*Suatu
sketsa Kota Padang Sidempuan
Ini adalah suatu
sketsa (analisis sederhana) berdasarkan fakta-fakta sejarah yang ada. Mungkin
para generasi yang lebih muda tidak menyadari bahkan mungkin tidak mengetahui,
bahwa Kota Padang Sidempuan masa kini, ternyata di jaman doeloe memiliki
dinamikanya sendiri. Bagaimana anak-anak Padang Sidempuan berkembang dan
menyebar ke semua penjuru angin di masa doeloe? Mari kita lacak!
***
Foto Brigjen Marah Halim, 1-9-1971 |
***
Tabusira,
suatu kampong kecil di Afdeeling Padang Sidempuan yang letaknya dekat dengan perbatasan
Sipirok. Kampong Tabusira ini posisi gps-nya kira-kira begini: setelah
Palsabolas, Pargarutan menuju Sipirok, terdapat simpang di sebelah kanan jalan
raya yang disebut simpang Mara(h) Gordong, lalu menuju arah timur melalui
kampong Silinggom-linggom. Dari kampong ini terpapar dibawah sebuah lembah yang
indah yang ditengahnya mengalir sungai Aek Batang Tura yang menjadi hulu
terjauh dari sungai Barumun. Lembah ini sungguh sangat subur, karena iklim
campuran antara berhawa panas (dari Padang Lawas) dan berhawa dingin (dari Sipirok).
Tabusira, lintasan Padang Sidempoean-Padang Lawas doeloe |
***
Pargarutan (1908) |
***
Setelah
lulus sekolah dasar, Marah Halim, anak keempat dari enam bersaudara,
sesungguhnya ingin melanjutkan pendidikan ke sekolah MULO (sekolah menengah) di
Padang Sidempuan. Namun ini semua terkendala karena kemampuan orangtua yang
terbatas. ‘Marsaba di huta tidak berminat, bersekolah yang lebih tinggi tiada
daya, bakat pedagang tidak ada karena keluarga adalah keluarga petani, lalu
jalan keluarnya apa?’. Mungkin kegalauan ini menjadi beban pemikiran tersendiri
bagi Marah Halim. Lantas, Marah Halim terpikir untuk merantau ke Doli
(maksudnya Medan). Pemahaman ini muncul karena Marah Halim sudah banyak
berinteraksi dengan pemuda-pemuda sebaya di luar kempungnya. Pada masa itu,
sudah banyak anak-anak Padang Sidempuan, anak-anak Sipirok dan juga anak-anak
Pargarutan yang telah berhasil di Pematang Siantar dan di Medan. Marah Halim
kemudian bersiap-siap hijrah ke Medan
untuk menyusul abangnya nomor dua, Sjamsoedin yang telah duluan merantau ke Tanah
Deli.
Dengan
bekal ijazah sekolah dasar, Marah Halim siap rohani dan jasmani untuk memulai
perantauan ke Medan. Dari Sipirok, Marah Halim menumpang bis Sibualbuali menuju
Padang Sidempuan dan dengan bis yang sama dari Padang Sidempuan menuju Siboga, lalu
Tarutung dan hingga tiba di Pematang Siantar. Marah Halim tidak sampai ke Medan
hanya di Pematang Siantar. Di kota ini Marah Halim diterima bekerja di
perkebunan. Namun sebagai juru tulis bukanlah bakatnya, karena boleh jadi Marah
Halim terbiasa memegang pangkur sejak kecil di kampongnya. Kemudian sejak pendudukan
Jepang, Marah Halim melanjutkan perantauan ke Medan. Namun situasi Kota Medan
saat itu secara social ekonomi tengah memburuk. Di Medan, Marah Halim tinggal
bersama abangnya dan kemudian berminat masuk pelatihan militer Jepang. Setelah
proklamasi Agustus 1945 kehidupan Marah Halim tidak menentu. Ketika Belanda
kembali, dengan pengetahuan pelatihan tempur, Marah Halim yang sudah matang di
usia jelang 25 tahun ikut bergabung dengan Barisan Pemuda di Medan lalu menjadi
bagian dari Tentara Keamanan Rakyat (TKR) Sumatra Timur. TKR ini kemudian
berganti nama menjadi Tentara Rakyat Indonesia (TRI). Selama agresi militer
Belanda pertama Marah Halim diangkat sebagai Letnan.
***
Ketika
teman-teman seperjuangannya banyak yang memilih berjuang melawan agresi militer
Belanda di Tapanuli, Marah Halim justru ‘direkrut’ oleh pimpinan militer Republik Indonesia
untuk ditugaskan ke tempat lain. Inilah awal karir Marah Halim di tangga
militer. Untuk mengemban tugas-tugas yang lebih berat di medan tempur pada fase
berikutnya Marah Halim dinaikkan pangkatnya menjadi Kapten. Selanjutnya untuk mengantisipasi agresi militer Belanda antara 1948-1949 Marah Halim mendapat pesan dari udanya
Amir Sjarifoeddin untuk minta ditugaskan mengisi kekurangan kekuatan militer di
Riau. Marah Halim lalu bersiap dengan memimpin pasukan ke Indragiri. Ketika itu
wilayah pertahanan RI di Sumatra Utara, Sumatra Barat dan Riau masih menjadi
satu kesatuan wilayah, dan Sumatra Utara sendiri masih terdiri dari Aceh, Sumatra
Timur dan Tapanuli. Amir Sjarifoedin yang waktu itu menjabat Menteri Pertahanan
Republik Indonesia, selain masih berkerabat dekat dengan Marah Halim juga
kampong mereka terbilang masih bertetangga (Pasar Matanggor dan Tabusira yang
berada di DAS sungai Aek Batang Tura. Nama Aek Batang Tura di Sipirok, Aek Batang
Sihapas di Padang Lawas).
***
Setelah
berakhirnya agresi militer Belanda dan pasca pengakuan kedaulatan Republik
Indonesia (27 Desember 1949), Marah Halim kembali ke ‘pangkalan’ di Medan dan mulai
mengisi pos jajaran militer dengan fungsi staf perwira di wilayah militer
Sumatra Timur di Medan.
Berdasarkan
Keputusan pimpiman militer di Jakarta, sejak 20 Juni 1950 Komando Tentara
Teritorium Sumatera Utara (KO TT-SU) diubah menjadi Komando Tentara
Teritorium-I Sumatera Utara (KO TT-I/SU) dan wilayahnya meliputi Aceh, Sumatera
Utara, Sumatera Barat dan Riau, dan selanjutnya 21 Juni 1951 KO TT-I/SU berubah
menjadi KO TT-I/Bukit Barisan (KO TT-I/BB) yang wilayah pertahanannya masih
sama seperti sebelumnya, yang membawahi empat Resimen Infanteri, yaitu: Resimen
Infantri 1 di Aceh, Resimen Infantri 2 di Sumatera Timur, Resimen Infantri 3 di
Tapanuli dan Resimen Infantri 4 di Sumatera Barat-Riau.
Mungkin
orang banyak yang bertanya-tanya. Selama Abdul Hakim menjabat sebagai Gubernur
Sumatra Utara (25 Januari 1951-23 Oktober 1953), Kapten Marah Halim merupakan
satu-satunya perwira militer yang bebas keluar masuk kapan saja ke rumah sang
Gubernur. Marah Halim dikenal sebagai sosok yang tegas di lingkungan militer
tetapi sangat komunikatif dengan pihak-pihak sipil. Karena itu Marah Halim tidak sulit menjalin hubungan dengan Abdul Hakim
sebagai petinggi sipil tertinggi di Sumatra Utara. Konon, kemampuan berbicara (mangkobar) yang hebat dari Marah
Halim menjadi salah satu alasan mengapa Marah Halim yang dipilih menjadi hakim
militer di Aceh. Marah Halim pada tahun 1952 ditugaskan untuk menjadi hakim
militer di wilayah Aceh di Kutaradja (kini Banda Aceh).
Selanjutnya
setelah bertugas lebih dari satu tahun, pada akhir tahun 1953 Marah Halim kembali
ke markas di Medan. Terhitung 1 November 1953 Kapten Marah Halim berfungsi
menjadi staf perwira umum Komando Tentara Teritorium-I (KO TT-I) Bukit Barisan.
Namun tidak lama menunggu, pada Agustus 1954 terjadi perubahan struktur
pimpinan di lingkungan KO TT-I/Bukit Barisan. Mayor Djamin Ginting akan menjadi
komandan militer (Resimen Infanteri 2 di Sumatera Timur). Posisi yang
ditinggalkan Djamin Ginting diisi oleh Kapten Yunus Samosir. Sedangkan jabatan
yang ditinggalkan Yunus Samosir sebagai kepala staf ditransfer kepada Kapten
Marah Halim. Menurut Koran Het nieuwsblad voor Sumatra edisi 23-09-1954, Kapten
Marah Halim dinaikkan pangkatnya menjadi Mayor. Sebelumnya di Koran dilaporkan
bahwa Mayor Ibrahim Adji dan Mayor Jamin Ginting dinaikkan pangkat masing-masing
menjadi Letnan Kolonel.
***
Pada
tanggal 27 Desember 1956 Resimen Infantri-1 Aceh dan Resimen Infantri-4 Sumatera
Barat-Riau dipisahkan dari KO TT-I/BB dan selanjutnya masing-masing dibentuk menjadi Komando Daerah Militer (KODAM). Di
Aceh dibentuk Kodam I/Iskandar Muda, di Sumatera Barat-Riau dibentuk Kodam
III/17 Agustus. KO TT-I/BB berubah menjadi Kodam II/Bukit Barisan. Setelah
pemekaran wilayah militer ini, Mayor Marah Halim dianggap sebagai salah satu
perwira berprestasi di Kodam II/Bukit Barisan lalu ditugaskan untuk mengikuti
pendidikan SSKAP di Bandung sebagaimana diberitakan dalam koran pertengahan
tahun 1957. Dua rekan Marah Halim yang ditugaskan mengikuti pendidikan adalah
Mayor Slamat Ginting dan Mayor L. Siburian.
Berdasarkan
Surat Keputusan KASAD No. 44/KSAD/KPTS/51 Tanggal 17 Maret 1951, dibentuk
lembaga pendidikan tinggi di lingkungan angkatan darat, SSKAD. Tugas pokok
SSKAD adalah mendidik para perwira TNI-AD yang akan diarahkan untuk menduduki
jabatan staf umum dan komando satuan operasional tingkat komando serta tingkat
resimen tim pertempuran ke bagian atas. Siswa yang bisa mengikuti pendidikan adalah
berpangkat Kapten dan Mayor. Sekolah SSKAP ini kemudian pada tahun 1961 berubah
nama menjadi SESKOAD.
Setelah Marah Halim dan kawan-kawan untuk mengikuti SSKAP di Bandung, terjadi kisruh di
tubuh militer Sumatra Utara yang dikenal sebagai peristiwa 19 Oktober 1957.
Kepala Staf Angkatan Darat (KASAD) yang waktu itu adalah Mayor Jenderal Abdul
Haris Nasution harus datang ke Medan untuk menengahinya. Setelah selesai
pendidikan SSKAP, Marah Halim dinaikkan pangkatnya dari Mayor menjadi Letnan
Kolonel (Letkol). Selanjutnya dalam perkembangannya, serangkaian kejadian di
lingkungan militer di tanah air bermunculan seperti PRRI/Permesta (1958), G30
S/PKI 1965 dan yang terakhir peristiwa Supersemar 1966.
***
Dengan
semakin membaiknya situasi nasional, pada tahun 1967 di Medan, nama Marah Halim
yang tengah menjabat sebagai Kepala Staf Kodam (Kasdam) II Bukit Barisan muncul
ke permukaan sebagai kandidat kuat Gubernur Sumatera Utara. Akhirnya, Marah
Halim yang waktu itu sudah berpangkat Kolonel terpilih menjadi Gubernur setelah
melalui mekanisme Sidang DRPD Propinsi Sumatera Utara. Selama menjabat sebagai
Gubernur Sumatra Utara sejak 31 Maret 1967 hingga 12 Juni 1978 (lebih dari 10
tahun) Marah Halim masih mendapat kenaikan pangkat dua kali dari semula Kolonel
menjadi Brigadir Jenderal (Brigjen) dan terakhir menjadi Mayor Jenderal
(Mayjen).
***
Marah Halim Harahap, masih gagah pada usia lanjut |
Desa Tabusira, Kec. Angkola Timur, Tapanuli Selatan |
Bandara Aek Godang dekat Padang Sidemnpuan |
*Sumber foto Marah Halim: Sandra Pohan
*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe, utamanya kora-koran berbahasa Belanda (berbagai edisi)
Baca juga:
Sejarah Kota Medan (13): Kerajaan Aru di Sungai Barumun, Kerajaaan Batak, Kerajaan Islam Pertama, Suksesinya adalah Kerajaan Batak Deli (di Deli Toea) dan Kesultanan Melayu Deli (di Laboehan Deli)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar