*Dikompilasi dari berbagai sumber
Awal munculnya surat kabar di Tapanuli bermula di Padang Sidempuan. Pada tahun 1914 tidak lama setelah Rajiun Harahap gelar Sutan Casayangan Soripada kembali dari negeri Belanda, maka diterbitkanlah sebuah surat kabar berbahasa Batak di Padang Sidempuan yang bernama Poestaha. Pada kepala surat kabar tersebut terdapat pernyataan Sutan Casayangan: ‘na ni togoe-togoe ni naoeli boeloeng Soetan Casayangan Soripada’.
Semarak persuratkabaran di kota tersebut semakin terasa ketika sejumlah individu semakin menyadari banyaknya ketidakadilan bagi pribumi oleh pemerintah kolonial Belanda di Padang Sidempuan dan sekitarnya. Tumbuh kesadaran, nasionalisme semakin menguat. Seorang pemuda namanya Parada Harahap, yang sejak masih kanak-kanak sudah mengenal surat kabar Poestaha merasa tidak puas tinggal di Medan. Dari perantauan ia kembali ke Padang Sidempuan dan menjadi pemimpin redaksi surat kabar Poestaha.
Sambil memimpin surat kabar yang terbit seminggu sekali tersebut, Parada Harahap berhasil membangkitkan animo Mangaradja Bangun Batari—direktur N.V. Partopan Tapanoeli, agar segera menerbitkan surat kabar baru. Pengusaha tersebut sepakat dan lahirlah surat kabar baru dengan nama Sinar Merdeka. Selama mengasuh surat kabar Sinar Merdeka tersebut, Parada Harahap mulai menunjukkan tanda-tanda lahirnya seorang pejuang pers: berjuang bukan dengan senapan tetapi bertarung dengan Belanda dengan mata pena. Kasus yang pertamakali disuarakannya adalah menyoroti sepak terjang mantri-polisi Belanda—Sutan Naparas—di Sipirok.
Keberanian Parada Harahap mendapat respon positif dari masyarakat luas, khususnya penduduk Kota Padang Sidempuan. Selain oplah Sinar Merdeka terus meningkat, semua lapisan masyarakat terutama dari kalangan sosial rendah menjadikan Parada Harahap dan Sinar Merdeka menjadi tumpuan harapan untuk mengadu dan menyuarakan segala keluh kesah akibat perbuatan dan tindakan sewenang-wenang para pegawai-pegawai Belanda yang lalim.
Saat dimana pada waktu itu di Padang Sidempuan dan sekitarnya sangat suram perihal keadilan, kehadiran sosok Parada Harahap oleh rakyat sudah dianggap sebagai pahlawan yang tidak hanya mengangkat martabat pribumi juga tanda-tanda jaman untuk mengusir Belanda dari Tapanuli. Parada Harahap berjuang, berjuang dan terus berjuang. Selama dua tahun Parada Harahap berada di Padang Sidempuan dengan senjata penanya, terhitung 12 kali beliau menghadapi tuntutan (delik pers) dari pemerintah Belanda. Selama dua tahun penjuangan di Padang Sidempuan, tidak kurang dari tujuh bulan efektif hidupnya harus berada dibalik jeruji tahanan Belanda.
Pada tahun-tahun selanjutnya, tepatnya 1928, di Sipirok terbit sebuah surat kabar bernama Pardomoean di bawah pimpinan Soetan Pangoerabaan. Surat kabar ini terbit satu kali dalam sebulan. Di Padang Sidempuan surat kabar dengan nama Oetoesan terbit tahun 1939 dibawah pimpinan redaksi Baginda Kali Djoendjoeng dan A.H. Daulay. Surat kabar tersebut terbit dalam edisi berbahasa Indonesia dan merupakan surat kabar nasional yang terbit setiap hari Senin dan Sabtu. Surat kabar lainnya yang terbit di Padang Sidempuan adalah Drukkerij Tapian Na Oeli yang terbit pertamakali tahun 1940 dibawah pimpinan redaksi Maringan Napitupulu. Surat kabar tersebut terbit setiap hari Sabtu saja dalam edisi berbahasa Batak dan juga sewaktu-waktu dalam edisi bahasa Indonesia. Masih di Padang Sidempuan, pada tanggal 10 Oktober 1940, terbit pertamakali Surat Kabar “Boroe Tapanoeli” yang terbit secara berkala, setiap 10 hari sekali. Surat kabar ini dipimpin oleh Srikandi Padang Sidempuan bernama Awan Chatidjah Siregar, dengan anggota redaksi: Soemasari Rangkoeti, Roesni Daulay, Dorom Harahap, Marie Oentoeng Harahap dan Halimah Loebis. Pada bagian administrasi tercantum nama Siti Sjachban Siregar, Lela Rangkoeti dan Intan Nasoetion*.
Surat Kabar "Boroe Tapanoeli" di Padang Sidempuan, 1940 (Foto: Analisa) |
Beberapa tahun sebelum surat kabar Poestaha terbit di Padang Sidempuan, di tempat yang jauh berada di luar Tapanuli Bagian Selatan kala itu, seorang anak Padang Sidempuan sudah terlebih dahulu menggumuli perihal persuratkabaran. Dia adalah Ja Endar Muda Harahap yang juga belakangan dikenal dengan nama Haji Muhammad Saleh. Ja Endar Muda Harahap ini lahir di Padang Sidimpuan tahun 1861 dan merupakan seorang lulusan Kweekschool Padang Sidempuan tahun 1885. Kebetulan Sutan Casayangan Soripada dan Ja Endar Muda Harahap merupakan sama-sama murid Van Ophuysen di Kweekschool (sekolah pendidikan guru atas) di Padang Sidempuan.
Pada tahun 1904, Van Ophuysen dikukuhkan sebagai Profesor di Universiteit Leiden dan Sutan Casayangan Soripada kemudian menjadi asistennya dalam mata kuliah Bahasa Melayu di Universiteit Leiden. Ini berarti, Sutan Casayangan Soripada memulai karir dosen di Belanda, sementara Ja Endar Muda memulai karir sebagai guru bantu di Air Bangis, Pasaman, Sumatera Barat. Dalam tugasnya sebagai guru di Air Bangis, Ja Endar Muda juga menjadi editor correspondence majalah bulanan pendidikan Soeloeh Pengadjar yang terbit di Probolinggo pada tahun 1887. Pada tahun-tahun berikutnya, Ja Endar Muda berpindah-pindah tempat seperti ke Batahan dan Singkil. Selanjutnya, setelah beliau naik Haji dari Singkil tahun 1892 dan sekembalinya dari tanah suci tahun 1893 Ja Endar Muda memutuskan untuk menetap di Kota Padang.
Di Kota Padang, wawasan Ja Endar Muda semakin meluas. Beliau berpendapat bahwa kariernya sebagai guru selama ini menggangpap perlu untuk ditingkatkan ke bidang yang lebih luas dan lebih terasa pengaruhnya. Karena itu, Ja Endar Muda berhenti dari pekerjaan guru dan beralih ke bidang persuratkabaran. Kedua profesi ini toh juga masih memiliki akar yang sama yakni pengetahuan. Ja Endar Muda memulai pekerjaan baru sebagai editor surat kabar Pertja Barat. Surat kabar ini pertama kali terbit tahun di Padang tahun 1890. Selanjutnya, pada tahun 1900, Ja Endar Muda menjadi editor dua surat kabar sekaligus. Yang satu sebagai editor surat kabar Tapian Na Oeli di Sibolga yang pertamakali terbit 20 Oktober 1900. Yang lainnya adalah surat kabar Insulinde yang diterbitkan di Padang yang oplahnya beredar di Sumatera dan Jawa. Di dalam kolom editor surat kabar ini, Ja Endar Muda menyatakan bahwa tujuan penerbitan Insulinde ini adalah untuk meningkatkan peranan guru dan priyayi untuk mencapai kemajuan bangsa Indonesia. Klop sudah dua profesi guru dan wartawan di dalam satu diri Ja Endar Muda.
Dalam perjalanan waktu, ketika seluruh kekayaan Insulinde dilelang, Ja Endar Muda dan J.C. Holtzappel membelinya termasuk percetakannya. Inilah langkah pertama asal muasal Ja Endar Muda menjadi raja persuratkabaran di Sumatera. Pada bulan Februari 1905, Ja Endar Muda mengawali kerjanya dengan memusatkan perhatiannya dalam memajukan surat kabar Pertja Barat sampai akhirnya Ja Endar Muda muncul ke permukaan sebagai wartawan yang disegani di Kota Padang bahkan oleh para wartawan Belanda sendiri yang bekerja di Sumatra Courant yang sudah lama terbit di Kota Padang.
Sesungguhnya, sebelum berkiprah di surat kabar Pertja Barat, tepatnya 9 Januari 1904, Ja Endar Muda menjadi redaksi surat kabar Minangkabau pertama dengan nama Alam Minangkabau. Pembaca utama surat kabar yang beraksara Arab gundul dan berbahasa Melayu ini adalah masyarakat muslim Minangkabau yang tirasnya sampai ke daerah Mandailing dan Angkola. Inilah fase dimana Ja Endar Muda bersinggungan kembali dengan kampung halamannya dan dikenal di Padang Sidempuan.
Pada tahun 1906 Ja Endar Muda menerbitkan mingguan Pemberita Atjeh di Kutaraja (Banda Aceh, sekarang ini). Selanjutnya pada tahun 1908 Ja Endar Muda mengembangkan sayap persnya dengan menerbitkan tiga surat kabar di tempat yang berbeda (Sibolga, Medan dan Aceh). Di Medan, Ja Endar Muda menerbitkan surat kabar Pewarta Deli yang dicetak di percetakan milik Sjarikat Tapanoeli. Lantas, Ja Endar Muda menerbitkan kembali surat kabar Warta Berita yang gulung tikar setahun sebelumnya dan kemudian Ja Endar Muda kembali lagi ke Aceh bersama dengan putranya, Kamaruddin, untuk menerbitkan Bintang Atjeh.
Dengan kiprahnya yang telah mendirikan surat kabar di Padang (Sumatera Barat), Sibolga (Tapanuli), Medan (Sumatera Timur) dan Aceh telah diakui secara luas, Ja Endar Muda dinobatkan menjadi dirinya sebagai ‘Raja Persuratkabaran di Sumatera’. Pendapatnya bahwa ruang lingkup gerakan pencerdasan bangsa lebih luas melalui surat kabar, karena surat kabar dapat menembus ruang dan waktu menjadi terbukti ketika dia menyadari jauh sebelumnya bahwa karirnya sebagai guru yang perlu ditingkatkan ke bidang yang lebih luas dan lebih terasa pengaruhnya sudah tercapai. Bravo Ja Endar Muda Harahap, anak Padang Sidempuan yang merintis dunia pers di daerah perantauan.
Di Sumatera Utara sendiri, menurut Erond dalam kurun waktu 1885 hingga 1947 terdapat sebanyak 133 surat kabar yang sudah tentu termasuk surat kabar yang terbit dan beredar di Padang Sidempuan. Berbagai surat kabar tersebut dengan terang benderang telah turut menyebarkan gagasan-gagasan nasionalisme ke berbagai pelosok di daerah Sumatera Utara. Sementara itu di seluruh Hindia Belanda dalam waktu yang relatif singkat (sekitar tahun 1920), telah tercatat sebanyak 400 penerbitan dengan berbagai bentuk (surat kabar dan majalah) dan corak (daerah dan nasional) serta masa terbit (harian, mingguan dan bulanan).
Ini berarti persuratkabaran di Padang Sidempuan dan Tapanuli Bagian Selatan waktu itu telah turut, tumbuh dan berperan secara bersama-sama dengan daerah lain dalam pembentukan dinamika pers nasional. Individu-individu yang berasal dari Padang Sidempuan dan Tapanuli Bagian Selatan di dalamnya sudah tentu telah dengan jelas memainkan peran yang sangat penting dalam tumbuh dan berkembangnya persuratkabaran di nusantara.
Pada berikut ini disajikan profil singkat sejumlah tokoh pers yang berasal dari Tapanuli Bagian Selatan yang telah tercatat manis namanya dalam tulisan tebal yang mungkin sulit terhapus dari pers Indonesia. Nama-nama mereka adalah sebagai berikut:
- Ja Endar Muda Harahap
- Rajiun Harahap gelar Sutan Casayangan Soripada
- Parada Harahap
- Adam Malik Batubara
- Mochtar Lubis
- Sakti Alamsyah Siregar
- A.M. Hoeta Soehoet
- Basyral Hamidy Harahap
- Ashadi Siregar
- Hariman Siregar (orator)
Ja Endar Muda Harahap
[1861-1921]
Raja Persuratkabaran di Sumatera
Ja Endar Muda, nama lengkapnya Ja Endar Muda Harahap juga dikenal dengan nama Haji Muhammad Saleh, lahir di Padang Sidempuan tahun 1861. Kata Ja di depan nama orang Tapanuli Selatan adalah singkatan dari kata ‘Raja’. Ja Endar Muda menyelesaikan pendidikannya di Kweekschool Padang Sidempuan, lulus tahun 1885. Hogere Kweekschool dan disingkat HKS adalah sekolah guru tingkat atas, salah satu jenjang pendidikan resmi untuk menjadi guru pada zaman Hindia Belanda dengan pengantar Bahasa Belanda. Kweekschool Padang Sidempuan (dibuka pada tahun 1879 dan ditutup 1891) pada masa ini adalah SMA Negeri 1 Kota Padang Sidempuan.
Setelah menamatkan pendidik guru di Kweekschool Padang Sidempuan, Ja Endar Muda memulai karier gurunya sebagai guru bantu di Air Bangis. Pada saat itulah Ja Endar Muda menjadi editor correspondence majalah bulanan pendidikan Soeloeh Pengadjar yang terbit di Probolinggo pada tahun 1887. Di Probolinggo sendiri juga terdapat kweekschool yang dibuka pada tahun 1875.Ja Endar Muda adalah salah seorang yang dapat menangkap makna gagasan-gagasan pembaharuan Willem Iskander dalam rangka gerakan pencerdeasan bangsa melalui buku, majalan dan surat kabar, yang dicanangkan di dalam berbagai tulisan Willem Iskander.
Sutan Casayangan Soripada
[1874-1927]
Penggagas Indische Vereeniging
Rajiun Harahap gelar Sutan Casayangan Soripada (baca Kasayangan), lahir di Batunadua (di Kecamatan Padang Sidempuan Timur pada masa kini) pada tahun 1874. Sutan Casayangan Soripada menyelesaikan pendidikan guru tingkat atas di Kweekschool Padang Sidempuan. Gurunya yang terkenal di Kweekschool Padang Sidempuan adalah Van Ophuysen.
Pada tahun 1904, Van Ophuysen dikukuhkan sebagai Profesor di Universiteit Leiden dan Sutan Casayangan Soripada kemudian menjadi asistennya dalam mata kuliah Bahasa Melayu di Universiteit Leiden. Sutan Casayangan Soripada adalah penggagas Indische Vereeniging tanggal 25 Oktober 1908 di Leiden. Organisasi ini menjadi cikal bakal Perhimpoenan Indonesia yang menjadi perkumpulan intelektual muda Indonesia yang kelak tampil sebagai pemimpin bangsa Indonesia.
Pada tahun 1914 tidak lama setelah Sutan Casayangan Soripada kembali dari negeri Belanda, maka diterbitkanlah sebuah majalah berbahasa Batak di Padang Sidempuan yang bernama “Poestaha”. Pada kepala surat kabar tersebut terdapat pernyataan Soetan Casayang yang mengatakan bahwa “na ni togoe-togoe ni naoeli boeloeng Soetan Casayang Soripada”. Kemampuan yang dimiliki oleh surat kabar ini tidak kuat untuk membiayai hidupnya sendiri ketika itu.
Selanjutnya beliau menjadi guru sekolah di Bukit Tinggi. Sebagai catatan di Bukitinngi (Fort de Kock) juga terdapat Kweekschool yang dibuka pada tahun 1856, sedangkan Kweekschool Padang Sidempuan sudah ditutup pada tahun 1891. Dari Bukit Tinggi, Sutan Casayangan Soripada secara rutin tetap mengirim karangan-karangan untuk mengisi pemberitaan surat kabar Poestaha. Dalam perkembangannya surat kabar ini diasuh dengan baik dan akhirnya berhasil masuk dan diterima di kalangan rakyat, yang walaupun oplahnya tidak lebih besar dari 500 eksemplar. Dikabarkan, pada tahun 1930, surat kabar Poestaha berhenti dalam penerbitannya lantaran kurangnya biaya administrasi.
Parada Harahap
[1899-1959]
King of the Java Press dan Raja Delik Pers dari Sumatera Utara
Parada Harahap lahir di Desa Pargarutan, Padang Sidempuan Timur, Kabupaten Tapanuli Selatan tahun 1899. Sejak bulan Juli 1914, ia bekerja sebagai leerling schryver pada Rubber Cultur My Amasterdam di Sungai Karang, Asahan. Karena kecerdasan dan daya ingatnya yang sangat baik Parada Harahap kemudian dapat menggantikan juru buku berkebangsaan Jerman. Selama bekerja di perkebunan itu Parada Harahap terus belajar supaya dapat berbicara bahasa Belanda membaca surat kabar De Sumatera Post dan surat kabar berbahasa Melayu seperti Benih Merdeka dan Pewarta Deli serta mempelajari tulisan-tulisan yang dimuat dalam surat kabar itu.
Walau Parada Harahap menempati posisi yang menguntungkan secara ekonomi ketika dia bekerja sebagai kerani pada perkebunan Soengai Dadap milik HAP MIJ pada kantor besar Boenoet Kisaran, namun Parada tidak bisa menutup mata hatinya melihat penderitaan para kuli kontrak. Parada Harahap tidak tahan melihat penderitaan buruh-buruh perkebunan ditindas, sejalan dengan berlakunya satu peraturan yang dikenal dengan “Poenale Sanctie” atau kerja paksa.
Parada Harahap merupakan seorang sosok yang selfmademen/otodidak, sejak dari masa mudanya Parada Harahap sudah terlihat aktif dalam arti ingin mengetahui apa saja tentang sesuatu yang belum pernah diketahuinya. Maka di Padang Sidempuan, sebuah kota yang tidak terlalu jauh dari kampung halaman atau tempat kelahirannya (Pargarutan), sudah terbit sejak tahun 1914 sebuah mingguan berbahasa Batak bernama ‘Postaha’, dan dari penerbitan inilah Parada Harahap telah mengenal surat kabar pertama kali.
Karier jurnalisnya dimulai ketika ia menjadi staf redaksi surat kabar Benih Merdeka. Pada bulan November 1916 di Medan terbit koran pertama yang memakai kata Merdeka. Di dalam daftar redaksi suratkabar tersebut terdapat nama Muhammad Junus, RK Mangunatmodjo, Abdul Muis, A. Ramli dan Parada Harahap. Pada tahun 1917 dan 1918 Parada Harahap telah menulis dan membongkar kekejaman Poenale Sanctie dan perlakuan di luar batas perikemanusiaan terhadap kuli-kuli kontrak yang dilakukan baik oleh tuan kebun maupun bawahannya. Merasa tidak puas tinggal di Medan dengan segala kegiatannya itu, akhirnya Parada Harahap kembali ke Tapanuli dan menjadi pemimpin redaksi surat kabar berbahasa Batak bernama Poestaha.
Sambil memimpin mingguan tersebut, Parada Harahap berhasil membangkitkan animo Mangradja Bangun Batari yang merupakan direktur ‘N.V.Partopan Tapanoeli’, untuk segera menerbitkan surat kabar baru, maka lahirlah surat kabar Sinar Merdeka (1919). Dalam penerbitan surat kabarnya nomor pertama pada tanggal 3 Agustus, beliau mendapatkan masalah yang akhirnya harus dirasakannya juga, karena menjelang surat kabar tersebut terbit sudah banyak bahan-bahan yang terkumpul di mejanya. Satu diantara berita tersebut adalah kasus seorang manteri-polisi Sutan Naparas di Sipirok.
Disini Parada Harahap mulai menonjolkan bakatnya sebagai pejuang pena. Surat kabarnya sebagian besar mengkritik kebijakan pemerintahan kolonial Belanda akibat kesewenang-wenangan mereka selama di Hindia Belanda. Oleh karena itu wajar saja kalau masyarakat rendahan Sinar Merdeka menjadi tumpuan harapan untuk menyampaikan segala keluh kesah mereka dan ratap tangis terhadap perbuatan serta tindakan sewenang-wenang para pegawai-pegawai Belanda. Dimana saat itu Tapanuli dalam suasana gelap dari keadilan.
Tampilnya Parada Harahap oleh rakyat dianggap sebagai pahlawan pena yang sangat berperan dalam merebut kemenangan di medan perang. Selama 2 tahun Parada Harahap berada di Padang Sidempuan, maka tidak kurang 12 kali beliau menghadapi delik pers. Untuk itu tidak kurang dari 7 bulan juga ia harus keluar masuk penjara. Parada Harahap merupakan orang kedua di Sumatera Utara yang menggunakan kata atau istilah “Merdeka” pada nama surat kabarnya. Hal ini menunjukkan bahwa Parada Harahap sejak zaman kebangkitan sudah memiliki kesadaran yang kuat untuk segera menjadi bangsa yang merdeka.
Pada tahun 1922, ia pindah ke Jakarta dan menerbitkan mingguan Bintang Hindia, Bintang Timur dan Sinar Pasundan. Pada saat itu ia mulai memakai nama samaran Oom Baron Matturepeck yang diambil dari bahasa Batak (berarti suara dari kertas). Kemudian pada tahun 1930 terbit Bintang Timoer yang diasuh Parada Harahap. Selain itu, ia adalah satu-satunya orang pertama yang mendirikan Akademi Wartawan di Jakarta.
Parada Harahap dalam puncak karirnya sebagai wartawan selanjutnya dijuluki King of the Java Press karena kemauannya yang keras dan semangat belajarnya yang tinggi, baik secara otodidak maupun mengikuti kursus-kursus. Sebelumnya Parada Harahap dikenal sebagai “raja delik pers” dari Sumatera Utara. Ini berkaitan dengan tulisan-tulisannya yang banyak terkena delik akibat kecaman-kecaman melalui media surat kabar yang dilancarkan terhadap pemerintahan kolonial Belanda. Selama masa kolonial pernah dipenjarakan pemerintah Belanda sampai 12 kali—semuanya karena terkait pers. Atas sepak terjangnya Parada Harahap terhadap Belanda dan kejuangannya dalam membangkitkan bangsa yang dimulai dari Padang Sidempuan banyak yang mengusulkan tokoh pers Sumatera Utara ini menjadi pahlawan nasional. Semoga.
Adam Malik Batubara
[1917-1984)
Si Kancil Menjadi Wakil Presiden dengan Semboyan ‘Semua Bisa Diatur’
Adam Malik, nama lengkapnya Adam Malik Batubara lahir di Kota Pematang Siantar, Sumatra Utara, 22 Juli 1917. Adam Malik hanya berijazah Sekolah Dasar (SD) tetapi bias menjadi Wakil Presiden Republik Indonesia. Anak dari pasangan Haji Abdul Malik Batubara dan Salamah Lubis ini, sejak kecil gemar menonton film koboi, membaca, dan fotografi.
Setelah lulus HIS, oleh ayahnya ia diserahi memimpin toko 'Murah', di seberang bioskop Deli. Di sini ia banyak membaca berbagai buku yang memperkaya pengalamannya. Ketika semua pemuda ikut aktif menuntut hak merdeka bagi bangsanya, Adam sebagai Ketua Partindo di Pematang Siantar, ikut ambil bagian pula. Ia pernah ditahan polisi Dinas Intel Politik di Sipirok 1934 dan dihukum dua bulan penjara di Kota Padang Sidempuan karena melanggar larangan berkumpul.
Kegandrungannya berpolitik mendorong Adam Malik merantau ke Jakarta. Pada usia 20 tahun, Adam bersama dengan Soemanang, Sipahutar, Armin Pane, Abdul Hakim, dan Pandu Kartawiguna, memelopori berdirinya kantor berita Antara. Dengan modal satu meja tulis tua, satu mesin tulis tua, dan satu mesin roneo tua, mereka menyuplai berita ke berbagai surat kabar nasional.
Di zaman Jepang, Adam Malik aktif bergerilya dalam gerakan pemuda memperjuangkan kemerdekaan. Ia termasuk pemuda radikal, rewel, dan ribut yang memaksakan kepada para pemimpin termasuk Bung Karno dan Bung Hatta, agar segera menyatakan kemerdekaan. Menjelang tanggal 17 Agustus 1945, bersama Sukarni, Chaerul Saleh, dan Wikana, Adam Malik pernah melarikan Bung Karno dan Bung Hatta ke Rengasdengklok untuk memaksa Bung Karno dan Bung Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.
Ia menggerakkan rakyat berkumpul di lapangan Ikada, Jakarta, mendukung kepemimpinan Soekarno-Hatta. Mewakili kelompok pemuda, Adam Malik yang menjadi pimpinan Komite Van Aksi, terpilih sebagai Ketua III Komite Nasional Indonesia Pusat yang bertugas menyiapkan susunan pemerintahan. Selain itu, Adam Malik adalah pendiri dan anggota Partai Rakyat, pendiri Partai Murba, dan anggota parlemen. Akhir tahun lima puluhan, atas penunjukan Soekarno, Adam Malik masuk ke pemerintahan menjadi duta besar luar biasa dan berkuasa penuh untuk Uni Soviet dan Polandia. Karena kemampuan diplomasinya, Adam Malik kemudian menjadi ketua Delegasi RI dalam perundingan Indonesia-Belanda, untuk penyerahan Irian Barat di tahun 1962. Selesai perjuangan Irian Barat (Irian Jaya), Adam Malik memegang jabatan Menko Pelaksana Ekonomi Terpimpin.
Pada masa gelombang naiknya kekuasaan Partai Komunis Indonesia, Adam Malik dianggap sebagai musuh. Bersama Roeslan Abdulgani dan Jenderal Nasution, beliau dianggap termasuk trio sayap kanan dan dicap kontra-revolusi. Posisi Adam Malik yang berseberangan dengan kelompok kiri, menolongnya ketika terjadi pergantian rezim pemerintahan Orde Lama. Tahun 1966 Adam Malik disebut-sebut dalam trio baru Soeharto-Sultan-Malik. Melalui televisi pada tahun 1966 itu, ia menyatakan keluar dari Partai Murba karena pendirian Partai Murba, yang menentang masuknya modal asing. Empat tahun kemudian, ia berada dalam barisan Golkar.
Dalam kedudukannya sebagai Menlu dalam pemerintahan Orde Baru, Adam Malik berhasil mengembalikan kepercayaan dunia mengenai politik luar negeri Indonesia, yang menjadi anggota PBB kembali. Beliau berperanan penting dalam serangkaian perundingan dengan negara-negara lain serta rescheduling utang Indonesia peninggalan Orla. Bersama Menlu negara-negara ASEAN, Adam Malik memelopori terbentuknya ASEAN tahun 1967. Tahun 1977, beliau terpilih menjadi Ketua DPR/MPR yang memuluskan jalan menjadi Wakil Presiden Republik Indonesia tahun 1978.
Adam Malik adalah pejuang yang menempuh jalan panjang dalam revolusi Indonesia, dan menempatkan dirinya sebagai sosok anak bangsa yang disegani. Namun, karena kecerdikannya, pria berpostur kecil itu dijuluki sebagai ''si kancil'. Bahkan, dalam perjuangan kemerdekaan keberaniannya tidak diragukan. Jangan kaget, bahwa Ia pernah menjadi Ketua Sidang Umum PBB di New York. 'Semuanya bisa diatur’, itu sering terucap di bibir sosok Adam Malik, saat ia menjabat sebagai duta besar, maupun menjabat menteri, Ketua DPR atau sebagai Wakil Presiden. Sang wartawan, politisi, dan juga diplomat kawakan ini selalu memunyai 1.000 jawaban, terhadap segala macam permasalahan yang dilontarkan kepadanya.
Setelah mengabdikan diri demi bangsa dan negaranya, Haji Adam Malik Batubara meninggal di Bandung pada 5 September 1984 karena kanker lever. Kemudian, istri dan anak-anaknya mengabadikan namanya dengan mendirikan Museum Adam Malik. Pemerintah juga memberikan berbagai tanda kehormatan. Pemerintah daerah mengabadikan namanya sebagai nama rumah sakit di Medan dengan nama Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Haji Adam Malik. Kini namanya juga diusulkan oleh sejumlah pihak menjadi nama bandara internasional Sumatera Utara di Kuala Namu, Deli Serdang.
Mochtar Lubis
[1922-2004]
Wartawan Jihad, Sastrawan, Budayawan, Pemimpin, dan Pribadi yang Berani dan Jujur
Mochtar Lubis lahir di Sungai Penuh, Kerinci. Provinsi Jambi pada tanggal 7 Maret 1922. Ia adalah anak keenam dari sepuluh bersaudara. Ayahnya, Raja Pandapotan Lubis, adalah seorang asisten demang di kota kelahiran Mochtar Lubis antara tahun 1915 hingga 1929. Ayahnya berasal dari Desa Muara Suro, dekat Kotanopan, Kabupaten Mandailing Natal sekarang. Yang meninggal 1953. Ibunya, Siti Madinah Nasution, seorang anak kuria (induk kampung) di jaman Belanda meninggal di Medan 22 Mei 1986 dalam usia 90-an tahun. Selama hidup ibunya bersama saudara bungsu Mochtar Lubis, Asniah di desa Muara Suro.
Riwayat pendidikan Mochtar Lubis dimulai di sekolah Sekolah Rakyat hanya selama setahun sebelum dibukanya sekolah dasar berbahasa Belanda (HIS) di Sungai Penuh yang ditempuh selama empat tahun (selesai tahun 1936). Di sekolah inilah ia mulai mengasah bakat sastranya belajar menulis cerita dan dimuat di surat kabar Sinar Deli. Kemudian masuk Sekolah Ekonomi Indonesische Nationale School (INS) di Kayutanam (selesai tahun 1940). Setelah itu melanjutkan pendidikan ke East-West Center, Universitas Hawaii, Amerika Serikat.
Semasa hidupnya, Mochtar Lubis memulai kariernya bekerja pada Bank Factory di Jakarta. Di zaman pendudukan Jepang, ia bekerja sebagai redaktur Radio Militer Jepang kemudian menjadi wartawan LKBN sekitar tahun 1945. Selain itu, ia juga pernah menjadi wartawan Harian Merdeka dan aktif dalam beberapa mass media seperti: Pemimpin Redaksi Majalah Mutiara, Pemimpin Redaksi Harian Indonesia Raya, Pemimpin Umum Majalah Sastra Horison, Penulis/Kolumnis di Kompas, SH, Tempo dan Fokus.
Di samping itu, ia juga pernah aktif dalam beberapa organisasi, di antaranya: aktif di Yayasan Indonesia Hijau, Assosiate Editor pada World Paper Boston AS, Dirjen Yayasan Pers Asia, Manila, Anggota Pacific Community, Wakil Ketua Akademi Jakarta, Ketua Dewan Penyantun LBH, Anggota International Press Institute London, Anggota Associatition for Cultural Freedom, dan Anggota Mondial pour les Etudes Sur le Futur.
Sementara itu, karirnya sebagai sastrawan mulai ditapaki Mochtar Lubis sejak penerbitan buku pertamanya berjudul Si Djamal (tahun 1950), kemudian Djalan Tak Ada Udjung (tahun 1952). Sebagai sosok pengarang, Mochtar Lubis telah melahirkan beberapa karya berupa kumpulan cerpen dan novel, yaitu: Teknik Mengarang (1951), Teknik Menulis Skenario Film (1952), Penyamun dalam Rimba (cerita anak, 1972), Manusia Indonesia (1977), Bunga Rampai Korupsi (bersama James C. Scott, 1984), Hati Nurani Melawan Kezaliman: Surat-Surat Bung Hatta kepada Presiden Soekarno (1986), Harimau! Harimau! (Novel). Atas prestasinya tersebut, Mochtar Lubis meraih Hadiah, dari Yayasan Buku Utama Departeman P & K (tahun 1975).
Mochtar Lubis adalah seorang jurnalis dan pengarang ternama asal Indonesia. Sejak zaman pendudukan Jepang ia telah dalam lapangan penerangan. Ia turut mendirikan Kantor Berita Antara, kemudian mendirikan dan memimpin harian Indonesia Raya yang telah dilarang terbit. Ia mendirikan majalah sastra Horizon bersama-sama kawan-kawannya. Pada waktu pemerintahan rezim Soekarno, ia dijebloskan ke dalam penjara hampir sembilan tahun lamanya dan baru dibebaskan pada tahun 1966. Pemikirannya selama di penjara, beliau tuangkan dalam buku Catatan Subversif (1980).
Dengan keuletan dan pemikiran yang kritis serta ketokohan Mochtar Lubis menyebabkan sejumlah peneliti melakukan studi mengenai Mochtar Lubis, seperti M.S. Hutagalung yang focus pada novel Mochtar Lubis 'Jalan Tak Ada Ujung' (1963). kemudian Henri Chambert-Loir mengangkatnya ke desertasi dengan judul 'Mochtar Lubis, une vision del'Indesie Contempraine' (Paris, 1974) dan selanjutnya David T. Hill, 'Mochtar Lubis: Author, Editor, adn Political Actor' (disertasi, Canberra, 1989)
Pada akhir hayatnya Mochtar Lubis ikut sebagai pendiri Yayasan Obor Indonesia. Mochtar Lubis meninggal dunia dalam usia 82 tahun, pada hari Jum’at, 2 Juli 2004.
Sakti Alamsyah Siregar
[1922-1983]
Seorang Guru, Orang Tua, dan Pahlawan Bangsa
Sakti Alamsyah, nama lengkapnya Sakti Alamsyah Siregar gelar Patuan Sojuangon lahir di Sungai Karang, Sumatera Utara 27 Januari 1922. Ayahnya Sutan Kamala Martua Siregar berasal dan meninggal dunia di Desa Parau Sorat, Kecamatan Sipirok, Kabupaten Tapanuli Selatan. Tidak banyak orang tahu masa kecil Sakti Alamsyah, tetapi orang Jawa Barat hanya mengenal Sakti Alamsyah melalui suaranya. Ceritanya bermula ketika masa-masa awal revolusi kemerdekaan nama Sakti Alamsyah dikenal sebagai penyiar RRI. Sakti Alamsyah termasuk penyiar yang sangat disukai para pendengarnya. Boleh jadi para pendengarnya tidak banyak yang tahu bahwa Sakti Alamsyah juga terkenal di kalangan dunia musik sebagai pencipta lirik lagu yang andal.
Pada masa itu, kiprah fenomenal Sakti Alamsyah ketika membacakan teks proklamasi yang dapat didengar publik melalui Radio Bandung (cikal bakal RRI Bandung). Anehnya, ketika Sakti Alamsyah memulai membaca teks proklamasi tersebut, beliau justru memulainya dengan pengantar sebagai berikut: “Di sini Radio Bandung, siaran Radio Republik Indonesia...". Padahal waktu itu belum lahir Radio Republik Indonesia alias RRI. Pembacaan teks proklamasi oleh Sakti Alamsyah dilakukan tepat pada tanggal 17 Agustus 1945 pukul tujuh malam. Teks proklamasi yang dibaca Sakti Alamsyah tersebut kemungkinan besar diperoleh dari Radio Jakarta yang sudah terlebih dahulu memperoleh salinannya dari Adam Malik yang waktu itu beliau menjadi pemimpin Kantor Berita Antara. Pertanyaannya: Mengapa justru Radio Bandung yang berani menyiarkannya?
Selain itu, teks yang dibacakan Sakti Alamsyah—yang pada waktu itu Sakti Alamsyah masih berumur 23 tahun—ada perbedaan kecil dalam teks proklamasi yang disiarkan Sakti dengan teks sebagaimana dibacakan Soekarno di Pegangsaan Timur, Jakarta. Sakti Alamsyah justru menutupnya dengan kalimat "Wakil-wakil Bangsa Indonesia, Soekarno-Hatta". Padahal, Bung Karno membacakannya dengan kalimat yang jelas terdengar "Atas Nama Bangsa Indonesia, Soekarno-Hatta". Tidak ada yang mengetahui dengan pasti bagaimana asal muasal perbedaan teks dan yang dibacakan Soekarno dengan apa yang disuarakan Sakti Alamsyah Siregar.
Pengucapan ‘Radio Republik Indonesia’ untuk menamai diri dalam pengantar siaran, Sakti Alamsyah justru mengabaikan nama yang selama ini diucapkan dengan ‘Radio Bandung Hoshokyoku’. Sekalipun hari itu proklamasi sudah dikumandangkan, tetapi kenyataannya bentuk negara belum disepakati. Para pemerhati, menganggap ucapan Sakti Alamsyah sebagai pernyataan futuristik dari lubuk hgati dirinya. Padahal negara baru Indonesia justru setelahnya diputuskan berbentuk republik yang notabene juga nama radio nasional baru ditetapkan kemudian persis seperti yang diucapkan pertama kali oleh Sakti Alamsyah: “Di sini Radio Bandung, siaran ‘Radio Republik Indonesia’...".
Kita harus akui bahwa inisiatif para pekerja khususnya penyiar Radio Bandung Hoshokyoku, Sakti Alamsyah, untuk menyuarakan teks proklamasi di udara yang dapat didengar semua publik jelas-jelas seuatu keputusan yang berani. Tidak hanya sampai di situ para penyiar Radio Bandung Hoshokyoku tanpa rasa takut terus berulang-ulang menyiarkan naskah proklamasi itu setiap kali ada kesempatan untuk dibacakan kembali. Berkat siaran Radio Bandung itu yangdipancarkan dari Jalan Malabar, Bandung kabar kemerdekaan sebuah negara baru bernama Indonesia diketahui khalayak yang lebih luas, yang tak hanya dapat ditangkap di seluruh pelosok nusantara, tetapi juga tetangkap di seluruh dunia.
Setelah beberapa lama menjadi penyiar RRI Bandung, Sakti Alamsyah memulai karir baru dan aktif sebagai wartawan di surat kabar Pikiran Rakyat yang terbit di Bandung. Ketika di dalam organisasi penerbitan tersebut terjadi gejolak internal akibat situasi politik saat itu, Sakti bersama sejumlah karyawan lainnya memisahkan diri dan mendirikan surat kabar baru dengan tetap menggunakan nama surat kabar tempat mereka sebelumnya bekerja yakni Pikiran Rakyat.
Bagi warga Jawa Barat, Sakti Alamsyah Siregar digambarkan sebagai sosok yang wajahnya berciri khas Batak, agak angker, dan seumur hidup beliau memang tidak juga pintar berbahasa Sunda. Tapi, ketika berita kematiannya diberitakan, yang tampak paling kehilangan justru orang Jawa Barat. Sakti Alamsyah meninggal dunia di Banjarmasin 28 April 1983) ketika menjalankan tugas dan jenazahnya dikebumikan di Taman Makaman Pahlawan Cikutra, Bandung. Besoknya, pada tajuk rencana harian Pikiran Rakyat (PR), koran terbesar di Jawa Barat meratapi kepergiannya dengan pernyataan "Pemimpin kami, guru kami, ayah kami, sahabat dan kolega kami, tiba-tiba pergi meninggalkan kita semua.".
Sakti Alamsyah Siregar, rupanya bukan cuma seorang pemimpin umum sebuah surat kabar yang kebetulan besar di daerah, seperti PR tetapi juga ketegasan dan keberaniannya bagaikan guru: mendidik dan membangun. Sejumlah koleganya menganggap Sakti Alamsyah adalah seorang yang kaya dengan gagasan besar. Ini bermula di awal tahun 1970-an ketika pers daerah khususnya di wilayah Jawa Barat mengalami masa-masa sulit atas penetrasi surat kabar nasional (Jakarta) merambah ke daerah. Jaringan transportasi dan komunikasi yang semakin membaik menyebabkan koran-koran ibukota mulai terasa menggeser keberadaan koran-koran yang terbit di daerah.
Tapi Sakti Alamsyah, punya resep sakti dengan PR-nya bahwa menghadapi koran-koran Jakarta tidak harus bereaksi dengan semangat berperang, tetapi justru dengan sikap yang proporsional. Sakti Alamsyah menyemangati bawahannya dengan pernyataan "Biar orang pegang koran Jakarta di tangan kanan, kita cukup di tangan kiri”. Untuk mengantisipasinya, Sakti Alamsyah pun mulai memikirkan dengan memperbesar porsi berita daerah di harian Pikiran Rakyat. Resep skati dari Sakti Alamsyah Siregar diketahui pada akhirnya PR bukan koran tangan kiri lagi tetapi juga telah menjadi koran tangan kanan.
Sakti Alamsyah hingga akhir tetap sebagai wartawan dan pejuang pembangunan, khususnya pembangunan daerah melalui media tulisan. Sakti Alamsyah adalah perintis dan penyiar di RRI Bandung juga menjadi perintis dan pendiri P.T. Pikiran Rakyat Bandung. Sakti Alamsyah merupakan tokoh penting peletak dasar Harian Umum Pikiran Rakyat sebagai media massa yang cukup digemari warga Jawa Barat. Harian Pikiran Rakyat adalah salah satu koran daerah yang mampu tumbuh dan berkembang hingga saat ini. Sebelum tiba waktunya beliau di panggil yang Maha Kuasa, Sakti Alamsyah tetap bertindak sebagai Direktur P.T. Pikiran Rakyat/Pemimpin Umum Harian Umum Pikiran Rakyat. Kami selalu mengingatmu.
A. M. Hoeta Soehoet
[1928-2011]
Wartawan Pendiri Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP) Jakarta
A. M. Hoeta Soehoet nama lengkapnya Ali Mochtar Hoeta Soehoet lahir di Sipirok, Tapanuli Selatan 11 November 1928. Beliau adalah pendiri dan Komandan Tentara Pelajar di Tapanuli Selatan. Pada 5 Desember 1953, beliau memimpin Perhimpunan Mahasiswa Akademi Wartawan, menjabat sebagai Ketua Umum yang ketika itu mempelopori pendirian Perguruan Tinggi Djurnalistik (PTD), selanjutnya menjadi Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi/Sekolah Tinggi Publisistik dan pada akhirnya dikembangkan menjadi Institut dengan nama Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP) Jakarta.
Beliau dikenal sebagai tokoh pers Indonesia. Semasa hidupnya, beliau bekerja sebagai korektor pada Harian Detik di Bukit Tinggi (1948), Staff Redaksi dan Managing Editor harian Sumber di Jakarta (1950- 1958), Reporter – Managing Editor merangkap Kuasa Direksi harian Indonesia Raya (1954 – 1958). Pemimpin Redaksi majalah film Duta Layar Putih di Jakarta (1957 -1958), Wakil Pemimpin Umum/Direktur pada harian Abadi di Jakarta (1967-1974), Wakil Sekretaris Umum Serikat Penerbit Suratkabar (1970-1972), Wakil Ketua Serikat Penerbit Suratkabar Pusat merangkap Ketua Bidang Pendidikan (1972-1974). Anggota Komisi Pembentukan Lembaga Pusat Pendidikan dan Latihan Pers yang dibentuk oleh Dewan Pers (1977).
Sebagai dosen, beliau mengajar mata kuliah Dasar-Dasar Jurnalistik, Teori Komunikasi, Seleksi Penyuntingan & Penataan Isi Suratkabar, Pengadaan Bahan Berita, Etika & Kode Etik Jurnalistik, serta Manajemen Media Massa. Selain itu, beliau telah menulis sepuluh buku tentang ilmu komunikasi : Pengantar Ilmu Komunikasi, Teori Komunikasi I & II, Filsafat Komunikasi I & II, Dasar-Dasar Jurnalistik, Seleksi, Sunting dan Penataan Isi Suratkabar dan Majalah, Manajemen Media Massa, Etika dan Kode Etik Komunikasi, dan Media Komunikasi. Selamat Jalan A.M. Hoeta Soehoet.
Basyral Hamidy Harahap
[1940-sekarang]
Seorang ‘Ensiklopedia Berjalan’ Tapanuli Bagian Selatan
Basyral Hamidy Harahap, lahir di Desa Sihepeng, Kecamatan Siabu, Kabupaten Mandailing Natal, 15 November 1940. Pengajar tetap Fakultas Sastra Universitas Indonesia 1964-1975, Tenaga honorer pada Lembaga Pers dan Pendapat Umum di Jakarta 1964-1965, Ketua Jurusan Ilmu Perpustakaan Fakultas Sastra Universitas Indonesia 1965-1967, Pengajar pada Latihan Jabatan Lembaga Administrasi Negara 1965-1967, Bibliografer Ikatan Penerbit Indonesia Pusat 1967-1969, Tenaga honorer pada Perwakilan Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde (KITLV) di Jakarta 1969-1975, Diperbantukan pada Rektor Universitas Indonesia untuk persiapan Perpustakaan Pusat UI 1970, Wartawan Pendam V Jaya 1970, Perwakilan Pengadaan Publikasi Indonesia untuk Perpustakaan Universitas – Universitas Malaysia: UM, UKM, USM, UPM dan UTM 1970-1976, Mengundurkan diri dari Pegawai Negeri 1975, Pustakawan KITLV 1975-1995,
Pengajar Luar Biasa Fakultas Sastra Universitas Indonesia 1976-1977, Meneliti biografi dan karya Sati Nasution gelar Sutan Iskandar (Pidoli Lombang Maret 1840 – Amsterdam 8 Mei 1876) yang lebih terkenal dengan nama Willem Iskander, penyair dan pelopor pendidikan guru Indonesia yang mendirikan Kweekschool voor Inlandsch Onderwijzers di Mandailing tahun 1862. Penelitian arsip tentang Willem Iskander di Belanda 1975, 1981, 1985, 1989 dan Juli-Agustus 2006. Wartawan Selecta Group 1976-1985, Ikut mendirikan Yayasan Adam Malik 1985, kemudian Sekretaris Yayasan Adam Malik 1985-1998, Pembantu Redaksi Masyarakat Indonesia: Majalah Ilmu-Ilmu Sosial Indonesia diterbitkan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) 1986-1987, Anggota Pengurus Besar Ikatan Pustakawan Indonesia (IPI) 1992-1995, Kepala Sekretariat Pengurus Besar IPI 1997-1998,
Nara Sumber Badan Warisan Sumatera (Sumatra Heritage Trust ) sejak Oktober 1998 – sekarang, Meneliti biografi dan karya Willem Iskander (1840-1876) di Negeri Belanda tahun 1975, 1981, 1985, 1989 dan Juli-Agustus 2006. Menulis di berbagai media massa, buku, dan makalah tentang Willem Iskander dan masalah sosial budaya Tapanuli Selatan dan Mandailing-Natal, antara lain makalah berjudul The Political Trends of South Tapanuli and its Reflections in the General Elections 1955, 1971 and 1977 disampaikan pada International Interdisciplinary Symposium on Cultures and Societies of North Sumatra di Universität Hamburg, Jerman, November 1981, dimuat dalam buku Cultures and Societies of North Sumatra diterbitkan di Berlin oleh Dietrich Reimer Verlag tahun 1987, ISBN 3-496-00181-X. Makalah berjudul Islam and Adat Among South Tapanuli Migrants in Three Indonesian Cities: Jakarta, Medan and Bandung disampaikan pada Tenth Annual Indonesian Studies Conference di Ohio University, Athens, USA, Agustus 1982, dimuat dalam buku Indonesian Religions in Transition diterbitkan di Tucson, Arizona, oleh The University of Arizona Press tahun 1987, ISBN 0-8165-1020-2. Menulis Kumpulan Puisi: Perjalanan, diterbitkan oleh Penerbit Puisi Indonesia di Jakarta tahun 1984, antara lain berisi sajak berjudul New York diterjemahkan oleh John H. McGlynn yang diterbitkan dalam buku Manhattan Sonnet: Indonesian Poems, Short Stories, and Essays about New York diterbitkan di Jakarta oleh The Lontar Foundation, 2001. – ISBN 979-8083-40-7. – p. 44-45. Sejak 1979 Asisten Prof. Dr. Bernhard Dahm penelitian tentang tradisi dan modernisasi masyarakat Tapanuli Selatan. Sudah melakukan penelitian lapangan pada tahun 1979, 1980, 1989, 1994. Anggota Tim Penyusun Buku 60 Tahun Indonesia Merdeka diterbitkan oleh Sekretariat Negara, Agustus 2006.
Beberapa Karya Tulis:
- 2006a: “Syekh Abdul Halim Hasan dan Perubahan Sosial”. – Dalam: Tafsir Al-Ahkam / oleh Syekh H. Abdul Halim Hasan Binjai. – Jakarta : Prenada Media Group, 2006. – pp. xlix – lv. – ISBN 979-3925-40-X [Peranan Ulama Mandailing di Sumatera Timur]
- 2006b “Ulama dan Perubahan Sosial”: makalah pada Seminar Peluncuran Tafsir Al-Ahkam [karya Syekh Abdul Halim Hasan Binjai] di Hotel Graduda Plaza Medan, 17 Juni 2006. – 12 p. – [Peranan Ulama Mandailing di Malaysia]”
- 2005a: Fakta dan Angka Statistik Pendidikan Kabupaten Mandailing Natal 2005. – Panyabungan : Pemerintah Kabupaten Mandailing Natal, 2005. – xii, 88 p. – ISBN 979-99704-0-7.
- 2005b: Rakyat Mendaulat Taman Nasional Batang Gadis. – Panyabungan : Pemerintah Kabupaten Mandailing Natal, 2005. – xvi [16], 132 p. – ISBN 979-98376-1-8.
- 2004a: Pemerintah Kabupaten Madina Membangun Masyarakat Yang Madani: Suatu Studi Perbandingan. – Panyabungan : Pemerintah Daerah Kabupaten Mandina, 2004. – 424, [62] p. – ISBN 979-98376-0-X
- 2004b: Siala Sampagul : Nilai-Nilai Luhur Budaya Masyarakat Kota Padangsidimpuan. – Padangsidimpuan : Pemerintah Kota Padangsidimpuan, 2004. – xvi, 203 p. – ISBN 979-98049-1-4.
- 2003: Pemerintah Kota Padangsidimpuan Menghadapi Tantangan Zaman. – Padangsidimpuan : Pemerintah Kota Padangsidimpuan, 2003. – 241 p. – ISBN 979-98049-0-6.
- 2002a: Pengantar tesis Krismus Purba Opera Batak Tilhang Serindo Pengikat Budaya Masyarakat Batak Toba di Jakarta. – Yogyakarta : Kalika Budaya, 2002. – pp. vii – xvii. – ISBN 979-9420-13-X.
- 2002b: Si Bulus-Bulus Si Rumbuk-Rumbuk / Willem Iskander ; pengantar dan terjemahan oleh Basyral Hamidy Harahap ; Edisi ke-3. – Jakarta : Sanggar Willem Iskander, 2002. – 109 p. – ISBN 979-8067-01-0.
- 2001: Pengantar untuk Edisi Indonesia disertasi Lance Castles: Kehidupan Politik Suatu Keresidenan di Sumatra : Tapanuli 1915-1940 / Lance Castles. – Jakarta : Kepustakaan Populer Gramedia. – pp. vii – xxxi. – ISBN 979-9023-65-3.
- 2000: Resolusi Nuddin Lubis Tonggak Sejarah Demokrasi. – Jakarta : 2000. – xvii, 543 p. (Naskah siap cetak).
- 1998: Kejuangan Adam Malik (1917-1984). – Jakarta : Yayasan Adam Malik, 1998. – 64 p.
- 1997a: Mengenal Kaum Angkola-Mandailing / oleh Basyral Hamidy Harahap ; diadaptasi untuk khalayak Malaysia oleh Prof. Madya DR. H.M. Bukhari Lubis. – Kuala Lumpur : Ikatan Kebajikan Mandailing Malaysia, 1997.- 129 p.
- 1997b: “Orientasi Pembangunan Mandailing”. – Dalam: Derap Langkah Mandailing Natal: Sarasehan Masyarakat Mandailing di Hotel Kemang, 12 Juli 1997. – 58 p. – Jakarta : Himpunan Keluarga Mandailing (HIKMA), 1997.
- 1997c: Willem Iskander (1840-1876) Sebagai Pejuang Pendidikan dan Pendidik Pejuang Daerah Sumatera Utara. – Medan : Kanwil Depdikbud bekerjasama dengan Pemda Sumatera Utara, 1997. – 207 p. – (Naskah siap cetak).
- 1996: “Willem Iskander: Guru yang Terlempar Jauh ke Masa Depannya”. – Dalam: Nalar dan Naluri: 70 Tahun Daoed Joesoef / penyunting Kadjat Hartojo, Harry Tjan Silalahi, Hadi Soesastro. – Jakarta : CSIS, 1996. – pp.185 – 227. – ISBN 979-8026-44-6.
- 1993: Horja: Adat Istiadat Dalihan Na Tolu. – Jakarta. – xxxiii, 598, [60] p. – ISBN 979.8847-00-X.
- 1987a: Islam and Adat Among South Tapanuli Migrants in Three Indonesian Cities: Jakarta, Medan and Bandung disampaikan pada Tenth Annual Indonesian Studies Conference di Ohio University, Athens, USA, Agustus 1982, dimuat dalam buku Indonesian Religions in Transition diterbitkan di Tucson, Arizona, oleh The University of Arizona Press tahun 1987. – p. 221-237, Notes p 273. – ISBN 0-8165-1020-2.
- 1987b: Orientasi Nilai-Nilai Budaya Batak: Suatu Pendekatan Terhadap Perilaku Batak Toba dan Angkola-Mandailing / oleh Basyral Hamidy Harahap dan Hotman M. Siahaan. – Jakarta : Sanggar Willem Iskander. – xvi, 344 p. – ISBN 979-8067-00-9.
- 1987c: The Political Trends of South Tapanuli and its Reflection in the General Elections 1955, 1971 and 1977 disampaikan pada International Interdisciplinary Symposium on Cultures and Societies of North Sumatra di Universität Hamburg, Jerman, November 1981, dimuat dalam buku Cultures and Societies of North Sumatra diterbitkan di Berlin oleh Dietrich Reimer Verlag.
Ashadi Siregar
[1945-sekarang]
Penjaga Akal Sehat dari Kampus Biru
Lahir di Pematang Siantar, Sumatra Utara 3 Juli 1945. Pendidikan menengahnya diselesaikan di Kota Padang Sidempuan: SMP Negeri I Padang Sidempuan (1961) dan SMA bagian B Negeri I Padang Sidempuan (1964). Pendidikan tinggi dimulai dan lulus dari Jurusan Publisistik Fakultas Sospol UGM pada 1970 dan menjadi pengajar pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada serta Direktur Lembaga Penelitian Pendidikan Penerbitan Yogya/LP3Y.
Ashadi Siregar mencuat ke permukaan lewat novel legendarisnya ‘Cintaku di Kampus Biru’. Dalam karirnya, dia telah menulis 12 novel, 4 di antaranya difilmkan, menulis dan menyunting sejumlah buku tentang media dan kebudayaan, menulis sejumlah artikel kontribusi jurnal dan antologi buku tentang media dan kebudayaan dan menulis kolom untuk suratkabar dan majalah berita.
Ashadi Siregar pernah menjadi Redaktur Mingguan Publica Yogyakarta (1968), Pemimpin Redaksi/Penanggung Jawab Mingguan Sendi Yogyakarta (1972 – 1973), Pembantu lepas (stringer) Majalah Tempo Jakarta untuk Yogyakarta (1973), Redaktur Ahli Majalah JURNAL Pasar Modal Indonesia, Jakarta (2000) dan Ketua Tim Ombudsman SKH Kompas sejak 2003.
Pada 1974 Ashadi Siregar ditahan oleh polisi karena menolak pembangunan Taman Mini Indonesia Indah. "Ashadi merupakan guru bangsa yang dengan tulisan dan konsistensi telah memberikan banyak manfaat. Memasuki usia senja 65 tahun, jurnalis senior ini meluncurkan buku berjudul "Ashadi Siregar: Penjaga Akal Sehat dari Kampus Biru."
Hariman Siregar
[1950-sekarang]
Sang Legenda Hidup
Hariman Siregar lahir di Padang Sidempuan, Kabupaten Tapanuli Selatan, Propinsi Sumatera Utara, 1 Mei 1950. Hariman merupakan putera ke empat dari pasangan Kalisati Siregar dan ibunya yang bermarga Hutagalung. Sejak SD sampai Kuliah ia selesaikan di Jakarta. Putera pensiunan pegawai Departemen Perdagangan ini, pada tahun 1973 terpilih sebagai Ketua Umum Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia (DEMA UI), di saat aksi di berbagai kampus meningkat.
Malari adalah peristiwa demonstrasi mahasiswa dan kerusuhan sosial yang terjadi pada 15 Januari 1974 di Jakarta. Di hari kelabu itu, pusat pertokoan yang dikenal dengan Proyek Senen di Jakarta dibakar orang. Dalam peristiwa yang bisa dikatakan “hari anti Jepang” itu, lebih-kurang 807 buah mobil dan 200 sepeda motor dari berbagai merk Jepang dirusak/dibakar, 144 bangunan dirusak, 11 orang mati, 100 orang luka-luka, 17 luka parah, 775 orang ditangkap. Sebanyak 160 kilogram emas dari berbagai toko di daerah pecinan, mulai Senen sampai Glodok di Jakarta. Peristiwa itu terjadi selama kunjungan tiga hari PM Jepang Kakuei Tanaka di Jakarta (14-17 Januari 1974). Kedatangan Ketua Inter-Governmental Group on Indonesia (IGGI) Jan P Pronk dijadikan momentum untuk demonstrasi anti modal asing. Klimaksnya, kedatangan PM Jepang, Januari 1974, disertai demonstrasi dan kerusuhan. Mahasiswa berencana memboikot kedatangannya di Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma. Karena dijaga ketat, rombongan mahasiswa tidak berhasil menerobos masuk pangkalan udara. Tanggal 17 Januari 1974 pukul 08.00, PM Jepang itu berangkat dari Istana tidak dengan mobil, tetapi diantar Presiden Soeharto dengan helikopter dari Bina Graha ke pangkalan udara. Itu menggambarkan, situasi Kota Jakarta masih mencekam
Sehari setelah tamu negara ini meninggalkan Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma yang dijaga ketat oleh tentara, suasana panas mulai mereda. Tapi buntutnya cukup serius. Lima koran terkemuka dan dua majalah di Jakarta diberangus. Sejumlah tokoh, di antaranya Prof. Sarbini Sumawinata, Dorodjatun Kuntjoro Jakti, Buyung Nasution, Fahmi Idris, Subadio Sastrosatomo, Laksamana Muda Mardanus, Sjahrir, Rachman Tolleng, Hariman Siregar, ditahan. Hariman sendiri tidak sampai penuh menjalani vonis hukuman 6 tahun yang dijatuhkan atas dirinya.
Pada 24 Oktober 1973, di kampus Salemba ada lagi diskusi yang menghadirkan tokoh dari berbagai angkatan. Ada bekas Wali Kota Jakarta Sudiro, ada Menlu Adam Malik, tokoh pers B.M. Diah, tokoh ’66 Cosmas Batubara, sampai Ketua DMUI Hariman Siregar. Hasil diskusi inilah yang kemudian dibacakan di TMP Kalibata, lalu dikenal sebagai Petisi 24 Oktober.
Antara 1972–1973, Hariman Siregar sering mengikuti kegiatan mahasiswa seperti seminar dan kongres, di dalam maupun di luar negeri. Sejak 1972, Hariman sudah diangkat sebagai Sekjen Ikatan Mahasiswa Kedokteran Indonesia (IMKI) lewat kongres di Makassar. IMKI pada waktu itu adalah organisasi kemahasiswaan yang dekat dengan Golkar. Lewat jalur IMKI inilah Hubungan Hariman dengan Ali Moertopo terjalin. Dia juga sering tampil di berbagai forum yang dikunjungi Ali Moertopo.
“Saya diperkenalkan sebagai pemimpin masa depan,” kata Hariman, yang pernah memimpin Persija Selatan, dan kini menjabat sebagai Dokter Puskesmas. Tapi riwayat hubungan Hariman dengan Ali Moertopo tak berlangsung lama. Ketika terpilih sebagai Ketua Dema, ia menolak permintaan agar Dema UI tak menyerang lagi soal strategi pembangunan yang merupakan produk Bappenas. Namun, Ada kelompok aktivis yang justru meminta Bappenas sebagai sasaran gerakan.
“Menjelang Oktober, sudah begitu banyak gerakan di luar. Saya pikir, saya harus konsolidasi dulu ke dalam kampus. Saya buat diskusi-diskusi,” ujar Hariman, yang saat itu baru berusia 23 tahun. Dengan dukungan konsep GDUI, Hariman berangkat ke berbagai kampus untuk menggalang massa. Akhirnya, Dema UI membuat kesepakatan dengan 10 kampus untuk bertemu Presiden Soeharto pada 26 Desember 1973. Mereka ingin menanyakan tentang strategi pembangunan RI yang dianggap timpang itu. Lusanya, Presiden ternyata bersedia menerima pimpinan mahasiswa dari berbagai kampus. Di luar dugaan, dalam pertemuan tertutup yang dihadiri Mensesneg Sudharmono, terlontar beberapa pertanyaan yang kasar dan menuding-nuding. “Saya jadi bingung,” kata Hariman.
Pak Harto, yang ketika itu tampak kalem, menutup pertemuan singkat itu dengan menyerahkan Buku RAPBN kepada mahasiswa. Tak berhenti sampai di situ, para mahasiswa pun ingin menyambut rencana kunjungan PM Tanaka dengan demonstrasi besar. Sebenarnya, ketika itu tuntutan DEMA UI untuk berdialog dengan PM Tanaka sudah diterima, dan dijadwalkan pada 15 Januari. Tapi, “Saya ditekan teman-teman dari seluruh Indonesia itu. Kalau datang, berarti pengkhianat. Akhirnya, dialog diganti demonstrasi jalanan,” cerita Hariman. Dia mengaku sangat bingung menerima desakan ini. “Saya stres,” kata Hariman. Pada pagi 15 Januari itu, dia sampai membuka bajunya yang dibasahi keringat. Dan, meledaklah malapetaka itu.
Pada 15 Januari 2007, tokoh peristiwa Malari 1974, Hariman Siregar menggalang massa turun ke jalan. Aksi yang bertajuk Pawai Rakyat Cabut Mandat ini merupakan simbol ketidakpuasan rakyat terhadap kinerja pemerintah. Aksi tersebut diikuti sejumlah tokoh yang tergabung dalam Indonesian Democracy Monitor (Indemo) (organisasi yang ia dirikan bersama kawan-kawannya) serta 52 elemen antara lain aktivis tahun 1974, aktivis mahasiswa, buruh, nelayan, etnis Tionghoa. 124 Mobil pick up ikut dalam pawai tersebut.
Hariman Siregar dalam jumpa pers di Hotel Harris, Tebet, Jakarta Selatan, Jumat, 12/1/2007, mengatakan, “Kita sengaja gelar dialog jalanan karena kami tetap memegang tradisi bahwa kalau saluran resmi kita anggap tidak berfungsi, masyarakat harus berani menyatakan keinginannya.” Menurutnya, pemerintah tidak bisa menjalankan mandat yang diberikan rakyat. “Kita merasa tidak puas dan kecewa. Maka mandat itu harus dicabut,” tegas dia. Hariman menjelaskan, “Poin yang paling penting pada Senin kita akan menambah kemacetan di Jakarta. Jika ada kekacauan saya yang bertanggung jawab,” tandas Hariman. “Kalau kita tidak begini keadaan kita tidak akan berubah hingga 2009,” jelas Hariman.
________________________________
Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap dari berbagai sumber. Sumber utama, antara lain adalah:
- Adam Malik [Pahlawan Nasional Adam Malik Oleh Basyral Hamidy Harahap (http://basyral-hamidy-harahap.com)]
- Ashadi Siregar (http://ashadisiregar.wordpress.com)
- A.M. Hoeta Soehoet (http://www.iisip.ac.id)
- Basyral Hamidy Harahap (http://tokohbatak.wordpress.com)
- Hariman Siregar (http://tokohbatak.wordpress.com)
- Ja Endar Muda Raja Surat Kabar Sumatera Oleh Basyral Hamidy Harahap (http://basyral-hamidy-harahap.com/)
- Mochtar Lubis (http://books.google.co.id, http://melayuonline.com)
- Parada Harahap [(http://id.wikipedia.org); Parada Harahap Layak Diusulkan Sebagai Pahlawan Nasional (http://www.antarasumut.com)]
- Sakti Alamsyah Siregar (http://majalah.tempointeraktif.com, http://bataviase.co.id)
- Sutan Casayangan Soripada [Tak Tepat "BU" Jadi Tonggak Kebangkitan (http://oase.kompas.com)]
*“Boroe Tapanoeli”, Trompet Kepoetrian dari Padang Sidempuan. Harian Analisa, 21 April 2008
Baca juga:
Baca juga:
·
Sejarah
Pemerintahan di Tapanuli Bagian Selatan: Dari Zaman Huta (Luhat) Hingga Zaman
Desa (Urban)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar