*Untuk melihat semua artikel Sejarah Pantai Timur Sumatra di blog ini Klik Disini
Ada
nama Tebing Tinggi di hulu daerah aliran sungai Musi. Bagaimana dengan nama
Tebing Tinggi di daerah aliran sungai Padang. Tebing Tinggi adalah kota baru di
pantai timur Sumatra. Sungai Padang berhulu di wilayah (kerajaan) Raya (wilayah
Simaloengoen) dengan nama sungai Bolian. Mengapa nama sungai disebut sungai
Padang? Yang jelas ada nama kota Padang Sidempoean di lereng gunung Dolok
Loeboe Raya.
Tebing Tinggi sebuah kota di tengah kabupaten Serdang Bedagai elevasi 24-26 m dpl empat sungai: sungai Padang, sungai Bahilang, sungai Kalembah dan sungai Sibaran. Mulai dihuni tahun 1864 orang dari wilayah Bandar Simalungun (kini wilayah Pagurawan) dipimpin Datuk Bandar Kajum di Tanjung Marulak. Ada tekanan dari Kerajaan Raya, pemukiman dipindah ke sebuah tebing yang tinggi (cikal bakal nama Tebing Tinggi). Kerajaan Raya menyerang Kampung Tebing Tinggi namun dibantu Belanda. Dengan perjanjian Belanda dibentuk Kerajaan Padang pusat di Bandar Sakti (pelabuhan sungai dan menjadi pusat perdagangan). Batas Kerajaan Padang dengan Kerajaan Raya di di Sipispis dan ke hilir termasuk Bandar Khalifah. Kerajaan Padang dihuni penduduk dari multi etnis. Pada tahun 1887, oleh pemerintah Hindia Belanda, Tebing Tinggi ditetapkan sebagai kota pemerintahan dimana pada tahun tersebut juga dibangun perkebunan besar yang berlokasi di sekitar Kota Tebing Tinggi. Pada tahun 1903, pemerintah Hindia Belanda menetapkan Tebing Tinggi sebagai daerah gemeente/kota (Wikipedia).
Lantas bagaimana sejarah Tebing Tinggi di sungai Padang, yang berhulu di Raya dan bermuara di Bandar Khalipa? Seperti disebut di atas ada hubungan masa lalu di daerah aliran sungai Bolian/sungai Padang antara kerajaan Raya di pedalaman dan kerajaan Padang di hilir. Raua terkenal dari Raya adalah Rondahaim. Lalu bagaimana sejarah Tebing Tinggi di sungai Padang, yang berhulu di Raya dan bermuara di Bandar Khalipa? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.
Tebing Tinggi di Sungai Padang, Berhulu di Raya Bermuara di Bandar Kalipa; Rondahaim Radja ds Raja
Sejak takluknya Malaka oleh Portugis dan sejak kekalahan kerajaan Aru Batak Kingdom dari (kerajaan) Atjeh pada paruh pertama abad ke-16, yang berkuasa di wilayah pesisir pantai timur Sumatra (antara Tamiang dan Indragiri) adalah saling bergantian antara Atjeh dan Siak Indrapoera. Awalnya di pesisir adalah populasi Batak tetapi kemudian dari waktu ke waktu semakin terdesak ke dalam.
Populasi penduduk Melayu di wilayah pantai timur ini awalnya bermukim
hampir secara eksklusif di sepanjang sungai, sedangkan wilayah pedalaman yang
tidak dapat ditembus, ditutupi dengan hutan yang belum terjamah, relatif
berharga bagi mereka sebagai sumber ekonomi dari populasi penduduk di
pedalaman. Jika terjadi perselisihan (pesisir dan pedalaman), daerah tangkapan
sungai biasanya dihitung menjadi milik wilayah Raja yang menduduki sungai
tersebut (lihat HA Hujmans van Anrooy, 1885). Dalam konteks inilah antara Atjeh
dan Siak bersaing untuk mendapat pengaruh (sejak Radja Ketjil berkuasa di Siak,
1717). Sejak itulah populasi Melayu berkembang pesat di wilayah pesisir di
pantai timur Sumatra. Kehadiran Pemerintah Hindia Belanda di Riaow (1840an) dan
perjanjian antara pemerintah dengan Sultan Siak (1858) secara perlahan menggantikan
Atjeh dan mendudukan pemimpin Melayu yang terafiliasi dengan Siak. Salah satu
pemimpin Melayu yang ditinggikan pemerintah adalah Sultan Deli di Laboehan
(sejak 1863). Situasi dan kondisi di wilayah persisir pantai timur Sumatra paling
tidak telah dilaporkan oleh John Anderson tahun 1822 (Pemerintah Hindia Belanda
belum hadir, dan kekuatan ekonomi antara Indragiri hingga Atjeh didominasi
Inggris yang memiliki pos perdagangan di Penang).
Nama Tebing Tinggi di pantai timur paling tidak sudah terinformasikan pada tahun 1882 (lihat De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad, 12-03-1884). Disebutkan pemerintah memberi konsesi lahan perkebuhan seluas 1500 bau di Tebing Tinggi yang berada di lanskap Padang. Sejauh ini Tebing Tinggi adalah konsesi terjauh dari Medan yang diberikan ke public. Sehubungan dengan itu, kemudian Pemerintah Hindia Belanda mulai mengembangkan potensi perdagangan di daerah aliran sungai Padang dengan menempatkan pejabatnya setingkat Ontvanger pada tahun 1885 di Bandar Kalipa (lihat De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad, 05-12-1885).
Sementara itu pedalaman, Raja
dari Raya, Rondahaim menebarkan rasa superior di di Sumaloengen. Teror dari
raja ini menyebabkan tetangganya seperti Raja-Raja Si Antar, Panei, Dolok,
Poerba, dll—Sebagian wilayahnya
berhasil dirampas Rondahaim sebagian besarnya dengan tipu muslihat dan
kekerasan untuk memperbesar kerajaannya sendiri (kerajaan Raya).
Kehadiran pejabat Pemerintah Hindia Belanda di hilir sungai Padang (Bandar Kalipa) dan kerjasama yang dilakukan dengan pemimpin lokal di Tebing Tinggi (konsesi lahan perkebunan), diduga membuat marah Radja Rondahaim dari kerajaan Raya di hulu sungai Padang (sungai Bolian). Lebih-lebih dengan kerajaan Melayu Padang (Radja Gharah) tersebut telah bergabung dengan pemerintah.
Pemerintah penempatlan
pejabat setingkat Controleur di lanskap Padang yang berkedudukan
di Tebing Tinggi. Dalam konteks inilah kemudian muncul perselisihan antara kerajaan
Raya dan kerajaan Padang. Tindakan Controleur Tebing Tinggi yang lebih memihak
kerajaan Padang memicu keteganan yang lebih tinggi.
Lalu Rondahaim menyerang ke wilayah kerajaan itu dengan kekuatan senjata (lihat Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 06-12-1886). Perang terbuka terjadi kerajaan Padang yang didukung pemerintah dari Medan (lihat Deli courant, 01-10-1887). Perang benar-benar terjadi di Tebing Tinggi (lihat Deli courant, 08-10-1887). Bantuan militer dari Medan, lalu pasukan militer di bawah pimpinan Majoor AH van de Pol menghalau Radja Rondahaim dengan pasukannya.
Pada tahun 1892 Radja
Rondahaim dikabarkan telah meninggal dunia. Putra dan penerusnya, Toean Kapoeltakan (berkedudukan di Pematang Raya)
dalam pembagian harta warisan, ia segera berkonflik dengan beberapa saudara
laki-lakinya dan yang lebih parah, juga dengan Ompoe Glege, Raja Goeraha
(panglima tentara mendiang Toean Rondahaim). Toean Kapoeltakan hanya dekat
dengan saudaranya Toean Poerba (Toean di Poerba).
Kasus perselisihan Kerajaan Raya (pedalaman) dan Kerajaan Padang (pesisir) lain terjadi di berbagai tempat. Kekuatan dari pedalaman dengan yang lemah di pesisir, menjadi terbantu dengan hadirnya pihak ketiga dari luar (Pemerintah Hindia Belanda). Sebagaimana diketahui Pemerintah Hindia Belanda berada di perairan/laut dimana perselisihan antara kerajaan pesisir dan kerajaan pedalaman. Sisi luar/dari lautan via sungai menjadi pintu masuknya untuk menguasai lebih dahulu yang di pesisir baru kemudian ke pedalaman. Hal seperti yang terjadi sebelumnya di pantai barat Sumatra.
Pada tahun 1858 Sultan Siak melakukan perjanjian dengan Pemerintah Hindia
Belanda. Lalu Residentie Riouw diperluas ke wilayah Siak Indrapoera. Resident
berkedudukan di Tandjoeng Pinang dan Asisten Residen di Siak Indrapoera (lihat
Almanak 1863). Tempo doeloe sejak Radja Ketjil (1717) terjadi persaingan
perdagangan di pantai timur antara Atjeh dan Siak. Pada saat pembentukan cabang Pemerintah Hindia Belanda
di Riaow, pantai timur Sumatra didominasi Atjeh hingga ke muara sungai Baroemoen
(Laboehan Batoe). Sejak bergabungnya Siak Indrapoera ke pemerintah yang
berkedudukan di Riaow) dalam perkembangannya, Sultan Siak mengklaim wilayah
pantai timur di bawah yurisdiksinya hingga ke Tamiang. Residen E Netscher dengan bantuan angkatan laut
melakukan ekspedisi ke pantai timur hingga Deli pada tahun 1863. Saat itu di
Laboehan, penguasa otoritas adalah Atjeh dan juga di Laboehan terdapat perwakilan
Batak. Kehadiran Netscher di Laboehan, Kraton kerajaan Deli (Melayu)
di Laboehan terbebas dari Atjeh. Perwakilan Batak di Laboehan ditarik ke
pedalaman. Berdasarkan Almanak 1865, pejabat pemerintah setingkat Controleur sejak
1864 ditempatkan di Laboehan Batoe (Vigeluis); di Deli (de Raet), dan di Batoe Bara
(de Scheemaker). Dalam perkembangannya fungsi Controleur ditempatkan di Asahan,
sementara di Laboehan Batoe hanya setingkat ambtenaar (lihat Almanak 1870). Pada
tahun 1873 dibentuk Residentie Oostkust van Sumatra dengan empat afdeeling yang
mana ibu kota di Bengkalis. Asisten Residen di Deli, dan Controleur di Siak, di
Laboehan Batoe, di Asahan. Tahun 1875 dibentuk onderafdeeling Medan
(ditempatkan seorang Controleur). Pada tahun 1879 ibu kota afdeeling Deli
direlokasi dari Laboehan ke Medan (asisten residen rokade dari Laboehan ke
Medan). Dalam Almanak 1881 afdeeling Asahan dutambahkan wilayah Batoe Bara.
Sementara iti di afdeeling Deli ditambahkan Controleur di Tandjoeng Poera
(Langkat); di Rantaoe Pandjang (Serdang); dan di Tamiang. Dalam hal ini wilayah
afdeeling Asahan meliputi Asahan, Batoebara, Tandjoeng Kasaoe, Sipare-pare dan
Pagoerawan. Sementara itu wilayah onderafdeeling Serdang (afdeeling Deli)
meliputi Serdang, Senembah, Denai, Perbaoengan dan Serbadjadi (lihat Almanak
1886). Sebelumnya, sejak 1885 Controleur ditempatkan di Tebing Tinggi (relokasi
dari Rantaoe Pandjang). Pada tahun 1887 Bengkalis dan Siak dipisahkan (dimasukkan
ke res Riaow) dan kemudian dibentuk res Oost Sumatra beribukota di Medan (lihat
Stbl 1887 No 21). Residen berkedudukan di Medan; Asisten Residen di Tandjoeng
Poera dan di Asahan. Pada tahun 1887 inilah puncak perang antara Kerajaan Raya
dan Kerajaan Padang. Dalam perkembangannya ditambahkan asisten residen di
Loeboe Pakam (kemudian di relokasi ke Bangoen Poerba sehubungan dengan
bergabungnya Siantar dan pembentukan afdeeling Padang en Bedagai ibu kota di
Tebing Tinggi). Dalam Almanak 1902 Tandjoeng Kasau, Siantar dan Tanah Djawa
dimasukkan ke afdeeling Batoe Bara (Controleur berkedudukan di Laboehan Roekoe).
Sebagai ibu kota, kota Tebing Tinggi cepat berkembang. Pada tahun 1907 dibentuk
afdeeling Karolanden en Simaloengoen ibu kota di Sariboe Dolok (Asisten Residen
di Bangoen Poerba direlokasi ke Sariboe Dolok CJ Westenberg) sementara Controleur
ditempatkan di Pematang Siantar. Afdeeling Padang dan Bedagai dibawah
koordinasi Asisten Residen di Medan; afeeling Batoebara di bawah koordinasi Asisren
Residen di Tandjoeng Balai (yang juga membawahi Controleur V Obdijn di Laboehan
Batoe). Dengan demikian seluruh pantai timur Sumatra telah teradministrasikan
(sementara di pantai barat res Tapanoeli). Catatan: Di Afdeeling Deli di Medan
juga ada Controleur khusus untuk orang Batak di Deli dan Serdang; Controleur di
Tebing Tinggi juga menangani orang Batak di Padang dan Bedagai. Pada tahun 1912
afdeeling Deli dan afd Serdang serta afd Padang en Bedagai digabung dengan nama
afd Deli en Serdang ibu kota di Medan. Serdang dan Padang en Bedagai
masing-masing menjadi onderafdeeling (ibu kota di Loeboe Pakam dan di Tebiug
Tinggi). Sementara itu pada tahun 1912 ini ibu kota afdeeling Karolandern en Simaloengoen
direlokasi dari Saribo Dolok ke Pematang Siantar. Asisten residen berkedudukan
di Pematang Siantar dan di onderafdeeling Karolanden ditempatkan Controleur di
Kabandjahe (wilayah distrik Dolok, Silo dan Poerba dimasukkan ke onderafdeeling
Simanloengoen) dan di onderafdeeling Simaloengoen di Sariboe Dolok ditempatkan
seorang Controleur. Pada tahun 1915 Residentie Oost Sumatra ditingkatkan
menjadi province (Gubernur S van der Plaas).
Seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan Tebing Tinggi (Padang en Bedagai), tidak lama setelah status Oost Sumatra dari residentie menjadi province, penerapan desentralisasi diusulkan untuk kota-kota Pematang Siantar, Tebing Tinggi, Tandjoeng Balai dan Bindjai menjadi gemeente (lihat De Sumatra post, 07-03-1916). Sebagaimana diketahui kota Medan sejak 1909 telah ditetapkan sebagai gemeente. Di Tebing Tinggi sudah dibentuk dewan pengadilan (Landraad) tetap hingga tahun 1916 belum ada bangunan tetap (permanen) untuk Landraad.
Sementara itu di Tebing Tinggi akan segera
dibuka sekolah pemerintah (pribumi) kelas dua yang akan dibuka pada bulan
Desember (lihat Deli courant, 16-03-1916). Sebagaimana diketahui sekolah
pemerintah di afdeeling Angkola Mandailing dibangun tahun 1849. Pada tahun 1854
dua siswa asal Angkola Mandailing (Asta Nasoetion dan Angan Harahap) diterima
di sekolah kedokteran di Batavia (Docter Djawa School). Dua siswa ini merupakan
siswa pertama dari luar Djawa. Pada tahun 1857 Satie Nasoetion berangkat studi
keguruan ke Belanda. Sati Nasoetion alias Willem Iskander lulus dengan akta guru
tahun 1860. Pada tahun 1861 kembali ke tanah air dan tahun 1862 membangun sekolah
guru di Tanobato. Pada tahun 1879 sekolah guru yang lebih besar dibangun di
Padang Sidempoean sebagai pengganti di Tanobato. Salah satu lulusan sekolah
guru Padang Sidempoean adalah Soetan Martoea Radja (lulus 1892). Pada tahun
1903 Radjioen Harahap gelar Soetan Casajangan, guru di Padang Sidempoean (lulus
sekolah guru Padang Sidempoean) melanjutkan studi keguruan ke Belanda. Pada
tahun 1908 Soetan Casajangan mendirikan organisasi mahasiswa pribumi (Indische
Vereeniging) di Leiden. Soetan Casajangan lulus akta LO pada tahun 1909 dan pada
tahun 1911 lulus dengan akta MO (setara sarjana). Sebelimnya, tahun 1910 Abdoel
Firman Siregar gekar Managaradja Soangkoepon lulusan ELS Medan berangkat studi
ke Belanda dan pada tahun 1911 Todoeng Harahap gelar Soetan Goenoeng Moelia
lulus ELS Sibolga melanjutkan studi ke Belanda. Pada tahun 1913 Soetan Casajangan kembali ke
tanah air dan dingakat menjadi direktur sekolah guru di Fort de Kock tahun 1914.
Sementara itu Mangaradja Soangkoepon seteh menyelesaikan sekolah menengah perdagangan
di Amsterdam kembali ke tanah air pada tahun 1915 (dan menjadi pegawai di
kantor Asisten Resident di Tandjoeng Balai). Pada tahun 1916 Mnangaradja
Soangkoepon dipindahkan ke kantor Asisten Residen di Pematang Siantar dengan
kenaikan pangkat setingkat Controleur. Pada tahun 1916 ini guru berpengalaman
di Tapanoeli Kajamoedin Harahap gelar Radja Goenoeng diangkat sebagai penilik
sekolah di Medam dan pada tahun 1917 guru berpengalaman Soetan Martoea Radja
diangkat sebagai guru HIS di Pematang Siantar. Pada tahun ini Dr Mohamad Hamzah
Harahap dari rumah sakit Treub Hospital di Bandar Baroe dipindahkan ke Pemetang
Siantar dan Dr Alimoesa Harahap dari Balige dipindahkan ke Pematang Siantar sebagai
kepala dinas kesehatan ternak. Di Tebing Tinggi sendiri sudah ada rumah sakit
yang juga berada di bawah tanggung jawa Dr Mohamad Hamzah Harahap. Di Tebing
Tinggi juga akan dibukan sekolah Eropa sewasta (lihat De locomotief, 22-09-1917).
Pada tahun 1917 Gemeente Tebing Tinggi diberlakukan (lihat De Sumatra post, 24-01-1917). Dalam hal ini dibentuk dewan kota (gemeenteraad) Tebing Tinggi. Realisasi gemeete di Tebing Tinggi bersamaan dengan di Bindjai, Pematang Siantar dan Tandjoeng Balai (lihat De Sumatra post, 05-07-1917). Sesuai ordonasi yang dibuat, disebutkan anggaran per tahun untuk Tebing Tinggi f10.530 yang mana anggota dewan sebanyak 9 orang (5 Eropa, 3 pribumi dan 1 Timur asing). Gemeente Tebing Tinggi dipimpin oleh Controleur onderafdeeling Padang en Bedagai.
Sementara itu di Bindjai dengan komposisi yang sama 5,3,1 dengan anggaran per tahun f11.640 yang dipimpin Controleur di onderafdeeling Boven Langkat; di Tandjoeng Balai dengan anggaran f13.968 yang dipimpin Asisten Residen; di Pematang Siantara dengan anggaran per tahun f5.700 yang dipimpin Asisten Residen. Bagaimana komposisi di Pematang Siantar, Tandjoeng Balai dan Bindjai tidak terinformasikan. Satu yang baru di Gemeente Medan, yang sudah dimulai sejak 1909. Pada tahun 1918 ini akan dilakukan pemilihan untuk kandidat dimana wakil pribumi sebanyak 3 kursi dan 1 Timur asing. Di Gemeente Medan sendiri pada tahun 1918 untuk pertama kali pimpinan gemeenteraad dipimpin oleh wali kota (Burgemeester).
Persidangan pertama akan diadakan tanggal 28 September 1917 pukul 7 pagi. Beberapa agenda penting yang akan dibahas, antara lain: pengangkatan sekretaris kota dan perlunya mengubah batas kota (lihat Deli courant, 22-09-1917).
Salah satu dari golongan pribumi yang diangkat menjadi anggota dewan kota (gemeenteraad) Tebing Tinggi adalah Sati Nasoetion gelar Mangaradja Enda Mora (lihat De Sumatra post, 10-07-1917). Sementara di Tandjoeng Balai yang diangkat adalag Dr Abdoel Rasjid Siregar dan di Pematang Siantar adalah Abdoel Firman gelar Mangaradja Soangkoepon.
Pada tahun 1918 untuk kali pertama anggota dewan (gemeenteraad) Medan diangkat setelah melalui proses pemilihan (pilkada). Salah satu dari tiga orang non Eropa adalah Kajamoedin Harahap gelar Radja Goenoeng (lihat De Sumatra post, 16-07-1918).
Jumlah
non Eropa pada tahun 1919 bertambah menjadi lima orang. Tambahan dua orang ini
bukan melalui pemilihan tetapi ditunjuk untuk menggantikan kursi orang Eropa.
Salah satu anggota dewan yang menggantikan tersebut adalah Alinoedin Siregar
gelar Radja Enda Boemi, hakim di pengadilan Medan.
Di dewan kota (gemeenteraad) terwakili populasi dari Angkola Mandailing di Medan, di Tebing Tinggi, di Pematang Siantar dan di Tandjoeng Balai. Ini mengindikasikan populasi Angkola Mandailing sudah menyebar di pantai timur Sumatra.
Pada tahun 1920 hanya terdapat 53 kota/daerah yang memiliki anggota dewan. Sebagaimana dilaporkan Preanger-bode, 01-02-1921, terdapat sebanyak 767 anggota non-Eropa. dan di Sumatra’Oostkust selain Medan juga terdapat lima kota (gemeente) yang memiliki dewan kota, Kota Pematang Siantar (8), Kota Tandjong Balai (6), Kota Medan (6), Kota Bindjei (6) dan Kota Tebing Tinggi (9). Selain kota-kota tersebut, juga terdapat dewan pada afdeeling (Kabupaten) Oostkust Sumatra yang jumlahnya sebanyak 21 orang non Eropa. Di Residentie Tapanoeli tidak terdapat gemeete. Dari sejumlah daerah yang ada, hanya satu daerah (gewest) yang memiliki dewan, yakni di onderafdeeling Angkola en Sipirok. Jumlah anggota dewan onderafdeeling Angkola en Sipirok sebanyak 23 orang. Mungkin ini sepintas agak aneh, karena Sibolga sebagai ibukota Residentie Tapanoeli tidak terdapat dewan. Bahkan dewan pada tingkat afdeeling di Afdeeling Padang Sidempuan tidak ada. Sebagaimana diketahui Angkola en Sipirok hanyalah salah satu onderafdeeling yang terdapat di Afdeeling Padang Sidempuan. Kota Padang Sidempuan bukanlah sebuah gemeete (Kota). Akan tetapi kota Padang Sidempuan selain ibukota Afdeeling Padang Sidempuan, juga ibukota dari onderafdeeling Angkola en Sipirok. Sedangkan Oostkust Sumatra adalah sebuah province. Ini berarti pembentukan dewan tidak seragam dalam karakteristik. Sedangkan pembentukan dewan di dalam gemeete (kota) bersifat seragam. Yang membedakan adalah jumlah anggota dewan, semain besar sebuah kota semakin banyak jumlah anggota dewan.
Di pusat (Volksraad) pada periode pemilihan 1927, pulau Sumatra dibagi ke dalam empat dapil Zuid Sumatra, Midden Sumatra, Noord Sumatra dan Oost Sumatra. Dalam hal ini Noord Sumatra adalah gabungan Residentie Tapanoeli dan Residentie Atjeh dan Oost Sumatra adalah province Oost Sumatra. Yang terpilih ke Pedjanbon (Volksraad) adalah Mangaradja Soeangkoepon (di Tandjoeng Balai) dari dapil Oost Sumatra, sementara yang terpilih dari Noord Sumatra adalah Dr Alimoesa Harahap (di Pematang Siantar). Abdoel Firman Siregar gelar Mangaradja Soeangkoepon berasal dari Sipirok dan Dr Alimoesa Harahap berasal dari Angkola.
Tunggu deskripsi lengkapnya
Rondahaim Radja Raja: Kerajaan Padang oleh Orang Minangkabau atau Orang Batak?
Sungai besar di Raya dengan nama Bah Bolian. Sungai Bah Bolian di hilir disebut sungai Padang. Mengapa disebut sungai Padang? Berdasarkan Peta 1873 di muara sungai Bolian di pantai diidentifikasi nama kampong Padang. Di arah selatannya di suatu muara sungai diidentifikasi nama kampong Pagoerawan. Dua nama kampong inilah dalam peta-peta Pemerintah Hindia Belanda menjadi nama sungai Pagoerawan dan sungai Padang.
Sementara di utara kampong Padang diidentifikasi nama kampong Serdang. Suatu kampong di muara sungai Bedageh. Seperti disebut sebelumnya, populasi di wilayah Pagoerawan separu orang Batak dan separuh yang lain Melayu (Minangkabau?). Di pesisir arah selatan umunya migran orang Minangkabau (era Padri). Sedangkan jauh di belakang pantai di Tandjoeng Kasaoe adalah populasi orang Batak. Bagaimana dengan populasi di kampong Padang di muara sungai Padang/sungai Bolian? Apakah orang Minangkabau?
Nama sungai Padang diduga kuat adalah nama baru. Nama lama sungai Padang adalah sungai Bolian (yang menjadi navigasi perdagangan tradisi orang Batak di kerajaan Raya). Dalam perkembangannya nama kampong Padang menghilang tetapi muncul nama baru di arah hulu muara sungai Padang dengan nama Bandar Kalipa. Nama kampong Padang tamat. Sementara nama kampong Pagoerawan di muara sungau Bah Hapal tetap eksisi hingga ini hari.
Seperti dikutip di atas, di kota Tebing Tinggi terdapat empat sungai: sungai Padang, sungai Bahilang, sungai Kalembah dan sungai Sibaran. Sungai terbesar adalah sungai Padang dengan nama lama sungai Bolian. Ke sungai Bolian inilah tiga sungai seperti sungai Bah Hilang, sungai Kalemboeh dan sungai Si Baraoe bermuara di Tebing Tinggi. Sungai Bolian yang semakin membesar ini ke arah hilir disebut sungai Padang. Peta 1917
Nama Bandar Kalipa terinformasikan pada tahun 1885 saat mana Pemerintah Hindia Belanda menempatkan seorang pejabat setingkat ontvanger. Lantas sejak kapan adanya nama Bandar Kalipa? Yang jelas pada masa ini nama Bandar Kalipa juga ditemukan di wilayah Pertjoet (Deli). Namun yang lebih tua berada di muara sungai Padang. Bagaimana dengan nama Tebing Tinggi? Terinformasikan pertama kali pada tahun 1886 ketika terjadi tekanan kerajaan Raya (Radja Rondahaim) terhadap Padang (lihat Deli courant, 24-11-1886). Pada saat ini Controleur berkedudukan di kampong Serdang di sungai Bedagai (di sekitar Rampah yang sekarang). Kampong Serdang ini kemudian dikenal kampong Bedagai dekat kampong Tandjoeng Bringin.
Secara geomorfologis tidak tebing tinggi di Tebing Tinggi. Yang ada adalah
dataran cenderung bergelombang. Lantas mengapa Namanya disebut Tebing Tinggi?
Itu lain soal. Setali tiga uang tidak ada padang di kampong Padang di muara
sungai Padang. Yang ada adalah rawa-rawa. Apakah nama Padang dan nama Tebing
Tinggi dibawa dari tempat lain? Yang jelis kosa kata tebing dan dan tinggi
tidak ada dalam bahasa Simaloengoen. Idem dito dengan nama Lima Poeloeh, Indrapoera
dan Talawi di di wilayah Batoebara.
Di hilir daerah aliran sungai Padang hanya ada sungai tunggal yakni sungai Padang sendiri. Sungai Padang ini sangat besar dapat dinavigasi dari laut hingga, paling tidak di Tebing Tinggi. Sungai Padang sangat besar, karena ada tiga sungai lainnya di Tebing Tinggi yang menyatu sama lain yang ke hilir terbentuk sungai tunggal (sungai Padang), Sungai utama yang membentik sungai Padang ini adalah sungai Bolian (sungai yang berhulu di pegunungan di wilayah Raya). Lantas mengapa empat sungai tersebut bergabung di area berdekatan di Tebing Tinggi?
Empat sungai di Tebing
Tinggi bergabung membentuk formasi menuju titik tengah. Sungai sisi luar di utara
(sungai Bolian) mengarah ke selatan, sementara sungai sisi luar selatan mengarah
ke utara (sungai Bah Hilang). Sungai lainnya berada diantara kedua sungai. Secara geomorfologis keempat sungai di Tebing Tinggi ini awalnya (tempo doeloe)
bermuara di suatu perairan/laut. Dalam proses sedimentasi jangka panjang terbentuk
daratatn baru, yang kemudian empat sungai tersebut menyatu yang dipimpin sungai
Bolian (membentuk sungai tunggal) menemukan jalan menuju laut. Lalu memgapa
tidak ada sungai lain di sebelah utara sungai Bolian di Tebing Tinggi? Sungai
Bolian berada di sisi daratan di utara (daratan yang terbentuk lebih dahulu)
yakni daratan antara sungai Bolian dan sungai Bedagai (membentuk formasi
tanjung). Pada Peta 1917 wilayah antara sungai Bedagai di utara dan sungai Bah
Bolon di selatan diidentifikasi sebagai suatu kawasan basah (banyak rawa-rawa).
Seperti disebut sebelumnya antara sungai Hapal dan sungai Bah Bolon menjadi
wilayah tangkapan air yang kemudian karena proses sedimentasi jangka panjang terbentuk
daratan awal (yang menjadi wilayah Tanjoeng Kasaoe). Antara dua tanjung (Tandjoenga
Kasaoe di selatan dan tanjung Bedagai/Bolian di utara kawasn perairan/laut
terbentuk daratan yang lebih muda. Hal itulah mengapa hilir sungai
Bolian/sungai Padang mengarah ke selatan, sementara hilir sungai Hapal dan
sungai Pare-Pate mengarh ke utara. Pengaruh daratan awal (dua tanjung) membelokkan
hilir sungai Padang/Bolian dan sungai Hapal maupun sungai Pare-Pare.
Empat sungai
yang bergabung di area berdekatan di Tebing Tinggi diduga kuat di masa lalu
adalah suatu teluk sempit dimana keempat sungai bermuara (sebuy saja Teluk TebingTinggi).
Akibat proses sedimentasi jangka panjang, terbentuk daratan baru di area kota
Tebing Tinggi yang sekarang lalu terbentuk sungai tunggal (sungai Padang). Hilir
sungai Padang dan hilir sungai Hapal sama-sama bermuara ke perairan/laut tetapi
dalam perkembangannya terbentuk lagi daratan baru yang membentuk garis pantai
lurus antara semenanjung Tandjoeng Kasaoe (di selatan) dan semenanjung tanjung
Bolian/Padang dan Bedagai (di utara).
Besar dugaan Teluk TebingTinggi
di masa lampau menjadi pintu navigasi dari laut menuju pedalaman melalui daerah
aliran sungai Bolian hingga ke pegunungan (terbentuknya Kerajaan Raya). Jadi
dalam hal ini Kerajaan Raya adalah kerajaan yang jauh lebih tua dari Kerajaan
Padang (di TebingTinggi). Oleh karena berada di daerah aliran sungai yang sama
(sungai Bolian/sungai Padang) maka perselisihan antara dua kerajaan
dimungkinkan (karena seara geografis berdekatan).
Lantas siapa pendukung (terbentuknya) Kerajaan Padang di hilir sungai Bolian/sungai Padang? Satu yang jelas Kerajaan Raya merupakan kerajaan yang sudah lama terbentuk di pedalaman, Hal itu didasarkan banyaknya temuan kepurbakalaan di wilayah Raya. Populasu Kerajaan Raya ini memiliki bahasa Simaloengoen dengan adat istiadat Simaloengoen. Kerajaan Raya sendiri juga meniliki aksara sendiri. Satu yang membedakan Kerajaan Padang dengan Kerajaan Deli di utara adalah soal silsilah. Kerajaan Deli melalui garis keturunan, sementara Kerajaan Padang tidak (mungkin semacam persekutuan). Kerajaan Raya juga mengikuti garis silsilah keturunan.
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur. Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar