Senin, Mei 31, 2021

Sejarah Peradaban Kuno (28): Agama Islam di Tanah Batak, Sudah Ada Zaman Kuno; Makam Tua Barus dan Prasasti Candi Bahal

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Peradaban Kuno di blog ini Klik Disini 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Padang Sidempuan di blog ini Klik Disini

Apakah seluruh penduduk Batak sudah pernah beragama Islamm adalah masalah lain, Namun yang jelas agama Islam sudah masuk ke wilayah Tanah Batak sejak zaman kuno. Tentu saja bukti-buktinya tidak hanya di Barus tetapi juga di Angkola Mandailing (Padang Lawas). Lantas apakah penduduk Silindung dan Toba sudah pernah beragama Islam sebelum masuknya agama Kristen? Lalu mengapa penduduk Batak menjadi banyak yang pagan?

Upaya para misionaris Kristen memasuki wilayah Tanah Batak dalam rangka penyebaran agama dimulai oleh Burton dan Ward yang melakukan perjalanan ke Silindoeng dan Toba pada tahun 1824 yang dimuat pada majalah Ned. Indie 1856 dengan judul Eene reis in Het l;and der Bataks in Het Binnenland van Sumatra Ondernomen in het Jaar 1824  door De Burton en Ward Zendelingen der Baptisten. Namun upaya selanjutnya gagal. Pada era Pemerintah Hindia Belanda misionaris lain berhasil masuk di Mandailing pada tahun 1833.  Para misionaris berhasil membaptis beberapa orang tetapi ecara umum gagal di Mandailing. Upaya berikutnya dilakukan di wilayah Angkola oleh van Asselt dan Betz di Sipirok yang dimulai dari tiga orang anak pada tahun 1857. Tidak lama kemudian misionaris Jerman Klammer dengan istri dan satu misionaris lainnya Heijne merintis jalan ke Silindoeng pada tahun 1861 (lihat Padangsch nieuws-en advertentie-blad, 19-10-1861).  Pada bulan Oktober 1862 di Prau Sorat diadakan rapat antara misionaris Jerman dan Belanda soal pembagian wilayah misi. Bulan inilah yang di dalam almanak menjadi hari jadi  HKBP. Nommensen baru tiba di Sipirok pada akhir Desember 1862.. Namun upaya di Silindoeng ini baru berjalan sejak kehadiran pemuda Nommensen. Untuk memulai di Silindoeng, Nommensen memulai aktivitasnya dengan kegiatan misi di Sipiro dan baru pada tahun 1864 Nommensen dari Sipirok pindah ke Silindoeng. Nommensen mulai menemui kesulitan di Silindoeng karena adanya penentangan Sisingamangaraja dari Kerajaan Simamota dan sekutu-sekutunya terutama dari Kerajaan Hoeta Tinggi (Samosir) dan Boetar (Toba) yang berujung pada perang (lihat Sumatra-courant : nieuws- en advertentieblad, 10-04-1879). Perang antara misionaris dengan gerakaan Sisingamangarja dimulai dan kemudian bergeser menjadi perang pemerintah.

Lantas bagaimana sejarah awal masuknya agama Islam di Tanah Batak? Seperti disebut di atas agama Kristen baru dimulai efektif pada tahun 1862. Namun jauh sebelum itu Raja Kerajaan Aru (di Padang Lawas) sudah beragama Islam (lihat Mendes Pinto 1537). Data yang lebih tua menunjukkan Raja Kerajaan Aru adalah seorang yang bergelar haji (lihat prasasti Batugana pada candi Bahal 1). Bagaimana sejarahnya? Lalu bagaimana hubungannya dengan makam tua Islam di Barus? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Makam Tua Barus: Awal Mula Islam di Tanah Batak

Sebelum ada agama Islam, nama Tanah Batak sudah dikenal sebagai penghasil kamper (kelak disebut kapur Barus). Orang Eropa mengetahuinya Sumatra bagian utara (Tanah Batak) adalah wilayah kaya dengan kamper sejak abad ke-2 melalui tulisan Ptolemaeus. Namun pelabuhan yang mengekspor kamper tersebut dikenal sebagai Barus sejak abad ke-5 atau ke-6 M. Kamper Barus kemudian disebut kapur Barus (kapur dari Tanah Batak).

Bagaiana kapur Barus diperdagangkan di Eropa belum diketahui secara jelas. Namun yang pasti produk ciptaan Tuhan itu dibutuhkan semua penduduk bumi bahkan hingga Eropa. Besar dugaan kamper tersebut ditrasfer pedagang-pedagang Arab atau Persia melalui Laut Merah ke pusat perdagangan Eropa di Laut Mediterani di Venesia (Italia). Pedagang-pedagang Arab atau Persia mendapatkannya dari perdagangan di pelabuhan-pelabuhan pantai barat India (seperti Surate, Gujazat dan Goa). Pedagang-pedagang India sendiri mengimpor atau mengambil sendiri ke pusat perdagangan kamper di pantai barat Sumatra di Barus (Tanah Batak). Tentu saja kamper ini sudah sejak poerba di produksi dan dikonsumsi penduduk Batak. Sebab secara teoritis produksi dan konsumsi mendahului adanya perdagangan.

Kamper atau kapur Barus yang laris manis di perdagangan Arab dan Persia mengindikasikan kapur Barus ini begitu penting di dunia Arab. Atas dasar inilah turun ayat (agama) Islam QS. Al-Insan Ayat 5; Innal ab-raara yasyrabuuna min ka'sin kaana mizaajuhaa kaafuuraa. Artinya: ‘Sungguh, orang-orang yang berbuat kebajikan akan minum dari gelas (berisi minuman) yang campurannya adalah air kafur,"

Air kafur dalam ayat ini, bukanlah air kapur yang lain, tetapi air kafur yang bersih dan sehat.Tentu saja yang dimaksud air kafur (kaafuuraa) adalah air yang dicampur dengan bahan alami dari pohon yakni kapur Barus, kamper dari Tanah Batak. Pada saat itu, di seluruh muka bumi, pohon kamper yang diproduksi sebagai kapur Barus hanyalah terdapat di Tanah Batak. Dalam hal ini, sebelum adanya agama Islam, nama kapur Barus dari Tanah Batak sudah dikenal luas. Terminilogi kapur Barus tidak hanya terserap dalam bahasa Arab dan Persia, tentu saja dalam kitab suci Alquran, juga terserap ke dalam bahasa Eropa, bahasa Latin (camphora) yang oleh karenanya kamper, kapur dari Barus disebut nama ilmiah (botani) pohon kamper sebagai Cinnamomum camphora.

Dalam berbagai sumber disebut bahwa di Barus, terdapat makam orang Islam yang berasal dari abad ke-1 Hijriah.Pada salah satu nisan bertarih 44 H. Tahun pertama Hijriah adalah tahun 622 M. Nisan tertua di Barus tersebut 665 M (Dinasti Umayyah). Pada saat itu Kerajaan Aru di Tanah Batak (Angkola Mandailing) sudah eksis. Keterangan ini dapat dibaca pada prasasti Kedudkan Bukit 682 M yang mana disebut sebanyak 20,000 tentara dari Binanga (Padang Lawas) yang dipimpin Radja Dapunta Hiyang tiba di Hulu Upang (Bangka) yang diterima oleh raja Sriwijaya.

Seperti disebut di atas, penduduk di bagian utara Sumatra sudah diketahui sejak abad ke-2 di Eropa sebagai penghasil kamper dengan pelabuhannya di Barus. Produksi kamper yang tinggi dan satu-satunya sentra poroduksi dunia, perdagangan ekspor di Barus menjadi faktior penting penduduk di Tanah Batak kaya dan makmur sehingga memungkinkan membangun kerajaan yang besar yang bisa memiliki banyak tentara yang membawa pasukan sebanyak 20.000 orang ke Sriwijaya di Bangka. Tujuan ekspedisi Kerajaan Aru ini tentulah dalam hubungannya dengan perdagangan kamper ke Tiongkok. Atas keuntungan perdaangan tersebut Kerajaan Sriwijaya yang didukung Kerajaan Aru melakukan invasi dan menyerang kerajaan-kerajaan di Jawa (lihat prasasti Kota Kapur di Bangka 686 M). Dalam hal ini apakah nama (desa) Kota Kapur di Bangka sekarang pada zaman doeloe (era Sriwijaya) merujuk pada nama kamper kapur Barus dari Kerajaan Aru di Tanah Batak?

Tunggu deskripsi lengkapnya

Islam di Angkola Mandailing: Prasasti Batugana hingga Kunjungan Mendes Pinto 1537

Pada prasasti Batugana yang terdapat di candi Bahal di Padang Lawas (Angkola Mandailing) pada baris ke-10 dinyatakan sebagai berikut:. narang kabayaj pu gwa kudhi hangdaj kudhi haji bawa bwat parnnosamuha (lihat Setianingsih dkk. 200) yang kemudian dibaca ulang oleh Lisda Meyanti (2019) sebagai berikut: ‘dari kabayan. punya kuá¹­i hinan. kuá¹­i haji bava bvat. paṇai samuha’.  Jika membaca dari dua pembaca tersebut dapat diartikan sebagai berikut: ‘raja-raja Narang Kabayah, Mpu (Ompu) Guang, Kadi Hinan, Kadi Haji membawakan (memimpin) untuk semua penduduk Panai (Kerajaan Aru). Empat raja-raja ini tampaknya sebuah dewan yang mana dua diantaranya merangkap Kadi (pemimpin agama) yang mana satu diantara Kadi ini bergelar haji (pernah ke Mekkah).

Dalam tradisi pemerintahan di Tanah Batak tidak mengenal raja tunggal (monarki) seperti di Jawa atau berbagi kerajaan (oligarki) seperti di Aceh tetapi suatu federasi (dewan) dari berbagai wilayah kerajaan-kerajaan (luhat). Jadi setiap wilayah terwakili, yang masing-masing diwakili oleh raja panusunan bulung (primus interpares). Dalam proses pengambilan keputusan tidak berada di tangan satu orang raja tetapi konsensus (musyawarah) diantara raja-raja yang secara tradisional mengikuti prinsip hukum adat dalihan na tolu. Prinsip pengambilan keputusan serupa ini masih berlaku hingga ini hari yang dapat dibandingkan dengan isi prasasti Batugana. Wujud federasi raja-raja ini juga bisa diperhatikan pada prasasti Sitopayan 1 (FDK Bosch 1930) yang mana ada empat raja membangun candi bersama yakni raja Hang Tahi, raja Si Ranggit, raja Kabaga Yin dan raja Ompu Anyawari. Demikian juga pada prasasti Sitopayan 2 ada empat raja membuat candi yakni Ompu Sapta, Hang Buddi, Sang Imba dan Hang Langgar. Seperti disebut di atas, Kadi adalah pemimpin (raja) yang diduga kuat sudah beragama Islam (dan dibedakan lagi dengan Kadi Haji) sesuai prasasati. Gelar Kadi ini umum di Tanah Batak hingga ini hari sebagai pemimpin agama (yang kerap ikut berjuang pada era Hindia Belanda). Nama Kadi juga digunakan pada gelar raja-raja di Atjeh. Pengganti Sultan Aceh terakhr pada tahun 1875 adalah seorang kerabat Sultan yang bergelar Teuku Kadli Malikoel Adil.

Adanya raja yang juga pemimpin agama adalah lazim pada era Hindoe Boedha di Tanah Batak hingga jauh di masa depan (pada era Hindia Belanda) seperti Sisingaangaraja, raja (di luhat Simamora) yang juga merangkap pemimpin agama (Parmalim). Ketika prasasti Batugana (aksaran Pallawa bahasa Sanskerta) dibuat, penyebaran agama Islam di Sumatra dan Semenjanjung (Malaya) sudah begitu meluas karena peran pedagang-pedagang orang Moor.

Orang Moor adalah pelaut-pelaut atau pedagang-pedagang beragama Islam yang berasal dari Afrika Utara di laut Mediterania seperti Mauritani, Maroko dan Tunisia. Sejak Perang Salib, orang-orang Moor yang terutama berada di Cordoba dan kota-kota lainnya (di Eropa Selatan, Spanyol yang sekarang) menyebar hingga ke Afrika timur (Madagaskan) hingga ke India (Surate, Guzarat dan Goa) dan seterisnya mencapai bagian utara Sumatra dan Semenanjung. Banyaknya komunitas orang-orang Moor (yang telah mengimbangi pedagang-pedagang India beragama Hindoe Boedha) di kawasan diduga menjadi faktor penting kunjungan (utusan) Ibnu Batutah pada tahun 1345 singgah di kota-kota pelabuhan di bagian utara Sumatra seperti Pasai, Ambuaru (Perlak) dan Panai (Kerajaan Aru), Kedah, Malaka dan Muar di Semenanjung hingga ke Tiongkok. Seperti dapat dilihat nanti, Mendes Pinto yang pernah bekunjung ke Kerajaan Aru Batak Kingdom dengan ibu kota di Panaju (Panai) pada tahun 1537 menyebut Raja Kerajaan Aru beragama Islam dan tentara Kerajaan Aru diperkuat oleh (pedagang) orang-orang Moor.

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar: