Kamis, Desember 04, 2014

Bag-8. Sejarah Padang Sidempuan: ‘Dr. Ida Loemongga, PhD, Dinasti Guru dan Dokter: Like Son, Like Father; Like Girl, Like Mother’


Baca juga:
Bag-8. Sejarah Padang Sidempuan: ‘Dr. Ida Loemongga, PhD, Dinasti Guru dan Dokter: Like Son, Like Father; Like Girl, Like Mother’

Bag-11. Sejarah Padang Sidempuan: ‘Marah Halim, Anak Petani yang Meniti Karir Militer Mulai dari Bawah hingga Menjadi Gubernur Sumatera Utara’


Ini adalah suatu sketsa (analisis sederhana) berdasarkan fakta-fakta sejarah yang ada. Mungkin para generasi yang lebih muda tidak menyadari bahkan mungkin tidak mengetahui, bahwa Kota Padang Sidempuan masa kini, ternyata di jaman doeloe memiliki dinamikanya sendiri. Bagaimana anak-anak Padang Sidempuan berkembang dan menyebar ke semua penjuru angin di masa doeloe? Mari kita lacak!

***
Dr. Ida Loemongga, PhD adalah dokter bergelar Doktor pertama di negeri ini. Ida Loemongga Haroen Al Rasjid meraih PhD ini di Universiteit  Amsterdam, 1932. Ida Loemongga Haroen Al Rasjid br Nasoetion dalam mempertahankan disertasinya di hadapan guru besar dengan judul ‘Diangnose en Prognose van aangeboren Hartgebreken’ (Diangosa dan Prognosa Cacat Jantung Bawaan) mendapat sambutan yang luar biasa baik di Negeri Belanda maupun di Nederlandsche Indie (Hindia Belanda). Namun sebelumnya, direcall kembali dua diantara anak-anak Padang Sidempoean yang meraih PhD di Negeri Belanda.

Alinoedin gelar Radja Enda Boemi, anak Batang Toroe, Padang Sidempoean memperoleh gelar doctor (PhD) di bidang hokum di Leiden 1925 dengan desertasi berjudul: ‘Het grondenrecht in de Bataklanden: Tapanoeli, Simeloengoen en het Karoland’.  Alinoedin Siregar gelar Radja Enda Boemi adalah ahli hukum pertama dari Tanah Batak dan kedua dari Sumatra dan salah satu dari delapan ahli hukum pribumi yang ada di Nederlancsh-Indie. Radja Enda Boemi sebelum ke Negeri Belanda menyelesaikan tingkat sarjana hokum (Mr) di Rechts School, Batavia. Sepulang dari Belanda, Radja Enda Boemi ditunjuk sebagai Kepala Pengadilan di Semarang.

Todoeng gelar Soetan Goenoeng Moelia setelah lulus sarjana di Negeri Belanda 1915 kembali ke tanah air. Todoeng Harahap memulai karir sebagai guru Eropa. Setelah beberapa tahun Todoeng Harahap kelahiran Padang Sidempuan ini kembali ke Negeri Belanda untuk melanjutkan pendidikan. Todoeng Harahap gelar Soetan Goenoeng Moelia meraih  gelar PhD di Rijks Universiteit pada tahun 1933 dalam bidang bahasa dan sastra dengan desertsi berjudul: ‘Het primitive denken in de modern wetenschap’. Todoeng Harahap pernah menjadi anggota Volksraad di Batavia (bahu membahu dengan Husni Tamrin, pahlawan Betawi)..

Dr. Ida Loemongga Nasoetion, PhD, 1932 (De Tijd)
Di jaman itu, hanya segelintir orang pribumi yang mampu meraih gelar doktor (pendidikan tertinggi). Namun, secara khusus dalam artikel ini, IDA LOEMONGGA Nasoetion adalah seorang yang sangat fantastis. Gadis boru Suti ini yang lahir pada tanggal 22 Maret 1905 muncul ke permukaan, ketika ia diterima di Prins Hendrik School, afdeeling HBS (pendidikan menengah) di Batavia tahun 1918. Setelah lulus, Ida Loemongga pada tahun 1923 langsung melanjutkan pendidikan ke Negeri Belanda. Ida Loemongga Nasoetion adalah seorang brilian dan pemberani. Ketika baru berusia 18 tahun, gadis yang cantik ini berangkat sendiri dan mendaftar di Universiteit Leiden. Setelah lulus sarjana, anak seorang dokter ini, lalu mengambil dokter spesialis di Universiteit Utrecht. Di Negeri Belanda, ahli jantung ini diminati oleh banyak institute. Setelah beberapa tahun menjadi asisten Dr. Caroline de Lange, Ida Loemongga memperoleh kesempatan untuk melanjutkan pendidikan. Setelah meraih gelar PhD tahun 1932 gadis yang sudah matang ini baru berkesempatan pulang kampong ke tanah air untuk mengunjungi keluarganya. Siapakah dia? Mari kita lacak!

***

Ketika Ida Loemongga baru berumur tiga bulan, Radjioen gelar Soetan Casajangan anak Batoe na Doewa, Padang Sidempoean berangkat dari Batavia 5 Juli 1905 dan tiba di Rotterdam 30 Juli 1905. Sehari kemudian Soetan Casajangan berkunjung ke rumah mantan gurunya (pernah menjadi direktur sekolah guru Kweekschool Padang Sidempoean) yang sudah menjadi guru besar di Universiteit Leiden yakni Profesor Charles Adriaan van Ophuijsen. Soetan Casajangan memulai kuliah di Rijkskweekschool (setingkat IKIP sekarang) di Haarlem untuk mengambil akte guru. Soetan Casajangan Soripada merupakan akademisi kedua pribumi yang datang ke negeri Belanda untuk menempuh pendidikan tinggi.  

Setelah melihat prospek pendidikan di Negeri Belanda dan jumlah orang pribumi yang belajar di Negeri Belanda hanya beberapa orang saja, Soetan Casajangan Soripada, mantan kepala sekolah dasar negeri di Simapil-Apil, Padang Sidempoean coba menggugah pemuda-pemudi pribumi di tanah air yang diceritakannya dalam sebuah artikel singkat di majalah Bintang Hindia yang terbit di Negeri Belanda tahun 1905 untuk datang menuntut ilmu jauh ke negeri Belanda. Sejak itu sejumlah pemuda mulai tertarik dan pelan tapi pasti mulai berdatangan  Pada akhir tahun 1905, jumlah mahasiswa pribumi di negeri Belanda memang baru berjumlah enam orang. dan pada tahun 1907 diperkirakan jumlahnya sudah mencapai duapuluhan akademisi muda. Radjioen Harahap gelar Soetan Casajangan Soripada adalah penggagas Perhimpunan Hindia Belanda (Indische Vereeniging) di Negeri Belanda yang didirikan pada tahun 1908 sekaligus presiden pertama. Indische Vereeniging kemudian menjadi Perhimpunan Indonesia (PI) pada tahun 1925. 

Setelah memperoleh akte guru, Soetan Casajangan tidak pulang, tetapi melanjutkan untuk mendapat akte kepala sekolah untuk tujuan ganda. Tujuan pertama adalah misi nasionalis agar orang pribumi bisa menjadi direktur kweekschool di tanah air dan tujuan kedua adalah misi budaya untuk menuntaskan cita-cita 'maha guru' Willem Iskander, pionir pendidikan di Tapanoeli yang tertunda pada tahun 1976. Misi ganda ini membuat energi Soetan Casajangan berlipat ganda. Pada tahun 1910 Soetan Casajangan mendapat dukungan moral sehubungan dengan kedatangan 'dongan sahuta' di Negeri Belanda, Abdoel Firman gelar Mangaradja Soangkoepon anak Panyanggar, Padang Sidempoean yang mengambil sekolah hukum dan kemudian disusul oleh kedatangan anak Padang Sidempoean tahun 1911, Todoeng gelar Soetan Goenoeng Moelia yang mengambil bidang pendidikan. Ida Loemongga Nasoetion yang datang ke Negeri Belanda tahun 1923, sejauh informasi yang ada adalah perempuan pertama pribumi yang menuntut ilmu di Negeri Belanda. Bagaimana ini semua terkait, mari kita perdalam riwayat asal-usulnya mulai dari kota kecil Padang Sidempoean di Mandheling en Ankola.

***
Pada tahun 1848 di Jawa mulai dibuka sekolah dasar negeri. Guru-gurunya merupakan orang pribumi yang dilatih melalui kursus-kursus singkat. Dalam perkembangannya, untuk memenuhi kebutuhan guru yang lebih kontinu dan terstandarisasi, pemerintah Hindia Belanda mulai membuka sekolah guru (kweekschool) negeri di Soerakarta tahun 1852. Pada saat itu, di Kresidenan Tapanoeli belum dikenal apa itu sekolah. Namun suatu keajaiban benar-benar terjadi di Afdeeling Mandheling en Ankola. Istri Asisten Residen A.P. Godon tergugah melihat kecerdasan anak-anak di sekitarnya ketika mendampingi suaminya blusukan ke berbagai tempat. Nyonya A.P. Godon ini lalu berinisiatif untuk mengumpulkan beberapa anak potensial untuk dilatih membaca, menulis dan berhitung. Tentu saja proses belajar dan mengajar dalam bahasa Belanda. Diluar dugaan, Ny. Godon sangat kaget ternyata anak-anak itu menurutnya dalam tiga tahun saja sudah memenuhi kualifikasi lulus sekolah dasar.

Sang istri yang pernah jadi guru di Belanda ini lantas mengusulkan kepada suaminya agar dua orang anak didiknya dikirim ke Batavia untuk mengikuti pendidikan kedokteran di Dokter Djawa School (sekolah kedokteran untuk anak-anak pribumi ini dibuka 1851). Pada tahun 1854 Si Asta dan Si Angan sebagaimana dilaporkan koran yang terbit di Batavia sudah tiba dari Padang di Batavia untuk mengikuti pendidikan kedokteran. Ternyata kemudian, dua anak Mandailing ini merupakan siswa pertama di luar Djawa yang diterima di sekolah kedokteran ini. Satu lagi murid Ny. Godon bernama Si Sati (adik kelas Si Asta dan Si Angan) memiliki kemampuan dan kecakapan linguistik yang fantastic. Setelah Si Sati dianggap memenuhi kualifikasi lulus sekolah dasar, Ny. Godon meminta Si Sati menggantikan posisinya untuk menjadi guru. Si Sati menerima dengan senang hati dan antusias.

Terinspirasi dari kakak kelas yang melanjutkan pendidikan kedokteran di Batavia, Si Sati nyaris mati langkah karena baru Dokter Djawa School yang dianggap satu-satunya perguruan tinggi di Nederlansch Indie, sementara minatnya pada pedagogik. Lalu pikiran Si Sati tertuju ke luar negeri. Setelah beberapa tahun menjadi guru bagi adik-adik kelasnya, pada tahun 1857 Sati Nasoetion gelar Soetan Iskandar sudah berangkat dari Batavia untuk melanjutkan pendidikan sekolah guru (kweekschool) di Negeri Belanda. Ini berarti Si Sati gelar Soetan Iskandar adalah orang pertama pribumi yang kuliah di luar negeri. Singkat cerita, Sati gelar Soetan Iskandar yang mengubah namanya dengan Willem Iskander (nama raja Belanda waktu itu) lulus dan mendapat diploma guru dan kembali ke kampong halaman dan tiba di Mandailing tahun 1862. Mengetahui kweekschool kedua sudah dibuka di Fort de Kock (1856), Willem Iskander berinisiatif mendirikan sekolah guru di Tanobato dan kemudian sekolah guru ini diakuisisi pemerintah sebagai kweekschool negeri. Keajaiban terjadi lagi. Ternyata anak-anak didik Willem Iskander cepat memahami apa yang diajarkan dan setiap tahunnya murid-muridnya lulus ujian akhir (ujian Negara) 100 persen. Kweekschool Tanobato menjadi yang terbaik di Sumatra.

Di Departemen Pendidikan Batavia, muncul kabar bahwa Kweekschool Tanobato akan ditingkatkan kapasitasnya (25 murid) yang setara dengan di Djawa (Soerakarta dan Probolinggo) tetapi lokasinya dipindahkan ke Padang Sidempoean (sehubungan dengan pindahnya ibukota Afdeeling Mandheling en Ankola dari Panyaboengan ke Padang Sidempoean). Untuk menjadi kepala sekolah ‘Akreditasi A’ harus memiliki akte kepala sekolah (hoofdacte). Willem Iskander diproyeksikan akan menjadi Direktur Kweekschool Padang Sidempoean yang akan dibuka tahun 1879 lantas diberi beasiswa untuk melanjutkan pendidikan ke Negeri Belanda dan diberi tugas sekaligus mentor untuk membawa beberapa guru pribumi di Nederlandsche Indie untuk mendapatkan diploma guru di Negeri Belanda. Ketika Willem Iskander berangkat yang kali kedua, Kweekschool Tanobato harus ditutup. Akan tetapi sangat disayangkan, Willem Iskander tidak pernah kembali, karena meninggal di Negeri Belanda tahun 1876. Namun demikian, Willem Iskander sudah meninggalkan nama baik dan telah melahirkan puluhan guru yang hebat-hebat di Mandheling en Ankola. Alumni Kweekschool Tanobato inilah pionir dalam membuka sekolah-sekolah rakyat di Kresidenan Tapanoeli yang kemudian beberapa diantaranya diakuisisi pemerintah menjadi sekolah dasar negeri seperti  di Padang Sidempoean, Simapil-apil, Batu na Doewa, Pagarutan, Sipirok dan Boenga Bondar, Panjaboengan, Tanobato, Moearasoma, Goenoeng Baringin, Kota Nopan, Hoeta Godang, Manambin, Batang Toroe dan Siboehoean (serta  Baroes, Singkel, dan Siboga).

***
Pada tahun 1879 Kweekschool Padang Sidempoean dibuka dan direktur sekolah bernama L.K. Harmsen. Oleh karena standarnya tinggi maka penerimaannya sangat ketat. Selain kemampuan pembiayaan oleh orangtua juga kemampuan akademik calon siswa. Meski jumlah calon siswa yang mendaftar cukup banyak tetapi jumlah siswa yang memenuhi syarat dan diterima pada tahun pertama Kweekschool Padang Sidempoean hanya 18 murid. Dalam pembukaan sekolah baru ini, tiga pihak yang ‘mengkobar’ menuju podium. Selain L.K. Harmsen, satu-satunya guru yang sudah install di sekolah ini, juga Asisten Residen Mandheling en Ankola mewakili Residen Tapanoeli. Dari kalangan masyarakat adalah Mangaradja Soetan, koeriahoofd Batoe na Doewa, ayah dari Soetan Casajangan.

Salah satu diantara murid baru Kweekschool Padang Sidempoean ini adalah Si Saleh. Si Saleh adalah anak seorang kepala koeria (koeriahoofd) di Saboengan yang lahir pada tahun 1861. Sementara, guru-gurunya makin bertambah dan salah satu diantaranya guru yang berdedikasi tinggi yang ditransfer dari Probolinggo adalah Charles Adrian van Opuijsen  yang kemudian menjadi kepala sekolah selama lima tahun. Pada fase van Opuijsen menjabat direktur, Kweekschool Padang Sidempoean dinobatkan sebagai kweekschool terbaik di Nederlansche Indie. Salah satu murid terbaik van Opuijsen adalah Si Radjioen gelar Soetan Casajangan Soripada.

Wisuda pertama Kweekschool Padang Sidempoean tahun 1884. Semua lulusan perdana langsung diangkat pemerintah menjadi guru sekolah negeri dengan gaji tetap. Si Saleh gelar Dja Endar Moeda ditempatkan di Batahan, Natal tahun 1885 dengan gaji f 75 plus perumahan f 25. Dja Endar Moeda yang kesepian di kompung Batahan terpencil yang muridnya hanya enam orang dan paling banyak 10 orang mengisi waktunya untuk mengarang dan menulis buku-buku pelajaran. Menurut koran Sumatra-courant: nieuws-en advertentieblad edisi 22-05-1886 yang terbit di Padang, Dja Endar Moeda sangat cakap menulis dalam bahasa Belanda. Dja Endar Moeda kemudian dipindahkan ke Air Bangies dan Singkel. Kegiatan mengarang dan menulis buku terus dilakukan dan juga pernah menjadi editor eksekutif majalah pendidikan yang diterbitkan di Probolinggo. Sementara Si Radjioen gelar Soetan Casajangan ditempatkan di Simapil-Apil dan kemudian menjadi kepala sekolahnya.

***
Singkat cerita, setelah sekian lama, Dja Endar Moeda pension dini menjadi guru. Dja Endar Moeda kini berada di Padang, tetapi bukan hadir sebagai guru, melainkan dengan profesi baru sebagai pengarang.

Sumatra-courant: nieuws-en advertentieblad, 25-10-1897: 'Percetakan Winkeltmaatschappij (sebelumnya Paul Baiimer & Co) menerima sebuah buku kecil yang ditulis tangan terampil dari Dja Endar Moeda. Editor Pertja Barat, Penerbit Winkeltmaatschappij menganggap buku itu layak. Buku kecil itu berjudul ‘Hikayat Dendam taq Soedah Kalau Soedah Menawan Hati’. Namun demikian, tentang konten, kami belum bisa menilai, itu nanti saja. Tapi kami tidak ragu bahwa isi dan ruang lingkup cerita juga akan memenuhi tuntutan layak terbit. Oleh karena itu kami akan mengembangkan buku itu bersama penulis agar memiliki karakter yang solid'.

Namun tidak lama kemudian, nama Dja Endar Moeda muncul kembali di surat kabar Sumatra-courant: nieuws-en advertentieblad edisi 04-12-1897. Nama yang dilaporkan dalam koran ini bukan sebagai pengarang. Akan tetapi di bagian kepala surat kabar Pertja Barat, koran berbahasa Melayu bertiras nomor satu di Sumatra ini, nama editornya adalah Dja Endar Moeda. Semua orang terkaget-kaget, karena selama ini yang menjadi Editor adalah bangsa Belanda. Ini berarti Dja Endar Moeda menjadi editor pertama koran berbahasa Melayu yang investasinya bangsa Belanda di Nederlansche Indie. Dalam kolom editorial yang ditulis sang editor mengulas seputar tentang perayaan penobatan Ratu Wilhelmina. Ratu baru, editor baru. Meski koran milik orang Belanda, perjuangan Dja Endar Moeda tentang pendidikan tidak habis-habisnya. Dja Endar Moeda terus mengkritisi pemerintah terutama yang terkait pengembangan pendidikan pribumi.

Anehnya, para investor Pertja Barat yang notabene bangsa Belanda tidak keberatan, sejauh tiras terus meningkat. Hukum bisnis berlaku dan benar-benar diterapkan di perusahaan yang menerbitkan koran Pertja Barat ini. Perusahaan ini juga memiliki percetakan sendiri yang juga mencetak koran Pertja Barat. Pamor Pertja Barat terus meningkat di komunitas Belanda, karena koran Sumatra-courant: nieuws-en advertentieblad kerap mengutip berita-berita yang bersumber dari Pertja Barat. Anehnya lagi, koran Sumatra-courant tetap memberi label guru kepada Dja Endar Moeda, meski sang editor Pertja Barat sudah lama pension jadi guru. Untuk urusan pendidikan, editorial yang digawangi oleh Dja Endar Moeda sangat kritis dan membuat gerah pemerintah bahkan pemerintah di Batavia. Sebaliknya investor Belanda di Sumatra-courant senang karena para pembacanya juga respek terhadap pendidikan pribumi. Koran Sumatra-courant dengan sendirinya juga mendapat berkah karena tirasnya terdongkrak naik atas kehadiran Dja Endar Moeda di Pertja Barat. Karenanya, Sumatra-courant tetap memberi label guru untuk Dja Endar Moeda. Disamping itu, Sumatra-courant pernah mengutip ucapan Dja Endar Moeda bahwa sekolah dan media sama pentingnya.

Guru tetaplah guru. Kebijakan Belanda waktu itu, jika pegawai pemerintah termasuk guru sudah mengabdi delapan tahun akan mendapat jaminan hari tua (uang pension). Oleh karena itu, Sumatra-courant tetap melabeli Dja Endar Moeda sebagai guru. Kekayaan Dja Endar Moeda terus membengkak, karena gaji editor jelas sangat besar, apalagi royalty buku-bukunya baik novel maupun buku-buku pelajaran sekolah. Pelan tapi pasti, posisi Dja Endar Moeda sebagai editor terus merangsek ke atas, popularitasnya di kalangan Belanda makin menggema, juga posisi finansialnya juga mulai diperhitungkan, tetapi tetap membumi untuk mengangkat pendidikan pribumi. Dja Endar Moeda akhirnya mengakuisisi koran Pertja Barat setelah sahamnya juga terus bertambah di koran ini. Juga dalam tempo singkat sudah pula memiliki koran berkala Insulinde dan Tapian Naoeli

***
Dja Endar Moeda setelah sukses di rantau, teringat kampung halaman di Padang Sidempuan. Dja Endar Moeda cuti dua minggu dan tidak ada pemberitaan di media. Orang-orang di Pertja Barat menganggap pulang kampong adalah lumrah, karenanya tidak perlu meliput perjalanan sang bos. Akan tetapi sebaliknya koran Sumatra-courant yang berbahasa Belanda dan beredar di kalangan orang-orang Belanda dan pejabat-pejabat pemerintah dari golongan pribumi (ambtenar) menganggap perjalanan pulang kampong ‘radja persoeratkabaran baroe’ adalah good news. Wartawan Sumatra-courant berhasil menguntit Dja Endar Moeda hingga ke Padang Sidempoean. Laporannya sebagai berikut:

Sumatra-courant : nieuws- en advertentieblad, 01-05-1900: ‘'pada bulan Maret aktor terkenal koran Pertja Barat bersama anak dan istri telah datang ke sini (Padang Sidempuan). Pada tanggal 24 Maret, Dja Endar Moeda telah mengundang teman-temannya untuk sebuah reuni di Cafe Biljart milik Marczak. Banyak yang hadir, selain rekan-rekannya juga para ambtenaar dan pejabat pemerintah. Di pintu Cafe terpampang ucapan sukacita dalam dua bahasa: "Selamat Dja Endar Moeda anak istri' / 'Leve Dja Endar Moeda en familie". Tentu saja hadir koeriahoofd dari Batoe na Doewa, Losoeng Batoe dan Si-Mapil-Apil dan Hoofd Djaksa van Sibolga*. Acara dibuka, Dja Endar Moeda memberi kata sambutan, kemudian kembang api dinyalakan, lalu diikuti musik akordion, biola dan tamborin. Lalu kemudian dilanjutkan dengan hidangan. Acara yang dimulai pukul 8.30 malam berakhir tidak lama setelah pukul 9.30. Para tamu pulang dengan puas. Lantas pada tanggal 31 Maret, koeriahoofd Batoe-na Doewa, Pertoewan Soripada mengundang Dja Endar Moeda dengan horja dengan margondang dengan Gondang Batak. Banyak pejabat pemerintah yang diundang. Di sela-sela acara itu, Dja Endar Moeda diajak oleh kepala koeria berburu rusa ke arah Sipirok. Hari berikutnya April, Dja Endar Moeda dilakukan cara pesta rakyat oleh kepala koeria dengan 'manyambol horbo' untuk menyambut kedatangan Dja Endar Moeda di Padang Sidempuan dengan karangan bunga, acara manortor, lalu pukul satu siang dihidangkan makanan dan minuman yang melimpah. Terakhir pada tanggal 7 April sebelum pulang, Dja Endar Moeda ditraktir oleh Mr. Marczak di Cafe miliknya'.

Sejumlah pejabat-pejabat yang datang dalam jamuan Koeriahoofd Batoea na Boewa meliputi pejabat yang berbangsa Belanda maupun yang pribumi. Pejabat yang terkenal waktu itu yang cukup dikenal luas adalah Si Epram dari Sipirok. Si Epram adalah alumni sekolah yang didirikan oleh para misionaris di Sipirok yang menjadi sekretaris sejak era Controleur Ankola hingga era Asisten Residen Afdeeling Mandheling en Ankola di Padang Sidempoean. Si Epram ini kemudian diangkat menjadi adjunct Djaksa. Beberapa jaksa diangkat di Padang Sidempoen (Asisten Residen) dan Siboga (Residen). Dari banyak jaksa yang diangkat yang paling terkenal adalah Soetan Abdoel Azis dan Mangaradja Salamboewe. Selain itu puluhan opziener (pengawas) dan guru diangkat menjadi pegawai pemerintah dan dikirim ke berbagai tempat di Nederlansche Indie.

***
Di Batavia, koran Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië edisi 29-11-1901 memberitakan sebanyak 10 siswa Dokter Djawa School telah berhasil dalam ujian tingkat empat dan dipromosikan menjadi dokter, diantaranya ada yang bernama Haroen Al Rasjid. Dalam pertengahan tahun ini juga telah dilakukan wisuda terhadap lulusan Dokter Djawa School yang salah satu diantaranya Mohammad Hamzah. Sebulan kemudian koran De locomotief: Samarangschhandels- en advertentie-blad edisi 29-12-1902 mengabarkan dokter-dokter baru yang lulus tahun ini diangkat menjadi pegawai pemerintah dan di tempatkan di kota-kota yang berbeda. Dalam berita ini disebutkan Haroen Al Rasjid ditempatkan di Padang dan Mohammad Hamzah di Telok Betoeng. Selanjutnya koran Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, edisi 03-01-1903 memberitakan kapal s.s. ‘Van Riemsdijk’ pagi ini pukul 08.30 melakukan pelayaran (dari Batavia) menuju Telok Betoeng, Kroe, Benkoelen, Padang en Atjeh. Di dalam manifest pelayaran ini terdapat nama yang disebut Dr. Djawa Mohammad Hamzah dan Dr. Djawa Haroen Al Rasjid.


***
Siapakah Dr. Mohammad Hamzah dan Dr. Haroen Al Rasjid? Mohammad Hamzah adalah cucu dari kepala koeria Batoe na Doewa, Pertoewan Soripada yang pernah mengundang Dja Endar Moeda ketika pulang kampong pada tahun 1900 dalam suatu hordja. Sedangkan Haroen Al Rasjid adalah anak dari seorang pejabat pemerintah yang memulai karir dari Padang Sidempoean hingga menjadi ajudan Demang Kebajoran di Residentie Batavia yang bernama Soetan Abdoel Azis.

***
Dalam perjalanan dua dokter djawa, dua sekawan Mohammad Hamzah dan Haroen Al Rasjid, mereka harus berpisah di pelabuhan Telok Betoeng, dimana Mohammad Hamzah  memulai tugas baru di Telok Betoeng, sementara Haroen Al Rasjid meneruskan perjalanan dan turun di pelabuhan Padang untuk bertugas di Kota Padang. Namun dibalik penempatan kedua orang ini sesungguhnya ada sebuah tanda tanya. Yang lulus Dokter Djawa School tahun 1902 yang berasal dari Sumatra hanya kedua anak muda ini, sementara tempat yang ditunjuk ada empat kota di Sumatra yakni Medan, Padang, Palembang dan Telok Betoeng. Mengapa Haroen Al Rasjid memilih ke Padang dan Mohammad Hamzah ke Telok Betoeng.

Pertanyaan ini sebenarnya mudah ditebak, karena Haroen Al Rasjid telah dijodohkan dengan boru (putri) dari Dja Endar Moeda di Padang yang bernama Alimatoe Sadiah. Sedangkan Mohammad Hamzah memilih Telok Betoeng dibanding Medan dan Palembang karena alasan praktis lebih mudah akses jika sewaktu-waktu pulang kampong di Bataoe na Doewa, Padang Sidempoean. Lantas siapa yang menjodohkan? Yang menjodohkan adalah oppung dari Mohammad Hamzah, Pertoean Soripada. Mungkin bagi orang yang kurang paham adat Batak akan bertanya mengapa bukan Mohammad Hamzah yang dijodohkan oppungnya dengan putri seorang yang kaya raya, Dja Endar Moeda. Dalam adat Dalihan Na Tolu, Dja Endar Moeda dari Saboengan/Losoeng Batoe dan ayah Mohammad Hamzah dari koeria Batoe na Doewa adalah sama-sama marga Harahap, sementara ayah Haroen Al Rasjid dari Mandailing bermarga Nasoetion. Ini dengan sendirinya, Alimatoe Sadiah adalah ito dari Mohammad Hamzah dan sangat senang jika itonya itu dilamar oleh Haroen Al Rasjid—agar mereka berdua menjadi ipar-lae.

***
Dr. Haroen Al Rasjid sesungguhnya memilih ke Padang pada dasarnya dengan dua tujuan: bertugas dan melamar. Oleh karenanya tidak lama Haroen Al Rasjid berada di Padang, sudah diselenggarakan rangkaian hordja sejak akhir Februari 1903  yang dimulai upacara adat (terbatas) dan tentu saja dilanjutkan dengan acara peresmian perkawinan (secara umum) yang spektakuler. Konon party di Padang ini jauh melebihi hordja besar yang diselenggarakan kepala koeria Batoe na Doewa ketika Dja Endar Moeda pada tahun 1900 pulang kampong. Fiesta yang maha besar ini adalah wajar karena Alimatoe Sadiah adalah putri seorang aktor kaya terkenal di Padang, sementara Dr. Haroen Al Rasjid adalah anak mantan pejabat tinggi pemerintah, Soetan Abdul Azis di Batavia.

***

Soetan Abdoel Azis lahir di Mandailing pada tahun 1850. Ketika Si Sati berangkat ke luar negeri 1857 untuk sekolah, usia Abdoel Azis baru tujuh tahun atau duduk di sekolah rakyat yang dibangun oleh penduduk yang guru-gurunya adalah mantan anak didik Si Sati. Sekembalinya Si Sati yang mengubah namanya menjadi Willem Iskander dengan izajah/akte guru sekolah membuka sekolah guru (kweekschool) di Tanobato, Mandailing 1862. Murid-murid dari sekolah swadaya penduduk inilah yang direkrut Willem Iskander menjadi murid-murid di Kweekschool Tanobato. Salah satu murid sekolah guru itu adalah Soetan Abdoel Azis.

Lulusan Kweekschool Tanobato umumnya menjadi guru dan menyebar ke seluruh Afdeeling Mandheling en Ankola. Namun tidak demikian dengan Abdoel Azis. Kecerdasan dan kemampuan dalam berbahasa Belanda Abdoel Azis diperlukan Asisten Residen Mandheling di Panjaboengan untuk membantu tugas-tugas administratif.  Kemudian dalam perkembangannya, ketika ibukota afdeeling dipindahkan dari Panjaboengan 1871, Asisten Residen A.A. Schonermarck juga menyertakan Soetan Abdoel Azis pindah ke Padang Sidempoean. Ini seakan proses berulang, ketika dulu Asisten Residen A.P. Godon dengan Si Sati alias Willem Iskander (1857), kini antara A.A. Schonermarck dengan Soetan Abdoel Azis.

Selama di Padang Sidempoean Abdoel Azis berkenalan banyak dengan tokoh-tokoh penting seluruh Afdeeling Mandheling en Ankola. Salah satu sahabat karibnya adalah Mangaradja Soetan, kepala koeria Batoe na Doewa, Padang Sidempoean yang doeloe pernah sama-sama sekolah di Kweekschool Tanobato. Mangaradja Soetan adalah ayah dari Soetan Casajangan.  Kesetiaan Soetan Abdoel Azis sebagai pegawai di kantor Asisten Residen Mandheling en Ankola di Padang Sidempoean berbuah manis. Ketika diperlukan sejumlah jaksa wakil pribumi (adjunct-djaksa) di sejumlah tempat, Soetan Abdoel Azis salah satunya yang diangkat. Profesi baru Abdoel Azis inilah yang membuat dirinya pindah dari satu tempat ke tempat lain hingga akhirnya menjadi asisten demang di Kebajoran, Residentie Batavia (1888).

***
Anak Abdoel Azis bernama Haroen Al Rasjid lahir di Padang Sidempoean pada tahun 1884. Pada tahun ini juga Kweekschool Padang Sidempoean melakukan wisuda pertama, yang mana salah satu siswa yang lulus menjadi guru adalah Dja Endar Moeda. Di kemudian hari, dua anak Padang Sidempoean beda generasi, Dja Endar Moeda dan Haroen Al Rasjid menjadi ‘tulang-bere’. Sementara  persahabatan antara Dr. Haroen Al Rasjid dengan Dr. Mohamad Hamzah adalah pertemanan yang diawali antar orang tua mereka dulu di Padang Sidempoean. Oleh karenanya, pernikahan Dr. Haroen Al Rasjid dengan putri Dja Endar Moeda, Alimatoe Sadiah di Padang pada tahun 1903 bukanlah suatu kejadian bersifat random dan bukan pula sekadar pesta pernikahan biasa, tetapi adalah sebuah tatacara adat perkawinan yang termasuk horja—suatu horja terbesar di rantau.
***
Akhir tahun 1890-an dan awal 1900-an, dunia persuratkabaran pada masa itu lagi naik daun. Tidak terkecuali suratkabar yang berbahasa Melayu. Koran-koran berbahasa Melayu makin populer karena dipicu oleh dua hal: semakin banyak penduduk pribumi yang terpelajar dan kritis; juga semakin banyak orang-orang Belanda yang peduli pada masalah-masalah sosial   Tiga terbitan berbahasa Melayu saat itu yang berada pada papan atas adalah Pertja Barat di Padang (Sumatra’s Westkust), Pertja Timoer di Medan (Sumatra’s Oostkust) dan Bintang Hindia di Negeri Belanda (Nederland). Ketiga terbitan yang awalnya adalah investasi orang-orang Belanda, tapi seperti diketahui dari De locomotief: Samarangsch handels-en advertentie-blad edisi 02-05-1901 bahwa koran Pertja Barat telah diakuisisi oleh Dja Endar Moeda. Pada bulan April 1903 ada berita mengagetkan di Medan, sebagaimana di Padang sebelumnya ketika manajemen Pertja Barat meminta Dja Endar Moeda untuk menjadi editor. Berita apa itu?

***
Abdul Hasan lahir di Salamboewe, Mandailing adalah anak dari Dr. Asta (lulusan Dokter Djawa School yang pertama dari luar Jawa). Abdul Hasan setelah menyelesaikan sekolah pribumi di kampungnya, melanjutkan pendidikan guru di Kweekschool Padang Sidempuan. Setelah dua tahun di kweekschool (sekolah guru) Padang Sidempoean, Abdul Hasan gelar Mangaradja Salamboewe tidak bisa menuntaskan pendidikannya, karena sekolah guru itu benar-benar ditutup 1893. Ketika sejumlah murid yang belum lulus diminta transfer dan melanjutkan ke Kweekshool di Fort de Kock. Abdul Hasan tampaknya tidak berminat karena jauh dan memilih smenjadi siswa magang dan menjadi penulis di Kantor Residen Tapanoeli di Siboga. Setelah beberapa tahun, Maharadja Salamboewe tidak menjadi guru, namun melamar menjadi pegawai pemerintah dan kemudian diangkat menjadi adjunctdjaksa (wakil jaksa) di Natal (Tapanoeli) pada tahun 1897. Dari Natal Maharadja Salamboewe dipindahkan dengan tugas yang sama ke Air Bangis (Bovenlanden) tahun 1899.

Tidak lama menjadi jaksa, Mangaradja Salamboewe ‘desersi’ dan lalu dipecat. Ia malah bangga. Abdul Hasan gelar Mangaradja Salamboewe tidak senang dengan kesewenang-wenangan pemerintah terhadap rakyat. Tahun 1903, Mangaradja Salamboewe pindah haluan dan merantau ke Sumatra Timur di Medan. Di kota ini, Mangaradja Salamboewe segera ditunjuk dan ditetapkan oleh penerbit J. Haliermann menjadi editor koran Pertja Timor. Para pemilik penerbitan itu ternyata tertarik kepada Mangaradja Salamboewe karena mereka sudah lama mempelajari kecerdasannya sewaktu menjadi jaksa. Anehnya, para petinggi penerbitan yang menerbitkan koran yang terbit dua kali seminggu ini sudah tahu pula mereka bahwa Mangaradja Salamboewe sudah lama tidak berbicara dengan orang-orang Belanda bahkan di Medan—dia lebih dekat dengan rakyat. Namun bisnis tetaplah bisnis. Investor Belanda di Pertja Timoer membutuhkan daya kejut agar tiras meningkat. Pilihan terhadap Mangaradja Salamboewe bagaikan gayung bersambut. Pertja Timoer butuh ‘peluru’, sedangkan Mangaradja Salamboewe membutuhkan ‘senapan’. Kehadiran Mangaradja Salamboewe langsung meningkat tirasnya.

Di kemudian hari, koran Sumatra Post yang dikutip juga oleh Bataviaasch nieuwsblad (keduanya koran berbahasa Belanda) mengakui bahwa Mangaradja Salamboewe memiliki keingintahuan yang tinggi, memiliki kemampuan jurnalistik yang hebat. Koran ini juga mengakui bahwa Mangaradja Salamboewe memiliki pena yang tajam dan memiliki kemampuan menulis yang jauh lebih baik dibanding wartawan-wartawan pribumi yang ada. Hebatnya lagi, masih pengakuan koran ini, Mangaradja Salamboewe selain sangat suka membela rakyat kecil, Mangaradja Salamboewe juga sering membela insan pers (dunia jurnalistik) baik wartawannya maupun korannya. Kami juga respek terhadap dia, demikian diakui oleh koran Sumatra Post yang juga diamini oleh Koran Bataviaasch nieuwsblad.

Abdul Hasan gelar Maharadja Salamboewe adalah manusia langka di jaman itu, apalagi sudah jamak diketahui umum bahwa penindasan pemerintah terhadap rakyat di Sumatra Timur kala itu sangatlah kejam. Mangaradja Salamboewe datang dan berada di tempat yang tepat. Sebagai editor koran berbahasa Melayu yang dimiliki orang-orang Belanda tidak ada kurangnya. Mangaradja Salamboewe adalah anak dokter, calon guru yang tidak menjadi guru, tetapi penulis yang piawai di kantor pemerintah, berpengalamannya di bidang justitie ketika dia masih menjabat sebagai adjunctdjaksa di Natal. Apakah Mangaradja Salamboewe terinspirasi dari Multatuli yang pernah menjadi Conroleur di Natal?.

Namun sangat disayangkan, Abdul Hasan gelar Mangaradja Salamboewe tidak berumur panjang. Mahangaradja Salamboewe meninggal pada usia muda pada tanggal 28 Mei 1908. De Sumatra post edisi 29-05-1908 memberitakan kematian wartawan pemberani ini. Dalam berita koran ini, editor juga mengungkapkan rasa duka cita yang dalam, karena Mangaradja Salamboewe tidak hanya membela rakyatnya tetapi juga dunia jurnalistik (yang sebagian besar wartawan pada waktu itu berbagsa Belanda/Eropa). Editor ini melanjutkan bahwa  "Di dalam seratoes orang pribumi tidak ada satoe yang begitoe brani’.  Saat mana Mangaradja Salamboewe di waktu pemakamannya hampir semua wartawan Medan hadir termasuk yang berbangsa Belanda. Koran Pertja Timor waktu itu adalah koran yang benar-benar koran. Setelah Mangaradja Salamboewe tiada, 'pakem' koran ini tidak berkurang. Wartawannya ‘hilang satu tumbuh seribu’. Setelah Mangaradja Salamboewe, muncul Soetan Parlindoengan dan Parada Harahap. Kedua yang disebut terakhir ini adalah memiliki ‘darah’ delik pers yang kuat. Sama-sama kritis terhadap pemerintah sebagaimana Dja Endar Moeda, namun Soetan Parlindoengan lebih berani lagi dan yang paling berani adalah Parada Harahap.

***
Heboh dua koran berbahasa Melayu di Sumatra mengundang ketertarikan  Dr A. A. Fokker dari Negeri Belanda untuk datang langsung ke Padang dan Medan. Fokker adalah advisor koran Bintang Hindia. Boleh jadi Fokker ingin belajar dari Pertja Barat dan Pertja Timoer, spesifiknya belajar khusus dari Mangara(Dja) Endar Moeda dan Mangaradja Salamboewe. Apa hasil kunjungan Fokker ini mari simak berita di koran Algemeen Handelsblad.

Algemeen Handelsblad, 16-07-1903: .'Dr A. A. Fokker dari Amsterdam yang baru-baru ini berkunjung ke Sumatra mengirimkan tulisan berjudul: Perjalanan ke (pantai) Barat. Fokker mengatakan bahwa masih dalam bulan ini ada tiga pemuda dari Padang (di antaranya adalah seorang guru) datang ke Amsterdam. Yang dimaksud Fokker dan diluruskan oleh koran ini, guru tersebut adalah Dja Endar Moeda (rupanya, predikat baru Dja Endar Moeda, tidak menghilangkan profesinya sebagai guru di mata orang Belanda). Koran ini  menyebutkan bahwa anak Batak di Padang ini terkenal dan terampil, adalah editor dua bilah koran (berbahasa) Melayu dan (satu buah) majalah Batak, akan berkesempatan untuk mengunjungi negara kita. Pria ini akrab dengan bahasa kita dan teman baik peradaban kita. Kita sudah lihat--dalam imajinasi kita--sudah ada koloni Melayu di Amsterdam dan pusat kehidupan Indo-Belanda di Batavia, di mana ruang besar (di Belanda) akan mampu memancarkan peradaban jauh ke tanah musim panas abadi di Asia Tenggara (maksudnya Nederlandsche Indie). Fokker dalam tulisan ini juga menyebut saat ini tujuh belas Melayu dari Straits (mungkin maksudnya koloni Inggris—Malaya dan Singapura) telah berada di London. Apakah anak asuh (maksunya pribumi) kita, akan segera seperti England? Kami tidak percaya. (Dr A. A. Fokker: Amsterdam, 6 Juli 1903).

Dr A. A. Fokker ternyata kemudian, tidak hanya belajar dari dua ‘anak Padang Sidempoean’, tetapi juga untuk menjajaki peluang dan pengembangan bisnis koran Bintang Hindia sendiri. Selain Dja Endar Moeda yang diundang ke Negeri Belanda, siapa dua orang lagi? Satu orang kemungkinan besar adalah Dr. Abdoel Rivai, alumni Dokter Djawa School yang kemudian diketahui menjadi editor eksekutif Bintang Hindia. Satu lagi, siapa ya? Masih dilacak. Motif kehadiran Dja Endar Moeda diundang ke Negeri Belanda dapat dilihat dari berita iklan di Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, edisi 26-04-1904 yang memuat iklan Bintang Hindia, dimana disebutkan Dja Endar Moeda menjadi koresponden di Padang, sedangkan Dr A. A. Fokker, PhD sebagai Advisor.

***


Ada dua hal penting lainnya di dalam tulisan Fokker tersebut yakni soal adanya koloni Melayu di Amsterdam dan ketidakpercayaan Fokker terhadap kemampuan belajar pribumi di Nederlandsche Indie untuk sekolah di Negeri Belanda, sebagaimana pribumi dari Malaya atau Singapura yang sudah ada 17 orang tengah studi di London. Soal kemampuan pribumi ini, Fokker mungkin keliru dan tidak mengetahui riwayat Willem Iskander, anak Mandailing yang pernah studi di Leiden tahun 1857. Memang sejak itu, tidak pernah ada lagi pribumi yang melakukan studi ke Nederland, dan itu artinya ada jarak 45 tahun antara kedatangan Willem Iskander ketika Fokker bicara di tahun 1903. Mungkin Fokker belum lahir ketika Willem Iskander lulus sekolah guru di Leiden, karena itu Fokker tidak terlalu salah sekali meremehkan kaum pribumi Nederlanche Indie.

***
Seorang guru di tempat terpencil di kaki Gunung Loeboek Raja, Simapil-Apil boleh jadi membaca sikap meremehkan dari Dr A. A. Fokker, PhD itu di surat kabar. Guru yang sudah mengabdi selama 11 tahun yang seharusnya sudah pension yang bernama Soetan Casajangan, alumni sekolah guru Kweekschool Padang Sidempoean terbakar semangatnya. Tidak lama, Soetan Casajangan menyingkirkan prospek untuk  pengganti ayahnya Mangaradja Soetan menjadi kepala koeria yang bergaji tinggi. Lantas, Soetan Casajangan mempersiapkan diri dengan belajar privat bahasa Belanda. Soetan Casajangan semakin termotivasi karena keinginannya yang menggelora untuk meningkatkan pendidikan anak bangsa. Soetan Casajangan mulai melakukan perjalanan jauh ke Negeri Belanda yang sangat memilukan dari halaman bagas godang di Batoe na Doewa. Ketika supir padati berteriak ‘haiyaa’ untuk memberi tanda pada kerbaunya untuk menghela padati, Soetan Casajangan tidak kuasa melihat ke belakang ketika anak tunggalnya terisak-isak dan istrinya mengangguk godang di belakang.

Inilah awal pengorbanan Soetan Casajangan yang sesungguhnya sudah tidak muda lagi dan berusia 31 tahun yang seharusnya sudah pension, tetapi berani menghadapi tantangan Fokker dan mengambil risiko meninggalkan anak istri di kampong.  Saat melintas di depan gedung Kweekschool yang sudah kosong (kini menjadi SMA N 1), Soetan Casajangan sempat tertegun karena tidak ada kegiatan lagi di sekolahnya itu karena sudah ditutup sejak 1893. Setelah sampai di Loemoet diteruskan dengan perahu ke Siboga. Di Siboga Soetan Casajangan menghadap Residen Tapanoeli. L.C. Welsink. Dari Siboga melanjutkan perjalanan dengan kapal kecil ke Padang, dan di Padang singgah cukup lama menunggu kapal dan menginap di rumah Dja Endar Moeda, kakak kelas di Kweekschool Padang Sidempoean (Dja Endar Moeda lulus 1884; Soetan Casajangan lulus 1891). Pertemuan Soetan Casajangan dengan kakak kelas ini semakin menarik karena baru-baru ini Dja Endar Moeda telah ke Negeri Belanda. Sebelum berangkat, Soetan Casajangan beberapa kali menggendong cucu semata wayang dari Dja Endar Moeda, karena teringat anak semata wayang di kampong.

Kemudian perjalanan dilanjutkan dari Padang dengan menumpang kapal yang lebih besar ke Batavia. Di Batavia, Soetan Casajangan sambil menunggu keberangkatan kapal,  singgah dan menginap beberapa hari di rumah kawan karib ayahnya, Soetan Abdoel Azis, mantan pejabat tinggi yang juga ayah dari Haroen Al Rasjid. Soetan Abdoel Azis adalah besan dari Dja Endar Moeda di Padang. Selama di Batavia coba mencari tahu alamat mantan gurunya yang kini menjadi guru besar di Leiden, Profesor C.A. vam Ophuijsen. Setelah tiba waktunya, perjalanan lintas benua dimulai dari Batavia tanggal 5 Juli 1905. Perjalanan ini membutuhkan sekitar tiga minggu dengan singgah di Sabang, Colombo, Fort Said, Southhampton. Akhirnya kapal s.s. Prinses Juliana merapat dan Soetan Casajangan tiba dengan selamat di pelabuhan Rotterdam pada tanggal 30 Juli 1905.

Di Rotterdam, Soetan Casajangan di jemput oleh Dr. Abdoel Rivai, alumni STOVIA, Batavia yang untuk sementara bekerja sebagai editor Bintang Hindia di bawah advisor Dr A. A. Fokker, PhD. Sehari kemudian Soetan Casajangan menghubungi mantan gurunya Prof. C.A. van Ophuijsen. Kemudian, setelah cukup lama berdaptasi dan sudah menemukan sekolah yang sesuai, Soetan Casajangan mulai rileks. Soetan Casajangan ingat bagaimana Fokker merendahkan semangat belajar pribumi. Soetan Casajangan lalu membuat konsep tulisan yang isinya ajakan kepada pribumi untuk studi ke Negeri Belanda. Dalam tulisan ini termasuk apa yang perlu dipersiapkan, prosedur dan jenis-jenis sekolah yang ada. Konsep ini langsung diantar Soetan Casajangan ke kantor Bintang Hindia. Sayang Fokker tidak ada di kantor Bintang Hindia dan hanya menemui Abdoel Rivai. Mungkin dalam pikiran Sotean Casajangan, tulisan ini paling tidak dibaca oleh Fokker bahwa pelajar pribumi bisa studi ke luar negeri.  

Sekadar diketahui, Soetan Casajangan lulus dan mendapat akte guru di Rijkskweekschool,  Haarlem, 1909. Namun aneh tapi nyata, Bintang Hindia yang dipimpin Dr A. A. Fokker, PhD  bangkrut dan berhenti beredar pada tahun 1909. Pada tahun ini juga investasi Bintang Hindia diambil alih oleh investor lain dan menerbitkan majalah baru sejenis dengan nama Bendera Wolanda. Yang diminta para investor untuk menjadi editor adalah guru Soetan Casajangan. Fokker menghilang, Soetan Casajangan muncul ke permukaan dan semakin diperhitungkan di seluruh antero Nederland. Soetan Casajangan telah melengkapi daftar para editor yang diperhitungkan pers Belanda yang mana sebelumnya Dja Endar Moeda di Pertja Barat di Padang dan Mangaradja Salamboewe di Pertja Timoer di Medan. Tiga editor top yang dikenang kala itu adalah sama-sama alumni Kweekschool Padang Sidempoean.

***
Pada tahun 1910 Abdoel Firman gelar Mangaradja Soangkoepon sudah berada di Negeri Belanda untuk studi bidang  hokum. Kemudian pada tahun 1911 menyusul datang Todoeng gelar Soetan Goenong Moelia untuk studi bidang pendidikan. Kisah Abdoel Firman Siregar sangatlah menarik. Abdul Firman tiba-tiba menjadi terkenal di Negeri Belanda karena namanya diberitakan di koran-koran yang terbit sekitar Maret 1912. Apa pasal? Dua imigran dari Madura terlibat perkelahian dengan sesama imigran dari Jawa (oost java), korban akhirnya meninggal dunia akibat tusukan. Di pengadilan Amsterdam terdakwa disidangkan dan menghadirkan saksi-saksi. Aparat pengadilan bingung, karena para imigran (terdakwa dan saksi-saksi) tidak bisa berbahasa Belanda. Untuk mencari penerjemah sekaligus untuk pemandu sumpah (secara Islam) ternyata tidak mudah. Dari sejumlah mahasiswa yang ada hanya Abdul Firman yang bersedia dan sukarela (tanpa paksaan). Dari namanya memang pantas tetapi ternyata juga Abdul Firman adalah orang yang alim. Karenanya masyarakat Belanda menganggap Abdul Firman adalah pemimpin Islam dari para imigran dari Hindia Belanda. Abdul Firman tidak keberatan.

***
Soetan Casajangan telah memulai babak baru kiprah para pelajar dari Zuid Tapanoeli. Soetan Casajangan telah membalikkan prediksi Dr A. A. Fokker, PhD. Soetan Casajangan telah merintis jalan menuju studi di luar negeri bagi semua pribumi (artikel di Bintang Hindia 1905). Soetan Casajangan telah mempelopori perhimpunan pribumi (Indisch Vereeniging) di Negeri Belanda (1908). Soetan Casajangan sudah berhasil memperoleh diploma guru pada tahun 1909. Soetan Casajangan telah diundang oleh Vereeniging Moederland en Kolonien (Organisasi para ahli/pakar bangsa Belanda di negeri Belanda dan di Hindia Belanda) untuk berpidato dihadapan para anggotanya dengan makalah berjudul 'Verbeterd Inlandsch Onderwijs' (peningkatan pendidikan pribumi) pada tahun 1911. Soetan Casajangan sudah pula berhasil memperoleh  akte kepala sekolah (hoofdacte) pada tahun 1912.

Berita kelulusan Soetan Casajangan ini dimuat di koran De Sumatra Post yang terbit di Medan tanggal 26 September 1912. Sebelum pulang ke tanah air untuk mengabdi di bidang pendidikan, Soetan Casajangan telah menerbitkan buku berjudul  'Indische Toestanden Gezien Door Een Inlander' (negara bagian di Hindia Belanda dilihat oleh penduduk pribumi) yang diterbitkan di Baarn oleh Percetakan Hollandia-Drukkerij. Soetan Casajangan Soripada dinobatkan oleh para akademisi Belanda sebagai pelopor pribumi di Belanda (Een Inlandsch pionir in Nederland)—lihat, Weekblad voor Indië, tevens damesweekblad voor Indië (11 May 1913). Soetan Casajangan Soripada Harahap sendiri kemudian kembali ke tanah air bulan Juli 1913. Siapa menyusul? Mari kita lacak!

***
Mari kita kembali ke riwayat Haroen Al Rasjid dan Mohamad Hamzah. Pertemanan kedua orang ini adalah spesial. Haroen Al Rasjid adalah anak dari Soetan Abdoel Azis dari Mandheling, Mohamad Hamzah cucu dari Pertoean Soripada dari Bataoe na Doewa, Ankola. Soetan Abdoel Azis berkawan karib dengan Mangaradja Soetan. Soetan Casajangan adalah anak dari Mangaradja Soetan. Hubungan antara Mohamad Hamzah dengan Mangaradja Soetan adalah sepupu. Soetan Casajangan adalah adik kelas Dja Endar Moeda dan hubungan keduanya juga spesial karena keluarga koeria dari Saboengan (Dja Endar Moeda) dan keluarga koeria Batoe na Doewa (Soetan Casajangan) adalah bersaudara dari marga Harahap. Oleh karenanya, Soetan Casajangan sangatlah dekat dengan keluarga Soetan Abdoel Azis dan keluarga Dja Endar Moeda.

Ketika Soetan Casajangan dalam perjalanan sekolah ke luar negeri di Negeri Belanda sempat singgah di Padang dan menginap di rumah Dja Endar Moeda. Soetan Casajangan sesaat sebelum pamit, meminta untuk menggendong cucu pertama dari Dja Endar Moeda dan buah hati pernikahan Alimatoe Sadiah dengan Haroen Al Rasjid yang baru beberapa bulan itu. Saat Soetan Casajangan menerima bayi itu dari itonya Alimatoe Sadiah, Soetan Casajangan menanyakan siapa nama dan dijawab secara spontan bersamaan oleh Dja Endar Moeda, Haroen Al Rasjid dan Alimatoe Sadiah. Namanya adalah  Ida Loemongga, lahir pada tanggal 22 Maret 1905. Soetan Casajangan menggendong sambil bersenandung satu bait puisi Willem Iskander lalu memberikannya kepada Haroen Al Rasjid. Saat bayi itu sudah di tangan Haroen Al Rasjid, Soetan Casajangan berucap dengan penuh harap: ‘susul au bere, dah’.

Kebetulan selama Soetan Casajangan berada di rumah 'koum sisolkot' itu, menantu Dja Endar Moeda, Haroen Al Rasjid tengah menjenguk anak dan istri di rumah mertuanya. Sebab, Haroen Al Rasjid sejak Oktober 1904 sudah pindah tugas ke Siboga. Artinya Haroen Al Rasjid hanya bertugas selama sekitar satu tahun di Padang. Oleh karena istrinya sudah hamil tua saat pindah dinas ke Siboga, maka Haroen Al Rasjid tidak membawa istrinya ke Siboga tetapi membawanya ke rumah mertua. Haroen Al Rasjid setiap dua minggu datang ke Padang. Jadi ketika Soetan Casajangan singgah di Padang ini secara kebetulan dapat bertemu semuanya: abang/uda, kakak/inanguda, ito, lae dan babere. Dan ucapan Soetan Casajangan ‘susul au bere, dah’ dapat didengar oleh semuanya dan mudah dipahami maksudnya.

***
Haroen Al Rasjid dan keluarga (anak dan istri) cukup lama tinggal di Siboga. Namun karena orang tua ada di Batavia dan mertua ada di Padang, maka posisi tinggal di Siboga menjadi agak menyulitkan. Karena sudah berdinas sebagai pegawai pemerintah lebih dari lima tahun, Haroen Al Rasjid tidak memperpanjang kontraknya dan memilih pension dini. Lalu, Haroen Al Rasjid mengusulkan pension dini.  Department Civieal mengabulkan permintaan Haroen Al Rasjid dan diberitakan di dalam koran pada edisi 6 Oktober 1909. Namun efektifnya baru berlaku jika sudah ada penggantinya. Haroen Al Rasjid berencana akan pindah ke Telok Betoeng untuk membuka dokter praktek.

Pilihan Telok Betoeng karena dua alasan: pertama karena tempatnya berada di tengah antara orang tua di Batavia dan mertua di Padang. Alasan kedua, karena rekomendasi kawan karib dan lae Dr. Muhamad Hamzah yang akan sudah pension dini dan lebih memilih pindah ke Pematang Siantar agar lebih dekat dengan orangtua. Dr. Mohamad Hamzah sudah bertugas di Telok Betoeng sejak 1903. Dr. Haroen Al Rasjid dan Dr. Mohamad Hamzah berencana membuka praktek dokter untuk sasaran utama untuk orang-orang Eropa yang sudah banyak berdomisili baik di Telok Betoeng maupun Pematang Siantar.
   
Namun pengganti Haroen Al Rasjid tidak kunjung datang, mungkin karena penugasan dokter baru lebih mendesak di kota-kota lain yang membutuhkan. Haroen Al Rasjid tampaknya tidak keberatan, apalagi mertua dari Padang sering berkunjung ke Siboga baik karena urusan bisnis persuratkabaran maupun dalam rangka pulang kampong ke Padang Sidempoean. Selama mereka di Siboga,  keluarga Haroen Al Rasjid kerap pulang kampong ke Padang Sidempoean, kota dimana tempat lahir Haroen Al Rasjid dan Alimatoe Sadiah. Anak mereka Ida Loemongga juga pernah diajak pulang kampong di Padang Sidempoan, namun frekuensi pulang kampong ini mulai berkurang karena Alimatoe Sadiah sudah hamil lagi. Pada tanggal 6 Desember 1910 anak kedua Haroen Al Rasjid lahir yang diberi nama Gele.

***
Akhirnya pengganti Haroen Al Rasjid datang juga. Keluarga Haroen Al Rasjid bersiap-siap untuk pindah ke Lampung. Di Telok Betoeng keluarga muda ini memulai hidup baru, dan Dr. Haroen Al Rasjid membuka praktek dokter swasta. Anak pertama Haroen Al Rasjid, Ida Loemongga dimasukkan ke sekolah Eropa, ELS di Telok Betoeng. Setelah lulus ELS, pada tahun 1918 Ida Loemongga didaftarkan di sekolah elit di Batavia, Prins Hendrik School, afdeeling HBS. 

Kemudian keluarga Haroen Al Rasjid pindah ke Tanjong Karang karena ada keinginan keluarga (termasuk Dja Endar Moeda) untuk membuka klinik baru dan agar cakupannya menjadi lebih luas untuk mampu menjangkau masyarakat biasa.  Kepedulian Dja Endar Moeda yang selama ini focus bidang pendidikan, kini tampaknya sudah mulai menyentuh bidang kesehatan. Investasi Dja Endar Moeda yang selama ini di bidang media mulai dialokasikan di bidang kesehatan. 

Di Padang sendiri industri media sudah mulai ada tanda-tanda kurang memberi prospek bagus lagi karena pertumbuhan jumlah orang-orang Belanda di Sumatr's Westkust sudah stagnan, sebaliknya pertumbuhan jumlah orang-orang Belanda/Eropa di Sumatra's Oostkust sedang kencang-kencangnya. Ini sehubungan dengan berkembangnya perkebunan skala besar di Medan dan sekitarnya. Oleh karena pendapatan iklan menjadi sumber terbesar koran-koran, maka yang merasakan lebih awal dampak ini adalah koran berbahasa Belanda. Koran Sumatra Courant akhirnya tahun akhir tahun 1900 pindah dari Padang ke Medan dengan menguibah wajah dengan nama yang baru Sumatra Post. Setelah sekian tahun, akhirnya koran berbahasa Melayu yakni Pertja Barat mati suri. Lantas keluarga Dja Endar Moeda mengalihkan investasi bisnisnya ke Aceh di bidang media dan ke Lampong di bidang kesehatan. Praktis nilai finansial Dja bEndar Moeda tidak ada lagi di Padang. 

Pilihan Aceh karena wilayah Aceh baru kondusif setelah perang dan dipandang perlu untuk meraih peluang pasar media untuk pendidikan bagi penduduk Aceh, sementara di Medan sudah ketat persaingan koran berbahasa Melayu. Dja Endar yang sudah mulai menua ingin memberi estafet kepemilikan media kepada anak-anaknya, sementara dia ingin lengser. Daerah Aceh yang merupakan pasar media yang masih terssa waktu itu akan sesuai bagi anak-anaknya yang baru mulai menekuni industri media persuratkabaran. Dja Endar Moeda tampaknya ingin hidup selamanya di tanah serambi mekah ini.
     
***
Pada tahun 1922 Ida Loemongga lulus afdeeling-B (IPA) di Prins Hendrik School, lantas diterima ujian masuk di STOVIA. Namun karena Ida Loemongga tergolong cerdas, maka Ida Loemongga termasuk yang direkomendasikan untuk melanjutkan pendidikan ke Negeri Belanda. Keluarga Ida Loemongga tidak keberatan dan sangat mendukung. Haroen Al Rasjid dan Alimatoe Sadiah menjadi ingat pesan dari 'tulang' Ida Loemongga, Soetan Casajangan saat bertolak ke negeri Belanda doeloe. Ida Loemongga yang diterima di Universiteit Leiden didukung semua keluarga besar  ompungnya Dja Endar Moeda dan keluarga besar Soetan Abdul Azis. Ida Loemongga lantas berangkat sendiri pada tahun 1923. Sebelum berangkat, Ida Loemongga sempat menemui 'tulang' Soetan Casajangan yang kini menjadi Direktur Normaal School di Meester Cornelis (Batavia). Sebab belum  lama berselang, Soetan Casajangan baru pulang berkunjung dari Nageri Belanda.Proses berulang, dulu ketika Soetan Casajangan ketika hendak ke negeri Belanda, Dja Endar Moeda (ompung Ida Loemongga) baru pulang dari Negeri Belanda.

***
Ketika Ida Loemongga memulai perkuliahan bidang kedokteran di Leiden, ada beberapa anak-anak Padang Sidempoean yang juga tengah studi di Belanda. Di kampus yang sama dengan Ida Loemongga, sudah ada abang Alinoedin Pohan gelar Radja Enda Boemi, anak Batang Toroe yang tengah sibuk mempersiapkan desertasi. Radja Enda Boemi menyelesaikan studi dan memperoleh gelar doctor (PhD) di bidang hokum di Universiteit Leiden 1925 dengan desertasi berjudul: ‘Het grondenrecht in de Bataklanden: Tapanoeli, Simeloengoen en het Karoland’. Radja Enda Boemi ke Belanda untuk sekolah doctoral yang mana sebelumnya ia telah menyelesaikan tingkat sarjana hokum (Mr) di Rechts School, Batavia. Kemudian anak Padang Sidempoean yang datang adalah Amir Sjarifoedin Harahap anak Pasar Matanggor yang mengambil bidang hokum. Amir Sjarifoedin di kemudian hari dikenal sebagai salah satu dari tiga founding father Indonesia (Soekarno, Amir dan Hatta).

Ida Loemongga kemudian berhasil memperoleh gelar sarjana kedokteran pada tahun 1927 di Universiteit Utrecht. Setelah dipromosikan menjadi dokter di universitas tersebut, Ida Loemongga pada tahun berikutnya mengambil dokter spesialis di Universiteit Lieden. De Tijd :godsdienstig-staatkundigdagblad, 21-03-1929: 'Mij. I. Rasjid kelahiran Padang Sidempoean (tercetak, seharusnya Padang) dinyatakan lulus dan berhak sebagai dokter. Lantas kemudian, Ida Loemongga ternyata diminati oleh banyak institute. Setelah beberapa waktu sebagai asisten Dr. Caroline Lang, Ida Loemongga meneruskan pendidikan doktoral di Universiteit Amsterdam. Sementara itu, Radja Enda Boemi setelah meraih doktor bidang hukum pada 1925 kembali ke tanah air lalu kemudian datang guru Todoeng Harahap gelar Soetan Moelia untuk mengambil doktor di bidang pendidikan.

Pada tahun 1931, Ida Loemongga dipromosikan sebagai doctor di bidang kedokteran dengan promotor Dr. Lang sendiri. Bataviaasch nieuwsblad, 20-01-1931 memberitakan bahwa Nona Haroen Al Rasjid yang dalam hal ini Mej. I.L. Haroen Al Rasjid yang menandai dari sisi adat sebagai perempuan pribumi pertama yang meraih doctor di bidang kedokteran. Di dalam berita ini disebut Mej. Haroen adalah putri seorang dokter pribumi di Padang Sidempoean (mungkin mengacu pada tempat lahir Dr. Haroen Al Rasjid).

Pada tahun ini juga di koran-koran Belanda, nama Padang Sidempoean beberapa kali disebut. De Tijd: godsdienstig-staatkundig dagblad, 08-05-1931 memberitakan bahwa Aminoedin Pohan (lahir di Sipirok) dipromosikan menjadi dokter (spesialis) dengan judul tesis: ‘Abortus, voorkomen en deproefshrift’ (Aborsi, pencegahan dan pengobatan’. Dalam beberapa bulan kemudian Algemeen Handelsblad, 17-12-1931 memberitakan bahwa di Leiden, dipromosikan menjadi dokter (spesialis), Diapari Siregar (lahir di Sipirok). Dr. Aminoedin Pohan dan Dr, Diapari Siregar menyelesaikan tingkat sarjananya di STOVIA, Batavia. Pada tahun berikutnya, adik kelas mereka, anak Batang Toroe yang langsung datang ke Belanda untuk studi tingkat sarjana—seperti Ida Loemongga doeloe—yakni Parlindoengan Loebis yang sudah diterima dalam bidang kedokteran di Universiteit Leiden. 1932. Selama kuliah, Parlindoengan waktunya banyak tersita untuk kegiatan organisasi kemahasiswaan dan pernah menjadi Ketua Perhimpunan Indonesia, 1938. Pada masa perang, Dr. Parlindoengan Loebis, ditangkap militer Jerman dan lalu ditahan di kamp konsentrasi NAZI. 

Dengan demikian, Ida Loemongga yang mungkin satu-satu perempuan pribumi yang studi di Negeri Belanda waktu itu sesungguhnya merasa tenang, aman dan menggembirakan. Ida Loemongga yang fasih berbahasa Batak ini secara tak langsung dan dengan sendirinya mendapat 'pengawalan' secara adat di rantau orang baik oleh seniornya maupun juniornya yang silih berganti berasal dari Padang Sidempoean. Apalagi sudah diketahui umum bahwa Soetan Casangan adalah tulang dari Ida Loemongga. Dan tentu saja pengaruh Soetan Casajangan masih ada sebagai pelopor dan presiden pertama perhimpunan Indonesia, apalagi di tengah-tengah komunitas anak-anak Padang Sidempoen di Negeri Belanda. Padang Sidempoean adalah tempat lahir ayah dan ompungnya, dan sewaktu kecil dan mereka tinggal di Siboga kerap berkunjung ke Padang Sidempoean..

***
Di Telok Betoeng dan di Tandjong Karang, keluarga Ida Loemongga mulai sibuk setelah mendengar kabar atas keberhasilan Ida Loemongga meraih gelar doctor bidang kedokteran. Dr. Haroen Abdoel Al Rasjid mulai tersenyum dan semringah. Tersenyum karena Ida Loemongga sudah sukses mencapai sekolah kedokteran level tertinggi dan juga karena sang penerus, Gele baru saja pulang dari Batavia karena baru lulus sekolah menengah. Jagoan dari Abdoel Al Rasjid belum berpikir untuk mau kuliah apa selanjutnya, sang ayah sudah memikirkannya (like son, like father). Untuk itu, lantas Abdoel Rasjid mengutus Gele untuk segera berangkat ke Belanda untuk menemui kakaknya Ida Loemongga yang sudah 10 tahun tidak berkesempatan pulang. Mungkin ‘lungun’ sang ayah terhadap ‘boru panggoaran’ ini sudah pada puncaknya. Keberangkatan Gele lebih awal mungkin dimaksudkan ayahnya agar Gele dapat memperkuat 'tondi' kakaknya saat sidang terbuka nantinya, juga sekaligus memberi kesempatan bagi Gele untuk beradaptasi. Sang ayah akan menyusul sekaligus akan memastikan sekolah terbaik buat Gele di Negeri Belanda. Gele Haroen Al Rasjid berangkat ke Negeri Belanda. De Sumatra Post edisi 11-09-1931 melaporkan kapal m.s. Baloeran telah berangkat dari Batavia menuju Rotterdam yang mana di dalam manifest kapal terdapat nama yang ditulis sebagai Gele Haroen Al Rasjid.

***
Beberapa bulan kemudian keluarga Haroen Al Rasjid berangkat dari Telok Betoeng menuju Batavia dan selanjutnya melakukan pelayaran ke Amsterdam. Dalam perjalanan untuk mengikuti sidang terbuka dan wisuda ‘boru panggoaran’ ini,  Haroen Al Rasjid datang beserta istri Alimatoe Sadiah dan anak laki-laki mereka yang ketiga. Sukes Ida Loemongga tidak sempat lagi didengar oleh oppung/nenek Soetan Abdoel Azis dan oppung/nenek Dja Endar Moeda, karena mereka semua telah tiada. Di Nederland maupun di Nederlandsche Indie, Ida Loemongga dokter bergelar doktor perempuan pertama menjadi berita besar dan dilansir semua koran.
Bataviaasch nieuwsblad, 20-04-1932 melaporkan bahwa sebuah promosi pertama doctor di bidang kedokteran seorang gadis pribumi yang melansir berita dari kantor berita Aneta dari Amsterdam 22 September lalu dengan desertasi akademik yang berjudul ‘Diagnose en prognose van aangeboren hartgebreken’ (Diagnosa dan prognosis cacat jantung bawaan). Ms. Ida Loemongga Haroen lahir di Padang, sekarang secara internal adalah asisten di Rumah Sakit Wilhelmina dan mengkhususkan diri dalam penyakit anak.
***
Ida Loemongga dikawal dua adiknya saat sidang terbuka di Amsterdam, 1932
Setelah mengikuti wisuda Ida Loemongga, keluarga Haroen Al Rasjid kembali ke tanah air. Sekolah Gele sudah ditemukan di Belanda, sekolah yang terbaik di bidang hokum. Karena itu Gele tidak ikut pulang. Sementara Ida Loemongga akan menyusul pulang setelah segala sesuatu urusan selesai. Sesampainya di Tanjong Karang, keluarga Haroen Al Rasjid melakukan sukuran sebagaimana dilaporkan sejumlah surat kabar seperti yang dilaporkan oleh Bataviaasch nieuwsblad edisi 03-01-1933. 'Dokter pribumi swasta di Tandjongkarang, Mr. Haroun al Rasyid,  dokter terkenal di Lampongs, yang putrinya baru-baru ini di Eropa yang dipromosikan memiliki gelar doktor di bidang kedokteran pada awal tahun 1933 ini dalam beberapa hari, klinik di Telok Betoeng terbuka untuk umum dan disediakan hidangan dan minuman limun dan sirup buatan pabrik Lim Kek Lamb. Untuk pasien yang berobat jalan diminta untuk ke klinik yang berada di Tandjongkarang. Untuk pergi ke sana (maksudnya klinik keluarga Haroen Al Rasjid yang lain di Tanjong Karang) disediakan transportasi. Peristiwa ini mengingatkan kita ketika diadakan hordja menyambut Dja Endar Moeda di Batoe na Doewa, Padang Sidempoean dan pesta perkawinan Haroen Al Rasjid dan Alimatoe Sadiah di Padang tempo doeloe'.


***
Setelah kepulangan keluarga, Ida Loemongga mulai lagi dengan kesibukan sebagaimana akademisi sambil bekerja di tempat dimana dulu dia bekerja di Rumah Sakit Wilhelmina, Amsterdam. Demikian juga dengan adiknya, Harun mulai dibimbing dan diarahkan oleh kakaknya arti penting pendidikan dan bagaimana cara seharusnya diperoleh dengan benar. Sebagaimana adatnya, arahan seorang kakak sulit dibantah jika dibandingkan dengan jika punya abang. Gele tampaknya menurut. Inilah yang diinginkan oleh sang ayah mengapa Gele sesegera mungkin ‘diungsikan’ ke negeri Belanda ketika keluarga besar Haroen Al Rasjid sudah berada pada taraf pencapaian 'hamoraon', 'hagabeon' dan 'hasangapon'. Haroen Al Rasjid sebagai dokter dan juga masih dekat dengan tradisi ajaran yang diperolehnya dari orangtuanya, Soetan Abdoel Azis dari Mandheling en Ankola bahwa anak yang karakter keras harus dipertemukan dengan karakter yang lembut. Ida Loemongga adalah perempuan berkarakter lembut yang diturunkan dari ibunya, Alimatoe Sadiah br Harahap (like girl, like mother). Sedangkan Gele yang berkarakter keras diturunkan dari ayahnya dan ompungnya Soetan Abdul Azis (like son, like father). Strategi ini ternyata jitu.

Ida Loemongga, sudah saatnya pulang kampung. Ida Loemongga yang berfungsi sebagai wakil orangtua untuk membimbing jalan menuju kesuksesan Gele di kemudian hari sudah dijalankan dengan baik, juga Ida Loemongga sudah selesai kegiatan post doctoralnya, Ida Loemongga pun bersiap-siap untuk pulang kampong dan kembali ke keluarganya di Nederlandsche Indie. Disamping itu, hal yang menggembirakan adalah  bahwa Gele juga sudah register di Universiteit Leiden untuk perkuliahan tahun 1935. Pada bulan November 1934, Ida Loemongga pulang kampong setelah lebih dari 10 tahun di negeri Belanda dan setelah dua tahun memperoleh gelar Doktor.


Het nieuws van den dag voorNederlandsch-Indië, 12-11-1934: ‘Doktor pribumi pertama, Dr. Ida Loemongga Haroen Al Rasjid akan tiba via Singapura dengan s.s. Houtmam van de KPM dari Belanda dimana ia pernah belajar lebih dari 10 tahun.  Dr. Ida Loemonga Harun Al Rasjid kembali. Dia adalah putri dari seorang dokter pribumi yang berdomisili di Lampoengs dan pribumi pertama yang menerima gelar doktor dengan desertasi. Itu terjadi di Amsterdam, di tempat dimana dia adalah seorang asisten selama beberapa tahun bersama Dr. Caroline de Lange. Setelah menyelesaikan dari H.B.S. di Batavia ia berangkat tahun 1923 ke Belanda untuk belajar dalam bidang kedokteran di Leiden dan Utrecht, dimana ia akhirnya mendapatkan gelar dokter, setelah itu ia pergi ke Amsterdam untuk mencapai derajat academischen tertinggi. Untuk sementara, Dr. Ida akan praktizeeren belum diketahui, karena ia  akan pergi ke Lampoengs untuk mengunjungi keluarganya’.

***
Di Tanjong Karang Ida Loemongga berkumpul kembali dengan keluarganya. Kabar bahwa ompung Soetan Abdoel Azis dan ompung Dja Endar Moeda sudah lama meninggal sudah lama pula diketahuinya, tetapi sesaat tiba di Tanjung Karang Ida Loemongga mengingat kembali semuanya (malungun). Setelah cukup lama di Tanjong Karang berkumpul bersama keluarga, Ida Loemongga kemudian memilih tinggal di Batavia dan akan membuka prkatek dokter. Di dalam Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 22-12-1934 Ida Loemongga memasang sebuah iklan dimana disebutkan dirinya Dr. Ida Loemongga Haroen buka praktek dokter yang beralamat di Kinderarts Koningsplein Noord 9 Telefoon 625 Weltevreden. Tidak lama kemudian di dalam Bataviaasch nieuwsblad, 02-01-1935 dilaporkan bahwa izin praktek dokter Ida Loemongga di Nederlandsche telah diberikan.

***
Dr. Ida Loemongga yang membuka praktek dokter anak, sehari-hari tampak sibuk karena pasiennya umumnya datang dari kalangan orang Belanda dan keluarga terpandang di Batavia. Sebagai gadis asli Indonesia tentu saja Ida Loemonggo ingin berumahtangga dan menjadi seorang ibu. Perasaan itu semakin dirasakannya ketika para ibu-ibu yang datang ke tempat prakteknya merupakan ibu-ibu muda yang membawa anak-anak yang lucu-lucu. Namun saat itu, perasaan Ida Loemongga ciut juga mengingat umurnya kini sudah jelang ulang tahun yang ke-30 dan tentu saja sulit mendapatkan jodoh (pasangan) apalagi dengan gelar doctor yang hanya satu-satunya di Nederlansche Indie. Berharap terus, bukanlah solusi, karena berpacu dengan waktu. Pertanyaannya apakah Ida Loemongga sudah pernah memiliki cinta di Negeri Belanda? Atau paling tidak ada seseorang yang satu sama lain dengan dia sudah ada perasaan saling memperhatikan? Kita tidak tahu. Namun yang jelas pada bulan September 1935, Ida Loemongga sudah berada kembali di Negeri Belanda.

De Indische courant, 18-09-1935: ‘Doktor pribumi di Belanda: Dr. Ida Loemongga Haroen, satu-satunya dokter Inlansche perempuan, yang tahun lalu telah dari Belanda dan tiba di Batavia lalu membuka praktek dokter anak terlihat pada hari Sabtu dengan perahu 'Tabinta' yang turun dari kapal  'The Nederland’ kembali ke Belanda dan akan berdiam di Amsterdam. Mej. Dr. Loemongga Harun adalah Bataksche’.

Kembalinya Dr. Ida Loemongga ke Negeri Belanda, tidaklah sendiri, sebagaimana saat pertama kali datang ke Negeri Belanda 1923. Kini, di Leiden masih ada adiknya, Gele Haroen yang tengah kuliah bidang hukum. Dan jangan lupa, selama Ida Loemongga di Negeri Belanda sudah silih berganti anak-anak Padang Sidempoean yang datang. Sudah barang tentu, Ida Loemongga--yang beberapa kali pulang kampung ke Padang Sidempoan ketika mereka masih tinggal di Sibolga--kerap bertemu dengan anak-anak yang berasal dari Padang Sidempoean (ibukota Mandheling en Ankola) ini. Oppung mereka doeloe sudah pasti berteman satu dengan yang lain. Sewaktu ompung Ida Loemongga, Dja Endar Moeda pulang kampung tahun 1900, semua tokoh-tokoh penting di Mandheling en Ankola diundang untuk menyambut kedatangan Dja Endar Moeda yang telah sukses di rantau. Kini era para cucu bagaikan musim semi berulang di luar negeri. Sebagaimana adatnya, tradisi berteman ala 'ompung' turun ke 'pahompu'. Apalagi, tulangnya Ida Loemongga, Soetan Casajangan di tahun 1908 telah mempelopori berdirinya Perhimpunan Hindia Belanda (yang kini berubah menjadi Perhimpunan Indonesia).

***
Pada akhir tahun 1935, Dr. Ida Loemongga dilaporkan telah menikah dengan Dr. Hans Reerink (yang sama-sama dokter (yang boleh jadi teman kuliahnya di Amsterdam). Gele Haroen Al Rasjid pun akhirnya lulus kuliah dan mendapat gelar sarjana hokum (Mr). Berita ini dimuat pada Nieuwsblad van het Noorden, 27-11-1937 yang memberitakan bahwa sejumlah mahasiswa telah lulus ujian doctoraal rechten (hak doctor) termasuk diantaranya yang disebut sebagai  G. Haroen Al Rasyid. Yang sangat mengejutkan dalam berita ini adalah Gele lulus bersamaan di bidang yang sama dengan Charles Adrian van  Ophujsen. Apakah ada orang yang bernama sama? Charles Adrian van  Ophujsen adalah guru dan pernah menjadi direktur Kweekschool Padang Sidempuoen (1884-1993) yang merupakan guru yang dikenal baik oleh Soetan Casajangan. Oppung dari Gele, Dja Endar Moeda adalah angkatan pertama Kweekschool Padang Sidempoean yang lulus dan diwisuda tahun 1884. Boleh jadi professor bahasa dan sastra ini, memerlukan bidang keahlian yang lain di usia senjanya sebagai ahli hokum. Di dalam dunia akademik adakalanya hal yang tak lazim terjadi.

Setelah pamit sama kakaknya, Ida Loemongga yang telah menetap dan membuka praktek dokter anak di Amsterdam, kemudian Gele pulang ke tanah air dan akan meniti karir sebagai pengacara. Kepulangan Gele ini diketahui sebagaimana di dalam De Sumatra post, 19-10-1938 yang melaporkan bahwa kapal “Dempo’ berangkat dari Rotterdam 12 Oktober dan diperkirakan tanggal 10 November di Tanjong Priok yang mana di dalam manifest terdapat nama yang disebut Mr. G. Haroen Al Rasjid. Sesampai di Batavia, Gele langsung pulang ke Lampong untuk menemui keluarganya. Tidak menunggu lama, Gele Haroen sudah membuka kantor pengacara swasta di Telok Betoeng, sebagaimana dilaporkan oleh Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 20-12-1937.

Dua anak Dr. Haroen Al Rasjid ini, karena situasi dan kondisi saat itu, akhirnya kakak dan adik menemukan dimana mereka seharusnya berada dan menjalani hidup masing-masing. Ida Loemongga, istri dari dokter ini mengikuti dimana suaminya berada tetapi ia sendiri masih dapat menekuni bidangnya. Ida Loemongga, sebagai dokter anak melayani para ibu-ibu di Belanda yang memerlukan pengetahuannya demi kesehatan anak mereka. Sedangkan Gele Haroen keahliannya sangat dibutuhkan di tanah air. Banyak permasalahan-permasalahan sosial yang mencul di Lampong akhir-akhir ini dan memerlukan orang pribumi yang ahli di bidangnya. Ayahnya, Haroen Al Rasjid telah memulai perjuangan mengangkat derajat kesehatan penduduk di Lampong, kini giliran Gele Haroen seharusnya mengikuti garis perjuangan ayahnya di bidang yang lain, yakni justitie.
  
***
Di Lampong, ayah dan anak saling bergandengan (like son, like father): Sang ayah berjuang untuk meningkatkan kesehatan penduduk; sang anak berjuang untuk demi keadilan. Dr. Haroen Al Rasjid yang awalnya buka praktek dokter untuk kalangan atas, tetapi lambat laun sudah mencakup kalangan rakyat biasa. Kini, usaha klinik mereka tidak hanya di Telok Betoeng dan Tanjong Karang, tetapi juga telah meluas ke pelosok-pelosok. Semuanya itu untuk memperluas jangkauan pengobatan modern dan memperpendek akses bagi penduduk yang memerlukan layanan kesehatan. De banier: staatkundig gereformeerd dagblad,  29-08-1936 melaporkan baru-baru ini Haroen Al Rasjid membuka rumah sakit swasta Wai Lima (Lampong District) dan Haroen Al Rasjid sendiri yang menjadi direkturnya. Sementara, Mr. Gele Haroen mulai memahami perlunya keadilan untuk semua lapisan masyarakat, Belanda atau pribumi, kaya atau miskin, perkotaan atau pedesaan.

***
Makam, Ida Loemongga Haroen Al Rasjid Nasoetion di Goor
Singkat cerita, Dr. Haroen Al Rasjid sudah mulai menua. Namun sang ‘boru panggoaran’ Ida Loemongga tidak pernah kembali. Sang adik, Gele Haroen Al Rasjid terus berjuang demi keadilan dan ikut berperang untuk meraih dan mempertahankan kemerdekaan. Ketika sang ayah meninggal pada tahun 1945 di Tanjong Karang hati Ida Loemongga tercabik-cabik. Ida Loemongga tidak berdaya. Ida Loemongga tidak bisa pulang karena akses antara Rotterdam ke Jakarta sudah tertutup--hubungan diplomatik terputus. Ida Loemongga meninggal dunia di Belanda pada tanggal 9 Maret 1960 dan dimakamkan di pemakaman Goor. Sementara kepedulian Gele Haroen Al Rasjid terhadap rakyatnya membuat dirinya didaulat sebagai Residen Lampong. Gele Haroen Al Rasjid Nasoetian adalah Residen Lampong yang pertama dan pernah menjadi Menteri Kehakiman RI. 

Darah pejuang dalam diri Gele Haroen Al Rasjid adalah darah pejuang dari ompungnya Dja Endar Moeda sebagai pejuang pendidikan dan ayahnya, Haroen Al Rasjid sebagai pejuang kesehatan. Kisah tiga generasi ini bermula di Padang Sidempoean. Sedangkan semangat belajar yang tinggi dan talenta sebagai pionir pada diri Ida Loemongga sudah tentu bersumber dari spirit  'maha guru' Willem Iskander, pelopor pendidikan di Nederlansche Indie, dan tulangnya Soetan Casajangan, pelopor pribumi di Nederlandsche. Kisah tiga generasi ini bermula dari Mandheling en Ankola.
__________
*Para undangan yang hadir: Kepala kuria Batunadua adalah kakek dari Soetan Casajangan dan Dr. Muhammad Hamzah. Kepala kuria Losungbatu adalah saudara Dja Endar Moeda yang menggantikan ayahnya. Jaksa Sibolga adalah Sjarif Anwar gelar Soetan Goenoeng Toea, kakek dari Amir Sjarifoeddin (the founding father RI), Kepala kuria Simapil-api (kemungkinan) ditemani oleh Soetan Casajangan yang saat itu menjadi kepala sekolah di Simapil-apil yang mana Soetan Casajangan adalah adik kelas Dja Endar Moeda di Kweekschool Padang Sidempoean.

**Haroen Al Rasjid Nasution dan Alimatoe Sadiah br Harahap memiliki anak tidak saja Ida Loemongga dan Gele, tetapi masih ada empat lagi. Ida Loemongga adalah anak sulung (boru panggoaran) dan Gele Haroen adalah anak yang keempat.


(bersambung)


*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama, antara lain:
  • Topographisch Bureau, Batavia, Batavia: Kaart van Padang Si Dimpoewan en Omstreken (1880).
  • Kaart van het Gouvernement Sumatra's Westkust : opgenomen en zamengesteld in de jaren 1843 tot 1847 / door L.W. Beijerink met medehulp van C. Wilsen... et al. Beijerink, L.W., Topographisch Bureau, Batavia, 1852.
  • Peta 1830
  • Peta 1908
  • Peta 1943
  • Etappekaart Sumatra's West Kust, 1845
  • Almanak Pemerintahan Belanda berbagai tahun
  • Koran-koran Belanda berbagai edisi
  • Laporan Tahunan Pemerintahan Belanda berbagai tahun
  • Observasi pribadi

2 komentar:

sipirock coffee mengatakan...

ini wajib disebarluaskan, untuk menginspirasi generasi muda di eks Keresidenan Tapanuli (Mandailing, Angkola, Sipirok), mantaps!

Unknown mengatakan...

Horas Bapatua...
senang sekli membaca artikel ini.. saya Doharni br Pasaribu lahir di P.Sidimpuan, skrg berdomisili di Medan. salam kenal Bapatua.