Kamis, November 05, 2015

Pelopor Pendidikan dan Pendiri Organisasi Sosial di Indonesia: Suatu Refleksi dalam Pengembangan Pendidikan, Agribisnis dan Ekonomi Kreatif di Tapanuli Bagian Selatan [1]



Oleh Akhir Matua Harahap[2]

Pada masa ini Tapanuli Bagian Selatan (Tabagsel) terdiri dari empat kabupaten dan satu kota, yakni: Kabupaten Mandailing Natal, Kabupaten Tapanuli Selatan, Kabupaten Padang Lawas Utara, Kabupaten Padang Lawas dan Kota Padang Sidempuan.Lima wilayah ini meski kini berbeda secara administratif namum dari sudut pandang mana pun kelima wilayah ini memiliki karakteristik yang sama: bahasa, budaya, sosial, ekonomi dan sebagainya. Oleh karenanya kelima wilayah ini tetap terikat dalam satu kesatuan sosial dan ekonomi yang disebut Tapanuli Bagian Selatan (Tabagsel).

Tiga isu utama pada masa kini di Tapanuli Bagian Selatan, yakni pendidikan, agrisbisnis dan ekonomi tengah mengalami permasalahan yang akut: tingkat kualitas pendidikan (penerimaan siswa di PTN terbaik) sudah sangat menurun, gerak pembangunan sektor pertanian dan pengembangan bisnis pertaniannya mengalami perlambatan, dan juga produk-produk unggulan telah lama kalah bersaing, sementara produk yang dapat diandalkan masih belum teridentifikasi dengan baik.

Padahal di masa doeloe dua dari tiga tiga isu utama tersebut memiliki success story di Afdeeling Mandheling en Ankola (nama lain Tabagsel tempo doeloe) yang dibicarakan di tingkat nasional (Hindia Belanda), yakni: pendidikan dan agribisnis.

Pionir Pendidikan Nasional[3]

Dari Docter Djawa School menjadi STOVIA lalu menjadi UI
Dua anak Mandheling en Ankola tahun 1854, Si Asta dan Si Angan dua siswa diterima di sekolah pelatihan kedokteran (docter djawa school) di Batavia. Ternyata kedua siswa ini adalah yang pertama diterima dari luar Djawa (Docter Djawa School didirikan 1851). Setelah selesai ‘kuliah’ Si Asta kembali ke Mandheling en Ankola untuk meningkatkan status kesehatan penduduk. Sementara Si Angan dikirim ke daerah lain. Pada tahun 1856 dua siswa diterima lagi, Si Dorie dan Si Napang dan setelah lulus kuliah Si Dorie pulang kampong untuk membantu Dr. Asta, sementara Si Napang dikirim ke daerah lain.

Pada tahun 1857, Si Sati lebih memilih untuk menjadi guru. Boleh jadi Si Sati berpikir, sudah banyak yang menjadi dokter, tetapi belum satupun yang menjadi guru. Si Sati berinisiatif untuk sekolah guru langsung ke Belanda. Permintaanya diteruskan Asisten Residen Mandheling en Ankola ke Menteri Pendidikan di Batavia. Namun permintaan sempat tertahan di Dewan di Batavia karena soal pembiayaan. Hal ini tidak masalah bagi siswa dokter di Batavia karena orang tua mereka masih mampu membiayainya. Akan tetapi sekolah ke Belanda tentu sangat mahal. Akhirnya Dewan mengabulkan Si Sati berangkat ke Belanda, hanya karena satu hal: produksi kopi di Mandheling en Ankola terus meningkat dan harga kopi Mandheling dan kopi Ankola telah melambung harganya (dan terbukti harga kopi Mandheling dan kopi Ankola diapresiasi sebagai harga kopi tertinggi dunia tahun 1862).

Budidaya kopi di Afd. Mandheling en Ankola dimulai pada tahun 1841. Awalnya tidak mudah, karena penduduk protes dan melakukan pemberontakan. Peristiwa ini direkam oleh Edward Douwes Dekker (kelak namanya lebih dikenal sebagai Multatuli) yang tahun 1843 menjadi controleur di Natal. Lalu lambat laun situasi dan kondisi semakin kondusif, budidaya kopi jalan terus. Ketika AP Godon, Asisten Residen yang baru datang tahun 1848, produksi kopi sudah melimpah tetapi tidak tersalurkan. Godon bernisiatif dengan mengajak penduduk membuka jalan dari Mandailing menuju Natal. Pada tahun 1851 kopi Mandheling en Ankola sudah diperdagangkan di Padang. Aliran kopi semakin kencang menuju Padang ketika jalan dari Ankola menuju Loemoet sudah dibuka pada tahun 1856. Produksi dan perdagangan kopi adalah ‘password’ anak-anak Mandheling en Ankola untuk mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi. Dalam bahasa sekarang, Belanda doeloe menganggap ‘tidak ada makan siang gratis’.

Pada tahun 1861 Si Sati yang mengubah namanya menjadi Willem Iskander selesai ‘kuliah’ di sekolah guru di Harlem, Belanda dan lalu pulang kampong. Pada tahun 1862 Willem Iskander membuka sekolah guru (kweekschool) di Tanobato. Willem Iskander ‘memilih’ murid-murid alumni dari sekolah rakyat, anak murid teman-temannya yang menjadi guru untuk dididik oleh Willem Iskander sendiri di Tanobato. Baru dua tahun, Kweekschool Tanobato sudah diakuisi oleh pemerintah menjadi sekolah guru negeri (yang ketiga) dan dalam lima tahun sejak didirikan sudah menjadi sekolah guru terbaik di Sumatra.

Anak-anak Mandheling en Ankola sejak 1858 secara regular ke Batavia untuk mengikuti pendidikan kedokteran tetapi juga sejak 1862 berdatangan ke Kweekschool Tanobato untuk dididik menjadi guru. Para alumni sekolah kedokteran asal Mandheling en Ankola telah melampaui wilayahnya, lalu alumni sekolah guru Tanobato sudah mulai memenuhi seluruh wilayah Mandheling en Ankola. Melihat banyaknya sekolah-sekolah rakyat yang dibangun oleh lulusan sekolah Tanobato bersama penduduk, pada tahun 1873 pemerintah akan segera mendirikan sebanyak 10 unit sekolah pribumi (Inlandsche School) di Tapanoeli (lihat Sumatra-courant: nieuws- en advertentieblad, 02-04-1873).

Pada tahun 1873 beredar berita di surat kabar di Batavia bahwa sekolah guru yang lebih besar kapasitasnya akan dibangun di Tapanoeli, yakni dengan melikuidasi Kweekschool Tanobato dan membangun sekolah guru di Padang Sidempuan. Ini diduga berkaitan dengan ibukota afd. Mandheling en Ankola sejak 1870 sudah dipindahkan dari Panyabungan ke Padang Sidempuan. Untuk menjadi kepala sekolah Kweekschool Padang Sidempuan yang akan dibuka tahun 1879 diusulkan Willem Iskander. Namun untuk menjadi kepala sekolah, Willem Iskander harus terlebih dahulu memiliki akte kepala sekolah. Pada tahun 1875 Willem Iskander berangkat ke Belanda, tetapi belum setahun di Belanda dikabarkan Willem Iskander telah meninggal dunia (lihat De Locomotief, 31-07-1876).

Akhirnya Kweekschool Padang Sidempuan dibuka tahun 1879 dengan siswa yang diterima 18 orang dari kapasitas 20 siswa. Direktur yang diangkat adalah Mr. Harmsen. Pada tahun 1883, salah satu guru di sekolah itu diangkat menjadi direktur untuk menggantikan Harmsen, namanya Charles Adrian van Ophuijsen. Sejak ditangani Ophuijsen, Kweekschool Padang Sidempuan menjadi sekolah guru terbaik di Hindia Belanda (lihat Bataviaasch handelsblad, 30-06-1885). Charles Adrian van Ophuijsen menjadi guru di Padang Sidempuan selama delapan tahun dimana lima tahun terakhir menjadi kepala sekolah. Alumni Kweekschool Padang Sidempuan sebagian besar menjadi guru tetapi yang lainnya menjadi penulis di kantor pemerintah. Beberapa tahun setelah pendirian Kweekschool Padang Sidempuan, juga didirikan sekolah eropa. Situs sekolah guru tersebut kini menjadi SMA N-1 Padang Sidempuan, situs Sekolah Eropa tersebut adalah gedung BPDSU/Bank Sumut Padang Sidempuan.

Untuk Residentie Tapanoeli sendiri pada tahun 1892, sebagaimana diberitakan koran Algemeen Handelsblad, 23-11-1892 terdapat sebanyak 18 sekolah negeri yang mana 15 buah berada di Afdeeling Mandheling en Ankola. Jumlah ini tidak banyak berubah. Pada tahun 1908 sekolah negeri di Residentie Tapanoeli hanya ada sebanyak 19 buah yang mana 15 buah diantaranya berada di Afdeeling Mandheling en Ankola, yakni: di Padang Sidempuan, Simapilapil, Batu Nadua, Pargarutan, Sipirok, Bungabondar, Panyabungan, Tanobato, Muarasoma, Gunung Baringin, Kotanopan, Huta Godang, Manambin, Batang Toru dan Sibuhuan. Sedangkan empat yang lainnya satu sekolah berada di Sibolga dan tiga buah di Nias Eiland. Jumlah keseluruhan murid di 19 sekolah tersebut berjumlah sebanyak 2.400 siswa (lihat Algemeen Handelsblad, 23-11-1892).

Salah satu alumni Kweekschool Padang Sidempuan (lulus 1884) bernama Dja Endar Moeda, setelah pension jadi guru, hijrah ke Padang dan tahun 1895 mendirikan sekolah swasta di Padang. Dja Endar Moeda sangat aktif menulis buku (buku pelajaran dan buku bacaan novel). Pada tahun 1897, Dja Endar Moeda ditawari oleh Penerbit surat kabar Perja Barat untuk menjadi editor. Pada tahun 1900, Dja Endar Moeda mengakuisisi Koran Pertja Barat dan sekaligus percetakannya menjadi milikinya. Sejak itu, bisnis Dja Endar Moeda berkembang, lalu mendirikan toko buku, mencetak buku-buku karangannya. Selain itu, Dja Endar Moeda tetap bertindak sebagai editor Pertja Barat, Dja Endar Moeda juga menerbitkan majalah Insulinde (di Padang) tahun 1901 dan majalah Tapian Naoeli (di Sibolga) 1902.


Pendiri Organisasi di Indonesia

Sekolah Eropa Padang Sidempuan kemudian alumninya banyak yang melanjutkan studi ke Dokter Djawa School di Batavia. Dr. Ahmat alumni sekolah Eropa Padang Sidempuan adalah seangkatan dengan Dr. Wahidin. Sejumlah alumni sekolah ini yang menjadi lulusan Dokter Djawa School antara lain Dr. Haroen Al Rasjid (Nasution) ditempatkan di Padang dan Sibolga dan Dr. Muhamad Hamzah (Harahap) yang ditempatkan di Lampong. Keduanya sama-sama lulus tahun 1901. Dua anak Padang Sidempuan berikutnya adalah Dr. Abdul Hakim dan Dr. Abdul Karim (keduanya seangkatan dengan Dr. Tjipto) yang lulus tahun 1902. Satu lagi yang terkenal adalah Dr. Muhamad Daulaj yang lulus tahun 1905 dan setelah berdinas di Jawa Timur ditempatkan di Medan dan berdedikasi memberantas penyakit kusta di Deli. Tahun 1902 Docter Djawa School berganti nama menjadi STOVIA.

Alumni-alumni Kweekschool Padang Sidempuan sangat mahir menulis (sebagaimana halnya alumni Kweekschool Tanobato). Mungkin ini berkat guru mereka Charles Adrian van Ophuijsen. Selain Dja Endar Moeda adalah Soetan Martoewa Radja (ayah MO Parlindungan) alumni Kweekschool Padang Sidempuan yang terakhir (1892) yang menjadi guru dan  juga penulis buku pelajaran dan novel. Lalu, Mangaradja Salamboewe (anak Dr. Asta, dokter pertama dari luar Jawa) yang menjadi editor koran Pertja Timor di Medan (1902-1908). Satu lagi, Soetan Casajangan, setelah pension jadi guru lalu pada umur 30 tahun berangkat studi ke Belanda tahun 1905. Soetan Casajangan adalah tiga orang pertama pribumi yang kuliah di Belanda. Ayah Soetan Casajangan adalah Manggaradja Soetan, salah satu murid Willem Iskander.

Soetan Casajangan pada tahun 1908 di Leiden mendirikan perhimpunan mahasiswa Indonesia (Indisch Vereeniging). Pada tahun 1908 juga Boedi Oetomo didirikan di Batavia oleh mahasiswa-mahasiswa STOVIA yang berasal dari Jawa.Boedi Oetomo dipelopori oleh Soetomo, teman seangkatan dengan Radjamin Nasoetion yang lulus tahun 1912. (Kelak Dr. Soetomo menjadi direktur rumah sakit di Surabaya dan Dr. Radjamin Nasution setelah berpindah-pindah tempat termasuk di Medan kemudian menjadi anggota dewan kota Surabaya lalu diangkat menjadi walikota Surabaya. Dr. Radjamin Nasution adalah walikota pribumi pertama di Surabaya (sejak 1942).

Dua organisasi sosial ini ternyata bukan yang pertama didirikan di Indonesia. Akan tetapi jauh sebelumnya di Padang pada tahun 1900 didirikan organisasi sosial bernama Medan Perdamaian. Organisasi ini digagas dan menjadi direktur pertama adalah Dja Endar Moeda. Medan Perdamaiaan tidak hanya ada di Padang, tetapi juga di Fort de Kock, Medan, Palembang, Batavia dan Pematang Siantar. Dengan demikian, Medan Perdamaian adalah organisasi social pertama yang didirikan di Indonesia (bukan Boedi Oetomo).

Soerabaijasch handelsblad, 20-10-1908: ‘Pada pertemuan asosiasi Boedi Oetomo, yang diselenggarakan di Djokdjakarta 3 Oktober 1908 (Kongres pertama Boedi Oetiomo, red) pemerintah menanggapi pertanyaan dari Bupati Temanggoeng bahwa di luar Djawa sudah ada asosiasi sejenis. (seperti misalnya, cabang) Medan Perdamaian di Fort de Kock yang didirikan 17 Oktober 1907. Organisasi Medan Perdamaian (sebagaimana) diketahui bertujuan untuk mewakili kepentingan anggota dan populasi dalam satu kata: kemajuan. Untuk mencapai tujuan, organisasi Medan Perdamaian telah diputuskan menerbitkan majalah (maandelijksch) yang akan dicetak dan diterbitkan oleh penerbit pribumi Dja Endar Moeda di Padang yang akan berisi ilmu sehari-hari yang berguna dan yang diperlukan di bidang pertanian, peternakan, industri, pendidikan, kesehatan kampung, keadilan, dll. Organisasi (cabang) Fort de Kock ini sudah memiliki anggota 700 orang’.

Ini menunjukkan bahwa peserta kongres pertama Boedi Oetomo sudah mengetahui adanya Medan Perdamaian (suatu organisasi yang telah didirikan sejak 1900). Untuk sekadar diketahui bahwa Medan Perdamaian adalah organisasi yang tidak eksklusif bagi dirinya sendiri. Medan Perdamaian ketika masih dipimpin oleh direktur (ketua) Dja Endar Moeda pada tahun 1902 sebagaimana dilaporkan De Locomotief (edisi 21-08-1902) bahkan telah memberi sumbangan bagi peningkatan pendidikan di Semarang sebesar f 14.490 yang diserahkan melalui Charles Adrian van Ophuijsen yang saat itu menjabat sebagai Direktur Pendidikan Province Sumatra;s Westkust (Pantai Barat Sumatra). Ini dengan sendirinya menunjukkan bahwa Medan Perdamaian, organisasi sosial pribumi pertama di Indonesia membuktikan sifatnya yang memang multi etnik dengan sasaran seluruh populasi (pribumi) di seluruh Nederlandsch Indie (Hindia Belanda). Sekadar diketahui, arsitektur organisasi (baru) Boedi Oetomo sesungguhnya adalah copy paste dari organisasi (lama) Medan Perdamaian. Hanya saja bedanya: Medan Perdamaian tetap cenderung bersifat multi etnik (nasional), sedangkan Boedi Oetomo cenderung bersifat terbatas di Jawa (kedaerahan).

***
Sejak Soetan Casajangan berada di Belanda, sejumlah anak-anak Padang Sidempuan (Mandheling en Ankola) yang menyusul adalah Abdoel Firman (Siregar) gelar Mangaradja Soeangkoepon yang datang tahun 1910, lalu diikuti oleh Todoeng (Harahap) gelar Soetan Goenoeng Moelia tahun 1911 dan Amir Sjarifoedin.

Sementara itu di STOVIA, anak-anak Mandheling en Ankola semakin banyak setelah Radjamin Nasution. Mereka itu antara lain: Djabangoen, Paroehoeman, Abdul Munir Nasution, Diapari Siregar, Casmir Harahap, Alimoedin Pohan, Soetan Namora. Selain itu anak-anak Mandheling en Ankola juga kuliah di sekolah tinggi hokum (rechtschool), lalu di Bogoruntuk sekolah kedokteran hewan dan sekolah menengah pertanian.

Anak-anak Mandheling en Ankola lulusan STOVIA yang menyusul ke Belanda, antara lain Soetan Parahoeman, Aminoedin Pohan, Diapari Siregar, Gindo Siregar dan Ida Loemongga. Yang juga menyusul studi ke Belanda adalaha lulusan Rechtschool Batavia seperti Alinoedin (Siregar) gelar Radja Enda Boemi, juga lulusan dari Sekolah Kedokteran Hewan di Bogor, seperti Sorip Tagor (Harahap). Anak-anak Mandheling en Ankola lainnya yang menyusul dari kalangan guru antara lain: Gading Batoebara Josua (GB Josua).

***
Medan Perdamaian dan Boedi Oetomo hingga tahun 1917 keduanya masih eksis. Dua organisasi sosial kemasyarakatan ini selama ini didominasi oleh golongan senior (lebih tua). Organisasi Medan perdamaian tidak hanya pernah membantu pendidikan di Jawa, tetapi juga para pendiri Boedi Oetomo sudah mengetahui adanya Medan Perdamaian. Arsitektur Boedi Oetomo persis sama dengan Medan Perdamaian (copy paste).

Lantas, dalam perkembangan berikutnya, di Belanda muncul organisasi sosial yang lebih radikal yang dipelopori generasi yang lebih muda (junior). Adalah Sorip Tagor (kakek Inez dan Risty Tagor) yang mempelopori didirikannya organisasi Sumatranen Bond yang lebih progresif, karena setelah era Soetan Casajangan, organisasi Indisch Vereeniging sudah mulai kendor dalam urusan kemajuan bangsa. Pada tanggal 1 Januari 1917, Sumatranen Bond resmi didirikan dengan nama ‘Soematra Sepakat’

Kelak Indisch Vereeniging berganti nama menjadi Persatoean Pelajar Indonesia (PPI) tahun 1920an yang dipimpin oleh M. Hatta dan kawan-kawan. PPI menjadi lebih radikal ketika pengurus berikutnya dipimpin oleh Parlindoengan Loebis yang menganut paham anti fasis yang menyebabkan dirinya ditangkap tentara Jerman dan dimasukkan ke dalam konsentrasi NAZI, 1941.

Dewan Sumatranen Bond ini terdiri dari Sorip Tagor Harahap (sebagai ketua); Dahlan Abdoellah, sebagai sekretaris dan Soetan Goenoeng Moelia sebagai bendahara. (Salah satu) anggota (benama) Ibrahim Datoek Tan Malaka (yang kuliah di kampus Soetan Casajangan). Tujuan didirikan organisasi ini untuk meningkatkan taraf hidup penduduk di Sumatra, karena tampak ada kepincangan pembangunan antara Jawa dan Sumatra. Mereka yang tergabung dalam himpunan ini menerbitkan majalah yang akan dikirim ke Sumatra dan mengumpulkan berbagai buku yang akan dikirimkan ke perpustakaan di Padang, Fort de Kock, Sibolga, Padang Sidempoean, Medan. Koeta Radja dan di tempat lain di Soematra  (lihat De Sumatra post, 31-07-1919).

Sebelum adanya nama Sumatra Sepakat ini di Medan pernah didirikan organisasi social bernama Tapanoeli Sepakat pada tahun 1907 yang didirikan oleh Dja Endar Moeda yang kemudian organisasi ini mendirikan surat kabar Pewarta Deli (1910). Tapanoeli Sepakat didirikan untuk merespon begitu kuatnya organisasi ekonomi komunitas Tionghoa di Medan. Organisasi Tapanoeli Sepakat ini kemudian menghilang setelah berdirinya cabang organisasi multi etnik Medan Perdamaian.

Di Batavia juga didirikan Sumatranen Bond. Organisasi ini dibentuk oleh mahasiswa-mahasiswa STOVIA yang berasal dari Sumatra. Sumatra Bond yang disebut Jong Sumatra didirikan pada tanggal 8 Desember 1917.  Asosiasi pemuda ini lahir dari suatu pemikiran bahwa intesitas (pembangunan) hanya berada di Jawa dan di Sumatra dan pulau-pulau lainnya terabaikan. Dengan kata lain pemikirannya sama dengan Sumatranen Bond yang berada di Belanda. Susunan pengurus Jong Sumatranen di Batavia ini adalah Tengkoe Mansoer sebagai ketua, Abdoel Moenir Nasoetion sebagai wakil ketua, Amir dan Anas sebagai sekretaris serta Marzoeki sebagai bendahara (lihat De Sumatra post, 17-01-1918).


Mendobrak Kemapanan

Sumatranen Bond seakan setback dari Medan Perdamaian dan Indisch Vereeniging. Akan tetapi itu adalah bentuk protes anak-anak Padang Sidempuan Mandheling en Ankola dengan semakin kuatnya Boedi Oetomo yang terus di jalur organisasi kedaerahaan (hanya di Jawa). Situasi dan kondisi serupa inilah yang menyebabkan munculnya berbagai organisasi baru baik di kalangan senior maupun junior. Di Tapanoeli, pada tahun 1922 bersama Manullang, Parada Harahap mendirikan organisasi pemuda  Sumatranen Bond di Sibolga sebagai respon adanya Sumatranen Bond di Belanda dan Batavia.

Pada tahun 1922 juga Parada Harahap hijrah ke Batavia, awalnya bekerja sebagai wartawan Sin Po lalu mendirikan surat kabar Bintang Hindia terbit pertama 1 Januari 1923 dan kemudian mendirikan kantor berita pribumi pertama Alpena. Pada tahun 1925 Parada Harahap dinobatkan pers Eropa/Belanda sebagai wrtawan terbaik. Pada tahun 1926 Parada Harahap menulis buku Dari Pantai ke Pantai, yang isinya bersumber dari laporan perjalanannya ke semua pelosok Sumatra (buku yang pertama ditulis seorang wartawan). Pada tahun 1926 ini juga Parada Harahap mendirikan koran Bintang Timoer. Dalam tempo satu tahun koran Bintang Timoer sudah merupakan koran paling tinggi tirasnya di Batavia.Pada tahun 1927 Parada Harahap dengan kawan-kawan mengadakan rapat untuk menyusun kembali Sumatranen Bond dimana Parada Harahap bertindak sebagai sekretaris dan ketua Soetan Muhamad Zein sebagai ketua.

Parada Harahap adalah dulunya pada usia 14 tahun, seorang krani di sebuah perkebunan di Sumatra Timur. Tidak tahan melaihat praktek poenalie sanctie (terhadap para kuli) membongkar kasus-kasusnya dan mengirim laporannya ke surat kabar Benih Mardika di Medan (1916-1917). Akibatnya, Parada Harahap dipecat sebagai krani (kedudukan tertinggi bagi pribumi di perusahaan perkebunan). Lalu hijrah ke Medan dan bergabung dengan koran Benih Mardika tahun 1918 dan diangkat sebagai editor. Pada tahun 1919 Parada Harahap mendirikan organisasi wartawan (yang pertama di Indonesia). Namun tidak lama kemudian koran Benih Mardika ditutup karena pimpinannya mengalami kasus. Parada Harahap kehilangan pekerjaan lalu pulang kampung ke Padang Sidempuan. Di kota ini, Parada Harahap menerbitkan koran baru bernama Sinar Merdeka (1819) dengan motto Organ Ontoek Kemadjoean Bangsa dan Tanah Air. Tulisan dan protesnya terhadap Belanda mengakibatkan dirinya menghadapi banyak delik pers, dimejahijaukan dan dipenjara.

Pada tahun 1927 ini Parada Harahap mempelopori perlunya sejumlah organisasi kembali bersatu, seperti Medan Perdamaian dan Indisch Vereeniging. Lantas Parada Harahap mendiskusikannya dengan MH. Thamrin dan Djajaningrat. Lalu di rumah Djajadiningrat dikumpulkan semua pengurus organisasi-organisasi seperti Sumatranen Bond, Boedi Oetomo, Pasundan, Kaoem Betawi, Minahasa, Ambon dan lainnya dan kemudian membentuk organisasi PPPKI yang diketuai oleh M. Husni Thamrin dan sekretaris Parada Harahap. PPPKI singkatan dari Pemoefakatan Perhimpoenan-Perhimpoenan Politiek Kebangsaan Indonesia. Organisasi ini bersifat nasional dengan motto Hidoeplah Persatoean Indonesia.

Pada tanggal 31 Agustus 1928 organisasi ini melakukan pertemuan publik pertama (kongres). Hadir dalam kongres antara lain: Parada Harahap, Tjokroaminto, Dr. Soetomo, Ir. Soekarno. M. Thamrin. Dalam kongres ini Parada Harahap mengomentari sikap pasifnya wakil Minahasa dan Ambon. Setelah kongres ini Parada Harahap segera memperluas cakupan korannya dengan menerbitkan Bintang Timoer edisi Semarang (untuk Jawa Tengah) dan edisi Surabaya (untuk Jawa Timur). Bersamaan dalam kongres ini juga dilakukan pertemuan para pemudanya yang akan melakukan kongres pada tanggal 28 Oktober 1928. Salah satu panitia Koengres Pemuda adalah Amir Sjarifoedin yang bertindak sebagai bendahara.

Mungkin anda bertanya-tanya: apakah Medan Perdamaian yang didirikan di Padang oleh Saleh Harahap gelar Dja Endar Moeda (1900), Perhimpoenan Hindia (Indisch Vereeniging) yang didirikan di Leiden oleh Radjioen Harahap gelar Soetan Casajangan (1908), Sumantranen Bond yang didirikan di Leiden oleh Sorip Tagor Harahap (1917) dan Pemoefakatan Perhimpoenan-Perhimpoenan Politiek Kebangsaan Indonesia (PPPKI) yang didirikan di Batavia oleh Parada Harahap (1927) dan Kongres Pemuda 1928 dimana ikut berpartisipasi Amir Sjarifoedin adalah serba kebetulan? Jawabnya: Tidak.

Yang kebetulan adalah bahwa keempat orang pertama tersebut sama-sama lahir dan dibesarkan (di empat kampung yang berbeda) di Padang Sidempuan. Dja Endar Boemi lahir di huta (desa) Loesoengbatoe, Soetan Casajangan lahir di huta (desa) Batoenadoea, Sorip Tagor lahir di huta (desa) Hoetaimbaroe dan Parada Harahap lahir di huta (desa) Pargaroetan.

Untuk sekadar diketahui bahwa kelak pendiri organisasi-organisasi mahasiswa masa selanjutnya juga didirikan oleh anak-anak Padang Sidempuan. Organisasi mahasiswa Islam yang disebut Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) didirikan oleh Lafran Pane tahun 1947 di Djokjakarta (Lafran Pane adalah adik dari Sanusi Pane dan Armijn Pane). Juga organisasi mahasiswa Universiteit van Indonesie yang disebut Persatoean Mahasiswa Universiteit van Indonesia (PMUI) didirikan oleh Ida Nasoetion tahun 1947 di Djakarta. Universiteit van Indonesia meliputi fakultas-fakultas yang berada di Djakarta (kedokteran, sastra dan hukum), Bogor (pertanian), Bandoeng (teknik), Soerabaja (kedokteran) dan Makassar (ekonomi). Setelah pengakuan kedaulatan RI fakultas-fakultas tersebut menjadi UI, IPB, ITB, Unair dan Unhas. Tokoh terpenting dari UI adalah Hariman Siregar, ketua Dewan Mahasiswa UI tahun 1973 yang terkenal dengan peristiwa Malari (1974). Hariman Siregar adalah kelahiran Padang Sidempuan.

Organisasi mahasiswa pertama di Bogor yang didirikan tahun 1963 adalah IMATAPSEL. Dan itu tidak perlu heran mengapa demikian. Anak-anak Tapanuli Bagian Selatan dari doeloe selalu mempelopori pendirian organisasi.


Membangun Kampung Halaman Lewat Organisasi

Anak-anak Padang Sidempuan, Mandheling en Ankola berjuang di perantauan adalah satu hal. Berjuang untuk kampong halaman adalah hal yang lain. Pada tahun 1938 kesadaran untuk membangun kampong halaman sudah muncul. Adalah Sanusi Pane, editor majalah Kebangoenan yang mengingatkan teman-temannya bahwa kampong halaman perlu diperhatikan. Kemajuan pembangunan di Tapanoeli, khususnya di Zuid Tapanuli (Selatan Tapanoeli) sudah jauh tertinggal dibandingkan daerah lain, khususnya di Sumatra Timur.

Lalu Sanusi Pane bersepakat dengan sejumlah tokoh penting di Batavia untuk menyusun sebuah Rencana Reformasi Pembangunan Tapanoeli (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 01-03-1938). Dewan yang dibentuk terdiri dari (diantaranya) Sanusi Pane sebagai Presiden. Anggota terdiri dari Parada Harahap (editor Tjaja Timoer), Abdoel Hakim Harahap (mantan anggota dewan kota Medan, kelak menjadi Gubernur Sumatra Utara), AL Tobing, H. Pane, T. Dalimoente dan Panangian Harahap (penilik sekolah di Bandung). Selain itu, sebagai pembina adalah MangarajaSoangkoepon (anggota Volksraad dari dapil Sumatra Timur),Dr. Abdul Rasjid (anggota Volksraad dari dapil Tapanoeli), Mr. Soetan Goenoeng Moelia, PhD (anggota Volksraad dari utusan bidang pendidikan) dan Amir Sjarifoedin (Pimpinan Partai Politik).

Mengapa muncul ide ini? Pada saat itu terdapat kesenjangan yang besar kemajuan ekonomi antara Sumatra Timur dengan Tapanoeli khususnya Selatan Tapanoeli (Tapanuli Bagian Selatan). Intelektual Tapanuli Bagian Selatan sebagian besar telah merantau, hanya beberapa intelektual yang kembali, namun itu tidak cukup dengan luasnya permasalahan yang ada. Tokoh-tokoh penting Tapanuli Selatan yang berada di luar kampong halaman berada di:

Medan: (1) Kajamoedin gelar Radja Goenoeng setelah pension menjadi guru di Tapanoeli diangkat menjadi penilik sekolah di Medan tahun 1915. Radja Goenoeng pada tahun 1918 terpilih sebagai anggota pribumi pertama yang menjadi anggota dewan kota Medan. (2) Gading Batoebara (GB Josua) tahun 1923 pindah ke Medan dan membuka sekolah Perguruan Josua, (3) Abdul Hakim sejak 1927 menjadi kepala beadan cukai di Medan dan tujuh terakhir sebagai anggota dewan kota. (4) Dr. Gindo Siregar dan Dr. Diapari Siregar dan Dr. Djabangoen, Mr. Loeat Siregar serta Dr. Soetan Namora berkiprah di Medan dan Deli. Di Pematang Siantar: Dr. Muhamad Hamzah pejabat kesehatan, Soetan Martoewa Radja direktur Normaal School, Soetan Pane Paroehoem pejabat kantor pengadilan, setelah menjadi notaris pendah ke Medan 1937 (notaris pribumi pertama di Sumatra) dan lainnya.

Padang: Abdoel Azis Nasoetion gelar Soetan Kenaikan, alumni sekolah menengah pertanian di Bogor (1814) berkiprah di Sumatra Barat dan mendirikan sekolah pertanian swasta (sekolah pribumi pertama), Egon Nasoetion, ahli hokum alumni Belanda setelah pension menjadi pengacara di Padang membuka perguruan tinggi dan lainnya.

Lampung: Dr. Haroen Al Rasjid Nasoetion membuka sejumlah klinik dan rumah sakit di Lampung. Anaknya Gele Harun (alumni sekolah hukum di Belanda tahun 1936) menjadi pengacara di Lampung (kelak menjadi Residen pertama Lampung). Anaknya boru panggoran, Ida Loemongga, Phd (dokter perempuan pribumi pertama bergelar doctor tahun 1930 buka praktek di Belanda) dan lainnya.

Bogor dan Jawa Barat: Soetan Diangkola ahli pertanian, Dr. Anwar Nasoetion, dokter hewan lulus 1932 (ayah Andi Hakim Nasoetion), Sorip Tagor, dokter hewan, lulus tahun 1914 lalu melanjutkan studi ke Belanda. Panangian Harahap penilik sekolah di Bandoeng, dan lainnya.

Surabaya dan Jawa Timoer: Dr. Radjamin Nasoetion sejak 1930 berkiprah di Surabaya, awalnya kepala bead an cukai kemudian anggota dewan kota lalu menjadi walikota; Dr. Paroehoeman kepala rumah sakit di Malang, Ismail Harahap seorang apoteker, alumni sekolah apoteker pertama di Batavia dan lainnya.

Sejak 1900 putra-putra terbaik Tapanuli Bagian Selatan sudah sangat banyak yang merantau dan hanya beberapa yang kembali ke kampong halaman (mulak tu huta). Singkat cerita: Pada masa ini perantau Tapanuli Bagian Selatan sudah tersebar di seluruh Indonesia. Perantau ini merupakan generasi berikutnya dari perantau awal plus perantau yang datang menyusul kemudian (seperti kita-kita ini). Para perantau yang sekarang sebagian besar berada di luar kampong halaman. Para pejabat dan tokoh penting yang ada kini di Tapanuli Bagian Selatan sesungguhnya adalah eks perantau yang lagi pulang kampong tetapi setelah bertugas boleh jadi akan kembali ke daerah rantau. Oleh karenanya mereka juga dapat disebut perantau. Bilangan mereka tidak banyak, karena itu membangun Tapanuli Bagian Selatan adalah juga urusan semua perantau yang tidak memiliki kesempatan untuk pulang kampong. Inilah yang menjadi dasar Sanusi Pane tempo doeloe untuk mengingatkan teman-temannya dan menggalang gotong royong agar secara bersama-sama dengan tokoh-tokoh yang ada di kampong halaman untuk berpartisipasi dalam membangkitkan dan mengembangkan Tapanuli Bagian Selatan.


Proses Membangun Kampung Halaman Kini Berulang. Mari Kita Sukseskan!

Tiga isu utama pada masa kini di Tapanuli Bagian Selatan, yakni pendidikan, agrisbisnis dan ekonomi tengah mengalami permasalahan yang akut: tingkat kualitas pendidikan (penerimaan siswa di PTN terbaik) sudah sangat menurun, gerak pembangunan sektor pertanian dan pengembangan bisnis pertaniannya mengalami perlambatan, dan juga produk-produk unggulan telah lama kalah bersaing, sementara produk yang dapat diandalkan masih belum teridentifikasi dengan baik.

***
Pada saat ini kita tengah berada di suatu forum besar sebagai bagian dari organisasi-organisasi yang berafiliasi dengan Tapanuli Bagian Selatan. Tujuan pertemuan ini untuk membahas langkah-langkah apa saja yang bisa diintegrasikan untuk mendukung program-program pembangunan di lima Pemda berbeda di Tapanuli Bagian Selatan. Forum ini tidak melihat hanya satu kabupaten-kota, tetapi seluruh Tabagsel.  Oleh karena itu forum ini memilih pendekatan: Satu untuk semua dan semua untuk satu, yakni: Pembangunan Tapanuli Bagian Selatanyang Terintegrasi secara khusus di bidang pendidikan, agribisnis dan ekonomi kreatif.

Wacana: Kualitas pendidikan dasar dan menengah yang ditengarai telah merosot jika dibandingkan masa lalu, telah menyulitkan siswa-siswa Tapanuli Bagian Selatan untuk bersaing dengan PTN Unggulan. Faktor kualitas pendidikan secara parsial atau secara bersama-sama akibat merosotnya kemakmuran di Tapanuli Bagian Selatan relative terhadap masa lalu menyebabkan kemampuan membiayai pendidikan tinggi anak-anaknya semakin berat. Langkah strategis jangka pendek adalah memperkuat institusi pendidikan tinggi di Tapanuli Bagian Selatan. Dengan cara ini siswa-siswa mendapat akses lebih luas, lebih murah dan tetap berkualitas. Diharapakan semakin diperkuatnya pendidikan tinggi akan memberi dorongan terhadap pendidikan dasar dan pendidikan menengah untuk meningkatkan kualitasnya sendiri. Dampak lainnya adalah agar SDM lulusan perguruan tinggi Tapanuli Bagian Selatan dengan sendirinya akan dapat terserap lebih banyak yang pada gilirannya secara bersama-sama dengan pelaku usaha di perantauan mampu menggerakkan pembangunan pada lini agribisnis yang berbasis supply chain. Pasar produk-produk yang berasal dari masing-masing lima wilayah kabupaten kota tidak hanya terbatas di Tapanuli Bagian Selatan, tetapi juga harus diperluaskeluar wilayah. Daya dukung para perantau dibutuhkan dalam hal ini, baik sebagai investor, pelaku usaha dan dinamisator di pasar rantau. Produk-produk alamiah (tradisional) harus diperkuat tetapi jumlahnya tidak akan cukup dengan pasar yang akan dikembangkan ke hulu dan ke hilir, dibutuhkan produk-produk baru yang bersumber dari kreasi masyarakat Tapanuli Bagian Selatan sendiri yang berbasis bahan local ataupun produk-produk introduksi para perantau yang ingin investasi (baik secara sendiri-sendiri maupun bersama mitra di kampung halaman). Dengan demikian pada nantinya dimungkinkan untuk melakukan langkah jangka panjang (siklus): yang dimulai dari memaksimumkan penggunaan lahan dan bahan dengan SDM yang memadai, menggerakkan agribisnis yang mempercepat aliran produk yang pada gilirannya setiap penduduk dapat mengambil manfaat setiap tahapan supply chain untuk mengejar kemakmuran bersama (tabungan dan daya beli yang tinggi) antara kampong halaman dan rantau. Diharapkan dengan kemakmuran yang semakin membaik, lambat laun putra-putra Tapanuli bagian Selatan akan semakin kompetitif dan massif lagi di PTN Unggulan sebagaimana pernah kita raih di masa doeloe.

Wacana ini tidak berhenti di ruang seminar. Hasil-hasil lokakarya ini akan disosialisasikan dalam bentuk buku yang berisi rekomendasi dan roadmap. Berdasarkan rumusan tersebut ditindaklanjuti dengan melakukan studi dan action yang melibatkan penduduk, pemda dan para perantau. Horas.



[1]Dirilis dalam Lokakarya Pendidikan, Agribisnis dan Ekonomi Kreatif Tabagsel, Tanggal 2 November 2015 di IPB International Convention Centre, Botani Square Baranangsiang, Bogor.

[2]Peneliti dan pengajar ilmu kependudukan, ekonomi dan bisnis di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia.

[3] Informasi lebih lengkap sejarah pendidikan di Tapanuli Selatan dan sejarah organisasi social dapat dibaca di http://akhirmh.blogspot.com [Tapanuli Selatan Dalam Angka].

Tidak ada komentar: