Baca juga:
Hari jadi Kota
Medan bukan tanggal 1 Juli 1590. Mari kita buktikan! Selama ini setiap tanggal 1 Juli
dianggap sebagai ‘ultah’ Kota Medan. Meski penetapan tanggal ini sudah dipatenkan sejak 1974
oleh SK resmi pemerintah bukan berarti tidak dapat direvisi. Sejumlah pihak menganggap penetapan 1 Juli hanya
berdasarkan konsensus dari bukti-bukti sebuah kajian yang dianggap kurang akurat.
Sejumlah pihak yang lain mengajukan usul dengan bukti dan interpretasi yang
lebih kredibel. Namun nyatanya, persoalan yang mengemuka tidak pernah diselesaikan
(direvisi), juga rekomendasi yang baru juga tak kunjung diperhatikan. Permasalahannya
apa? Semua tidak bisa menunjukkan fakta-fakta yang lengkap dan akurat. Mari
kita telusuri semua fakta yang tertulis.
Rumah Controleur di Onderafdeeling Medan, Deli (1875) |
Jebakan persepsi Guru Patimpus
Persoalan hari jadi Kota Medan bukanlah satu-satunya
(unik) tetapi juga terjadi pada kota-kota lain. Permasalahannya menjadi besar,
karena kini Medan adalah kota besar (metropolitan). Memang semakin besar sebuah
kota seharus lebih tua. Akan tetapi azas itu tidak selalu sejalan. Persepsi
bahwa semakin besar kota semakin tua akan muncul godaan untuk membuatnya lebih
tua. Ini akan keliru jika tetap mengandalkan azas (pola umum). Akan tetapi
(seperti banyak kota), Medan adalah sebuah kasus, sebuah kota yang unik
(berbeda dengan kota lain), tidak hanya penampilan dan dinamika di dalamnya,
tetapi juga tentang kelahirannya: perdebatan yang tak kunjung reda kapan
kelahirannya (hari jadinya).
Perdebatan tentang penetapan hari jadi kota Medan
yang dikaitkan dengan Guru Patimpus harus dianggap sebagai ruang terbuka untuk
pembuktian. Upaya menuruti persepsi tentang Guru Patimpus tanpa bukti akurat
adalah tidak elok (dapat dianulir). Untuk itu, kita harus tunjukkan bukti-bukti
terkait Guru Patimpus. Dengan mengabaikan persepsi tentang Guru Patimpus tetapi
mampu mengajukan bukti-bukti baru, otentik, lengkap dan akurat tentu dapat
diterima. Persepsi tentang Guru Patimpus jangan sampai kita terjebak
(terhalang) dalam proses pencarian kebenaran (yang bersifat metodologis).
Keberadaan
Guru Patimpus boleh jadi benar. Namun duduk persoalannya harus diluruskan dulu.
Dengan demikian, mencari hari jadi kota bukan berarti mencari Guru Patimpus.
Yang mau dicari adalah dimana letak kota dan kapan adanya. Titik perkara paling
dekat dengan tempat kejadian perkara (TKP) lahirnya kota Medan yang bersifat
ontentik (dapat diverifikasi) adalah kehadiran orang Eropa/Belanda di Tanah
Deli. Dari sini baru kita tarik garis apakah ada garis penghubung (continuum)
dengan keberadaan Guru Patimpus untuk menentukan titik asal (origin) tentang
apa yang kita persepsikan sebuah kota (dalam kasus ini kota Medan).
Invasi Belanda ke Tanah Deli: Suatu
bukti permulaan
Deskripsi (keterangan) di Deli yang terbaru adalah
laporan dari Netscher (Residen Riau, mantan Residen Tapanuli) pada saat
melakukan ekspedisi (invasi) ke Deli. Netscher kala itu tengah melakukan psywar
dengan mengundang dua pemimpin Batak di atas kapal perang yang buang jangkar di
muara sungai Deli pada tahun 1863. Dalam deskripsi Netscher tidak dijelaskan
area penduduk Batak, Netscher hanya menyebut dua pemimpin Batak dikawal oleh
500 pria bersenjata (hanya dua pemimpin yang masuk ke dalam kapal perang).
Netscher menjelaskan sangat detail tentang Kampung Deli (tempat dimana Netscher
dan pejabat-pejabatnya berkemah).
Rumah Sultan di Laboean (1870) |
Berdasarkan laporan ekspedisi Anderson (1823) rumah
Sultan berada di Kampong Alei dan saat kunjungan Anderson itu, Sultan tengah
berperang dengan Radja (kerajaan) Poelo Barian (Pulo Barayan) karena sengketa
arus perdagangan di sungai Deli. Kekuatan Kerajaan Barayan yang lebih lemah
meminta bantuan tambahan pasukan dari Siantar. Anderson juga melakukan ekpedisi
ke sungai Boeloe Tjina (kini Hamparan Perak) melalui sungai Belawan. Sepanjang
sungai Boeloe Tjina adalah kampong-kampung Batak sebagian sudah beragama Islam
sedangkan pemimpin Batak di Soenggal masih pagan. Setelah perang ini rumah
Sultan pindah dari Kampung Alei ke Kampung Deli. Sejauh ini belum terdeteksi
keberadaan Medan. Menurut Anderson, beberapa waktu sebelumnya Sultan Mangedar
Alam yang didukung Kesultanan Siak pernah melancarkan perang dengan suku Batak
yang berada diantara sungai Deli dan sungai Langkat (Boeloe Tjina/Hamparan
Perak). Pasukan Batak memilih mundur ke belakang garis pantai (lebih ke
pedalaman) ketika mengetahui kapten kapal Inggris membantu pasukan Melayu
(Sultan Deli dan Sultan Siak) dengan meminjamkan senjata.
Bandar Laboehan Deli yang secara geopolitik dan
ekonomi tengah kondusif
buat Kesultanan Deli, pada tahun 1834, Kesultanan Deli dibawah pimpinan Sultan
Osman Perkasa Alam coba memaksa Sultan Atjeh untuk menerima kedaulatannya sebagai
Sultan Deli. Lalu Sultan Atjeh merealisasikannya Desember 1834 meski Sultan
Atjeh menganggap siasat Kesultanan Deli ini sebagai ‘perampokan’ atas bagian
Atjeh, ketika Sultan Atjeh menganggap tidak dalam perang atau bermusuhan dengan
Siak (karena Kesultanan Atjeh sendiri telah lama membatasi pengaruhnya hanya
sampai di Perlak saja). Namun dalam perkembangannya kedaulatan Kesultanan Deli
digugat dan kedaulatan Kesultanan Deli tersebut tidak diterima oleh Kesultanan
Atjeh. Cara yang dilakukan Kesultanan Deli dianggap Atjeh sangat merendahkan.
Pandangan politik Atjeh mengganggap Sultan Deli telah menyalib di tikungan
harus diluruskan: Kesultanan Deli harus dibawah supremasi Kesultanan Atjeh.
Inilah yang menyebabkan di Kampung Deli, saat Netscher datang terdapat sejumlah
pria Atjeh yang dipersenjatai.
Sultan
Osman dan putranya dan penggantinya, Sultan Mahmoed Perkasa Alam setelah
kembali di bawah supremasi Atjeh, merasa terus dalam kesulitan alias tidak
berkembang. Lalu pada tahun 1863 ketika Kesultanan Deli sudah mengetahui
Kesultan Siak sudah berada dibawah ‘kekuasaan’ Belanda, Sultan Mahmoud bergegas
untuk meminta perlindungan kepada Belanda dan kemudian memaksa Atjeh kembali
untuk melakukan keadilan atas supremasi Atjeh. Inilah yang mendasari mengapa
Residen Riaou mengerahkan segera angkatan laut ke Deli untuk menekan Atjeh
(saat itu pengaruh Belanda di pantai barat Sumatra sudah sampai di Singkel dan
Taroemon).
Bagi penduduk Batak melalui empat pemimpinnya, tidak
menjadi soal siapa yang menguasai bandar (Deli, Atjeh atau Siak). Hal ini
karena penduduk Batak hanya melihat Bandar sebagai pusat transaksi ekonominya
(ekspor/impor) siapapun yang menguasainya. Namun secara psikologis dan
geografis para pemimpin Batak lebih menyukai Atjeh.
Menurut
Netscher, Batak mengakui sampai batas tertentu kedaulatan penguasa Melayu dari
pantai. Mereka yang mengakui sultan Deli seperti itu, membawanya tidak ada
upeti, tetapi memiliki dia dalam perang melawan bantuan pembayaran. Kedua belah
pihak melakukan kesepakatan dalam tanaman lada. Para sultan berharap tidak ada
saling mengganggu antar kedua belah pihak. Ada delapan pimpinan suku Batak,
empat di dataran rendah dan empat di di dataran tinggi wilayah pegunungan.
Keempat pimpinan suku Batak ini memiliki nama kolektif yang disebut Tanah
Djawa, Siantar, Panei dan Silau. Sedangkan suku-suku yang berada di bovenlanden
disebut Karauw yang meliputi Baroesdjahai, Soeka Sembelang, Sabaja Lingga dan
Raja Senembah.
Yang jelas pada akhirnya Deli yang telah
berkolaborasi dengan Belanda dapat menghalangi Atjeh dan juga Deli dapat
menyingkirkan Siak (dan pada gilirannnya Batak).
Pembentukan
pemerintahan sipil di Deli
Setelah dua pemimpin Batak berhasil dibungkam oleh
Netscher, seorang controleur Belanda, Baron de Raet van Cat (plus satu pasukan)
langsung ditempatkan di hilir Kampung Deli (nama Labuhan Deli muncul dan makin
popular). Inilah awal pemerintahan sipil di Deli. Tugas pertama controleur Deli
adalah melakukan konsolidasi dengan Sultan.
Rumah controleur di Laboehan (1870) |
Tugas kedua controleur melakukan ekspedisi ke
Bataklanden yang dilakukan tahun 1866 (tiga tahun setelah kehadiran controleur).
Tugas ini menjadi penting bagi controleur karena sudah mulai ada reaksi dari
penduduk Batak di hulu. Hubungan ke hulu secara ekonomi lebih penting daripada
di sepanjang pantai. Controleur mengabaikan tugas menyatukan Melayu (Deli,
Langkat dan Serdang). Tentu ini sangat penting, karena kemajuan transaksi
dagang di pelabuhan Laboehan Deli sangat tergantung aliran komoditi dari
penduduk Batak baik yang berada di belakang pantai (dataran rendah) maupun yang
berada di pegunungan (dataran tinggi). Sebab tujuan utama kolonisasi adalah
perdagangan dan keuntungan. Inilah yang dilakukan Controleur untuk memahami
kunci keberhasilan Deli itu melakukan ekspedisi ke Tanah Batak pada bulan
Desember 1866 hingga Januari 1867.
Untuk melancarkan tugas Controleur ini ke pedalaman
yang pertama dilakukan Controleur adalah membuat perdamaian antara orang-orang
Batak dengan Sultan. Tokoh kunci dalam hal ini adalah dua orang, yakni seorang
tokoh independen yang telah lama tinggal di sekitar sungai Deli dan sungai
Babura yang berasal dari Boekoem dan satu lagi tokoh kepala adat di Senembah
(Patumbak). Controleur berhasil mempertemukan tokoh-tokoh Batak ini dengan
Sultan dimana Si Boekoem datang sendiri dan kepala adat dari Patumbak datang
dengan pengikut limapuluh orang Batak.
Menurut
laporan Controleur, wilayah kekuasaan Sultan Deli hanyalah Laboehan Deli dan
sekitarnya ditambah lanskap kecil Pertjoet. Wilayah-wilayah lainnya di sekitar
pengaliran sungai Deli ke hulu terdiri dari daerah yang dikepalai oleh empat
kepala suku. Kempat kepala suku itu Orang Kaya Agoe, juga disebut Orang Kaya Indra.di Radja dari suku Sukkah
Piring, Orang Kaya Stiha Radja dari suku XII Kota, Orang Kaja Sri di
Radja dari suku X Kota, dan kedjoeroehan dari Senembah dari suku Roemah Reh
[catatan: suku XII Kota yang berada di sekitar pertemuan sungai Deli dan sungai
Babura berbeda dengan suku XII Kota yang berada di muara sungai Belawan
(Hamparan Perak).
Laporan ekspedisi ke Bataklanden ini ditulis dengan
baik oleh Baron de Raet van Cat. Rombongan ekspedisi ini berangkat tanggal 9
Desember 1866. Pada pagi hari pukul sembilan berangkat dari Labuan, ibukota Deli, kami akan menuju Kampong Baru
(kini Medan Baru) yang diperkirakan akan tiba pukul lima sore. Beberapa kampong
yang kami lewati adalah Kampong Alai, Kampung Gengah (mungkin maksudnya Tengah),
Kampong Besar, Rantoe-Blimbing, Mertoeboeng, Rengas Sambilan, Kota Bangon,
Mabar, Rengas Sekoepang, Poeloe Braian, Gloegoer, Medan Poetri, Kesawan
dan Tebing Tinggi. Rombongan yang banyaknya dua ratus orang ini tiba di Kampong
Baroe pukul lima sore dan rombongan akan menginap. Kampung Batak ini dipimpin
oleh Hooft panghoeloe. Esok harinya pukul delapan rombongan meninggalkan
Kampoeng Baro dan diperkirakan tiba pukul lima di Deli Toea.
Dijelaskan
controleur, termpat ini doeloenya merupakan tempat yang diperkuat ketika Deli
Toea melawan musuh yang datang mengganggu dari arah laut. Deli Toea ini
doeloenya merupakan jalur yang terhubung dengan laut dimana sungai di dekat
kampong ini mampu jangkar. Rombongan sempat keliling selama sejam lalu mendaki
ke daerah perbukitan dimana rombongan tiba di Deli Toea. Nasib Deli Toea kini menurut
Controleur hanya kenangan bahkan saat rombongan melihat bahkan untuk perahu
yang sangat kecilpun tidak ada yang bisa lagi melayarinya.
Dalam laporan ini jelas terdeteksi sejumlah kampong dalam
garis lurus (perjalanan) dari Laboehan ke Deli Toewa. Ini untuk kali pertama
nama Medan Poetri muncul ke permukaan. Pada laporan Anderson (1823) nama Medan
Poetri belum disebut tetapi nama Kota Bangoen dan Poelo Barian sudah disebut.
Tetangga Medan Poetri adalah Kesawan.
Menurut
laporan Controleur, meskipun tempat-tempat tinggal tersebut menggunakan nama
kampung, penghuninya tidak dapat benar-benar dianggap seperti sebuah kampung. Pada
dasarnya rumah penduduk tersebar satu dengan yang lainnya, Controleur itu memastikan tidak menyebut
sebagai kampung, tetapi lebih menganggap bahwa nama-nama ini sebagai daerah
(area). Setiap populasi area ini memiliki seorang kepala atau seorang pengetua
yang disebut Datoe yang hanya berfungsi untuk membuat putusan dalam kasus-kasus
kecil dimana denda diterapkan. Untuk hukuman berat seperti pembunuhan atau
pencurian dikirim ke Sultan Deli di Laboehan Deli (mungkin karena sudah hadir
otoritas Belanda).
Kampong Medan Poetri seperti yang disimpulkan Controleur Baron de Raet van Cat, bukan
menggambarkan sebuah kampong seperti Laboehan (sudah berbentuk kampong)
melainkan suatu area (kawasan) yang dipimpin seorang Datoe (kepala wilayah).Dengan
kata lain, tipikal ciri rural (menyebar) untuk Medan Poetri dan Kesawan daripada
ciri urban (memusat) seperti Laboehan.
Dalam
laporan Netscher dan van Cat rumah Sultan atau pusat kesultanan Deli pindah
dari Alei ke Laboehan pada tahun 1854. Laboehan sendiri pada saat ekspedisi
Anderson sudah ada. Dengan demikian, Laboehan Deli sebagai pusat kesultanan
terjadi pada tahun 1854 tetapi sebagai kampong sudah sejak lama ada.
Nienhuys dan ekspansi perkebunan
tembakau
Labuhan Deli adalah ibukota Onderafdeeling Deli,
Afdeeling Siak, Residentie Riau. Nienhuys dkk datang tahun 1865 untuk memulai
perkebunan tembakau.
Hasilnya
memuaskan. Nienhuys mendatangkan kuli Cina dari Penang yang awalnya bejumlah
190 orang (lalu pada nantinya tahun 1869 telah berjumlah 900 orang).
Keberhasilan Nienhuys telah menarik minat investor lain dan melakukan bisnis
perkebunan yang sama di Deli dan sekitarnya.
Controleur dan Sultan membuka pintu bagi investor
baru dari Eropa (tentu saja termasuk Belanda). Hasilnya langsung terasa:
investor di satu sisi membawa uang dan bersirkulasi dan keberhasilan
perusahaan-perusahaan yang invest telah mendongkrak ekonomi penduduk. Sultan
mendorong penduduknya menanam kelapa, buah-buahan dan sayur-sayuran. Selama
bertahun-tahun penduduk sangat tergantung pasokan dari luar untuk pakaian,
barang rumahtangga, makanan, beras dengan harga sangat mahal, kini harganya
menjadi lebih murah. Perputaran uang telah memicu berdatangannya
pedagang-pedagang Tionghoa dari pantai dan orang-orang Batak dari dataran
tinggi (bovenlanden) untuk menjual produk-produk surplus mereka.
Aktivitas
ekonomi Deli terus bergerak dan pergerakannya semakin kencang. Pemerintah
Belanda mencoba membesarkan perusahaan sendiri dengan dikeluarkannya Keputusan
Kerajaan Belanda No. 13 bertanggal 16 Desember 1869 bahwa Deli Maatschappij (Deli
Mij) yang didirikan dengan domisili di Amterdam yang akan bergerak di bidang
pertambangan dan pertanian serta reklamasi lahan yang terletak di Deli yang
juga diberikan hak pembangunan prasarana sebagaimana di tempat lain yang dengan
keleluasaan itu diwajibkan untuk melakukan penglahan produk, penjualan produk
dan pembangunan kereta api untuk mendukung usaha sendiri maupun kemajuan.
Berdasarkan keputusan tersebut oleh Keputusan Kerajaan Belanda No. 16
bertanggal14 Januari 1870 statuta asosiasi mendapat layanan kanal di Hoogeveen
Belanda dan diakui sebagai badan hokum.
Praktis pada tahun 1875 di sekitar Medan sudah
terdapat antara 6000-7000 kuli Cina. Untuk mengantisipasi itu berbagai tindakan
kriminal yang muncul, pemerintah memindahkan pasukan dari Labuhan ke Medan dan meningkatkannya
menjadi garnisun militer. Pada tahun 1876 status pimpinan afdeeling Deli
berubah dari controleur menjadi asisten residen namun ibukota tetap berada di
Labuhan Deli.
Pembentukan Onderafdeeling Medan
Pada saat peningkatan status controleur menjadi
asisten residen di Labuhan Deli, seorang controleur lalu ditempatkan di Medan
agar dapat mengatasi permasalahan lebih efektif di lapangan (onderafdeeling
Medan dibentuk). Ini berarti pemerintahan sipil dimulai di Medan sejak 1876.
Deli Mij, Medan of Medan Poetri (1876) |
Peta lahan konsesi (1875) |
Bangunan-bangunan yang sudah ada di sekitar Medan
(Medan of Medan Poetri) yang menjadi properti Deli Mij sebagai infrastruktur dasar Deli Mij, seperti bangunan
untuk kantor administrator, bangunan untuk pengolahan dan bedeng-bedeng untuk
kuli. Untuk bangunan pemerintah yang menyusul kemudian baru terdiri dari dua
buah: garnisun militer dan disusul pembangunan rumah controleur.
Pusat fasiltas Deli Mij (1870) |
Rumah administratur Deli Mij di Soekamoelia (1876) |
Pada tahun 1875 ini area Medan Poetri terdiri dari
tiga stakeholder: penduduk, pemerintah dan Deli Mij. Kombinasi ciri urban pada lingkungan
Deli Mij yang berdampingan dengan ciri rural dari Kampong Medan Poetri plus ditempatkannnya
bangunan-bangunan pemerintah di sekitar Deli Mij (rumah/kantor controleur dan
garnisun) menjadi semacam prakondisi sebuah kota (town). Apalagi pemilihan lokasi
ibukota onderafdeeling yang berpusat di rumah controleur menyebabkan Medan of
Medan Poetri menjadi cikal bakal kota.
Komplek garnisun militer Medan (1876) |
Peta 1925 |
Pada tahun 1875 pada dasarnya di Deli sudah ada dua
kota: Laboehan Deli dan Medan. Laboehan Deli menjadi ibukota afdeeling Deli
(tempat dimana asisten residen berkantor), sedangkan Medan menjadi ibukota
onderafdeeling Medan (tempat dimana controleur berkantor).Dalam hal ini Lanschap Deli terdiri dari enam daerah: (1) Sultansgebied (wilayah
kesultanan Deli), (2) Oeroeng Hamparan Perak (XII Kota), (3) Oeroeng
Serbanjaman (Soenggal), (4) Oeroeng Soekapiring (Kampong Baroe), (5)
Kedjoeorean Senembah (Deli), dan (6) Kedjoeroean Pertjoet. Kota Labuhan Deli
berada di Sultansgebied (wilayah kesultanan Deli) sedangkan Medan berada di Oeroeng
Soekapiring.
Perubahan status Medan menjadi ibukota
afdeeling Deli
Dalam perkembangannya, Labuhan Deli sesungguhnya
lebih cepat berkembang dibanding Medan sendiri. Oleh karena banyak permasalahan
situasi dan kondisi di dalam dua kota (Labuhan Deli dan Medan) maka muncul isu
pemindahan ibukota afdeeling. Isu ini terbagi menjadi faktor pendorong dan faktor
penarik. Sebagai factor pendorong adalah Labuhan Deli kerap mengalami banjir.
Sebelum
ditetapkan perpindahan ibukota ini, didahului oleh suatu ‘negosiasi’ antara
Sultan Deli dengan Gubernur Jenderal. Dalam hal ini, Sultan diundang ke
Batavia. Untuk menyatakan niat baik, Sultan berangkat ke Batavia dengan membawa
hadiah empat kuda asal Tanah Batak (kuda terbaik di Nederlansch Indie).
Sepulang dari Batavia, Sultan cukup puas karena selama kunjungan juga diberi
kesempatan melihat beberapa tempat penting di Java. Rumah dan mesjid sudah
dihias dengan semarak dan di pelabuhan, dari kapal naik sekoci ke pantai dan
disambut dengan sangat meriah sebelas tembakan dari kapal dan disambut oleh
Asisten Resieden dan komandan militer berpangkat mayor serta kerumunan rakyat
yang terdiri dari Maleiers, Bataks, Clingen, Chineezen en Atjeneezen.
Sebagai faktor penarik, para planter menginginkan
pusat pelayanan pemerintah terlalu jauh ke Labuhan Deli sementara konsentrasi
(tempat utama) orang Eropa sudah berubah dari Labuhan Deli menjadi Medan. Kota
Medan sangat strategis karena merupakan persimpangan ke arah empat penjuru
angin perluasan perkebunan. Faktor penarik lainnya, garnisun militer sudah lama
berada di Medan.
Kasus
serupa ini pernah terjadi dua kali di kota Padang Sidempuan. Pertama ketika pada
tahun 1870 ibukota afdeeling Mandheling en Ankola dipindahkan dari Panjaboengan
ke Padang Sidempuan. Kedua, pada tahun 1875 ketika ibukota Residentie Tapanoeli
dipindahkan dari Sibolga ke Padang Sidempuan. Namun dalam perkembangannya
ibukota dipindahkan kembali ke Sibolga.
Yang mempercepat proses perpindahan ibukota
afdeeling Deli ke Medan adalah Deli Mij. Perusahaan Belanda ini (yang telah
sejak awal disokong oleh Kerajaan di Belanda) melakukan manuver dengan
menjanjikan fasilitas bagi kebutuhan pemerintah jika ibukota dipindahkan ke
Medan. Fasilitas pertama, Deli Mij bersedia mengalihkan dan memberikan kantor administrator
Deli Mij yang berada di Sukamulia sebagai kantor Asisten Residen.
Akhirnya
pada tahun 1879 ibukota afdeeling Deli dipindahkan dari Labuhan Deli ke Medan.
Ini dengan sendirinya terjadi perubahan dimana status controleur Medan ditingkatkan
menjadi Asisten Residen, sementara status asisten residen Labuhan Deli diturunkan
menjadi controleur. Sebagaimana diketahui sebelumnya tahun 1873, secara administratif
Residentie Sumatra’s Ooskust dibentuk yang beribukota di Bengkalis (dipisahkan dari Residentie Riau). Residen berkedudukan di Bengkalis.
Alun-alunkota (Esplanade) Medan (1881) |
Buka jalan baru di Medan, terabas hutan |
Ibukota Residentie Sumatra’s
Oostkust pindah ke Medan
Sejak perubahan ibukota afdeeling Deli tahun 1879
dari Labuhan Deli ke Medan, situasi dan kondisi terus berubah. Afdeeling Deli terus
tumbuh dan berkembang yang mana di Medan sudah menjadi pusat orang-orang Eropa.
Akses Labuhan Deli ke Medan semakin lancar, lebih-lebih dengan tersedianya moda
kereta api. Pengembangan jalur kereta api juga telah sampai ke Deli Toea dan ke
Timbang (Bindjai). Hotel-hotel juga telah bermunculan, kios-kios kebutuhan
berbagai pihak semakin tersedia. Layanan pos dan telegraf semakin baik.
Organisasi (klub) kemasyarakatan juga sudah tersedia.
Aktivitas
perkebunan sendiri semakin massif. Investor baru terus bertambah, perluasan
lahan semakin ekstensif ke Asahan dan Simaloengoen. Perkembangan di Deli dan
sekitarnya sudah jauh melampaui perkembangan yang terjadi di Bengkalis. Muncul
kembali isu baru sebagaimana isu yang muncul pada saat perpindahan ibukota
afdeeling Deli dari Labuhan Deli ke Medan.
Wacana pemindahan ibukota Sumatra van Oostkust
sesungguhnya sudah lama ada. Tidak hanya karena alasan aspirasi di Deli oleh
para planter, tetapi juga karena rentang kendali manajemen pemerintahan yang
terlalu jauh ke Deli, sementara pusat pertumbuhan ekonomi baru sudah lama
bergeser dari Bengkalis ke Deli. Perpindahan ibukota ini ternyata lebih cepat
dari yang diperkirakan. Apalagi karena lanskap-lanskap yang dekat dengan Atjeh
dilaporkan telah mengalami tekanan yang kuat dari kekuatan yang ada di Atjeh.
De locomotief : Samarangsch han.en adv.-blad, 05-02-1887 |
Sehubungan dengan perubahan ibukota ini dan oleh
karena afdeeling-afdeeling lain juga berkembang, maka yang terjadi adalah
sebagai berikut: Afdeeling Bengkalis dipisahkan dari Sumatra van Oostkust dan
dimasukkan ke Residentie Riaouw. Sedangkan Afd. Laboehan Batoe, Afd. Asahan,
Afd. Batoebara dan Afd. Deli disatukan dan tetap menjadi Residentie Sumatra van
Oostkust dengan ibukota Medan. Untuk memperkuat pemerintahan di Sumatra van
Oostkust lalu status controleur di afd. Asahan yang berkedudukan di
Tanjdjoengbalei ditingkatkan menjadi Asisten Residen. Untuk memperkuat
pemerintahan di kantor ibukota Medan akan ditambahkan dua controleur.
Sementara itu, dengan perubahan struktur
pemerintahan di Sumatra van Oostkust ini, ‘arsitektur’ pemerintahan juga
berubah. Ketika Resident berkedudukan di Bengkalis, partnertship Residen adalah
Sultan Siak/Sultan Bengkalis, akan tetapi ketika Residen dipindahkan ke Medan,
maka partnership Residen dalam pemerintahan di Sumatra van Oostkust juga
berubah dan berpartner dengan Sultan Deli. Pengangkatan Sultan Deli sebagai
partnership pemerintah di Sumatra van Oostkust tidak saja mengabaikan Sultan
dan para pangeran di Bengkalis, tetapi juga secara otomatis merendahkan derajat
para Sultan di Asahan, Batoebara dan Laboehan Batoe (sebelumnya antara Sultan
Deli dengan Sultan di Langkat, Serdang dan Bedagai). Pemerintah mendudukkan
Sultan Deli di atas sultan-sultan lainnya. Dengan kata lain Sultan Deli adalah
Radja dari para radja (Maharadja).
Stasion Medan (1889) |
Peta tata kota Medan pertama (1895) |
Setelah beberapa tahun kota Medan dianggap telah
mampu melakukan pengelolaan sendiri (gemeeteraad) maka pada tahun 1909 status
Kota Medan diubah menjadi otonom. Berdasarkan Staatsblad no. 180 tahun 1909,
pada tanggal 1 April 1909 di Medan dibentuk Gemeenteraad. Ini berarti Kota
Medan mulai babak baru dalam suatu pengelolaan kota, dimana dalam hal ini
pemerintah akan diawasi oleh suatu dewan (Gemeenteraad). Pemerintah kota pada
masa itu adalah Asisten Residen, E.G.Th. Maier. Anggota Gemeenteraad terdiri
dari berbagai fungsi. Dibentuknya Gemeenteraad dimaksudkan untuk melakukan
tugas-tugas pemerintahan agar lebih efektif di Medan dengan semakin kompleksnya
permasalahan kota.
Yang duduk
di dewan kota Medan adalah salah satu dari dua pribumi yakni pangeran Deli plus
Tjong A Fie (Kapten komunitas Tionghoa). Selebihnya adalah orang-orang Belanda
dari kalangan pejabat dan Deli Mij, Deli Spoor serta lainnya. Kedua dewan ini
secara resmi diangkat sejak 1 April 1909.
Dalam perkembangannya, di Residentie Sumatra’s
Oostkust pertumbuhan dan perkembangan perekonomian terus berlanjut. Perkembunan
tidak hanya di afdeeling-afdeeling Melayu (Deli, Batoebara, Asahan dan Laboehan
Batoe) tetapi juga semakin meluas ke afdeeling-afdeeling Batak (Simaloengoen en
Karolanden). Untuk mengefektifkan pemerintahan (atas dasar perekonomian) di
Simaloengoen en Karolanden ditingkatkan statusnya menjadi Asisten Residen
dengan ibukota di Pematang Siantar. Dua afdeeling Batak ini dimasukkan dalam
Residentie Sumatra’s Oostkust daripada Residentie Tapanoeli (lebih pada
pertimbangan perekonomian).
Pada tahun
1915 Residentie Sumatra’s Oostkust mengalami reorganisasi dimana
afdeeling-afdeeling Atjeh dimasukkan ke Residentie Atjeh seperti afd. Tamiang,
sementara afdeeling-afdeeling Batak dikukuhkan masuk menjadi Residentie
Sumatra’s Oostkust atas dasar kesatuan ekonomi perkebunan. Pada tahun dimana
reorganisasi ini status Residentie Sumatra’s Oostkust ditingkatkan menjadi
province (yang dikepalai oleh seorang Gubernur.
Kapan seharusnya hari jadi kota
Medan?
Kota Medan 1911-1913 |
Sketsa Padang Sidempuan sebagai kota (town), 1844 |
Di Medan (Medan of Medan Poetri) ciri urban sudah ada sebelum tahun 1875 (secara defacto). Kota kecil (town) ini lalu pada tahun 1875 dijadikan sebagai ibukota onderafdeeling Medan (secara dejure) karena secara defacto tahun ini controleur ditempatkan (bertugas) di Medan. Sejak itu (1875) kota Medan secara fisik tumbuh dan berkembang. Dalam fase pertumbuhan dan perkembangannya kota Medan berubah secara formal mulai dari ibukota onderafdeeling (1875) menjadi ibukota afdeeling (1879) lalu ibukota residentie (1887) dan ibukota province (1915). Pada tahun 1909 kota Medan secara administrative menjadi otonom (gemeete).
Ketika Medan masih kampung, Padang Sidempuan sudah kota |
Jadi permasalahannya adalah soal acuan untuk
menetapkan hari jadi kota. Tidak ada acuan yang seragam. Karena itu setiap kota
menetapkan secara sendiri-sendiri (bersifat consensus). Namun demikian, meski
secara consensus tetapi perlu juga ditetapkan secara nalar tidak terlalu tua
dan juga tidak terlalu muda, apalagi tidak ada buktinya. Penalaran yang tepat
tentang hari jadi kota Medan adalah tahun 1875. Tinggal menelusuri kapan hari
dan bulannya. Jika tidak ditemukan, secara consensus dapat dipinjam tanggal 1
Juli saja. Dengan demikian hari jadi kota Medan yang masuk akal yakni tanggal 1
Juli 1875.
Wisatawan ini
secara eksplisit membedakan kampong (lama) dengan kota (baru). Di kota baru itu
dibangun garnisun militer di selatan Deli Mij. Di dekat garnisun ini dibangun
rumah/kantor controleur. Selanjutnya dibangun rumah Administratur di Sukamulia
(Soekamoelia strt), di sebelah hulu kantor controleur (kini Jalan Palang Merah).
Kantor administrator Deli Mij ini kemudian menjadi kantor Asisten Residen. Ini
berarti cikal bakal kota Medan saat itu berada diantara pusat fasilitas Deli
Mij (Deli strt/Jl Tembakau) dan rumah Administratur/kantor Asisten Residen
(Soekamolia strt/Jl Palang Merah). Di depan garnisun selanjutnya dibangun
alun-alun (Esplanade). Di dalam lahan garnisun ini kelak dibangun Javasch Bank dan kantor
Germeetehuis (Balaikota).
Dari keterangan ini
terungkap bahwa kampong (lama) Medan Poetri sudah sejak lama ada (sudah ada sejak
Datoe Soekapiring). Yang dimaksud kampong dalam hal ini adalah perkampungan
penduduk yang berada di seberang sungai, sedangkan area Medan Poetri sendiri
termasuk area yang menjadi konsesi Deli Mij. Di sebelah hulu Deli Mij sudah ada
perkampungan baru (keturunan dari Datoe Soekapiring yakni Datoe Dirwata. Area kampong
(baru) Medan Poetri dan sekitarnya dalam perkembangannya jatuh ke tangan H.
Mohamad Ali (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 06-02-1925).
Kampong (baru) Medan Poetri ini kini lebih dikenal sebagai kampong Keling atau
Petisah dimana terdapat masjid kramat di Gang Bengkok (Gang Masjid).Jalan penghubung antara Gang Bengkok/Masjid dengan Jl Kesawan dulu disebut Datoek Straat. .
Dimana titik origin
Kota Medan?
Sebagaimana
diuraikan secara singkat sebelum ini, bahwa di area (kawasan) Medan Poetri di
DAS Deli (di hulu Kesawan dan di hilir Gloegoer) terdapat Kampong Medan Poetri
(letak kampong ini di sisi barat pertemuan sungai Babura dan sungai Deli).
Kampung ini dihuni oleh keturunan dari Datoe Soekapiring. Di sisi timur sungai
(seberang kampong) ini adalah lahan kosong dan hutan yang kemudian menjadi
pusat fasilitas Deli Mij (kini jalan Tembakau/dulu Deli Str). Fasilitas itu
antara lain bangunan pengolahan, gudang dan kantor. Selanjutnya dibangun rumah
sakit, kios, pesanggrahan dan lainnya. Lokasi ini digambarkan oleh seorang
wisatawan (yang kembali bernostalgia ke Medan).
De Sumatra post, 08-08-1912 (seorang wisatawan
menulis setelah 30 tahun meninggalkan Medan): ‘Penulis menemukan Medan
benar-benar berbeda dari kota-kota lain di Hindia Belanda…ada hubungan khas
antara kesultanan dan perusahaan/bisnis besar. Segala sesuatu disini baru sama
sekali, baik aktivitas maupun lalu lintas…pengembang memiliki keleluasaan dan bebas
menentukan ruang untuk setiap sisi…tiga puluh tahun yang lalu (saat wistawan
masih berkerja di Deli Mij) tidak ada sesuatu disini, hutan dan padang gurun,
dimana sungai mengalir…di suatu tempat dikejauhan, terdapat sebuah kampong asli,
miskin dan kurang terwat, bertani untuk hidup. Perusahaan baru, di tempat padang
gurun telah membuat wilayah menjadi lahan sebagi sebuah tempat yang ada
sekarang (kota)..’.
Hotel Deli, hotel pertama di Medan (dekat kantor controleur) |
Kota baru itu
adalah lahan konsesi yang dimiliki oleh Deli Mij. Di dalam lahan konsesi ini,
Deli Mij menyediakan peruntukkan lahan untuk bangunan pemerintah (garnisun dan rumah
controloeur). Kolaborasi pemerintah dan Deli Mij di area kota baru ini menjadi
cikal bakal pengembangan kota berikutnya: stasion kereta api, alun-alun, pos,
klub social dan perumahan pimpinan militer dengan membuat jembatan penghubung (lahan
diantara sungai Babura dan sungai Deli atau disebut Benteng). Sejauh itu
kampong asli tetap terpisah di seberang sungai.
Origin Medan: Masjid Gang Bengkok, Kesawan (1915) |
De Sumatra post, 03-01-1933 (surat pembaca): ‘Masjid yang menjadi isu sekarang.. tentang masjid ini tidak pernah diangkat, yaitu status hukum tanah masjid dan tanah sekitarnya.
Sejarah singkat yang mendahului di tempat dimana sekarang masjid, itu
beberapa tahun yang lampau terdapat rumah ibadah
(mushola) dari kayu yang telah using. Rumah ibadah ini
disumbangkan oleh Datoek Rustam sebagai wakaf, sekarang sudah meninggal. Juga lahan sekitar masjid serta lahan yang masih digunakan sebagai
kuburan diwakafkan. Tanah
ini terdaftar dan tersimpat dalam catatan publik di Biro Pengelolaan Tanah yang oleh penduduk tua Datoek Haji Harun dan Orang Kaya
Dahroel yang berada di Kota Ma'soem dan Tengkoe Katan telah memberikan keterangan
yang relevan. Atas
inisiatif dan untuk kepentingan Pak Tjong A Fie, sebuah masjid baru dibangun, setelah selesai itu seperti wakaf juga telah diserahkan kepada penduduk setempat yang beragama Islam…Untuk biaya
pemeliharaan dibangun di halaman sebanyak lima
lantai rumah kayu untuk disewakan
yang mana Sultan menunjuk Sjech Mohamad Jacoeb seorang Mandailing yang
kemudian diteruskan anaknya Imam Hadji Oesman. Masjid ini yang
berada di Mosque Street akan ditutup untuk jumatan oleh Sultan agar jamaah dialihkan ke
Masjid besar, namun ada kelompok masyarakat yang tidak setuju yang mana kelompok ini
berpendapat bahwa dimana upaya pemerintahan Sultan tidak meluas ke kota Medan dan Sultan tidak memiliki kontrol atas masjid karena terletak di dalam kotamadya.
Bataviaasch nieuwsblad, 06-02-1925: ‘..Datuk
Rustam adalah salah satu dari tiga anak Datoe van Soekapiring, Datoe Dirwata
yang mendapat warisan saat ini berbatasan dengan sungai Deli dan Jalan Masjid dan Kantor hoolddjaksa. Ketika Datu Dirwata meninggal, tiga putra membagi wilayah itu
untuk mereka sendiri. Ketiga anak datoe tersebut adalah Datoe Zainal Abidin, Datoe Abdul Azzis dan Datoe Roestam. Sekitar enam puluh tahun
yang lalu dari sekarang (sekitar 1865)
kampong ini didirikan oleh tiga bersaudara untuk menetap di wilayah tersebut. Datoe Zainal sendiri
terletak di dua sudut
yaitu belakang Masjid…’.
Sketsa Medan sebagai kota (town), 1875 |
*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe.
Dr. Sorip Tagor Harahap: Alumni Pertama Sekolah Kedokteran Hewan di Bogor (1912); Pendiri Sumatranen Bond di Belanda (1917)
Dr. Sorip Tagor Harahap: Alumni Pertama Sekolah Kedokteran Hewan di Bogor (1912); Pendiri Sumatranen Bond di Belanda (1917)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar