Jumat, Desember 26, 2014

Bag-11. Sejarah Padang Sidempuan: ‘Marah Halim, Anak Petani yang Meniti Karir Militer Mulai dari Bawah hingga Menjadi Gubernur Sumatera Utara’



*Suatu sketsa Kota Padang Sidempuan

Ini adalah suatu sketsa (analisis sederhana) berdasarkan fakta-fakta sejarah yang ada. Mungkin para generasi yang lebih muda tidak menyadari bahkan mungkin tidak mengetahui, bahwa Kota Padang Sidempuan masa kini, ternyata di jaman doeloe memiliki dinamikanya sendiri. Bagaimana anak-anak Padang Sidempuan berkembang dan menyebar ke semua penjuru angin di masa doeloe? Mari kita lacak!
***
Foto Brigjen Marah Halim, 1-9-1971
Marah Halim Harahap adalah mantan Gubernur Sumatra Utara yang paling popular diantara para gubernur Sumatra Utara. Popularitasnya semakin meroket jika dihubungkan dengan sebuah event olahraga sepakbola yang dikenal sebagai Marah Halim Cup. Namun tidak banyak informasi sejarah perjalanan hidupnya sebelum menjadi gubernur. Masyarakat Sumatra Utara khususnya hanya mengenal riwayat rinci mengenai Marah Halim setelah menjadi gubernur. Ini wajar, karena Marah Halim adalah tokoh nasional. Untuk kebutuhan muatan lokal dalam pendidikan nasional, kiranya perlu ditelusuri siapa Marah Halim dan bagaimana Marah Halim menuju pentas tokoh nasional yang dikenal di ASEAN. Mari kita lacak!


***
Tabusira, suatu kampong kecil di Afdeeling Padang Sidempuan yang letaknya dekat dengan perbatasan Sipirok. Kampong Tabusira ini posisi gps-nya kira-kira begini: setelah Palsabolas, Pargarutan menuju Sipirok, terdapat simpang di sebelah kanan jalan raya yang disebut simpang Mara(h) Gordong, lalu menuju arah timur melalui kampong Silinggom-linggom. Dari kampong ini terpapar dibawah sebuah lembah yang indah yang ditengahnya mengalir sungai Aek Batang Tura yang menjadi hulu terjauh dari sungai Barumun. Lembah ini sungguh sangat subur, karena iklim campuran antara berhawa panas (dari Padang Lawas) dan berhawa dingin (dari Sipirok).

Tabusira, lintasan Padang Sidempoean-Padang Lawas doeloe
Di masa doeloe, kampong Tabusira ini merupakan tempat peristirahatan yang ideal bagi Belanda di jalur lalu lintas (lama) dari Sipirok ke Padang Lawas atau sebaliknya (utamanya dalam proses pembentukan pemerintahan di Padang Lawas). Dan juga kampong Tabusira ini menjadi tempat lintasan (check point) yang ideal para petinggi Belanda dari Padang Sidempoean menuju Padang Lawas. Hal ini karena lebar sungai di kampong ini cukup panjang, dan jika air bah diwaktu hujan, perlintasan ini tetap masih dapat dilalui. Kampong ini juga menjadi tempat paling strategis bagi belasan kampong di sisi utara sungai untuk mengepul hasil-hasil bumi seperti kopi, gula aren, kulit manis, ikan sale utamanya mera, udang sungai dan baung (sejenis ikan patin). Dari kampong Tabusira ini hasil-hasil bumi tersebut diangkut oleh para pedagang pengumpul dengan menggunakan kuda beban ke tempat pengumpulan sementara di Mara Gordong sebelum diteruskan dengan padati ke Pasar Padang Sidimpuan.

***
Pargarutan (1908)
Di kampong Tabusira inilah Marah Halim lahir pada tanggal 28 Februari, 1921. Orangtua Marah Halim adalah petani biasa. Ayahnya, Jabbar Harahap adalah seorang petani yang mengusahakan sawah dan ladang sebagaimana umumnya penduduk kampong Tabusira. Ayahnya adalah penduduk biasa, tetapi Marah Halim sewaktu kecil adalah seorang anak yang luar biasa. Di kampongnya memang terdapat sekolah rakyat yang dibangun swadaya oleh penduduk tetapi kelas tertinggi hanya sampai kelas tiga. Beberapa anak sekolah yang selesai kelas tiga berkeras hati meneruskan pendidikan ke sekolah dasar negeri yang ada di Pargarutan. Jarak antara kampong Tabusira dengan Pargarutan sekitar 10 kilomater. Dari Tabusira hingga Mara Gordong jalan setapak, sedangkan dari Mara Gordong ke Pargarutan adalah bagian dari ruas jalan raya Padang Sidempoean_Sipirok. Oleh karena kala itu kendaraan sangat jarang, penduduk umumnya berjalan kaki melalui jalan alternatif (jalan setapak) antara Mara Gordong dan Pargarutan. Hanya anak-anak yang kuat secara fisik, berani dan memiliki motivasi tinggi untuk belajar yang mampu untuk mengatasi situasi dan kondisi ini. Marah Halim termasuk diantaranya.       

***
Setelah lulus sekolah dasar, Marah Halim, anak keempat dari enam bersaudara, sesungguhnya ingin melanjutkan pendidikan ke sekolah MULO (sekolah menengah) di Padang Sidempuan. Namun ini semua terkendala karena kemampuan orangtua yang terbatas. ‘Marsaba di huta tidak berminat, bersekolah yang lebih tinggi tiada daya, bakat pedagang tidak ada karena keluarga adalah keluarga petani, lalu jalan keluarnya apa?’. Mungkin kegalauan ini menjadi beban pemikiran tersendiri bagi Marah Halim. Lantas, Marah Halim terpikir untuk merantau ke Doli (maksudnya Medan). Pemahaman ini muncul karena Marah Halim sudah banyak berinteraksi dengan pemuda-pemuda sebaya di luar kempungnya. Pada masa itu, sudah banyak anak-anak Padang Sidempuan, anak-anak Sipirok dan juga anak-anak Pargarutan yang telah berhasil di Pematang Siantar dan di Medan. Marah Halim kemudian bersiap-siap hijrah  ke Medan untuk menyusul abangnya nomor dua, Sjamsoedin yang telah duluan merantau ke Tanah Deli.

Dengan bekal ijazah sekolah dasar, Marah Halim siap rohani dan jasmani untuk memulai perantauan ke Medan. Dari Sipirok, Marah Halim menumpang bis Sibualbuali menuju Padang Sidempuan dan dengan bis yang sama dari Padang Sidempuan menuju Siboga, lalu Tarutung dan hingga tiba di Pematang Siantar. Marah Halim tidak sampai ke Medan hanya di Pematang Siantar. Di kota ini Marah Halim diterima bekerja di perkebunan. Namun sebagai juru tulis bukanlah bakatnya, karena boleh jadi Marah Halim terbiasa memegang pangkur sejak kecil di kampongnya. Kemudian sejak pendudukan Jepang, Marah Halim melanjutkan perantauan ke Medan. Namun situasi Kota Medan saat itu secara social ekonomi tengah memburuk. Di Medan, Marah Halim tinggal bersama abangnya dan kemudian berminat masuk pelatihan militer Jepang. Setelah proklamasi Agustus 1945 kehidupan Marah Halim tidak menentu. Ketika Belanda kembali, dengan pengetahuan pelatihan tempur, Marah Halim yang sudah matang di usia jelang 25 tahun ikut bergabung dengan Barisan Pemuda di Medan lalu menjadi bagian dari Tentara Keamanan Rakyat (TKR) Sumatra Timur. TKR ini kemudian berganti nama menjadi Tentara Rakyat Indonesia (TRI). Selama agresi militer Belanda pertama Marah Halim diangkat sebagai Letnan.

***
Ketika teman-teman seperjuangannya banyak yang memilih berjuang melawan agresi militer Belanda di Tapanuli, Marah Halim justru ‘direkrut’ oleh pimpinan militer Republik Indonesia untuk ditugaskan ke tempat lain. Inilah awal karir Marah Halim di tangga militer. Untuk mengemban tugas-tugas yang lebih berat di medan tempur pada fase berikutnya Marah Halim dinaikkan pangkatnya menjadi Kapten. Selanjutnya untuk mengantisipasi agresi militer Belanda antara 1948-1949 Marah Halim mendapat pesan dari udanya Amir Sjarifoeddin untuk minta ditugaskan mengisi kekurangan kekuatan militer di Riau. Marah Halim lalu bersiap dengan memimpin pasukan ke Indragiri. Ketika itu wilayah pertahanan RI di Sumatra Utara, Sumatra Barat dan Riau masih menjadi satu kesatuan wilayah, dan Sumatra Utara sendiri masih terdiri dari Aceh, Sumatra Timur dan Tapanuli. Amir Sjarifoedin yang waktu itu menjabat Menteri Pertahanan Republik Indonesia, selain masih berkerabat dekat dengan Marah Halim juga kampong mereka terbilang masih bertetangga (Pasar Matanggor dan Tabusira yang berada di DAS sungai Aek Batang Tura. Nama Aek Batang Tura di Sipirok, Aek Batang Sihapas di Padang Lawas).

***
Setelah berakhirnya agresi militer Belanda dan pasca pengakuan kedaulatan Republik Indonesia (27 Desember 1949), Marah Halim kembali ke ‘pangkalan’ di Medan dan mulai mengisi pos jajaran militer dengan fungsi staf perwira di wilayah militer Sumatra Timur di Medan.

Berdasarkan Keputusan pimpiman militer di Jakarta, sejak 20 Juni 1950 Komando Tentara Teritorium Sumatera Utara (KO TT-SU) diubah menjadi Komando Tentara Teritorium-I Sumatera Utara (KO TT-I/SU) dan wilayahnya meliputi Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat dan Riau, dan selanjutnya 21 Juni 1951 KO TT-I/SU berubah menjadi KO TT-I/Bukit Barisan (KO TT-I/BB) yang wilayah pertahanannya masih sama seperti sebelumnya, yang membawahi empat Resimen Infanteri, yaitu: Resimen Infantri 1 di Aceh, Resimen Infantri 2 di Sumatera Timur, Resimen Infantri 3 di Tapanuli dan Resimen Infantri 4 di Sumatera Barat-Riau.

Mungkin orang banyak yang bertanya-tanya. Selama Abdul Hakim menjabat sebagai Gubernur Sumatra Utara (25 Januari 1951-23 Oktober 1953), Kapten Marah Halim merupakan satu-satunya perwira militer yang bebas keluar masuk kapan saja ke rumah sang Gubernur. Marah Halim dikenal sebagai sosok yang tegas di lingkungan militer tetapi sangat komunikatif dengan pihak-pihak sipil. Karena itu Marah Halim tidak sulit menjalin hubungan dengan Abdul Hakim sebagai petinggi sipil tertinggi di Sumatra Utara. Konon, kemampuan berbicara (mangkobar) yang hebat dari Marah Halim menjadi salah satu alasan mengapa Marah Halim yang dipilih menjadi hakim militer di Aceh. Marah Halim pada tahun 1952 ditugaskan untuk menjadi hakim militer di wilayah Aceh di Kutaradja (kini Banda Aceh).

Selanjutnya setelah bertugas lebih dari satu tahun, pada akhir tahun 1953 Marah Halim kembali ke markas di Medan. Terhitung 1 November 1953 Kapten Marah Halim berfungsi menjadi staf perwira umum Komando Tentara Teritorium-I (KO TT-I) Bukit Barisan. Namun tidak lama menunggu, pada Agustus 1954 terjadi perubahan struktur pimpinan di lingkungan KO TT-I/Bukit Barisan. Mayor Djamin Ginting akan menjadi komandan militer (Resimen Infanteri 2 di Sumatera Timur). Posisi yang ditinggalkan Djamin Ginting diisi oleh Kapten Yunus Samosir. Sedangkan jabatan yang ditinggalkan Yunus Samosir sebagai kepala staf ditransfer kepada Kapten Marah Halim. Menurut Koran Het nieuwsblad voor Sumatra edisi 23-09-1954, Kapten Marah Halim dinaikkan pangkatnya menjadi Mayor. Sebelumnya di Koran dilaporkan bahwa Mayor Ibrahim Adji dan Mayor Jamin Ginting dinaikkan pangkat masing-masing menjadi Letnan Kolonel.

***
Pada tanggal 27 Desember 1956 Resimen Infantri-1 Aceh dan Resimen Infantri-4 Sumatera Barat-Riau dipisahkan dari KO TT-I/BB dan selanjutnya masing-masing dibentuk  menjadi Komando Daerah Militer (KODAM). Di Aceh dibentuk Kodam I/Iskandar Muda, di Sumatera Barat-Riau dibentuk Kodam III/17 Agustus. KO TT-I/BB berubah menjadi Kodam II/Bukit Barisan. Setelah pemekaran wilayah militer ini, Mayor Marah Halim dianggap sebagai salah satu perwira berprestasi di Kodam II/Bukit Barisan lalu ditugaskan untuk mengikuti pendidikan SSKAP di Bandung sebagaimana diberitakan dalam koran pertengahan tahun 1957. Dua rekan Marah Halim yang ditugaskan mengikuti pendidikan adalah Mayor Slamat Ginting dan Mayor L. Siburian.

Berdasarkan Surat Keputusan KASAD No. 44/KSAD/KPTS/51 Tanggal 17 Maret 1951, dibentuk lembaga pendidikan tinggi di lingkungan angkatan darat, SSKAD. Tugas pokok SSKAD adalah mendidik para perwira TNI-AD yang akan diarahkan untuk menduduki jabatan staf umum dan komando satuan operasional tingkat komando serta tingkat resimen tim pertempuran ke bagian atas. Siswa yang bisa mengikuti pendidikan adalah berpangkat Kapten dan Mayor. Sekolah SSKAP ini kemudian pada tahun 1961 berubah nama menjadi SESKOAD.

Setelah Marah Halim dan kawan-kawan untuk mengikuti SSKAP di Bandung, terjadi kisruh di tubuh militer Sumatra Utara yang dikenal sebagai peristiwa 19 Oktober 1957. Kepala Staf Angkatan Darat (KASAD) yang waktu itu adalah Mayor Jenderal Abdul Haris Nasution harus datang ke Medan untuk menengahinya. Setelah selesai pendidikan SSKAP, Marah Halim dinaikkan pangkatnya dari Mayor menjadi Letnan Kolonel (Letkol). Selanjutnya dalam perkembangannya, serangkaian kejadian di lingkungan militer di tanah air bermunculan seperti PRRI/Permesta (1958), G30 S/PKI 1965 dan yang terakhir peristiwa Supersemar 1966.

***
Dengan semakin membaiknya situasi nasional, pada tahun 1967 di Medan, nama Marah Halim yang tengah menjabat sebagai Kepala Staf Kodam (Kasdam) II Bukit Barisan muncul ke permukaan sebagai kandidat kuat Gubernur Sumatera Utara. Akhirnya, Marah Halim yang waktu itu sudah berpangkat Kolonel terpilih menjadi Gubernur setelah melalui mekanisme Sidang DRPD Propinsi Sumatera Utara. Selama menjabat sebagai Gubernur Sumatra Utara sejak 31 Maret 1967 hingga 12 Juni 1978 (lebih dari 10 tahun) Marah Halim masih mendapat kenaikan pangkat dua kali dari semula Kolonel menjadi Brigadir Jenderal (Brigjen) dan terakhir menjadi Mayor Jenderal (Mayjen).

***
Marah Halim Harahap, masih gagah pada usia lanjut
Bagaimana kiprahnya selama menjabat gubernur maupun setelah pension dari militer tak terhitung jumlah prestasinya. Anak petani yang memulai karir militer dari bawah dalam kenyataannya adalah seorang pemimpim yang visioner. Jika Soekarno meminta Negara untuk membangun Hotel Indonesia, Stadion SGBK dan Gedung Sarinah dimaksudkan untuk menunjukkan harga diri terhadap bangsa lain jelang Asian Games 1962, setali tiga uang, Marah Halim meminta pihak swasta (T.D. Pardede) untuk membangun hotel mewah di Medan dan Parapat agar para investor asing terutama ASEAN tertarik datang dan bersedia menanamkan modalnya di Sumatra Utara. Juga agar para tamu asing yang datang untuk turnamen Marah Halim Cup menjadi lebih nyaman dan menunjukkan harga diri. Sebagai Gubernur, Marah Halim dari sisi pemerintah mendukung pengembangan infrastruktur dengan membangun dua bandara di wilayah Keresidenan Tapanuli yakni di Tapanuli Utara dan Tapanuli Selatan agar para investor asing dan investor domestik dari Jakarta mau menengok potensi ekonomi di dua wilayah yang tertinggal itu. T.D. Pardede bersedia dengan senang hati. Kemampuan komunikasi Marah Halim memainkan peran lagi.

Desa Tabusira, Kec. Angkola Timur, Tapanuli Selatan
Namun demikian Marah Halim tetaplah Marah Halim Harahap dari Tabusira--sebuah kampong kecil di pinggir Padang Sidempuan. Anak petani tetaplah anak petani. Meski pernah beberapa kali menyempatkan diri pulang kampong secara diam-diam di Tabusira, namun kepulangan Marah Halim pada tahun 1974 adalah suatu peristiwa besar yang disambut dengan horja godang di Tabusira karena Marah Halim dianggap sebagai putra daerah yang tidak melupakan kampong halaman. Dalam horja ini, Marah Halim berkesempatan untuk melihat hasil kerja Pemerintah Tapanuli Selatan sekaligus meresmikan selesainya pembangunan jalan aspal dari Mara Gordong ke huta Tabusira dan pembangunan jembatan gantung yang menghubungkan huta Tabusira di sisi sungai dengan huta Tiangaras di sisi yang lain di atas sungai Aek Batang Tura. Jalan setapak yang dulu menjadi lalulintas Marah Halim semasa sekolah dasar kini tidak berlumpur lagi. Inilah satu pengabdian anak rantau kepada kerabatnya yang sebagian masih berada di Tabusira utamanya abangnya yang nomor satu agar tidak mengalami apa yang pernah dialami—jalan marbustak-bustak dari kampong Tabusira ke simpang Mara Gordong.

Bandara Aek Godang dekat Padang Sidemnpuan
Selain itu, Marah Halim juga tidak rela anak-anak Padang Sidempuan tidak ada pilihan transportasi jika harus merantau ke Medan dan Padang yang lama perjalanan lebih dari 10 jam. Pada tahun 1976, Marah Halim menggagas dibangunnya lapangan terbang di Aek Godang dan proyek pembangunannya selesai tahun 1978 (sebelum berakhir masa pengabdiannya sebagai gubernur). Anehnya, penentuan lokasi bandara ini  justru di Aek Godang. Konon, Marah Halim sendiri yang memilih tempat, karena Marah Halim menyadari bahwa saudara ‘koum sisolkot’, Mr. Amir Sjarifoeddin Harahap (salah satu the founding father negeri ini: mantan Menteri Pertahanan dan Perdana Menteri yang meninggal muda) tidak sempat lagi pulang kampong karena kesibukannya mengurus Negara Kesatuan Republik Indonesia yang baru merdeka di Jakarta. Karenanya, penempatan bandara di Aek Godang (dekat dengan kampong Amir Sjarifoedin di Pasar Matanggor) merupakan simbolik untuk menghargai jasa-jasa kepahlawanan Mr. Amir dalam berjuang melawan Belanda dan Jepang. Inilah bakti mulia seorang pahlawan dari Tabusira kepada pahlawan lainnya di Pasar Matanggor, Batang Onang. Bandara ini kini menjadi lalulintas investasi yang penting di Tapanuli Bagian Selatan.

*Sumber foto Marah Halim: Sandra Pohan

Tidak ada komentar: