya ke surat kabar Benih
Mardika di Medan (1916-1917). Akibatnya, Parada Harahap dipecat sebagai krani
(kedudukan tertinggi bagi pribumi di perusahaan perkebunan). Lalu hijrah ke
Medan dan bergabung dengan koran Benih Mardika tahun 1918 dan diangkat sebagai
editor. Pada tahun 1919 Parada Harahap mendirikan organisasi wartawan (yang
pertama di Indonesia). Namun tidak lama kemudian koran Benih Mardika ditutup
karena pimpinannya mengalami kasus. Parada Harahap kehilangan pekerjaan lalu
pulang kampung ke Padang Sidempuan. Di kota ini, Parada Harahap menerbitkan
koran baru bernama Sinar Merdeka (1819) dengan motto Organ Ontoek Kemadjoean
Bangsa dan Tanah Air. Tulisan dan protesnya terhadap Belanda mengakibatkan
dirinya menghadapi banyak delik pers, dimejahijaukan dan dipenjara.
Pada tahun 1927
ini Parada Harahap mempelopori perlunya sejumlah organisasi kembali bersatu,
seperti Medan Perdamaian dan Indisch Vereeniging. Lantas Parada Harahap
mendiskusikannya dengan MH. Thamrin dan Djajaningrat. Lalu di rumah
Djajadiningrat dikumpulkan semua pengurus organisasi-organisasi seperti
Sumatranen Bond, Boedi Oetomo, Pasundan, Kaoem Betawi, Minahasa, Ambon dan
lainnya dan kemudian membentuk organisasi PPPKI yang diketuai oleh M. Husni
Thamrin dan sekretaris Parada Harahap. PPPKI singkatan dari Pemoefakatan
Perhimpoenan-Perhimpoenan Politiek Kebangsaan Indonesia. Organisasi ini
bersifat nasional dengan motto Hidoeplah Persatoean Indonesia.
Pada tanggal 31
Agustus 1928 organisasi ini melakukan pertemuan publik pertama (kongres). Hadir
dalam kongres antara lain: Parada Harahap, Tjokroaminto, Dr. Soetomo, Ir.
Soekarno. M. Thamrin. Dalam kongres ini Parada Harahap mengomentari sikap
pasifnya wakil Minahasa dan Ambon. Setelah kongres ini Parada Harahap segera memperluas
cakupan korannya dengan menerbitkan Bintang Timoer edisi Semarang (untuk Jawa
Tengah) dan edisi Surabaya (untuk Jawa Timur). Bersamaan dalam kongres ini juga
dilakukan pertemuan para pemudanya yang akan melakukan kongres pada tanggal 28
Oktober 1928. Salah satu panitia Koengres Pemuda adalah Amir Sjarifoedin yang
bertindak sebagai bendahara.
Mungkin anda bertanya-tanya: apakah Medan
Perdamaian yang didirikan di Padang oleh Saleh Harahap gelar Dja Endar Moeda
(1900), Perhimpoenan Hindia (Indisch Vereeniging) yang didirikan di Leiden oleh
Radjioen Harahap gelar Soetan Casajangan (1908), Sumantranen Bond yang
didirikan di Leiden oleh Sorip Tagor Harahap (1917) dan Pemoefakatan
Perhimpoenan-Perhimpoenan Politiek Kebangsaan Indonesia (PPPKI) yang didirikan
di Batavia oleh Parada Harahap (1927) dan Kongres Pemuda 1928 dimana ikut
berpartisipasi Amir Sjarifoedin adalah serba kebetulan? Jawabnya: Tidak.
Yang kebetulan adalah bahwa keempat orang pertama
tersebut sama-sama lahir dan dibesarkan (di empat kampung yang berbeda) di
Padang Sidempuan. Dja Endar Boemi lahir di huta (desa) Loesoengbatoe, Soetan
Casajangan lahir di huta (desa) Batoenadoea, Sorip Tagor lahir di huta (desa)
Hoetaimbaroe dan Parada Harahap lahir di huta (desa) Pargaroetan.
Untuk sekadar diketahui bahwa kelak pendiri
organisasi-organisasi mahasiswa masa selanjutnya juga didirikan oleh anak-anak
Padang Sidempuan. Organisasi mahasiswa Islam yang disebut Himpunan Mahasiswa
Islam (HMI) didirikan oleh Lafran Pane tahun 1947 di Djokjakarta (Lafran Pane
adalah adik dari Sanusi Pane dan Armijn Pane). Juga organisasi mahasiswa
Universiteit van Indonesie yang disebut Persatoean Mahasiswa Universiteit van
Indonesia (PMUI) didirikan oleh Ida Nasoetion tahun 1947 di Djakarta.
Universiteit van Indonesia meliputi fakultas-fakultas yang berada di Djakarta
(kedokteran, sastra dan hukum), Bogor (pertanian), Bandoeng (teknik), Soerabaja
(kedokteran) dan Makassar (ekonomi). Setelah pengakuan kedaulatan RI
fakultas-fakultas tersebut menjadi UI, IPB, ITB, Unair dan Unhas. Tokoh
terpenting dari UI adalah Hariman Siregar, ketua Dewan Mahasiswa UI tahun 1973
yang terkenal dengan peristiwa Malari (1974). Hariman Siregar adalah kelahiran
Padang Sidempuan.
Organisasi
mahasiswa pertama di Bogor yang didirikan tahun 1963 adalah IMATAPSEL. Dan itu
tidak perlu heran mengapa demikian. Anak-anak Tapanuli Bagian Selatan dari
doeloe selalu mempelopori pendirian organisasi.
Membangun
Kampung Halaman Lewat Organisasi
Anak-anak Padang
Sidempuan, Mandheling en Ankola berjuang di perantauan adalah satu hal.
Berjuang untuk kampong halaman adalah hal yang lain. Pada tahun 1938 kesadaran
untuk membangun kampong halaman sudah muncul. Adalah Sanusi Pane, editor
majalah Kebangoenan yang mengingatkan teman-temannya bahwa kampong halaman
perlu diperhatikan. Kemajuan pembangunan di Tapanoeli, khususnya di Zuid
Tapanuli (Selatan Tapanoeli) sudah jauh tertinggal dibandingkan daerah lain,
khususnya di Sumatra Timur.
Lalu Sanusi Pane
bersepakat dengan sejumlah tokoh penting di Batavia untuk menyusun sebuah
Rencana Reformasi Pembangunan Tapanoeli (lihat Bataviaasch nieuwsblad,
01-03-1938). Dewan yang dibentuk terdiri dari (diantaranya) Sanusi Pane sebagai
Presiden. Anggota terdiri dari Parada Harahap (editor Tjaja Timoer), Abdoel Hakim
Harahap (mantan anggota dewan kota Medan, kelak menjadi Gubernur Sumatra Utara),
AL Tobing, H. Pane, T. Dalimoente dan Panangian Harahap (penilik sekolah di
Bandung). Selain itu, sebagai pembina adalah MangarajaSoangkoepon (anggota
Volksraad dari dapil Sumatra Timur),Dr. Abdul Rasjid (anggota Volksraad dari
dapil Tapanoeli), Mr. Soetan Goenoeng Moelia, PhD (anggota Volksraad dari
utusan bidang pendidikan) dan Amir Sjarifoedin (Pimpinan Partai Politik).
Mengapa muncul
ide ini? Pada saat itu terdapat kesenjangan yang besar kemajuan ekonomi antara
Sumatra Timur dengan Tapanoeli khususnya Selatan Tapanoeli (Tapanuli Bagian
Selatan). Intelektual Tapanuli Bagian Selatan sebagian besar telah merantau,
hanya beberapa intelektual yang kembali, namun itu tidak cukup dengan luasnya
permasalahan yang ada. Tokoh-tokoh penting Tapanuli Selatan yang berada di luar
kampong halaman berada di:
Medan:
(1) Kajamoedin gelar Radja Goenoeng setelah pension menjadi guru di Tapanoeli
diangkat menjadi penilik sekolah di Medan tahun 1915. Radja Goenoeng pada tahun
1918 terpilih sebagai anggota pribumi pertama yang menjadi anggota dewan kota
Medan. (2) Gading Batoebara (GB Josua) tahun 1923 pindah ke Medan dan membuka
sekolah Perguruan Josua, (3) Abdul Hakim sejak 1927 menjadi kepala beadan cukai
di Medan dan tujuh terakhir sebagai anggota dewan kota. (4) Dr. Gindo Siregar
dan Dr. Diapari Siregar dan Dr. Djabangoen, Mr. Loeat Siregar serta Dr. Soetan
Namora berkiprah di Medan dan Deli. Di Pematang Siantar: Dr. Muhamad Hamzah
pejabat kesehatan, Soetan Martoewa Radja direktur Normaal School, Soetan Pane
Paroehoem pejabat kantor pengadilan, setelah menjadi notaris pendah ke Medan 1937
(notaris pribumi pertama di Sumatra) dan lainnya.
Padang:
Abdoel Azis Nasoetion gelar Soetan Kenaikan, alumni sekolah menengah pertanian
di Bogor (1814) berkiprah di Sumatra Barat dan mendirikan sekolah pertanian
swasta (sekolah pribumi pertama), Egon Nasoetion, ahli hokum alumni Belanda
setelah pension menjadi pengacara di Padang membuka perguruan tinggi dan
lainnya.
Lampung:
Dr. Haroen Al Rasjid Nasoetion membuka sejumlah klinik dan rumah sakit di
Lampung. Anaknya Gele Harun (alumni sekolah hukum di Belanda tahun 1936)
menjadi pengacara di Lampung (kelak menjadi Residen pertama Lampung). Anaknya
boru panggoran, Ida Loemongga, Phd (dokter perempuan pribumi pertama bergelar
doctor tahun 1930 buka praktek di Belanda) dan lainnya.
Bogor
dan Jawa Barat: Soetan Diangkola ahli pertanian, Dr. Anwar Nasoetion, dokter
hewan lulus 1932 (ayah Andi Hakim Nasoetion), Sorip Tagor, dokter hewan, lulus
tahun 1914 lalu melanjutkan studi ke Belanda. Panangian Harahap penilik sekolah
di Bandoeng, dan lainnya.
Surabaya
dan Jawa Timoer: Dr. Radjamin Nasoetion sejak 1930 berkiprah di Surabaya,
awalnya kepala bead an cukai kemudian anggota dewan kota lalu menjadi walikota;
Dr. Paroehoeman kepala rumah sakit di Malang, Ismail Harahap seorang apoteker,
alumni sekolah apoteker pertama di Batavia dan lainnya.
Sejak 1900
putra-putra terbaik Tapanuli Bagian Selatan sudah sangat banyak yang merantau
dan hanya beberapa yang kembali ke kampong halaman (mulak tu huta). Singkat
cerita: Pada masa ini perantau Tapanuli Bagian Selatan sudah tersebar di
seluruh Indonesia. Perantau ini merupakan generasi berikutnya dari perantau
awal plus perantau yang datang menyusul kemudian (seperti kita-kita ini). Para
perantau yang sekarang sebagian besar berada di luar kampong halaman. Para
pejabat dan tokoh penting yang ada kini di Tapanuli Bagian Selatan sesungguhnya
adalah eks perantau yang lagi pulang kampong tetapi setelah bertugas boleh jadi
akan kembali ke daerah rantau. Oleh karenanya mereka juga dapat disebut
perantau. Bilangan mereka tidak banyak, karena itu membangun Tapanuli Bagian
Selatan adalah juga urusan semua perantau yang tidak memiliki kesempatan untuk
pulang kampong. Inilah yang menjadi dasar Sanusi Pane tempo doeloe untuk
mengingatkan teman-temannya dan menggalang gotong royong agar secara
bersama-sama dengan tokoh-tokoh yang ada di kampong halaman untuk berpartisipasi
dalam membangkitkan dan mengembangkan Tapanuli Bagian Selatan.
Proses
Membangun Kampung Halaman Kini Berulang. Mari Kita Sukseskan!
Tiga isu utama
pada masa kini di Tapanuli Bagian Selatan, yakni pendidikan, agrisbisnis dan
ekonomi tengah mengalami permasalahan yang akut: tingkat kualitas pendidikan
(penerimaan siswa di PTN terbaik) sudah sangat menurun, gerak pembangunan
sektor pertanian dan pengembangan bisnis pertaniannya mengalami perlambatan,
dan juga produk-produk unggulan telah lama kalah bersaing, sementara produk
yang dapat diandalkan masih belum teridentifikasi dengan baik.
***
Pada saat ini
kita tengah berada di suatu forum besar sebagai bagian dari
organisasi-organisasi yang berafiliasi dengan Tapanuli Bagian Selatan. Tujuan
pertemuan ini untuk membahas langkah-langkah apa saja yang bisa diintegrasikan
untuk mendukung program-program pembangunan di lima Pemda berbeda di Tapanuli
Bagian Selatan. Forum ini tidak melihat hanya satu kabupaten-kota, tetapi
seluruh Tabagsel. Oleh karena itu forum
ini memilih pendekatan: Satu untuk semua dan semua untuk satu, yakni:
Pembangunan Tapanuli Bagian Selatanyang Terintegrasi secara khusus di bidang
pendidikan, agribisnis dan ekonomi kreatif.
Wacana: Kualitas
pendidikan dasar dan menengah yang ditengarai telah merosot jika dibandingkan
masa lalu, telah menyulitkan siswa-siswa Tapanuli Bagian Selatan untuk bersaing
dengan PTN Unggulan. Faktor kualitas pendidikan secara parsial atau secara
bersama-sama akibat merosotnya kemakmuran di Tapanuli Bagian Selatan relative
terhadap masa lalu menyebabkan kemampuan membiayai pendidikan tinggi
anak-anaknya semakin berat. Langkah strategis jangka pendek adalah memperkuat
institusi pendidikan tinggi di Tapanuli Bagian Selatan. Dengan cara ini
siswa-siswa mendapat akses lebih luas, lebih murah dan tetap berkualitas.
Diharapakan semakin diperkuatnya pendidikan tinggi akan memberi dorongan
terhadap pendidikan dasar dan pendidikan menengah untuk meningkatkan
kualitasnya sendiri. Dampak lainnya adalah agar SDM lulusan perguruan tinggi
Tapanuli Bagian Selatan dengan sendirinya akan dapat terserap lebih banyak yang
pada gilirannya secara bersama-sama dengan pelaku usaha di perantauan mampu
menggerakkan pembangunan pada lini agribisnis yang berbasis supply chain. Pasar
produk-produk yang berasal dari masing-masing lima wilayah kabupaten kota tidak
hanya terbatas di Tapanuli Bagian Selatan, tetapi juga harus diperluaskeluar
wilayah. Daya dukung para perantau dibutuhkan dalam hal ini, baik sebagai
investor, pelaku usaha dan dinamisator di pasar rantau. Produk-produk alamiah
(tradisional) harus diperkuat tetapi jumlahnya tidak akan cukup dengan pasar
yang akan dikembangkan ke hulu dan ke hilir, dibutuhkan produk-produk baru yang
bersumber dari kreasi masyarakat Tapanuli Bagian Selatan sendiri yang berbasis
bahan local ataupun produk-produk introduksi para perantau yang ingin investasi
(baik secara sendiri-sendiri maupun bersama mitra di kampung halaman). Dengan
demikian pada nantinya dimungkinkan untuk melakukan langkah jangka panjang
(siklus): yang dimulai dari memaksimumkan penggunaan lahan dan bahan dengan SDM
yang memadai, menggerakkan agribisnis yang mempercepat aliran produk yang pada
gilirannya setiap penduduk dapat mengambil manfaat setiap tahapan supply chain
untuk mengejar kemakmuran bersama (tabungan dan daya beli yang tinggi) antara
kampong halaman dan rantau. Diharapkan dengan kemakmuran yang semakin membaik,
lambat laun putra-putra Tapanuli bagian Selatan akan semakin kompetitif dan
massif lagi di PTN Unggulan sebagaimana pernah kita raih di masa doeloe.
Wacana ini tidak
berhenti di ruang seminar. Hasil-hasil lokakarya ini akan disosialisasikan
dalam bentuk buku yang berisi rekomendasi dan roadmap. Berdasarkan rumusan
tersebut ditindaklanjuti dengan melakukan studi dan action yang melibatkan
penduduk, pemda dan para perantau. Horas.
[1]Dirilis dalam Lokakarya
Pendidikan, Agribisnis dan Ekonomi Kreatif Tabagsel, Tanggal 2 November 2015 di
IPB International Convention Centre, Botani Square Baranangsiang, Bogor.
[2]Peneliti dan
pengajar ilmu kependudukan, ekonomi dan bisnis di Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Indonesia.
[3] Informasi lebih lengkap sejarah
pendidikan di Tapanuli Selatan dan sejarah organisasi social dapat dibaca di http://akhirmh.blogspot.com [Tapanuli Selatan Dalam Angka].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar