Senin, Desember 08, 2014

Bag-9. Sejarah Padang Sidempuan: ‘Kolonel. Ing. Mangaradja Onggang Parlindungan dan Letkol Mr. Gele Harun, Dinasti Guru dan Dokter: Like Son, Like Father; Like Girl, Like Mother’


Baca juga:
Dr. Radjamin Nasution: Walikota Pertama Surabaya, Pemain Sepakbola Top
Gelar Doktor Pertama di Indonesia: Dr. Ida Loemongga, PhD, Doktor Perempuan Pertama di Indonesia
Bapak Pers Indonesia: Dja Endar Moeda, Kakek Pers Nasional dan Parada Harahap, Cucu Pers Nasiona
Hariman Siregar, Ida Nasution, Lafran Pane, Parlindungan Lubis, Sutan Casajangan: Anak-Anak Padang Sidempuan yang Menjadi Pemimpin Mahasiswa
Medan Perdamaian: Organisasi Sosial Pertama di Indonesia (bukan Boedi Oetomo)


*Suatu sketsa Kota Padang Sidempuan

Ini adalah suatu sketsa (analisis sederhana) berdasarkan fakta-fakta sejarah yang ada. Mungkin para generasi yang lebih muda tidak menyadari bahkan mungkin tidak mengetahui, bahwa Kota Padang Sidempuan masa kini, ternyata di jaman doeloe memiliki dinamikanya sendiri. Bagaimana anak-anak Padang Sidempuan berkembang dan menyebar ke semua penjuru angin di masa doeloe? Mari kita lacak!

Kol. Ir. Mangaradja Onggang Parlindoengan

Kampung Sipirok, 1905 (dbnl)
Kolonel. Ir. Mangaradja Onggang Parlindoengan adalah mahasiswa pertama pribumi yang studi di Jerman. Mangaradja Onggang Parlindoengan mengambil bidang teknik, agak berbeda dibanding dengan mahasiswa-mahasiswa pribumi yang preferensinya ke bidang pendidikan, kedokteran, hokum dan ekonomi. Jika yang lain, memilih ke Belanda, Mangaradja Onggang Parlindoengan justru ke Jerman, negara yang menjdi musuh abadi Nederland. Bidang keahlian yang dipilih pun terbilang ganjil waktu itu yakni teknik kimia. Mengapa demikian? Perlu kita lacak!

Mangaradja Onggang Parlindoengan adalah anak Soetan Martoewa Radja--anak Sipirok lulusan Kweekschool Padang Sidempoean yang terakhir 1893. Kemudian menjadi guru di Pargaroetan lalu diangkat menjadi kepala sekolah di Sipirok. Selanjutnya dipindahkan Ke Taroetoeng dan kemudian diangkat menjadi kepala sekolah Normaal School di Pematang Siantar. Di kota ini, Soetan Martoewa Radja menghabiskan sisa hidupnya. Setelah pension menjadi guru, Soetan Martoewa Radja pernah tiga periode sebagai anggota Dewan Kota (Gementeeraads) Pematang Siantar.

Mangaradja Onggang Parlindoengan lahir di Taroetoeng dan mengikuti pendidikan dasar di Pematang Siantar. Pada tahun 1931 Mangaradja Onggang Parlindoengan yang memiliki nama kecil A.F.P. Siregar masuk MULO di Medan. Pada tahun 1935 A.F.P Siregar melanjutkan pendidikan HBS di Medan. Pada tahun 1936 A.F.P Siregar dipromsikan dari kelas empat ke kelas lima afdeling-B (jurusan IPA sekarang). Pada tahun 1937, A.F.P. Siregar dinyatakan lulus ujian akhir (eindexamen). Setelah lulus sekolah HBS, A.F.P. Siregar gelar Mangaradja Onggang Parlindoengan berangkat ke Batavia untuk selanjutnya melanjutkan pendidikan tinggi ke luar negeri. Dari Batavia, yang terdaftar di dalam manifest M.O. Parlindoengan dengan menumpang kapal Indrapoera berangkat dari Batavia tanggal 28 Juli 1937 menuju Marseile (Prancis). Dari kota pelabuhan ini, Parlindoengan melanjutkan perjalanan dengan kereta api ke Jerman.


Setelah lulus dan memperoleh gelar akademik insinyur (Ir), A.F.P. Siregar gelar Mangaradja Onggang Parlindoengan pulang ke tanah air. Sesampainya di tanah air, situasi berubah dengan adanya pendudukan oleh militer Jepang. Keahlian Parlindoengan dibutuhkan oleh militer Jepang. Setelah Hirosima dan Nagasaki dibom oleh sekutu, Jepang bertekuk lutut dan kesempatan ini diambil oleh Inggris/Belanda untuk kembali ke Nederlansche Indie. Parlindoengan mengambil peran dalam melawan agresi militer Belanda khususnya di Surabaya, Jawa Timur (Peristiwa 10 November, 1945). Keahliannya di bidang kimia diminta negara untuk mengambil peran dalam pertempuran di Surabaya dan Jawa Timur. Boleh jadi waktu itu, hanya Mangaradja Onggang Parlindoengan, orang pribumi yang kompeten di bidang persenjataan khususnya teknik pembuatan bom. Siapa yang memintanya? Amir Sjarifoedddin, Menteri Penerangan dan juga Menteri Pertahanan RI.

M.O. Parlindoengan dan Amir Sjarifoeddin memiliki hubungan persahabatan special dan abadi sejak kakek mereka. Kakek Parlindungan adalah Muhammad Yunus Siregar gelar Mangaradja Naposo dan Kakek Amir adalah Sjarif Anwar Harahap gelar Soetan Goenoeng Toea. Mangaradja Naposo dan Soetan Goenoeng Toea adalah dua diantara murid-murid Nommensen di Prausorat, Sipirok. Mereka berdua adalah anak-anak Sipirok yang pertama mendapat pendidikan modern. Setelah lulus sekolah, keduanya melamar menjadi pegawai pemerintah di kantor Asisten Residen Mandheling en Ankola di Padang Sidempoean. Soetan Goenoeng Toea menjadi penulis kemudian menjadi djaksa dan Mangaradja Naposo menjadi pegawai pertanahan. Dua diantara anak Soetan Goenoeng Toea adalah Djamin gelar Baginda Soripada menjadi pegawai pemerintah yang kemudian menjadi djaksa di beberapa tempat seperti Tanjoengpoera, Siboga, Medan, Sabang dan Mangaradja Hamonangan yang menjadi guru lalu setelah pension menjadi pengusaha di Padang Sidempoen. Baginda Soripada adalah ayah dari Amir Sjarifoeddin (Menteri Penerangan, Menteri Pertahanan dan Perdana Menteri)  dan Mangaradja Hamonangan adalah ayah DR. Toedoeng gelar Soetan Goenoeng Moelia (guru pribumi bergelar doctor pertama dan anggota Volksraad). Sementara itu, salah satu anak Mangaradja Naposo adalah Soetan Martoewa Radja, alumni terakhir Kweekschool Padang Sidempoean, guru di Sipirok, Taroetong dan Direktur Normaalschool Pematang Siantar, serta tiga periode menjadi anggota dewan kota (gemeeteraad) Kota Pematang Siantar. Soetan Martoewa Radja adalah ayah dari M.O. Parlindoengan. Di Batavia, Toedoeng, Amir dan Parlindoengan berkawan sangat dekat, seperti kakek-kakek mereka.
Sekadar tahu saja: Kakek dari Soetan Goenoeng Toea bernama Tinoedoengan bersaudara kandung dengan Hamonangan alias Tuanku Tambusai, pahlawan nasional. Sekadar tahu juga: M.O. Parlindoengan memiliki teman sekampung di Surabaya dan Jawa Timur selama perang yang bernama Radjamin Nasoetion, walikota pertama Surabaya (tiga era: Belanda, Jepang dan Republik). .

Setelah pengakuan kedaulatan Republik Indonesia oleh Belanda, Mangaradja Onggang Parlindoengan pada tahun 1950 ditunjuk pemerintah untuk menjadi direktur Pabrik Sendjata dan Mesiu (PSM) di Bandung. Pada tahun ini juga (1951) ayahnya Soetan Martoea Radja meninggal dunia di Pematang Siantar. Sepulang dari Pematang Siantar, M.O.Parlindoengan memasang berita duka di koran Algemeen Indisch dagblad : de Preangerbode (mulai edisi 16-06-1951) dan De nieuwsgier (mulai edisi 19-06-1951) dengan bunyi beritanya sebagai iklan di koran tersebut. Selanjutnya, pada tahun 1954, M.O. Parlindoengan pension dari PSM. Kemudian pada tahun itu juga Parlindoengan pindah ke Jakarta. Di masa pension ini, Mangaradja Onggang Parlindoengan menulis buku yang terkenal tetapi kontrovesial yang berjudul: Pongkinangolngolan Sinambela Gelar Tuanku Rao: ‘Terror Agama Islam Mazhab Hambali di Tanah Batak 1816-1833’.

Letnan Kolonel Mr. Gele Haroen

Kampung Panjaboengan, 1890 (kitlv)
Gele Haroen adalah anak dokter Haroen Al Rasjid Nasoetion dan cucu dari Soetan Abdoel Azis. Kakek Gele Haroen, kelahiran Panjaboengan, 1850 adalah seorang penjabat penting di Padang Sidempoen, yang merupakan lulusan Kweekschool Tanobato (Mandailing) dan kemudian diangkat menjadi pegawai pemerintah di Panjaboengan kemudian pindah ke Padang Sidempoean. Di kota ini, Haroen Al Rasjid lahir. Namun karena Soetan Abdul Azis diangkat menjadi jaksa lalu pindah dari satu tempat ke tempat lain hingga akhirnya menjadi asisten Demang di Kebajoran, Batavia. Soetan Abdul Rasjid lalu pension dan menetap di Batavia.

Soetan Abdoel Azil menyekolahkan Haroen Al Rasjid di sekolah Belanda lalu kemudian masuk sekolah Dokter Djawa School. Haroen Al Rasjid lulus dan menjadi dokter tahun 1901 dan ditempatkan dan mulai bertugas di Padang 1903. Pada tahun ini juga Haroen Al Rasjid menikah di Padang dengan Alimatoe Sadiah boru Harahap, anak seorang kaya, radja persuratkabaran di Kota Padang. Belum genap dua tahun bertugas di Padang kemudian  Haroen Al Rasjid dipindahkan ke Siboga. Anaknya yang pertama lahit di Padang, bernama Ida Loemongga dan anak yang keempat lahir di Siboga yang diberi nama Gele Haroen.

Setelah pension dini di Siboga keluarga Haroen Al Rasjid pindah ke Lampong untuk membuka praktek dokter swasta. Di Telok Betoeng, Ida Loemongga dan Gele Haroen dimasukkan ke sekolah dasar Belanda dan kemudian dilanjutkan ke sekolah elit di Batavia. Setelah lulus sekolah menengah di Batavia, Gele melanjutkan sekolah hukum di Negeri Belanda menyusul kakaknya Ida Loemongga yang baru saja sudah selesai memperoleh gelar Doktor di bidang kedokteran. Setelah lulus tahun 1938, Gele Haroen pulang ke Lampong. Di Telok Betoeng, Gele Haroen membuka kantor pengacara. Gele Haroen adalah ahli hukum pertama di Lampong dan satu-satunya kantor pengacara di Lampong.

Mr. Gele Haroen bergandengan tangan dengan ayahnya, Dr. Haroen Al Rasjid. Sang ayah berjuang untuk meningkatkan kesehatan penduduk, sang anak berjuang untuk menegakkan keadilan bagi semua pihak termasuk penduduk. Dua bidang inilah yang sangat mendasar waktu itu di Lampong, karena selama ini pemerintah Belanda seakan mengabaikannya. Kedudukan ayahnya sebagai seorang pribumi terpelajar di Lampong, setelah meninggal pada tahun 1945, Gele Haroen meneruskan perjuangan ayahnya. Selama pendudukan Jepang, Gele Haroen terus berkiprah di bidangnya, tetap menjaga tegaknya keadilan. Ketika Belanda datang lagi (aggresi militer) Gele Haroen menggalang kekuatan para pemuda dan ikut mengangkat senjata dan komando pusat memberi pangkat Letnan Kolonel.

Gele Haroen adalah orang yang pertama dicari oleh Belanda (karena dianggap sebagai musuh Negara). Militer Belanda boleh jadi menggangap Gele Haroen penghianat Belanda, karena dulu Gele Haroen sekolah hokum di Belanda tetapi kini menjadi perwira militer republic, pangkat Letkol lagi. Setelah pengakuan kedaulatan republik Indonesia didaulat oleh petinggi-petinggi Lampong untuk mengangkat Gele Haroen menjadi Residen Lampong, 1950. Gele Haroen adalah Residen pertama Lampong, seorang pejuang, tidak hanya di bidang justitie tetapi juga di medan pertempuran. Gele Haroen meninggal dengan tenang di Tanjung Karang 1975, namun dengan rendah hati tidak bersedia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Tanjong Karang. Gele Haroen berwasiat kepada anak-anaknya supaya dikubur di tengah ayahanda Haroen Al Rasjid Nasoetion dan ibunda Alimatoe Sadiah br. Harahap.

Sekadar tahu saja:: kakak kandung yang sulung dari Gele Haroen  bernama Ida Loemongga Nasoetion adalah dokter perempuan bergelar doktor pertama Indonesia (meraih doktor di negeri Belanda (1932). Lihat

***
Ketika Medan masih kampung, Padang Sidempuan sudah kota
Pada masa lampau, Padang Sidempuan (1877) adalah kota besar, bahkan jauh lebih besar dari pada Medan (1875). Ketika di Medan belum ada sekolah dasar (1879), di Kota Padang Sidempuan sudah sejak 1867 didirikan tiga sekolah dasar negeri. Di Kota Padang Sidempuan (1879) bahkan telah dibuka sekolah guru negeri (kweekschool). Dengan latar belakang Kota Padang Sidempuan, simak di dalam blog ini deskripsi dari Letkol Irsjan, anak dokter Radjamin Nasoetion di Soerabiaja (Walikota pertama Surabaya). General Majoor Dr. Gindo Siregar (Gubernur Jenderal Sumatra Utara semasa agresi militer Belanda) dan Mr. Abdoel Hakim (Harahap) di Kresidenan Tapanoeli (Menteri Pertahanan RI kabinet terakhir di Djogja, dan Gubernur Sumatra Utara), Mr. S.M. Amin Nasoetion (Gubernur Sumatra Utara) dan Mr. Loeat Siregar di Sumatra’s Oostkust (Walikota pertama Medan),  Mr. Amir Sjarifoedin Harahap (Perdana Menteri), Adam Malik Batoebara (Wakil Presiden), Parada Harahap, the king of Java Press (satu-satunya orang Batak anggota BPUPK), Sakti Alamsjah Siregar di Batavia (pendiri surat kabar Pikiran Rakyat, Bandung),  MOW (tahanan) Dr. Parlindoengan Loebis di kamp konsentrasi NAZI, Kolonel Zulkifli Lubis, Jenderal Abdu Haris Nasution dan Mayjen Marah Halim Harahap (Gubernur Sumatra Utara). Dan masih banyak lagi. Lihat:Dicari Presiden dari Tapanuli Bagian Selatan

(bersambung)

 *Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe.

Baca juga:

Bag-8. Sejarah Padang Sidempuan: ‘Dr. Ida Loemongga, PhD, Dinasti Guru dan Dokter: Like Son, Like Father; Like Girl, Like Mother’










 


 


Tidak ada komentar: