.
Baca juga:
Ketika Medan, sebuah kampung; Padang Sidempuan, sebuah kota |
Wilayah yang menjadi Residentie Sumatra's Oostkust (Patai Timur Sumatra) adalah pemekaran wilayah dari Residentie Riaow, sementara Residentie Tapanoeli adalah pemekaran dari Provinsi Sumatra's Westkust (Pantai Barat Sumatra). Ketika, status Sumatra's Oostkust ditingkatkan dari residentie menjadi province dibentuk Residentie Atjeh. Pada periode kedua pemilihan anggota dewan (Volksraad), nama Sumatra Utara (Noord Sumatra) muncul yang mana Residentie Tapanoeli dan Residentie Atjeh digabung sebagai satu daerah pemilihan (dapil) yang disebut dapil Noord Sumatra (Sumatra Utara). Sedangkan Province Sumatra's Oostkust menjadi satu dapil sendiri. Ketika Residentie Atjeh dimekarkan, pemilik nama Sumatra Utara hanya tinggal Tapanoeli. Dalam perkembangannya, nama Sumatra's Oostkust dihapus, lalu wilayah-wilayah eks Sumatra's Oostkust bersama dengan wilayah-wilayah eks Tapanoeli digabung menjadi sebuah provinsi. Nama provinsi disebut Sumatra Utara (nama yang telah lama melekat dan dikaitkan dengan Tapanoeli).Sehubungan dengan itu, lantas apa hubungan Padang Sidempuan dengan Medan? Dan apa pula hubungan Tapanoeli dengan Sumatra Utara? Serial artikel ini coba menelusuri mulai dari titik nol: Kapan terbentuk kota Padang Sidempuan (1841), kapan terbentuk kota Medan (1869); kapan terbentuk Tapanoeli (1845), kapan terbentuk Sumatra's Oostkust (1879) dan terakhir, kapan terbentuk Sumatra Utara (1927). Hal yang terpenting dari itu adalah apa saja peran anak-anak Padang Sidempuan sejak awal dalam membangun kota Medan dan membentuk provinsi Sumatra Utara. Mereka datang dari kota pertama di Sumatra Utara, yakni Padang Sidempan, ibukota Afdeeling Mandheling en Ankola, tempat dimana Multatuli (Edward Douwes Dekker) belajar soal keadilan (1843), tempat dimana Herman Neubronner van der Tuuk belajar dan menyusun tatabahasa Bahasa Batak (1850), tempat dimana Nommensen belajar sistem sosial orang Batak (1861), tempat dimana Charles Adrian van Ophuijsen belajar dan menyusun tatabahasa Bahasa Melayu (1879), tempat dimana semua penduduknya Republiken.
Sebagai gambaran awal, peran anak-anak Padang Sidempuan sejak dari awal di Kota Medan diantaranya, adalah: pers (koran dan percetakan) pribumi pertama (1902), editor pribumi pertama (1903), guru pribumi pertama (1893), pengawas sekolah pertama (1910), pemilik sekolah pribumi pertama (1903), dokter-dokter pertama pemberantas kusta, kolera dan tbc, pemilik klubdan pendiri bond sepakbola pribumi pertama, anggota dewan kota (gementeeraad) pribumi pertama (1918) dan anggota dewan pertama yang terpilih ke dewan pusat (Volksraad) di Pejambon, Batavia (1927). Anak-anak Padang Sidempuan juga adalah pendiri organisasi sosial pertama (1904), penggagas pasar sentral dan pelopor pengembangan rumah sakit (1928), kepala pelabuhan pribumi pertama, jaksa pribumi pertama (1893) dan polisi pribumi pertama. Anak-anak Padang Sidempuan juga yang terkena delik pers pertama (1911), pertama dalam melawan kolonialisme, republiken, para pejuang di medan tempur dan ketua Front Nasional Medan (1945). Anak-anak Padang Sidempuan pasca perang adalah ketua panitia hari kemerdekaan pertama di Medan (1950), Walikota Medan pertama (1945), Residen Sumatra Timur pertama, Gubernur Sumatra Utara pertama, penggagas, pendiri dan presiden universitas (USU) pertama (1953), notaris pribumi pertama (1937), ahli hukum pribumi pertama (1917), penggagas pembangunan stadion Teladan (1953). Mari kita lacak kisah masing-masing dan peranan-peranan apa lagi yang mereka lakukan sejalan dengan pembangunan dan perkembangan Kota Medan (dan provinsi Sumatra Utara).
Namun perlu diketahui, bahwa semua prestasi itu tidak terjadi tiba-tiba dan bersifat lokal. Anak-anak Padang Sidempuan bahkan sudah sejak lama di tingkat nasional dan internasional melakukan kebajikan yang serupa, diantaranya: siswa pertama dari luar jawa di Docter Djawa School (STOVIA) tahun 1854, siswa pertama pribumi studi ke Belanda (1857), penulis buku pelajaran pertama (1862), pengarang novel/roman pertama (1895), penyusun buku panduan perjalanan haji pertama (1902), penulis buku pertama terbit di Eropa (1913), alumni sekolah hukum pertama (rechtschool) di Batavia (1914), alumni pertama sekolah menengah pertanian di Buitenzorg (1911), alumni pertama sekolah dokter hewan di Belanda (1909) di Buitenzorg, pendiri organisasi sosial pertama, Medan Perdamaian tahun 1900 (jauh sebelum adanya Boedi Oetomo, 1908), pendiri dan presiden perhimpunan mahasiswa di Belanda (1908), pendiri Sumatra Bond (1817), pendiri Tapanoeli Bond, pendiri Batakcshe Bond, pendiri bank pribumi pertama (1920), peraih gelar doktor hukum pribumi pertama (1925), peraih gelar doktor perempuan pertama (1931), pendiri organisasi wartawan (1918), pendiri akademi wartawan (1951), ketua panitia kongres pemuda (1928), ketua KADIN pribumi pertama (1929), orang pribumi pertama ke Jepang (1932), anggota BPUPKI (1945), walikota pribumi pertama di Kota Surabaya (1942), Residen Sumatra Tengah (Sumatra Barat dan Riau) pertama (1945), Residen Lampung pertama (1948). Daftar ini lebih panjang lagi dengan menyertakan tokoh-tokoh di bidang militer, perdana menteri, wakil presiden dan menteri. Last but not lease: pendiri dan presiden pertama himpunan mahasiswa Islam HMI (1947) dan pendiri dan presiden pertama persatuan mahasiswa universiteit van Indonesia PMUI (1947).Tentu saja masih banyak lagi yang dapat memberi gambaran kontekstual tentang peranan anak-anak Padang Sidempuan pada fase awal sejarah Kota Medan dan sejarah Indonesia. Nama-nama mereka seharusnya ditempatkan dalam top list bumiputra dengan tinta emas cetak tebal baik dalam penulisan sejarah Kota Medan dan maupun penulisan sejarah Indonesia. Kini, di era teknologi informasi, data-data sudah terbuka dan terang benderang. Tidak ada lagi ruang untuk memanipulasi data dan informasi sejarah. Salam jasmerah. Mari kita mulai seri artikel pertama.
Labuhan Deli, Onderafdeeling Deli, Afdeeling Siak,
Residentie Riaouw
Kota Medan, belumlah setua kota Padang Sidempuan dan Sibolga. Kota Medan justru baru muncul setelah adanya perkembangan di Deli. Ini bermula ketika keluar Beslit No. 8 tanggal 21 Februari 1965, yang isinya: (a) disetujui penempatan controleur di Siak, Laboean Batoe, Panei, Batoe Bara dan Deli untuk melayani para kas houder (post houder) di lanskap dimaksud yang akan berada dibawah kas houder Afdeeling Siak (b) manajemen dan administrasi akan dilakukan sesuai dengan Resolusi No 27 tanggal 29 Mei 1852. Dalam perkembangannya, beberapa lanskap baru dibentuk dengan menempatkan controleur. Singkat cerita: Dalam Almanak 1870, Residentie Riouw en onderhoorigheden konfigurasi pemerintahan menjadi terdiri dari beberapa afdeeling: Siak Sri Indrapoera, Lingga, Karimon, Batam, Noord Bintang, Zuid Bintang dan Tandjong Pinang. Afdeeling Siak Sri Indrapoera terdiri dari enam onderafdeeling, yakni: Siak, Deli, Batubara, Asahan, Bengkalis dan Laboean Batoe (Panei dihapuskan lalu dimasukkan ke Laboehan Batu dan Asahan dibentuk. Asisten Residen ditempatkan di Siak, sedangkan di Deli, Batubara, Asahan, Bengkalis dan Laboean Batoe masing-masing tetap dikepalai oleh seorang controleur.
Kota Medan, belumlah setua kota Padang Sidempuan dan Sibolga. Kota Medan justru baru muncul setelah adanya perkembangan di Deli. Ini bermula ketika keluar Beslit No. 8 tanggal 21 Februari 1965, yang isinya: (a) disetujui penempatan controleur di Siak, Laboean Batoe, Panei, Batoe Bara dan Deli untuk melayani para kas houder (post houder) di lanskap dimaksud yang akan berada dibawah kas houder Afdeeling Siak (b) manajemen dan administrasi akan dilakukan sesuai dengan Resolusi No 27 tanggal 29 Mei 1852. Dalam perkembangannya, beberapa lanskap baru dibentuk dengan menempatkan controleur. Singkat cerita: Dalam Almanak 1870, Residentie Riouw en onderhoorigheden konfigurasi pemerintahan menjadi terdiri dari beberapa afdeeling: Siak Sri Indrapoera, Lingga, Karimon, Batam, Noord Bintang, Zuid Bintang dan Tandjong Pinang. Afdeeling Siak Sri Indrapoera terdiri dari enam onderafdeeling, yakni: Siak, Deli, Batubara, Asahan, Bengkalis dan Laboean Batoe (Panei dihapuskan lalu dimasukkan ke Laboehan Batu dan Asahan dibentuk. Asisten Residen ditempatkan di Siak, sedangkan di Deli, Batubara, Asahan, Bengkalis dan Laboean Batoe masing-masing tetap dikepalai oleh seorang controleur.
Belanda datang ke Sultan Siak dan membuat kesepakatan pembentukan otoritas Belanda, pada 1 Februari 1858. Sejak itu wilayah Siak (Riaouw) semakin meluas ke utara hingga ke Deli. Pada tahun 1864 di Rioauw kepala pemerintahan dijalankan oleh seorang Residen, dan dibantu seorang Asisten Residen di Siak Indrapoera..
1862: Siak sudah mulai teridentifikasi, Bengkalis belum sama sekali
Pada waktu yang sama (1870) di Sumatra hanya ada satu wilayah yang berstatus province (yang dibentuk sejak 1833) yang dikepalai oleh seorang Gubernur, yakni: Province Sumatra’s Westkust--terdiri dari tiga Raesidentie: Padangsche Benedenlanden, Padangsche Bovenlanden dan Tapanoeli. Gubernur di Padangsche Benedenlanden dan masing-masing Residen di Padangsche Bovenlanden dan Tapanoeli. Residentie Tapanoeli terdiri dari tiga afdeeling: Natal, Siboga dan Mandheling en Ankola. Residen di Siboga, Asisten Residen di Mandheling en Ankola dan Controleur di Natal.Pada tahun 1857, Si Sati atau Sati Nasoetion gelar Soetan Iskandar berangkat dari Mandheling en Ankola via Batavia studi ke Belanda (orang pribumi pertama studi ke Belanda). Sati Nasoetion yang telah mengganti namanya menjadi Willem Iskander berhasil mendapat akte guru di Harlem tahun 1861 dan kembali kampung halaman dan tahun 1862 mendirikan sekolah guru di Tanobato (Mandheling en Ankola), yang menjadi sekolah guru negeri ketiga di Nederlansch Indie (sebelumnya sudah ada di Surakarta dan Fort de Kock).
1862: Mandheling, Ankola Tapanoeli sudah teridentifikasi lengkap |
Pada tahun 1841,
pemerintah kolonial membentuk pemerintahan sipil di Mandheling en Ankola (pemerintahan
sipil pertama di wilayah Sumatra Utara). Militer Belanda sendiri memasuki
wilayah Mandheling en Ankola dimulai tahun 1833. Selama delapan tahun
(1833-1841) pemerintahan yang ada adalah pemerintahan militer dalam rangka
perang Bondjol dan perang Tambusai. Awalnya ibukota onderafdeeling Ankola
dipilih Pijorkoling, namun setahun terakhir mengalami perubahan dan lebih
memilih ibukota Ankola di dekat kampung Sidempuan. Pada tahun 1841 ibukota
Ankola ditetapkan di sebuah area dekat kampung Sidempuan. Dalam perkembangannya
ibukota ini bernama Padang Sidempuan.
Satu sudut Padang Sidempuan, 1846 (lukisan Clerq, ast. Gagern) |
Pada tahun 1870, onderafdeeling Deli dibentuk dengan ibukota Labuhan Deli.
Ini berarti ibukota Padang Sidempuan (onder afd. Ankola) lebih tua 30 tahun
dibandingkan ibukota Labuhan Deli (onder afd. Deli). Pada tahun 1874, keberadaan
nama kampung Medan Poetri di Deli sudah diketahui melalui koran (Bataviaasch
handelsblad, 27-11-1874), sebagai tempat orang Eropa/Belanda. Semakin banyaknya
orang Eropa/Belanda yang tinggal di Medan (Poetri) pada tahun 1875 ditempatkan
seorang letnan militer (Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor
Nederlandsch-Indie, 03-03-1875). Tidak lama kemudian, dilaporkan bahwa tingkat
air yang sangat tinggi, menyebabkan sebagian besar Laboean Deli mengalami banjir,
akibatnya sejak 16 November, sebagian besar pasukan dari Labuan Deli dipindahkan
ke Medan dan hanya menyisakan satu orang militer (Belanda) dengan anggota
sebanyak 30 orang pembantu non Belanda/pribumi (Java-bode: nieuws, handels- en
advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 18-03-1875). Apakah tanggal 16
November 1975 penanda akan ada perubahan ibukota Deli dari Labuhan Deli ke
Medan?
Hal yang dialami
oleh Medan ini mirip dengan yang dialami oleh Padang Sidempuan. Pada tahun 1838
benteng Pijor Koling dibangun (dalam rangka Perang Tambusai) dan setelah dirasa
aman tahun 1840 konsentrasi militer di Pijorkoling dipindahkan ke tempat yang
baru (garnisun militer) di area dekat kampung Sidempuan. Pada saat penempatan
controleur di Ankola tahun 1841 lokasi ibukota Ankola ternyata mengikuti lokasi
dimana militer berada. Padahal tahun 1839 ibukota Ankola sudah diberitakan di
koran di Batavia akan berada di Pijorkoling.
Keutamaan afddeling Mandheling en Ankola saat itu, mengapa pemerintahan
kolonial melakukan investasi karena kesuburun tanah di Mandheling en Ankola,
dan juga sebagai perluasaan koffieculture di Padangsche Bovenlanden. Inilah
alasan mengapa pemerintahan kolonial lebih berkonsentrasi di afdeeling
Mandheling en Ankola dibanding di afd. Tapanoeli (Sibolga dan sekitarnya),
Padang Lawas dan Bataklanden (Silindoeng en Toba). Koffieculture yang dimulai
tahun 1841 di Mandheling en Ankola (sejak controleur Godin), ternyata berjalan lancar yang di sana-sini
sempat terjadi pemberontakan yang mengakibatkan banyak penduduk Mandheling en
Ankola yang migrasi hingga ke Semenanjung Malaya.
Setelah era Mr. Godin, arsitek
keberhasilan koffieculture di afd. Mandheling en Ankola adalah Asisten Residen
A.P. Godon dan controleur di Ankola Mr. WA. Hennij. AP Godon mulai bertugas tahun
1848 dan berakhir tahun 1857. Sedangkan Hennij mulai bertugas tahun 1856.
Ketika AP Godon cuti ke Belanda dua tahun pada tahun 1857, penggantinya adalah
Zelner. Ketika Zelner dipindahkan 1860, Hennij, controleur Ankola diangkat
menjadi asisten Residen. Tugas Hennij ini dijalankan dengan baik baik selagi
masih controleur maupun asisten residen hingga akhirnya produksi kopi dari
Mandheling en Ankola semakin meningkat dan pada tahun 1862 harga kopi
Mandheling dan harga kopi Ankola menjadi harga tertinggi dunia (lihat Sumatra-courant:
nieuws-en advertentieblad, 28-06-1862). Sejak itu, kemakmuran terjadi di afd.
Mandheling en Ankola, semua merasakan manfaatnya bahkan hingga para petani di
lereng-lereng gunung. Koffieculture tidak lagi dipandang sebagai beban, tetapi
telah menjadi habit baru bagi penduduk dalam mengejar kemakmuran. Sejak 1862 kopi Mandheling en kopi Ankola mulai terkenal di dunia kopi dan sejak itu pula ibukota onder
afd. Ankola (Padang Sidempuan) tumbuh pesat dan menjadi ‘kota besar’.
Nienhuys, Perkebunan Tembakau dan
Kampong Medan Poetri
Sementara itu, di Deli pada tahun 1865 seorang swasta bernama Nienhuys
memulai usaha sendiri di bidang perkebunan tembakau. Ini berarti kehadiran Nienhuys bersamaan dengan kehadiran pemerintahan kolonial
Belanda (controleur) pertamakali di Deli. Ada dua situasi kondisi yang terjadi setelah adanya aneksasi Belanda ke Deli. Pertama, lanskap-lanskap Pantai Timur Sumatra adalah wilayah yang paling hening di Nederlansch Indie, tidak ada gejolak atau bentu-bentuk perlawanan. Sementara itu, pemerintah adem ayem saja dan belum tampak apa yang harus diperbuat. Padahal penduduknya serba kekurangan, apapun harus didatangkan dari luar wilayah (termasuk beras). Karenanya, pers Inggris di Semenanjung menyindir pemerintah Belanda di Batavia yang mendiamkan wilayahnya tanpa ada sentuhan yang berarti. Sebab sebaliknya terjadi di Semenanjung. Sindiran ini dijawab pers Belanda, bahwa Inggris tidak perlu mengomentari rumahtangga orang lain, Pemerintah Belanda di Batavia tidak sedang melayani Inggris, tetapi melayani urusan Belanda, Inggris hanya memerlukan Belanda untuk mendukung pelabuhan intenasionalnya di Singapore. Bahwa dengan situasi dan kondisi ini Inggris dirugikan tetapi kami berbuat tidak berdasarkan pendapat dari tetangga.
Aktivitas ekonomi Deli terus bergerak dan pergerakannya semakin kencang. Di satu sisi, hasil pencapaian singkat di Pantai Timur Sumatra ini boleh jadi telah membungkam pers Inggris di Semenanjung. Di sisi yang lain, Pemerintah Belanda mencoba membesarkan perusahaan sendiri dengan dikeluarkannya Keputusan Kerajaan Belanda No. 13 bertanggal 16 Desember 1869 bahwa Deli Maatschappij yangdidirikan dengan domisili di Amterdam yang akan bergerak di bidang pertambangan dan pertanian serta reklamasi lahan yang terletak di Deli yang juga diberikan hak pembangunan prasarana sebagaimana di tempat lain yang dengan keleluasaan itu diwajibkan untuk melakukan penglahan produk, penjualan produk dan pembangunan kereta api untuk mendukung usaha sendiri maupun kemajuan. Berdasarkan keputusan tersebut oleh Keputusan Kerajaan Belanda No. 16 bertanggal14 Januari 1870 statuta asosiasi mendapat layanan kanal di Hoogeveen Belanda dan diakui sebagai badan hukum.
Praktis pada tahun 1875 di
sekitar Medan sudah terdapat antara 6000-7000 kuli Cina. Sementara itu kuli
dari Jawa hanya terdapat di beberapa titik, mereka itu berasal dari Bagelan. Lalu persoalan lain pun muncul. Ini bermula ketika Mr H, pemilik perkebunan tembakau di Sungai
Pertjoet (empat jam jarak dari kota utama, Medan) dengan dua Eropa yang tengah berada
di rumahnya, terjadi kerusuhan oleh 70-100 dari kulinya memberontak dan
membunuh orang Eropanya dan sejumlah pegawainya dari Melayu. Dengan bantuan
militer dibawah komando Letnan Muller dengan satu detasemen yang dikirim, para
pemberontak dapat diamankan, efek domino terhadap ribuan kuli-kuli Cina dapat
terhindarkan.
Nienhuys, planter pertama di Deli (1865)
|
Kedua, Neinhuys datang ke Deli dan berusaha budidaya tembakau. Oleh karena hasilnya memuaskan maka Neinhuys mendatangkan kuli Cina dari Penang yang awalnya bejumlah 190 orang (lalu pada nantinya tahun
1869 telah berjumlah 900 orang). Keberhasilan Neinhuys telah menarik minat investor
lain dan melakukan bisnis perkebunan yang sama di Deli. Controleur dan Sultan membuka pintu bagi investor baru dari Eropa (tentu saja termasuk Belanda). Hasilnya langsung terasa: investor di satu sisi membawa uang dan bersirkulasi dan keberhasilan perusahaan-perusahaan yang invest telah mendongkrak ekonomi penduduk. Sultan mendorong penduduknya menanam kelapa, buah-buahan dan sayur-sayuran. Selama bertahun-tahun penduduk sangat tergantung pasokan dari luar untuk pakaian, barang rumahtangga, makanan, beras dengan harga sangat mahal, kini harganya menjadi lebih murah. Perputaran uang telah memicu berdatangannya pedagang-pedagang Tionghoa dari pantai dan orang-orang Batak dari dataran tinggi (bovenlanden) untuk menjual produk-produk surplus mereka. Lambat laun kebutuhan sehari-hari penduduk makin tersedia dan untuk mengamankan kelebihan pasokan dikirim ke Penang dan munculnya pelayaran reguler (Laboehan Deli-Penang). Kebutuhan adanya dokter lokal (docter djawa school) semakin mengemuka. Hasil perkebunan mulai terasa, harga tembakau Deli di Belanda sudah mendapat harga yang memuaskan bahkan pada tahun 1869 volume ekspor Deli sudah mencapai 157.000 ton ke Eropa dan 37.500 ton di pasar domestik (termasuk Semenanjung). Sementara itu kuli semakin banyak yang didatangkan dari Cina, Siam, Kling dan Java dengan perjanjian kerja. Para planter sudah kembali modal dan untung. Controleur dan Sultan mulai tersenyum. Pemerintah Belanda mendorong perusahaan-perusahaan Belanda khususnya untuk berinvest lebih besar dengan mendatangkan kapital lebih banyak dari Eropa. Melihat apa yang tengah terjadi di Deli, memicu minat Sultan Langkat dan Sultan Serdang agar investor juga datang ke daerah mereka masing-masing.
Akte Notaris Deli Mij (Algemeen
Handelsblad, 22-02-1870)
|
Deli Maatschappij, 1870 |
1862: Baru kampung Soenggal teridentifikasi di Pantai Timur Sumatra |
Laboehan Deli, 1967 |
Kuli Cina di Deli (foto 1870) |
Jangan lupa, eskalasi militer ini di Deli (dan Langkat) adalah dengan segaja
(by design). Perang Bonjol (Toeankoe Imam) dan Perang Pertibie (Toeankoe Tambusasi) sudah lama berlalu, dan
situasi keamanan di Sumatra’s Westkust dan di Mandheling en Ankola dan
Tapanoeli (Sibolga dan sekitarnya) praktis sudah kondusif secara ekonomi. Hal yang sebaliknya terjadi di
Deli (secara ekonomi menjadi tidak kondusif: kerusuhan dan perampokan di
kantong-kantong perkebunan swasta) makin meningkat. Penguasaan militer di Deli hanya bersifat sementara, sekadar
batu loncatan (karena di Tanah Deli nyaris tidak ada perlawanan yang sesungguhnya terhadap penjajah
Belanda), melainkan pada nantinya masih ada dua perang lagi: Perang Toba dan
Perang Atjeh. Dalam perspektif ini, jangan lupa, Belanda adalah perencana dan administratur kolonial
nomor wahid, untuk memenuhi target dagang kolonial mereka selalu menggunakan
pendekatan mengedepankan kebutuhan lokal agar taktik berkolaborasi lebih
efektif, seperti di Padangsche, Mandheling en Ankola dan nantinya di Silindoeng
en Toba. Di Deli, juga ternyata berulang, untuk memenuhi kebutuhan Sultan
(meski tidak disenangi oleh swasta yang berasal dari berbagai negara di Eropa).
Semuanya untuk kebutuhan keamanan, dan pemerintah kolonial sanggup memenuhinya,
karena itulah instrumen terpenting kolonialisasi di Nederlansch Indie.
Penetapan Ibukota Deli di Medan
Hal yang pertama yang selalu dipikirkan oleh petinggi di Batavia (Guberur Jenderal dan Menteri Koloni via militaire departement dan civiel departement) adalah dimana lokasi ibukota (hoofdplaats). Para ahli (expert) selalu dilibatkan. Ini yang terjadi di berbagai tempat, seperti di Mandheling en Ankola, yang mana pemerintah mengirim terlebih dahulu dua orang: pertama Junghuhn (1840-1845) dan yang kedua van der Tuuk (1850). Kebutuhan ahli juga berbeda-beda, di Deli expert di bidang perdagangan dan planologi sangat dibutuhkan dan pada nantinya di Atjeh adalah kebutuhan keagamaan (Snouck Hurgronje).
Hal yang pertama yang selalu dipikirkan oleh petinggi di Batavia (Guberur Jenderal dan Menteri Koloni via militaire departement dan civiel departement) adalah dimana lokasi ibukota (hoofdplaats). Para ahli (expert) selalu dilibatkan. Ini yang terjadi di berbagai tempat, seperti di Mandheling en Ankola, yang mana pemerintah mengirim terlebih dahulu dua orang: pertama Junghuhn (1840-1845) dan yang kedua van der Tuuk (1850). Kebutuhan ahli juga berbeda-beda, di Deli expert di bidang perdagangan dan planologi sangat dibutuhkan dan pada nantinya di Atjeh adalah kebutuhan keagamaan (Snouck Hurgronje).
Para Planter di Deli (f.1871) |
Kantor dagang di Laboehandeli, 1876 |
1862: Di Semenanjung, Malaka sudah teridentifikasi, lainnya belum |
Dalam hal kasus kuli Cina di Medan yang melakukan pemberontakan dan mereka yang dipecat masuk komunitas Tionghoa berpotensi untuk melakukan kejahatan. Mungkin, bagi pemerintah, kuli Cina ini adalah potensi dan bisa jadi diperlakukan tidak adil, maka mereka harus dilindungi. Setali tiga uang dengan lahan (land), kuli Cina adalah tenaga kerja (labor), dua resources ini di mata kolonial adalah aset, jadi tidak boleh diganggu dan dihabisi. Karena itu pada tahun 1877 sebuah RUU diajukan ke Dewan Legislatif yang berjudul ‘perlindungan imigran Cina’. Ide adanya RUU ini terkait dengan perekrutan kuli Cina di Dcli yang jumlahnya sangat besar, meski kasus pemberontakan kuli Cina tidak hanya di Deli, juga di Siak dan tempat-tempat lain (Algemeen Handelsblad, 09-04-1877). Kolonial Belanda selalu melihat kepentingannya harus lebih didahulukan
Garnisun militer di Medan, 1876 |
Kini di afd. Deli, afd. Batoebara, afd. Asahan dan afd.
Laboehan Batu serta Bengkalis dipisahkan dari Residentie Riaou dan digabungkan
menjadi satu residentie yang disebut Residentie Sumatra’s Oostkust yang
beribukota Bengkalis. Di afd Deli ditempatkan seorang asisten residen yang mana
membawahi dua controleur di Langkat dan Serdang.
Peta Kampung Medan Poetri dan Deli Maatschappij (1875) |
Peta konsesi lahan di Deli, 1875 |
Rumah di Soeka Moelia, bakal rumah Asisten Residen (f 1876) |
Pada tahun 1877, Bataviaasch handelsblad memasang iklan untuk
mencari koresponden di Deli. Rupanya kisruh yang terjadi di Deli dan produksi
tembakau yang terus meningkat dan bahkan telah mendapat apresiasi harga
tertinggi di Eropa (sudah jauh mengalahkan tembakau dari Jawa) nama Deli
semakin populer di Nederlansch Indie. Bataviaasch handelsblad dalam hal ini
mendapat ide, karena cukup banyak pembaca mengirim tulisannya ke berbagai
koran, termasuk Soematra Courant yang terbit di Padang (Sumatra’s Westkust)
yang telah memiliki koresponden sendiri di Deli..
Ibukota pindah ke Medan: Bataviaasch handelsblad, 02-07-1879 |
Selama tahun 1878 telah terjadi
beberapa perubahan di Deli. Pemerintah pusat akan menempatkan seorang notaris
independen, pergantian komandan garnisun Medan. Lalu, controleur pertama Medan,
akan berakhir masa tugas yang dijabatnya sejak 1875 dan digantikan oleh
controleur klas-1 EWE Burger. Kemudian, di Medan juga dibangun penjara yang
lebih besar dan sebuah kantor post. Selain itu juga ditempatkan seorang pendeta
Katolik. Ternyata berita-berita sebelumnya telah menandai akan pindahnya kantor
asisten residen Deli dari Labuhan Deli ke Medan sebagaimana diberitakan Bataviaasch
handelsblad, 02-07-1879.
Perpindahan ibukota Deli tersebut mirip
yang dialami oleh Mandheling en Ankola yang mana ibukota dipindahkan ke Padang
Sidempuan dari Panjaboengan pada tahun 1870. Alasan utama perpindahan adalah
agar Padang Sidempuan dikembangkan menjadi pusat pengembangan budaya dan kota pendidikan
yang pada nantinya dapat memenuhi kebutuhan guru di seluruh Tapanoeli, Sumatra’s
Oostkust, Atjeh, Riaou, Djambi dan Bengkoelen.Medan sendiri akan dikembangkan menjadi pusat administrasi perkebunan dan pusat perkembangan internasional di Nederlandsch Indie.[kelak sumber daya manusia Padang Sidempuan akan memenuhi kebutuhan Medan sebagai kota melting pot (mix population)].
Medan Masih Kampung, Padang Sidempuan Sudah Menjadi Kota
Dengan pindahnya ibukota Deli ke Medan, maka permintaan para planter dan Sultan telah ditunaikan sebagian. Alasan utama perpindahan ibukota Deli karena pengembangan perkebunan dan ketidakamanan yang semakin meningkat di perkebunan-perkebunan, Dan itu, berarti pada tahun 1879 ini, Medan memulai babak baru sebagai ibukota afd. Deli (ibukota Residentie Sumatra's Ooskust masih di Bengkalis)..
Dengan pindahnya ibukota Deli ke Medan, maka permintaan para planter dan Sultan telah ditunaikan sebagian. Alasan utama perpindahan ibukota Deli karena pengembangan perkebunan dan ketidakamanan yang semakin meningkat di perkebunan-perkebunan, Dan itu, berarti pada tahun 1879 ini, Medan memulai babak baru sebagai ibukota afd. Deli (ibukota Residentie Sumatra's Ooskust masih di Bengkalis)..
Lokasi Kweekschool dan ELS di Padang Sidempuan, 1879 |
Pada tahun 1872, dari delapan sekolah negeri yang didirikan tujuh diantaranya di afd. Mandheling en Ankola dan satu buah di Singkel (afd. Singkel), dan pada tahun 1875 bertambah tiga lagi sekolah negeri yakni di Natal (afd. Natal), Baros (afd. Tapanoeli) dan Simapil-apil (afd. Mandheling en Ankola). Namun Willem Iskander dengan beberapa guru pribumi di Sumatra dan Jawa semuanya tidak kembali, karena meninggal dunia karena sakit yang berbeda-beda. Sekolah guru Kweekschool Padang Sidempuan yang dibuka tahun 1879 itu dipimpin oleh Mr. Harnsen dan tiga tahun kemudian digantikkan oleh salah satu guru di sekolah tersebut menjadi direktur yang namanya Charles Adrian van Ophuijsen. Anak mantan controleur di Natal ini, belajar bahasa Batak dan Bahasa Melayu di Mandheling en Ankola. Sangat tertarik dengan tatabahasa dan kamus Batak yang disusun oleh van der Tuuk. Charles van Ophuijsen berdinas di Kweekschool Padang Sidempuan selama delapan tahun yang mana lima tahun terakhir berfungsi sebagai Direktur sekolah. Kelak, Ophuijsen membuat buku sejenis tatabahasa Batak yang disebut tatabahasa dan ejaan melayu Ophuijsen.
Contoh surat dari Padang Sidempuan (cap pos 1889) |
*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap. Semua bahan berdasarkan sumber-sumber
tempo doeloe (koran-koran berbahasa Belanda).
Artikel terkait:
Artikel terkait:
Sejarah Marah Halim Cup (1): Sepakbola Indonesia Bermula di Medan
Sejarah Marah Halim Cup (2): Langkat Sportclub, Klub Sepakbola Kedua di Sumatera Utara
Sejarah Marah Halim Cup (3): Suporter Sepakbola Medan Dukung Klub ke Bindjei dan “Menteri Olahraga” Belanda Berkunjung ke Deli
Sejarah Marah Halim Cup (4): Majalah Pertama Olahraga Indonesia, Edisi Perdana Melaporkan Sepakbola di Medan
Sejarah Marah Halim Cup (5): Kompetisi Sepakbola Medan Kali Pertama Bergulir, Klub Tapanoeli Didirikan
Sejarah Marah Halim Cup (6): Klub Baru, Kompetisi Baru dan Deli Voetbal Bond Dibentuk
Sejarah Marah Halim Cup (7): Kompetisi Deli Voetbal Bond 1908 Menjadi Tiga Divisi
Sejarah Marah Halim Cup (8): Dr. Alimoesa, Pemain Sepakbola di Pematang Siantar, Anggota Volksraads Pertama dari Sumatra Utara
Sejarah Marah Halim Cup (9): Klub Sepakbola Bermunculan di Luar Deli, Kompetisi Bergulir Lagi
Sejarah Marah Halim Cup (10): Sepakbola di Perkebunan Berkembang Pesat, ‘Bond’ Baru Bertambah, Kejuaraan Antarbond
Sejarah Marah Halim Cup (11): Oost Sumatra Voetbal Bond (OSVB) Didirikan, Tapanoeli Voetbal Club Berkompetisi Kembali
Sejarah Marah Halim Cup (12): Mathewson-Beker, Cikal Bakal Marah Halim Cup? Suatu Wawancara Imajiner dengan Marah Halim Harahap
Sejarah Marah Halim Cup (13): Kajamoedin gelar Radja Goenoeng, Pribumi Pertama Anggota Gementeeraad Medan; Sepakbola Tumbuh, Pendidikan Berkembang
Sejarah Marah Halim Cup (14): GB Josua, Tokoh Pendidikan Medan dan Presiden Sahata Voetbal Club Sebagai Ketua Perayaan 17 Agustus 1945 dan Ketua Panitia PON III
Sejarah Marah Halim Cup (15): Parada Harahap, Pers dan Sepakbola, Pertja Barat vs Pertja Timor, Pewarta Deli vs Sinar Deli, Benih Mardeka vs Sinar Merdeka
1 komentar:
kota yang indah dan penuh dengan budaya serta semoga kota medan menjadi kota besar
Posting Komentar