Kamis, Oktober 17, 2024

Sejarah Pantai Timur (9): Sungai Karang dan Sungai Buaya, Sungai Ular; Kerajaan Nagur dan Laporan Ma Huan Ekspedisi Cheng Ho


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Pantai Timur Sumatra di blog ini Klik Disini

Sungai Ular berada di batas kabupaten Deli Serdang dan kabupaten Serdang Bedagai. Nama Serdang Bedagai gabungan nama Serdang dan nama Bedagai. Sedangkan nama kabupaten Deli Serdang (gabungan nama Deli dan nama Serdang). Nama sungai Ular di hilir dan nama sungai Buaya di hulu (wilayah Dolok Silo). Di daerah aliran sungai Buaya/sungai Ular ini terdapat nama (tempat) Sungai Karang (suatu desa di kecamatan Galang). Dalam hal ini apakah nama Sungai Karang adalah nama terdahulu sungai Ular?


Nama Serdang sangat langka, tetapi nama Serdang juga bukan unik. Ada nama Serdang di pantai timur Sumatra dan ada juga nama Serdang di pantai timur Lampoeng. Seperti disebut sebelumnya, Serdang adalah nama suatu kampong di muara sungai Bedagai (dulu juga ditulis dengan nama Bedageh). Juga awalnya nama Bedagai adalah nama kampong di daerah aliran sungai Bedagai. Kedua nama kampong (Serdang dan Bedagai) menghilang, tetapi nama Serdang dan nama Bedagai tetap lestari sebagai nama wilayah (dulu juga nama kerajaan). Di Lanmpoeng, nama Serdang adalah nama sungai (Way Serdang), tetapi di masa lampau nama sungai Way Serdang ini berawal dari nama kampong. Apakah ada arti kata ‘serdang’ dan kata ‘bedagai’? Dalam kamus bahasa Angkola Mandailing oleh HJ Eggink tahun 1938 kata ‘sordang’ adalah pohon yang daunnya berfungsi sebagai penutup atap (Livistona altissima). Bandingkan dengan KBBI: serdang: nama tumbuhan palem yang hidup di tanah bencah dan daunnya dapat dibuat atap (Pholidocarpus sumatrana).

Lantas bagaimana sejarah sungai Karang, sungai Buaya dan sungai Ular? Seperti disebut di atas sungai Ular berada di perbatasan Deli Serdang dan Serdang Bedagai.Wilayah Serdang berada diantara Deli dan Bedagai. Namun menarik membaca laporan Ma Huan dalam ekspedisi Cheng Ho (1405-1433) yang disebutkan ada nama Nakur dan Sumentala yang diduga kedua nama itu adalah Kerajaan Nagur dan Kerajaan Sungai Karang. Lalu bagaimana sejarah sungai Karang, sungai Buaya dan sungai Ular? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

8
Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.

Sungai Karang, Sungai Buaya dan Sungai Ular; Kerajaan Nagur dan Laporan Ma Huan Ekspedisi Cheng Ho                                               

Dalam peta-peta Portugis ada sejumlah nama tempat yang diidentifikasi di pantai timur Sumatra. Salah satu yang terpenting adalah Terra Daru (Tanah d’Aru) dan Isola Daru (pulau d’Aru). Tanah dan pulau ini berdekatan dengan kota Malacca (di Semenanjung Malaya). Letak kawasan Malaka dan Aru ini tidak jauh di utara garis ekuator.


Penanda navigasi terpenting pada masa lampau adalah garis ekuator, suatu garis yang membagi bumi menjadi dua belahan (utara dan selatan). Tidak jauh dari garis ekuator (utara) diidentifikasi kota Bancalis (Rokan), Di atasnya d diidentifikasi nama Tanjam yang diduga adalah Tamiang (nama tempat yang ditemukan di Angkola dan juga ditemukan di Mandailing). Di atas Tanjam ini adalah Tanah Aru yang dicatat sebagai Terra Daru (suatu penulisan dari bahasa Portugis d’Aru yang kemudian dieja Daru). Pintu masuk Terrra Daru ini adalah muara sunga, yang diduga muara sungai Barumun (B-aru-mun). Posisi geografis Terra Daru ini bersesuaian denga letak pulau Aru (Isola Daru) dan kota Malacca. Di atas Terra Daru ini diidenrifikasi suatu teluk dimana terdapat muara sungai dan suatu tanjung. Teluk ini diduga adalah kawasan wilayah Tanjung Balai dan Kisaran dimana sungai Asahan bermuara yang sekarang, sementara tanjung besar di atas teluk diduga adalah wilayah Tanjung Kasau yang sekarang. Di sisi dalam tanjung diidentifikasi teluk kecil dengan muara sungai yang diduga adalah teluk Perdagangan dan muara dari sungai Bah Bolon (dalam peta-peta awal nama sungai Bag Bolon disebut sebagai sungai Binomon—Binanga atau Barumun?). Di sebelah atas di utara diidentifikasi nama Ambara. Dalam peta Portugis yang lain diidentigikasi dengan nama Ambuaru. Nama Ambara/Ambuaru ini diduga adalah Jambu Aer (sungai Jambu) yang kini masuk wilayah Tamiang (Aceh). Satu sungai besar antara teluk Perdagangan/sungai Bah Bolon dengan Ambara/Ambuaru/sungai Jambu diduga adalah sungai Langsa.

Pada era VOC/Belanda semakin banyak peta yang dibuat dan memiliki presisi yang lebih baik jika dibandingkan pada era Portugis. Peta yang digunakan Cornelis de Houtman yang didasarkan pada peta-peta Portugis telah diperbaiki. Peta-peta Cornelis de Houtman inilah yang kemudian pada era Pemerintah Hindia Belanda ditingkatkan mutunya oleh Angkatan Laut Pemerintah Hindia Belanda sejak tahun 1850an.


Salah satu peta pada era VOC/Belanda yang cukup baik adalah Peta 1753 (peta yang sebelumnya telah diperkaya oleh ahli geografi VOC Francois Valentijn. Dalam pet aini sungai Barumun diidentifikasi dengan nama sungai Brama (dekat pulau Isles Daru ou de Aroe. Di atas sungai Barumun diidentifikasi nama sungai Casang (sungai Asahan). Sungai Casang/Asahan ini bermuara ke dalam suatu teluk. Lantas bagaimana dengan identifikasi Parei di atas sungai Casang? Untuk menjawab ini dapat diperhatikan dengan nama pulau (Isles) Varella dekat Parei dan pulau Freres atau Veau dekat sungai Casang. Besar dugaan pulau Verella ini adalah pulau Berhala di Serdang Bedagai dan Parei adalah Pane di Simalungun. Parei berada diantara Casang di selatan dan Dilly (Deli) di utara. Bagian luar Parea/Pane (Simalungun) ini adalah suatu teluk yang mana perairan yang menjorok ke dalam di selatan adalah muara sungai Bah Bolon dan yang di utara adalah muara sungai Padang. Wilayah daratan antara Parei dan Casang yang menjorok ke laut (tanjung) diduga adalah daratan Tanjung Kasau. Sementara semenanjung antara Parei dengan Deli diduga adalah wilayah Serdang/Bedagai.

Dengan latar belakang peta-peta Portugis dan peta-peta VOC/Belanda, dapat diidentifikasi peta-peta pada era Pemerintah Hindia Belanda. Salah satu peta pada era Pemerintah Hindia Belanda yang terawal adalah Peta 1873. Sebagaimana diketahui permulaan pembentukam cabang Pemerintah Hindi Belanda di pantai timur Sumatra adalah di Laboehan Batoe, Batoe Bara dan Deli. Sejumlah nama tempat antara Batoe Bara dan Deli diidentifikasi nama wilayah Padang dan wilayah Serdang.


Pada Peta 1873 di muara sungai Padang diidentifikasi nama kampong Padang. Besar dugaan nama kampong inilah yang menjadi nama sungai disebut sungai Padang (sungai itu sendiri di pedalaman disebut sungai Bolian). Di sebelah utara di sungai Bedageh diidentifikasi nama kampong Serdang. Nama kampong Bedageh ini menjadi nama wilayah. Di sebelah utaranya lagi diidentifikasi nama sungai Soedang. Jika sungai Bedagai pada masa ini, lalu sungai apa masa ini jika dulu disebut sungai Soedang? Apakah nama sungai Soedang sebenanrnya adalah nama sungai Serdang? Besar dugaan sungai Soedang ini pada masa ini adalah sungai Ular (yang menjadi batas wilayah kabupaten Deli Serdang dan wilayah kabupaten Serdang Bedagai). Sungai Ular berhulu di dekat gunung Dolok Siboeatan. Catatan: Serdang juga nama sungai. Pada masa ini sungai Serdang yang di hulu disebut sungai Beloemai yang berhulu di Dolol Takoer-Takoer dan bermuara di Rantaoe Pandjang melalui Tandjoeng Morawa. 

Dalam peta yang lebih baru nama kampong Serdang menghilang tetapi muncul nama kampong Tandjoeng Bringin di seberang sungai Bedageh ke arah hulu sedikit. Dalam peta-peta terbaru nama Bedageh telah bergeser menjadi Bedagai. Jika Serdang adalah nama tanaman, lalu bedageh/bedagai dulu diartikan apa? Apakah kata bedageh berasal dari bahasa Atjeh?


Pada era Pemerintah Hindia Belanda, Bedagai adalah suatu kerajaan yang terletak di Tandjoeng Bringan di daerah aliran sungai Bedagai/Bedageh. Sementara di daerah aliran sungai Padang terdapat Kerajaan Padang di Tebing Tinggi. Kerajaan Serdang terletak di Kota Galoeh (Perbaoengan) di sisi timur sungai Ular. Kerajaan Serdang ini awalnya di Rantaoe Pandjang (muara sungai Serdang).

Sungai Ular yang kini menjadi batas wilayah kabupaten Deli Serdang dan wilayah kabupaten Serdang Bedagai menjadi penting. Sungai Oelar (sebelumnya disebut sungai Denai) di hulu di wilayah Simaloengien disebut sungai Boeaja. Sungai Boaeja/sungai Oelar ini berhulu di lereng gunung Dolok Singgalang.


Mengapa gunung di wilayah perbatasan Karo dan Simaloengoen disebut gunung Singgalang? Yang jelas ada juga nama gunung Singgalang di Padang Pandjang. Tidak jauh dari gunung Singgalang ini terdapat gunung Siboeaton yan tingginya menjulang 2.460 M (di barat laut danau Toba). Nama Siboeaton juga ditemukan di Dolok Hole sebagai nama gunung Dolok Siboeaton (tenggara danau Toba).

Tunggu deskripsi lengkapnya

Kerajaan Nagur dan Laporan Ma Huan Ekspedisi Cheng Ho: Dimana Nakur dan Sumentala Berada?

Sungai Oelar di hilir, sungai Boeaja di hulu. Sungai Oelar ini berhulu di Dolok Silo (Simalungun). Satu nama tempat yang penting diperhatikan di daerah aliran sungai Boeaja/sungai Oelar adalah Sungai Karang (di kecamatan Galang, kabupaten Deli Seradang). Sungai Karang bukanlah sebuah desa tetapi nama suatu onderneming pada era Pemerintah Hindia Belanda. Boleh jadi nama onderneming ini mengacu pada letak lokasi di suatu area sungai Karang. Lalu apakah nama Karang sebagai nama sungai dan Galang sebagai nama tempat berkaitan?


Nama Sungai Karang adalah nama yang unik. Sebab nama sungai mengabil dari nama/kata karang. Nama Gunung Karang dapat dipahami demikian dengan nama Tandjoeng Karang. Lantas mengapa disebut Sungai Karang, apakah benar-benar ada nama sungai Karang di Galang? Bagaimana dengan Galang sendiri? Ada nama pulau di Riau (pulau Galang). Boleh jadi Galang di Serdang bukan bediri sendiri tetapi nama yang disebut Soengai Galang sebagai suatu nama lanskap (lihat Regerings-almanak voor Nederlandsch-Indie, 1877). Dalam hal ini apakah Soengai Karang adalah juga Soengai Galang?

Nama Sungai Karang dalam peta-peta lama ditemukan sebagai Songi Carang (Peta 1704). Dalam peta ini nama Songi Carang merupakan daerah aliran sungai di pantai timur Sumatra. Di sebelah utara diidentifikasi Songi Dely. Antara Soengi Carang dan Songi Dely diidentifikasi suatu daerah aliran sungai (tidak diberi nama). Daerah aliran sungai yang lain diidentifikasi di selatan (juga tidak diberi nama).


Berdasarkan peta yang lebih baru (Peta 1733) nama-nama sungai di pantai timur Sumatra sudah lebih langkap. Sungai di selatan Singi Carang adalah Songis Casanga (kini sungai Asahan). Di sebelah utara diidentifikasi sebagai Songi Dely.Antara Songi Carang dengan Songi Dely diidentifiukasi dengan nama Gebroeders atau Water Eylnandent. Suatu daratan basah (pulau air). Kawasan ini diduga adalah antara daerah aliran sungai Bah Bolon dengan sungai Bah Hapal/sungai Padang (mungkin wilayah Tanjung Kasau yang sekarang. Dalam hal ini kota Tebing Tinggi yang sekarang masih berupa perairan/laut (teluk). Di sungai Dely diidentifikasi suatu pulau kecil, pulau Sicanang masih kecil. Catatan: meski peta-peta tersebut bertarih 1704 dan 1733, sebenarnya peta tersebut sudah tua, yang disalin dari Peta 1657

Nama Sungai Karang menjadi penting disini, sebab dalam laporan Ma Huan dalam ekspedisi Cheng Ho disebut nama pelabuhan Sumentala. Sejumlah peneliti terdahulu (era Hindia Belanda) mengintrepasi nama Su-men-ta-la sebagai Samudra (Pasai). Pengejaan Samudra (Sa-mud-ra atau Sa-mu-de-ra) secara morfologis kurang sesuai dengan Sumentala, tetapi Su-ngai Ka-rang lebih sesuai dengan Su-men-ta-la.


Laporan Ma Huan tentang nama Sumentala berasal dari 1405-1433. Saat ini ini Kerajaan Alu (A-lu) cukup kuat dan kaya sehingga ekspedisi Cheng Ho mengunjunginya. Pada saat utusan Portugis dari Malaka mengunjungi Aru Batak Kingdom, kerajan masih kuat. Seperti yang dilaporkan Mendes Pinto (1537) Kerajaan Aru kalah dalam perang melawan Atjeh. Sejak ini diduga Kerajaan Aru Batak Kingdom mulai memudar. Akan tetapi peta Portugis yang digunakan Cornelis de Houtman (1595-1597) nama kerajaan Aru (Terra d’ Aru) masih eksis. Dalam peta-peta VOC/Belanda selanjutnya mengalami koreksi, bahwa Kerajaan Aru telah memudar/menghilang, yang muncul ke permuakaan sebagaimana diidentifikasi padaPeta 1657 hanya kerajaan-kerajaan yang berada di Songi Casang, Songi Carang, Water Eylande dan Songi Dely yang potensial untuk perdagangan. Namun perlu dicatat bahwa kerajaan Sungai Karang (Sumentala) Kerajaan Aru (Alu) sudah dikunjungi ekspedisi Cheng Ho. Artinya sejaka era Cheng Ho hingga era VOC, kerajaan di Songi Carang masih sangat penting. 

Dalam laporan Ma Huan dari ekspedisi Cheng Ho tersebut (1405-1433) kapal mereka berangkat dari Palembang, lalu ke Malaka dan seterusnya ke Alu dan Sumentala dan selanjutnya Lamli. Ma Huan menyebutkan Raja Nakur memimpin kerajaannya di pedalaman untuk menyerang Sumentala. Radja Sumentala terbunuh. Kerajaan Alu adalah Kerajaan Aru daerah aliran sungai Barumun di selatan (garis sejajar dengan Malaka), dalam konteks inilah Sumentala diduga adalah Soengi Karang. Sebab disebut nama Nakur, suatu kerajaan di pedalaman (yang diduga Kerajaan Nagur di wilayah Simaloengoen).


Dalam teks Negarakertagama (1365) disebut nama-nama seperti Rokan, Mandailing, Hraw, (Padang) Lawas, Panai dan Barus. Nama-nama tersebut diduga kerajaan-kerajaan yang saling berdekatan. Dalam hal ini nama Harw adalah Aru (ada perbedaan penyebutan dan ejaan dalam aksara antara Jawa dan Batak). Nama Hraw atau Aru inilah yang dicatat Ma Huan (1405-1433) sebegai A-lu. Mendes Pinto (1537) mempertegas nama Aru atau Alu ini dengan nama Aru Batak Kingdom. Dalam hal ini antara Aru di selatan dan Nagur di utara saling berhubungan. Songi Carang (Sumentaka) ini adalah pintu masuk ke Kerajaan Nakur. Dalam laporan Mendes Pinto disebut dua anak Raja Aru Batak Kingdom terbunuh oleh Atjeh di Lingau dan Nakur, yang menjadi pangkal perkara Aru Batak Kingdom berperang dengan Atjeh. Dalam perang ini Aru Batak Kingdom kalah (lalu memudar). Mendes Pinto mencatat kekuatan Aru Batak Kingdom sebanyak 15 ribu pasukan yang mana sebanyak delapan ribu orang Batak dan sisanya didatangkan dari Djambi, Indragiri, Broenai dan Luzon (bila diperlukan bantuan dapat didatangkan dari Minangkabau). Catatan: dalam peta-peta Portugis Tanah Aru diidentifikasi dengan nama Terra Daru atau Terra d’Aru. Di lepas pantai Tanah Aru diidentifikasi pulau (Isles) Aru

Dalam hubungan yang kuat antara Alu (Aru) dan Sumentala (Songi Carang) dari masa lalu, diduga yang menyebabkan bahasa Angkola Mandailing (Padang Lawas) mirip dengan bahasa Simaloengoen. Tidak hanya itu, kemiripan lainnya adalah aksara dan adat istiadat serta nama-nama tempat seperti Pane, Raya, Siantar, Dolok, Silo dan Batoe Nanggar. Tentu saja kemiripan yang lain, patung-patung kepurbakalaan di Simaloengoen mirip dengan di Padang Lawas, Angkola dan Mandailing.


Seperti disebut di atas, di lepas pantai Songi Carang diidentifikasi dalam peta-peta Portugis sejumlah pulau kecil dimana salah satu pulau terjauh di tengah laut diidentifikasi sebagai nama pulau Verella. Nama ini diduga cara pengejaan orang Portugis dari nama pulau Berhala. Sebab pada peta-peta era Pemerintah Hindia Belanda pulau Verella itu diidentifikasi sebagai pulau Berhala. Hal serupa ini juga ditemukan di lepas lantai Djambi yang disebut pulau Berhala (dari pulau Verella). Kata berhala dalam hal ini adalah bahasa Melayu (sehubungan dengan kehadiran orang Arab/Islam). Berhala yang dimaksud di pulau Verella/pulau Berhala adalah patung-patung yang diduga terkait dengan patung-patung (dalam hubungannya dengan religi) yang ditempatkan orang dari daratan (Songi Carang/Nakur/Nagur di wilayah Simaloengoen) ke pulau tersebut.  

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur. Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar: