Jumat, Oktober 18, 2024

Sejarah Pantai Timur (10): Songi Dilly di Deli Tua, Pulau Sicanang Sekarang; Kerajaan Laboehan dan Era Perkebunan di Tanah Deli


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Pantai Timur Sumatra di blog ini Klik Disini

Pada tahun 1822 seorang Inggris John Anderson (dari Penang) melaporkan Kerajaan Laboehan (Melayu) tengah berperang dengan Kerajaan Pulo Brajan (Batak). Inggris memberi bantuan persenjataan kepada Kerajaan Laboehan. Pada permulaan pembentukan cabang Pemerintah Hindia Belanda di pantai timur Sumatra (1863), Kerajaan Laboehan/Kesultanan Deli hanya memiliki otoritas di Laboehan (Kawasan muara sungai Deli) dan wilayah rawa-rawa di Pertjoet. Pada tahun 1865 Nienhujs membuka perkebunan di Laboehan.   


Kesultanan Deli didirikan tahun 1632 oleh Tuanku Panglima Gocah Pahlawan di Tanah Deli. Menurut hikayat, seorang Aceh Muhammad Dalik atau Gocah Pahlawan bergelar Laksamana Khuja Bintan, keturunan Amir Muhammad Badar ud-din Khan, dari Delhi, India menikahi Putri Chandra Dewi, putri Sultan Samudera Pasai. Muhammad Dalik dipercaya Sultan Aceh menjadi wakil di bekas wilayah Kerajaan Haru yang berpusat di daerah sungai Lalang-Percut. Dalik mendirikan Kesultanan Deli di bawah Kesultanan Aceh tahun 1632. Pada tahun 1653, putranya Tuanku Panglima Perunggit mengambil alih kekuasaan dan tahun 1669 mengumumkan memisahkan kerajaannya dari Aceh. Ibu kota di Labuhan. Pada tahun 1720 pecah Deli dan dibentuk Kesultanan Serdang. Kesultanan Deli sempat direbut Kesultanan Siak dan Aceh. Pada tahun 1858, Tanah Deli menjadi milik Belanda setelah Sultan Siak menyerahkan tanah kekuasaannya. Pada tahun 1861, Kesultanan Deli secara resmi diakui merdeka dari Siak maupun Aceh. Sultan Deli menjadi bebas untuk memberikan hak-hak lahan kepada Belanda/perusahaan perkebunan (Wikipedia).

Lantas bagaimana sejarah sungai Deli di Deli Tua, pulau Sicanang masa sekarang? Pada masa awal ada kerajaan besar di pedalaman, pulau Sicanang masih kecil di teluk Deli. Pulau ini makin lama makin besar. Pada masa Pemerintah Hindia Belanda pulai ini diperhatikan karena sering banjir. Sejak era Republik Indonesia pulau Sicanang menyatu dengaan daratan. Pulau Sicanang tamat. Dalam konteks inilah munul keberadaan kerajaan di Laboehan dan perkebunan di daeah aliran sungai Deli. Lalu bagaimana sejarah sungai Deli di Deli Tua, pulau Sicanang masa sekarang? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.

Sungai Deli di Deli Tua, Pulau Sicanang Masa Sekarang; Kerajaan Laboehan dan Perkebunan di Tanah Deli                                                          

Kampong tertua di daerah aliran sungai Deli diduga kampong Deli. Kampong tertua inilah yang kemudian disebut Deli Toewa. Sementara itu di wilayah hilir sungai dimana sungai bermuara ke laut muncul nama kampong baru yang disebut Laboehan. Nama kampong Laboehan ini kemudian menggunakan nama Deli (menjadi Laboehan Deli). Wilayah daerah aliran sungai Deli sendiri secara geomorfologis pemukaan tanah memiliki jenis tanah aluvial (mulai dari Deli Tua hingga ke Laboehan).


Tidak jauh dari kampong Deli Tua ini ke arah hulu terdapat nama kampong Odjoeng Bandar. Di sebelah barat sungai Deli adalah sungai Baboera. Kampong/kota Deli Tua ini sejatinya merupakan jarak terpendek antara sungai Deli dengan sungai Baboera. Ibarat kota Bogor merupakan jarak terpendek antara sungai Tjiliwong dengan sungai Tjisadane. Di kampong Oedjoeng Bandar sungai Deli mulai mendatar alias aliran sungai Deli lebih tenamg (tidak deras). Artinya, kampong/kota Deli Tua di masa lampau dapat dinavigasi dari luar (laut). Hulu sungai Deli ini berada di wilayah Bandar Baru, sedikit di atas Sibolongit (Si Baoe Langit). Mulai dari kampong Oedjoeng Bandar hingga ke pedalaman yang mendaki permukaan tanahnya mengandung jenis bebatuan andesit. Oleh karena Dari Deli Tua hingga ke laut mengandung tanah aluvial, diduga kuat pada zaman kuno garis panta berada di Deli Tua.  Elevasi permukaan sungai di Deli Tua dengan ketinggian 40 m dpl, sementara di tengah kota/kampong Deli Tua sekitar 60 m dpl. Jarak garis lurus dari Deli Tua ke Labuhan (Deli) sekitar 32 Km. Ketinggian permukaan sungai Deli di pertemuan dengan sungai Babura sekitar 22 M dpl. Di pulau Brayan sekitar 17 m dpl, Medan Deli (jalan Tol Medan-Binjai) sekitar 9 m dpl dan daerah Marelan sekitar 3 m dpl.

Deli Tua adalah kampong yang sangat tua, Laboehan adalah kampong yang sangat baru. Diantara dua waktu itulah kota Medan muncul, tumbuh dan berkembang seperti yang sekarang. Kapan itu bermula? Seperti disebut di atas, secara geomorfologis telah berubah dari waktu ke waktu sejak zaman kuno. Ketinggi kota Deli Tua yang sekarang (60 m dpl) besar kemungkinan jauh lebih rendah. Demikian juga daratan yang berada di Labuhan tempo doeloe belum ada (terbentuk karena proses sedimentasi jangka panjang).


Situs Kota Cina di Medan elevasinya hanya sekitar 2-3 m dpl, suatu daratan yang sangat rendah dan boleh dikatakan sebagai daratan basah. Jika daratan Marelan (dari Maryland) baru terbentuk (proses sedimentasi), sudah barang tentu kawasan Kota Cina masih berupa perairan/laut. Wilayah Marelan termasuk area Kota Cina di masa lampau adalah suatu perairan/laut bagian dari suatu teluk.  

Data tertua tentang wilayah Kota Medan di daerah aliran sungai Deli, diidentifikasi dalam peta VOC/Belanda yang didasarkan (Peta 1657). Dalam peta-peta tidak terinformasikan. Pada Peta 1657 diidentifikasi nama sungai Deli sebagai Songi Delly. Sungai ini bermuara ke dalam suatu teluk besar (perhatikan pulau Sicanang masih sangat kecil). Dalam konteks inilah, navigasi pelayaran masa lampau untuk memasuki daerah aliran sungai Deli melalui suatu teluk besar. Tentu saja saat itu wilayah Marelan termasuk area Kota Cina belum terbentuk (seperti disebut di atas elevasi wilayah Marelan hanya sekitar 3 m dpl).


Nama Delly juga disebut Dilli. Nama ini diduga berasal dari era Portugis (seperti halnya nama Dilli di pulau Timor bagian timur). Pada Peta 1753 diidentifikasi nama Dilli sebagai nama sungai dan nama tempat (yang diduga suatu kraton dari kerajaan) yang berada agak ke dalam. Posisi GPS kraton Dilli/Delly ini diduga berada di Deli Tua yang sekarang. Sebagaimana diketahui pada tahun 1511 skuadron Portugis menaklukkan Malaka. Salah satu utusan Portugus (Mendes Pinto) tahun 1537 berangkar ke wilayah kerajaan Aru Batak Kingdom di pantai timur Sumatra (seberang Malaka) diduga di daerah aliran sungai Barumun. Saat ini menurut Mendes Pinto kerajaan Aru Batak Kingdom tengah berselih dengan Atjeh, karena dua anak radja dari kerajaan Aru Batak Kingdom terbunuh oleh Atjeh di Lingau (Karo) dan Nakur (Simaloengoen) kerajaan Aru Batak Kingdom. Dalam perang itu kerajaan Aru Batak Kingdom mengalami kekalahan (yang kemudian kerajaan Aru Batak Kingdom memudar). Dalam laporan Mendes Pinto tidak ada menyebut nama Dilli.

Sejak kapan kraton (kerajaan) Dilli berdiri? Satu yang jelas sudah diidentifikasi dalam Peta 1753, tetapi belum terindentifikasi pada Peta 1657. Dalam buku Francois Valentijn (1724) diterbitkan tahun 1726 sudah diidentifikasi nama kerajaan Dilli di pantai timur Sumatra. Valentijn juga mengidentifikasi di dalam peta kerajaan Aru. Artinya, Kerajaan Aru masih ada di selatan pada saat terbentuk Kerajaan Dilli di utara. Dalam peta-peta sebelumnya sudah diidentifikasi Delly sebagai nama sungai (saja) seperti pada Peta 1657.


Pada tahun 1657 ini setelah sebelumnya VOC/Belanda memenangkan perang dengan Portugis di Maluku (Ternate dan Tidore), VOC/Belanda kembali melancarkan perang dengan Spanyol di Semenanjung Minahasa. Pada tahun 1659 VOC/Belanda mendirikan benteng Rotterdam di Manado. Spanyol kemudian memusat di Filipina. Satu decade sebelumnya (tahun 1641) VOC/Belanda telah mengusir Portugis dari Malaka dan Kamboja. Praktis sejak tahun 1641 VOC/Belanda menjadi dominan di selatan Malaka (bukan tandingan Atjeh). Seperti disebut di atas pada Peta 1657 di sungai Delly belum teridentifikasi suatu kraton/kerajaan. Untuk memperkuat garis pertahanan VOC/Belanda antara Batavia dan Malaka VOC/Belanda membangun pertahanan di Riouw (pulau Bintan). Salah satu utusan VOC/Belanda di Malaka dikirim ke Pagaroejoeng tahun 1684 untuk mengkonfirmasi apakah wilayah pantai timur Sumatra (Siak dan sekitarnya) apakah di bawah Johor atau Minangkabau. Pagatoejoeng menjawab jangan sekali-sekali ada pihak lain yang mengklaim. VOC/Belanda kemudian membangun pos perdagangan di pulau Gontong di miara sungai Siak. Namun pos ini ditinggalkan karena ada gangguan. Lalu kemudian disebutkan pada tahun 1723 di Siak didirikan kerajaan oleh Radja Ketjik (pada saat ini Valentijn sudah menyelesaikan ekspedisinya ke Sumatra). Dalam Peta 1724 belum teridentifikasi kerajaan Siak (yang ada Kerajaan Kampar). Sejak inilah mulai ada kekuatan baru di pantai timur Sumatra (setelah Atjeh). Bagaimana dengan VOC/Belanda sendiri? Boleh jadi pedagang-pedagang VOC/Belanda di pantai timur Sumatra hanya membatasi diri sebagai pengumpul dari aktivitas perdagangan Atjeh dan Siak. Peta 1724

Kehadiran kraton di daerah aliran sungai Deli diduga setelah tahun 1657 dan sebelum tahun 1724. Ada jarak waktu sekitar setengah abad. Dalam peta Valentijn Peta 1724 eksis Kerajaan Aroe di selatan dan Kerajaan Dilli di utara. Siapa pendukung kerajaan Dilli ini? Apakah Kerajaan Atjeh di utara atau Kerajaan Aroe di selatan?


Letak kraton Kerajaan Dilli ini berada jauh di belakang pantai. Pengaruh Kerajaan Atjeh hanya kuat di pesisir (laut). Sementara Kerajaan Aroe di pedalaman (darat). Letak Kerajaan Dilli ini berada di wilayah Batak (Simaloengoen dan Karo). Sejauh ini sulit menemukan data pendukung keberadaan Kerajaan Dilli di arah hulu sungai Deli ini. Namun bagaimana pun wilayah pedalaman dari Kerajaan Dilli ini ada kekuatan sumberdaya perdagangan.

Berdasarkan Daghregister, 07-09-1661 seorang Moor dari Malaka ke Dilli. Ini mengindikasikan bahwa perdagangan di daerah aliran sungai Deli eksis.  Seperti disebut di atas, nama Songi Delly sudah diidentifikasi dalam Peta 1657. Kekuatan perdagangan pada masa ini diduga masih bersifat individual antara pedagang dengan penduduk pedalaman sebagaimana di Songi Delly, Songo Carang (Bah Bolon), Songi Casang (Asahan) dan Songi Barama (Barumun).


Orang Moor adalah pedagang Islam yang berasal dari Semenanjung Iberia (Laut Mediterani) yang sudah menyebar di Hindia Timur sejak lama. Keberadaan orang-orang Moor di pantai timur Sumatra paling tidak dengan kahadiran Ibnu Batutah seorang Moor pada tahun 1345 ke Samudara. Dalam laporan Mendes Pinton (1537) menyebut di wilayah kerajaan Aru Batak Kingdom banyak orang Moor (berbeda di Atjeh dengan orang Turki), Oleh karena itu pantai timur Sumatra tidak asing bagi orang-orang Moor. Dalam hal ini orang Moor adalah partner perdagangan kerajaan Aru Batak Kingdom. Orang-orang Moor dapat menjalin kerjasama dengan VOC/Belanda, Boleh jadi karena keduanya tidak terlalu dengat dengan Atjeh (hanya Inggris yang memiliki hubungan perdagangan dengan Atjeh di pantai barat saja).

Dalam Daghregister, 28-01-1667 disebutkan seorang utusan dari Dilly datang ke Batavia untuk agar VOC memberikan perlindungan sebagaiman seperti masyarakat pantai barat Sumatra. Siapa yang menjadi utusan Dilli ini tidak diketahui secara pasti. Seperti disebut di atas, hanya orang Moor yang dilaporkan di Batavia yang berangkat dari Malaka (wilayah otoritas VOC) ke Dilli. Tidak diketahui hasilnya apakah Batavia memberi perlindungan ke pantai timur Sumatra.


Sebagaimana diketahui, VOC memberikan perlindungan di pantai barat Sumatra. Ini bermula dari permintaan para pemimpin di pantai barat Sumatra untuk mengusir Atjeh dan memberi perlindungan. Lalu pada tahun 1665 satu pasukan dikirim dari Batavia untuk membebaskan panta barat Sumatra. Setelah VOC (Belanda) menduduki Padang, VOC kemudian bekerjasama dengan (kerajaan) Baroes dan kemudian benteng VOC dibangun di Baroes tahun 1667 (lalu kemudian pos perdagangan VOC dibangun di Singkil). Eks kerajaan-kerajaan kecil dari Kerajaan Aru (dan kerajaan Pagaroejoeng) telah dipulihkan kembali oleh VOC. Menurut laporan seorang Cina yang dicatat di dalam Daghregister, 01-03-1701 yang pernah 10 tahun di Angkola berangkat dari Angkola ke Baroes dalam 10 hari perjalanan. Ini mengindikasikan bahwa Baroes adalah pelabuhan dari penduduk Angkola (Kerajaan Aru). Kota pelabuhan besar di pantai barat pada saat itu adalah Padang (dimana terdapat benteng VOC terkuat).

Lantas mengapa ada utusan dari Dilli tahun 1667 meminta perlindungan ke Batavia? Ini tidak lama setelah pantai barat Sumatra dibebaskan VOC dari Atjeh pada tahun 1665. Pada tahun 1667 ini VOC juga telah membangun benteng di Baroes. Sebagaimana di pantai barat para pemimpin yang meminta perlindungan ke VOC adalah para pemimpin yang berseberangan dengan Atjeh (Baroes dan Dilli berada di wilayah yang sama, yang satu di pantai barat dan yang lainnya di pantai timur). Besar dugaan utusan dari Dilli ini adalah para pemimpin yang tidak berafiliasi dengan Atjeh. Namun yang tetap menjadi pertanyaan apakah Batavia memberikan perlindungannya? Yang membedakan pantai timur Sumatra memiliki relasi perdagangan dengan orang-orang Moor (di pantai barat Sumatra tidak terinformasikan keberadaan orang Moor). Lalu apakah pengaruh orang Moor ada di daerah aliran sungai Dilli?


Seperti dikutip di atas, Kesultanan Deli didirikan tahun 1632 oleh Tuanku Panglima Gocah Pahlawan di Tanah Deli. Menurut hikayat, seorang Aceh Muhammad Dalik atau Gocah Pahlawan bergelar Laksamana Khuja Bintan, keturunan Amir Muhammad Badar ud-din Khan, dari Delhi, India menikahi Putri Chandra Dewi, putri Sultan Samudera Pasai. Muhammad Dalik dipercaya Sultan Aceh menjadi wakil di bekas wilayah Kerajaan Haru yang berpusat di daerah sungai Lalang-Percut. Dalik mendirikan Kesultanan Deli di bawah Kesultanan Aceh tahun 1632. Pada tahun 1653, putranya Tuanku Panglima Perunggit mengambil alih kekuasaan dan tahun 1669 mengumumkan memisahkan kerajaannya dari Aceh dengan ibu kota di Labuhan. Pada tahun 1720 pecah Deli dan dibentuk Kesultanan Serdang. Lantas apakah narasi tersebut bersifat sejarah? Sumbernya hanya disebut hikayat (di wilayah Minangkabau disebut di tambo, di Tanah Batak disebut turi-turian). Sejarah adalah narasi fakta dan data. Hikayat, tambo dan turi-turian bukan sejarah. Lalu bagaimana sejarah (kerajaan) Deli yang sebenarnya? Itu menjadi tugas semua pihak.

Dilli adalah satu hal, orang Moor adalah hal lain lagi. Nama dan orang Moor di pantai timur tidak asing sejak lama, sudah berlangsung sejak lama. Dalam prasasti-prasasti di Padang Lawas, juga ada indikasi kehadiran orang Moor di pantai timur Sumatra. Kehadiran utusan Moor, Ibnu Batutah pada tahun 1345 di pantai timur memperkuat dugaan tersebut, bahwa orang-orang Moor di pantai timur Sumatra memiliki peran dan kontribusi yang nyata. Dalam konteks inilah, penting memahami kehadiran orang Moor di Dilli pada tahun 1661. Dalam hal ini pula penting memahami bagaimana terinformasikan utusan dari Dilli meminta perlindungan ke Batavia pada tahun 1667. Apakah orang Moor ini telah memainkan peran penting di Dilli?


Nama Dilli besar dugaan bukanlah nama local. Besar dugaan nama Dilli sudah ada sejak lama, paling tidak sejak era Portugis. Di pantai barat India bagian selatan, ada dua nama tanjung disebut Kaap Dilly dan Kaap Komorin yang memnatasi wilayah Malabar (lihat De Star; een tijdschrift, No 5, 1819). Wilayah Malabar ini termasuk Goa. Penamaan tanjung dalam navigasi begitu penting, karena menjadi salah satu penghalang atau bahaya ketika menuju teluk untuk berlindung. Melewati tanjung ke teluk, lalu saat berlindung di teluk, tanjung berbalik menjadi sabuk pengaman yang penting dari badai dan gelombang laut yang besar. Itulah arti tanjung (kaap) dan navigasi tempo doeloe. Dengan demikian nama Dilly sebagai nama tanjung (juga pegunungan) juga menjadi penting dalam navigasi, yang namanya dikenal luas oleh para pelaut/pedagang. Oleh karena penamaan titik-titik navigasi pada masa lampau umumnya orang Eropa (terutama Portugis) seperti halnya nama Goa, maka kemungkinan penamaan tanjung Dilly di wilayah Malabar ini adalah orang Portugis. Orang Belanda sendiri menulis nama Dilli dengan Delly. Nama Delly sudah muncul dalam tiulisan seorang Portugis Nicolay (sieur d'Arfeuille) berjudul Les navigations peregrinations et voyages, faicts en la Tvrqvie tahun 1576. Nama Dilly atau Delly sendiri berasal dari dallying seperti to drag one's self along the ground in a sitting posture atau to do any thing lazily, to dilly dally (lihat A dictionary Sindhi and English by Geo Stack, 1855). Dalam kamus A Japanese-English and English-Japanese Dictionary by James Curtis Hepburn (1887): dilly - dally; to be slow and dilatory; to grumble, complain. Dalam kamus Engelsch woordenboek edisi Belanda by Karel Bruggencate (1895) terkait dengan Dilly adalah dili, diligence, omnibus, postkoets (verkorting van Diligence, diližons. Dilly dally, dilidali, uitstellen, treuzelen. Dalam hal ini kata dilli dalam versi Eropa bersifat nigatif. Oleh karena pelaut/pedagang Portugis yang berasal dari Eropa di pantai timur Sumatra, maka nama Dilly sebagai nama sungai kemungkinan besar diberikan oleh orang Portugis yang kemudian digunakan oleh pata ahli kartografi di Eropa.

Nama sungai Dilly diduga kuat sudah lama, sejak era Portugis. Sebagaimana diketahui Portugis sudah menduduki sejak 1511. Dalam tulisan Mendes Pinto (1537) yang pernah berkunjung ke pantai timur Sumatra di Aru Batak Kingdom belum ditemukan nama Dilly atau Delly. Seperti disebut di atas, peta tertua yang mengidentifikasi nama Dilly pada tahun 1657. Peta ini dibuat tidak lama setelah VOC mengusir Portugis dari Malaka pada tahun 1641. Oleh karena itu, yang memberikan nama Dilly pada sungai adalah Portugis tetapi yang mencatat pertama adalah Belanda.


Bagaimana dengan nama Dilly di bagian timur pulau Timor? Portugis dan Belanda/VOC berseteru sejak kahadiran Belanda pertama kali yang dipimpin oleh Cornelis de Houtman (1595-1597). Pada tahun 1605 Admiral van Hagen menduduki benteng Portugis di Amboina. Lalu pada tahun 1613 pelaut Belanda kembali menyerang orang Portugis di (pulau) Solor dan Koepang (barat pulau Timor). Sejak inilah orang-orang Portugis bergeser ke bagian timur pulau Timor. Di pantai utara Timor bagian timur kemudian diketahu nama tempat Dilly (sebagai pelabuhan utama orang Portugis). Pada tahun 1619 Belanda memindahkan pos perdagangan utama dari Amboina ke Batavia (VOC). Setelah VOC berhasil menahan serangan Mataram pada tahun 1629, VOC semakin digdaya di Djawa. Dengan dukungan Bali, VOC berhasil menguasai perdagangan di pantai utara Jawa hingga Banten. Dengan modal dari Jawa inilah kemudian VOC menyasar Portugis di Malaka dan berhasil menaklukkannya pada tahun 1641. Dalam konteks inilah kemudian nama Dilly atau Delly ditemukan di pantai timur Sumatra.

Perdagangan di daerah aliran sungai Delly setelah ditinggalkan Portugis (1641) kemungkinan sempat diambil alih oleh Atjeh (sebagaiman di pantai barat Sumatra) tetapi kemudian diambil alih VOC/Belanda. Seperti biasanya, wilayah eks Portugis selalu dikuasai atau menjadi wilayah otoritas Belanda/VOC.


Selama kehadiran di selat Malaka (1511-1641) tidak terinformasikan kerajaan di daerah aliran sungai Deli. Seperti disebut di atas, kerajaan di daerah aliran sungai Delly baru muncul pada tulisan Francois Valentijn (1724). Kapan muncul tidak diketahui secara pasti. Besar dugaan kerajaan Dilly di daerah aliran sungai Delly baru muncul pada era VOC. Seperti disebut di atas, kerajaan itu kemungkinan besar di bawah proteksi Batavia (VOC) melalui orang-orang Moor.

Dengan kembali ke peta-peta terdahulu di pantai timur Sumatra, gambaran yang diberikan oleh berbagai hikayat berbeda dengan situasi dan kondisi sezaman di daerah aliran sungai Delly atau sungai Dilly. Hikayat hanya bersifat naratif, tidak menunjukkan data dalam bentuk teks (prasasti, dokumen), peta dan data-data lainnya seperti peta geologi, peta geografi, peta bahasa dan sebagainya.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Kerajaan Laboehan dan Perkebunan di Tanah Deli: Orang Batak dan Orang Melayu

Nama Deli pada era Pemerintah Hindia Belanda terinformasikan pada tahun 1863. Hal ini seiring dengan pembentukan cabang Pemerintah Hindia Belanda di pantai timur Sumatra berdasarkan perjanjian antara pemerintah kerajaan Siak Indrapoera. Wilayah Deli dalam pembentukan cabang pemerintahan dijadikan satu wilayah setara (lanskap).


Sementara itu di wilayah pantai timur Sumatra, sudah terjadi interaksi berbagai kelompok populasi dengan dunia/orang luar seperti pelaut-pelaut dan pedagang-pedagang. Orang asing seperti India, Arab, Persia, Moor, Eropa, Cina dan Jepang. Orang nusantara antara lain Melayu dari Siak, Minangkabau dan Atjeh. Dalam hal ini orang Melayu lebih terpapar jika dibandingkan kelompok populasi di pedalaman seperti orang Batak. Dalam konteks inilah orang luar bersaing merebut pengaruh di wilayah pesisir. Pengaruh tersebut ada yang memperkuat tetapi juga ada yang memperlemah kelompok populasi di pesisir.

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur. Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar: