Minggu, Mei 30, 2021

Sejarah Peradaban Kuno (27): Makam Tua Zaman Kuno di Padang Lawas; Menelusuri Sejarah Radja Soritaon dan Soetan Nasinok

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Peradaban Kuno di blog ini Klik Disini 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Padang Sidempuan di blog ini Klik Disini

Banyak makam-makam tua yang berasal dari zaman kuno. Seperti makam kuno di Siabu dan Sipirok pada artikel sebelumnya, pada masa ini disebutkan diantara banyak maka kuno di (wilayah_ Padang Lawas dua diantaranya adalah makam Radja Soritaon dan makam Soetan Nasinok. Apa keutamaan kedua makam ini dari perspektif sejarah? Makam tua zaman kuno Radja Soritaon diidentifikasi sebagai maka marga Siregar dan makam tua Soetan Nasinok diidentifikasi sebagai maka marga Harahap. Kita mengetahui marga Siregar marga Harahap adalah dua diantara empat marga dominan di wilayah Angkola Mandailing (dua yang lainnya Lubis dan Nasution).

Keutamaan lainnya bahwa makam-makam kuno yang ada di wilayah Padang Lawas (Utara) meninggalkan prasasti. Bentuk makam dan prasasti banyak aspek yang dapat dipelajari. Makam tua Soetan Nasinok berada di desa Padang Garugur, kecamatan Batang Onang, kabupaten Padang Lawas Utara. Makam tua Radja Soritaon berada di desa Padang Bujur, kecamatan Padang Bolak Julu, kabupaten Padang Lawas Utara. Makam tua lainnya adalah makam Tuat Sohatembalon Siregar yang berada di desa Batu Gana, kecamatan Padang Bolak Julu, kabupaten Padang Lawas Utara. Makam yang lainnya lagi berada di kampung tua (lobu) di atas bukit (dolok) di dusun Aek Tolong Tonga, desa Aek Tolong, kecamatan Padang Bolak, kabupaten Padang Lawas Utara.

Lantas bagaimana sejarah makam-makam tua di wilayah Padang Lawas? Seperti yang disebut di atas ada yang memiliki prasasti. Makam-makam ini tidak setua candi-candi, tetapi tradisi di candi dengan membuat prasasti menjadi cara yang dilakukan dalam membangun struktur bangunan makam. Lalu apa yang dapat dipelajari dari makam Radja Soritaon dan makam Soetan Nasinok tersebut? Untuk itu kita coba bandingkan dengan makam-makam kuno lainnya. Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Makam Zaman Kuno di Padang Lawas

Makam-makam tua di Padang Lawas, begitu dekat dengan situs-situs candi, tetapi makam-makam tua ini sudah begitu jauh masanya dengan awal tradisi candi dengan prasast-prasatinya. Banyak candi di Padang Lawas, demikian juga banyak ditemukan prasasti. Prasasti yang ditemukan pada masa ini pada makam-makam tua diduga kuat diturunkan dari pengathuan penduduk dari zaman kuno.

Para peneliti telah menemukan prasasti-prasasti kuno di sekitar candi di Padang Lawas. Prasasti tersebu antara lain Prasasti Aek Sangkilon, Prasasti Tandihat 1, Prasasti Tandihat 2, Prasasti Gunung Tua, Prasasti Sitopayan 1 dan Prasasti Sitopayan 2. Prasasti dan arca Gunung Tua ditemukan pada tahun 1885, sepuluh tahun setelah dibentuk Afdeeling Padang Lawas dengan ibu kota di Goenoeng Toea. Prasasti ini berbahan perunggu. Aksara yang digunakan aksara Pallawa dan bahasa Sanskerta dan Batak. Prasasti Gunung Tua ini bertarih 1039 M (bandingkan dengan nama Panai pada prasasti Tanjore di India Seatan, 1030; dan prasasti di candi Tandihat 1 yang bertarih 1101). Prasasti dan arca Gunung Tua terkait dengan Boedha.

Pada makam tua Radja Soritaon (yang diklaim dari marga Siregar) terdapat prasasti dalam aksara Batak. Prasasti ini dilaporkan oleh Schnitger 1935. Teks prasati adalah sebagai berikut: raja sori - taon man - pang na taon - i sahalah na - di padang bujur ha - gangug pamahu panapa - padi ha da rura - ange ya ya- gang naya. Dari teks itu terbaca paling tidak nama raja (dengan gelar Sori taon man pang na taon yang memiliki kemuliaan di kawasan itu (padang yang luas tempat penggembalaan dan daerah aliran sungai tempat bersawah). Makam tua di Padang Bujur adalah makam seorang raja dengan gelar Sori (merujuk pada gelar Sri). Teks padang bujur diduga kuat diadopsi sebagai nama kampong atau bisa sebaliknya.

Aksara Batak adalah aksara yang dikembangkan dari aksara Pallawa. Aksara Batak memiliki karakter yang sama dengan aksara Sumatra di wilayah pedalaman (yang lebih dekat ke pantai barat). Aksara Jawa adalah aksara yang jugu merujuk pada aksara Pallawa, tetapi tidak ada kaitannya dengan aksara Sumatra. Aksara Jawa Kuno mirip dengan aksara Melayu Kuno (pantai timur Sumatra). Aksara Sumatra lebih disederhanakan atau lebih praktis (sehingga penggunaanya dimungkinkan lebih luas). Menurut Uli Kozok aksara Batak menyebar dari selatan ke utara (dari Angkola andailing ke Simalungun Karo). Aksara Batak pada makam-makam kuno mirip dengan aksara Batak masa kini, tetapi berbeda dengan aksara yang ditemukan pada candi-candi (aksara Pallawa). Meski demikian ada keberlanjutan akasa pada candi (prasasti Sitopayan) ke aksara Batak (yang dikenal hingga kini).

Pada makam tua Soetan Nasinok (yang diklaim marga Harahap) di Padang Garugur Batang Onang juga terdapat prasasti aksara Batak dengan bahasa Batak. Pada  makam tua di Batugana di salah satu papan batu terdapat teks aksara Batak dalam bahasa Batak.

Makam tua lainnya adalah makam tua Lobu Dolok yang terdapat di desa Aek Tolong, kecamatan Padang Bolak di daerah aliran sungai Aek Sirumambe, Di kawasan ini juga ditemukan situs candi-candi. Pada makam-makam ini terdapat prasasti aksara Batak dalam bahasa Batak. Pada prasasti pertama teks ‘ga tak di bana’. Sementara pada prasasti kedua terks berbunyi ‘para dat’ yang dapat diartikan sebagai tokoh adat, sedangkan prasasti ketiga teks ‘paru hum’ yang dapat diartikan sebagai tokoh hukum (pengadil). Selain teks pada makam-makam tersebut terlihat adanya relief tokoh, relief vulva, dan relief gorga’

Dari beberapa makam tua di atas penggunaan akasara dan bahasa Batak mirip satu sama laiin. Namun ada yang arah kuburan barat-timur dan utara-selatan (Lobu Dolok) yang mengindikasikan aturan tata letak penguburan. Arah kuburan utara-selatan diduga sudah mengikuti tradisi Islam. Adanya relif vulva mengindikasikan makam yang lebih tua (era Hindoe Boedha) namun dalam makam tua ini mengindikasikan penduduk masih memiliki pemahaan yang beragam (campuran Hindoe Boedha dan Islam). Adanya relif gorga mengindikasikan seni yang telah berkembang (dalam seni arsitektur dan seni tenun).

Tunggu deskripsi lengkapnya

Sejarah Radja Soritaon dan Soetan Nasinok

Makam-makam tua Radja Soritaon dan Soetan Nasinok jauh lebih muda dari keberadaan candi-candi. Namun perlu diperhatikan lebih lanjut, dua lokasi makam ini dalam konteks ruang dan waktu. Secara spasial makam-makam ini berada di antara (pelabuhan) pantai barat dan (pelabuhan) pantai timur dan secara historis keberadaan candi lebih tua dari makam-makam. Dalam hal ini makam-makam di Padang Lawas (seperti Padang Garugur dan Padang Bujur) berada pada titik penting sejarah. Terminologi ‘padang’ menjadi penting sebagai penanda kawasan (kering) dan penanda kawasan basah (rura) seperti teks prasasti makam Soritaon.

Nama Padang boleh jadi mengacu pada nama padang (kawasan teritori) yang mengindikasikan hak kepemilikan. Bukan nama kota (kampong) tetapi nama wilayah (wilayah perkampongan). Kata ‘padang’ sudah ditemukan pada prasasti Batugana (candi Bahal 1). Dalam prasati tersebut nama kawasan (padang) adalah Panai dengan ibu kota di Batugana. Dalam prasasti ini juga disebut nama (kawasan) Dharmasraya sebagai bagian dari federasinya (Dharmasraya kini kabupaten di Sumatra Barat di hulu sungai Batanghari). Raja Panai ini disebut dalam prasasti bergelar haji. Dalam prasasti Adityawarman (1343) disebut nama Mauli (kerajaan Mauli yang kini kerap disebut Kerajaan Dharmasraya). Nama kawasan di Tapanuli Selatan yang bernama Mauli banyak ditemukan seperti Janji Mauli di Sipirok dan di Batang Onang. Janji adalah terminologi lama untuk luhat (kawasan). Nama Mauli banyak ditemukan di India, tetntu saja di Filipina, tetapi tidak ada di tempat lain di Sumatra (mengapa? Sudah dibahas di artikel lain). Nama Batang (sungai) secara epistemologi hanya ditemuan di Sumatra bagian utara, di Jambi seperti Batanghari dan sangat banyak di Padang Lawas (Angkola Mandailing). Salah satu batang yang terkenal di Padang Lawas adalah Batang Onang (onang=inang=ibu) tempat dimana ditemukan makam tua Soetan Nasinok. Oleh karena itu nama padang dan batang adalah identifikasi geografis (kawasan dan sungai). Nama gunung juga banyak ditemukan seperti Gunung Tua.

Kawasan (padang) Padang Lawas (Angkola Mandailing) adalah kawasan yang terbilang tua dan bahkan kawasan peradaban yang jauh lebih tua jika dibandingkan dengan di Jawa. Kawasan Padang Lawas berkembang dari arah pantai barat Sumatra dengan pelabuhan terkenal di zaman kuno pelabuhan Barus. Namun pelabuhan Barus muncul karena keberadaan penduduk dio pedalaman (seperti di Padang Lawas). Sebab secara teoritis produksi dan konsumsi menjadi alasan timbulnya perdagangan. Padang Lawas adalah sentara produksi kamper dan kemenyan. Suatu produk purba yang telah mendapat nilai tinggi di Eropa pada abad ke-2. Pada abad ke-5 pelabuhan Barus sudah dicatat dalam literatur Eropa. Pada abad ke-7 nama Binanga sudah teridentifikasi sebagai suatu pelabuhan di muara sungai Barumun (lihat prasasti Kedukan Bukit 682 M).

Dalam konteks spasial nama (pelabuhan) Barus dan Binanga begitu penting. Wilayah diantara dua pelabuhan inilah terdapat Padang Lawas (wilayah Angkol Mandailing yang sekarang). Secara spasial pada zaman kuno pada (awal) era candi di Padang Lawas, posisi GPS Binanga tetap berada di pantai dimana dua sungai besar bermuara (sungai Barumun dan sungai Batang Pane). Demikian juga posisi GPS kota Jambi dan Palembang pada saat itu berada di pantai (muara sungai Musi dan muara sungai Batanghari). Produk-produk nilai tinggi (kamper, kemenyan dan poeli) mengalir dari pelabuhan Binanga ke pelabuhan Sriwijaya (masih di Pulau Bangka) untuk diteruskan ke Tiongkok dan Jawa. Kamper untuk pengawet, kemenyan untuk obat dan poeli untuk bahan bakar penerangan. Dalam posisi spasial inilah Padang Lawas sebagai kawasan strategis, perdagangan Barus ke India, Arab dan Eropa dan Binanga ke Jawa, Tiongkok dan Jepang. Dalam posisi spasial ini juga mengindikasikan perkembangan kebudayaan India lebih awal berkembang di Sumatra khususnya di Padang Lawas dibandingkan di Jawa seperti religi, aksara, seni dan sebagainya.

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

 

Tidak ada komentar: