Surat
kabar Pewarta Deli terbit di Medan pada bulan Desember 1909. Surat kabar
Pewarta Deli didirikan oleh Sjarikat Tapanoeli dibawah pimpinan redaksi Saleh Harahap gelar Dja
Endar Moeda. Surat kabar Pewarta Deli, surat kabar pribumi terbesar di Medan
dan telah melahirkan banyak tokoh pejuang, seperti Soetan Parlindoengan, Soetan Koemala Boelan,
Abdulah Lubis, Mangaradja Ihoetan, Hasanoel Arifin, Adinegoro. M. Arif Lubis dan Mohamad Said. Surat kabar
Pewarta Deli hidupnya cukup lama, surat kabar legendaris yang harus dikenang
sebagai surat kabar Kota Medan yang telah berjuang habis-habisan untuk menegakkan keadilan dan mempelopori pencapaian
kemerdekaan Indonesia.Setelah Pewarta Deli berhenti beroperasi (dilarang), redaktur-redakturnya kemudian menjadi pelopor pendirian surat kabar, seperti Mimbar Umum dan Waspada.
Menurut Mr. Stokvis (anggota parlemen Belanda, spesialis Negara jajahan) yang berkunjung ke Hindia Belanda (1934) menyebut empat surat kabar terkumuka pribumi: Soera Oemoem pimpinan Dr. Soetomo (Surabaya), Pemandangan dan Bintang Timoer (Batavia) serta Pewarta Deli (Medan). Diantara surat kabar yang ada, Pewarta Deli merupakan surat kabar yang diedit paling baik. Pimpinan Pewarta Deli adalah Abdulah Lubis, pimpinan Bintang Timoer adalah Parada Harahap.
Pewarta Deli, Didirikan
oleh Seorang Guru
De Sumatra post, 30-12-1909 |
Surat
kabar Pewarta Deli didirikan oleh Radja Persuratkabaran Sumatera, Dja Endar
Moeda di Medan pada tahun 1909. Dja Endar Moeda sebelumnya telah memiliki surat
kabar Pertja Barat di Padang (1899), menerbitkan surat kabar berbahasa Melayu, Tapian Na Oeli
di Sibolga (1900) dan menerbitkan majalah Insulinde di Padang (1901). Sebelum
mendirikan Pewarta Deli, Dja Endar Moeda telah menerbitkan surat kabar
berbahasa Belanda di Padang, Sumatra Nieuwsblad (1904) dan surat kabar Pembrita
Atjeh di Kota Radja (1907). Surat kabar berikutnya yang diterbitkan oleh Dja
Endar Moeda yang terbilang sukses dan bertahan hidup lama adalah Pewarta Deli yang diterbitkan oleh NV. Sjarikat Tapanoeli (pendiri:: Dja Endar Moeda).
De Sumatra post,
30-12-1909 (Pewarta Deli): ‘Kami telah menerima surat kabar berbahasa Melayu
yang baru yang diterbitkan Sjarikat Tapanoeli disini yang terbit dua kali
seminggu dibawah pimpinan editor Dja Endar Moeda dengan redaktur Kamaroedin. [catatan: Kamaroedin adalah anak dari Dja Endar Moeda; untuk medianya
yang berada di Padang dan Sibolga ditangani oleh adiknya, Dja Endar Bongsoe].
Dja Endar Moeda adalah pendiri organisasi 'Medan Perdamaian', organisasi sosial pribumi pertama di Indonesia. Medan Perdamaian adalah organisasi yang bersifat nasional didirikan bahkan jauh sebelum adanya organisasi Boedi Oetomo tahun 1908 yang bersifat kedaerahan (Jawa). Organisasi sosial Medan Perdamaian awalnya didirikan di Padang pada tahun 1900 (lihat Sumatra-courant: nieuws- en advertentieblad, 20-02-1900). Penggagas organisasi sosial Medan Perdamaian dan ketuanya yang pertama adalah Dja Endar Moeda (lihat De Locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad, 21-08-1902). Organisasi multi etnik ini di Padang kemudian diteruskan oleh Muhamad Safei dan masih eksis di Padang pada tahun 1912 (lihat De Sumatra post, 26-04-1912).
Dja Endar Moeda adalah pendiri organisasi 'Medan Perdamaian', organisasi sosial pribumi pertama di Indonesia. Medan Perdamaian adalah organisasi yang bersifat nasional didirikan bahkan jauh sebelum adanya organisasi Boedi Oetomo tahun 1908 yang bersifat kedaerahan (Jawa). Organisasi sosial Medan Perdamaian awalnya didirikan di Padang pada tahun 1900 (lihat Sumatra-courant: nieuws- en advertentieblad, 20-02-1900). Penggagas organisasi sosial Medan Perdamaian dan ketuanya yang pertama adalah Dja Endar Moeda (lihat De Locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad, 21-08-1902). Organisasi multi etnik ini di Padang kemudian diteruskan oleh Muhamad Safei dan masih eksis di Padang pada tahun 1912 (lihat De Sumatra post, 26-04-1912).
Nama surat kabar di Deli ini mengikuti nama-nama
surat kabar terdahulu.
Di Bandung ada Pewarta Priangan (De Preanger-bode, 26-10-1898)
dan di Manado ada Pewarta Manado (Soerabaijasch handelsblad, 13-09-1904). Kedua surat kabar ini
investasi orang Belanda. Di Surabaya terbit Pewarta Soerabaja, investasi kongsi
Tionghoa (Bataviaasch nieuwsblad, 30-01-1905). Ketiga surat kabar tersebut
berbahasa Melayu, seperti halnya Pewarta Deli. Bedanya, Pewarta Deli yang
terbit tahun 1909 bersumber dari investasi pribumi yang tergabung dalam
Sjarikat Tapanoeli (organisasi orang-orang Tapanoeli, khususnya dari afdeeling
Mandheling en Ankola di Medan). Sjarikat Tapanoeli, selain memiliki percetakan
dan surat kabar juga mendirikan klub sepakbola yang diberi nama Tapanoeli
Voetbal Club tahun 1907 dan ikut mempelopori diadakannnya kompetisi sepakbola
di Medan (Deli Voetbal Bond yang mulai kompetisi tahun 1907).
Di Medan sendiri sudah ada ada surat kabar
berbahasa Melayu, Pertja Timor, investasi Eropa/Belanda yang terbit pertama
tahun 1902. Surat kabar ini merupakan ‘adik’ dari surat kabar berbahasa Belanda
yang terbit di Medan, Sumatra post.
Editor surat kabar Pertja Timor dari tahun 1901-1908 adalah
Mangaradja Salamboewe. Nama Perja Timor mengikuti nama surat kabar berbahasa
Melayu di Padang, Pertja Barat (terbit pertama 1892). Pada tahun 1897 editor
Pertja Barat adalah Dja Endar Moeda, seorang mantan guru, pengarang novel dan
penulis buku pelajaran sekolah dan pemilik sekolah swasta di Padang. Dja Endar
Moeda adalah editor pribumi pertama (1897) dan editor pribumi kedua adalah
Mangaradja Salamboewe (1901). Dja Endar Moeda dan Mangaradja Salamboewe adalah
sama-sama alumni Kweekschool Padang Sidempuan. Dja Endar Moeda lulus 1884,
Mangaradja Salamboewe lulus 1893.
Mangaradja Salamboewe tidak berumur panjang. De Sumatra
post edisi 29-05-1908 memberitakan meninggalnya wartawan pemberani ini. Dalam
berita koran ini, editor juga mengungkapkan rasa duka cita yang dalam, karena
Mangaradja Salamboewe tidak hanya membela rakyatnya tetapi juga dunia
jurnalistik (yang sebagian besar wartawan pada waktu itu berbagsa Belanda/Eropa).
Editor ini melanjutkan bahwa "Di
dalam seratoes orang pribumi tidak ada satoe yang begitoe brani’. Saat mana Mangaradja
Salamboewe di waktu pemakamannya hampir semua wartawan Medan hadir termasuk
yang berbangsa Belanda. Abdul Hasan Nasution gelar Mangaradja Salamboewe
dimakamkan di tempat pemakaman di Djalan Soengai Mati.
Pada tahun 1899, Dja Endar Moeda mengakuisisi
Pertja Barat dan percetakannya. Motto Pertja Barat lalu diubah menjadi ‘Oentoek
Segala Bangsa’.
Pada tahun 1900, Dja Endar Moeda menerbitkan surat kabar berbahasa
Melayu di Sibolga bernama Tapian Na Oeli, kemudian di Kota Radja tahun 1907
Pembrita Atjeh dan selanjutnya Pewarta Deli di Medan tahun 1909. Motto surat
kabar Pertja Barat dan Pewarta Deli persis sama: ‘Oentoek Segala Bangsa’.
Nama Pembrita Atjeh mengikuti nama-nama surat
kabar sebelumnya seperti Pembrita Betawi di Batavia.
Pemilik dan editor pertama surat kabar berbahasa Melayu Pembrita
Betawi adalah Karl Wijbrand, seorang Jerman, mantan editor pertama Sumatra post
di Medan (1899-1900). Pada tahun 1903 yang menjadi editor Pembrita Betawi
adalah Tirto Adhi Soerjo (editor pribumi ketiga). Pada tahun 1908, Tirto Adhi
Soerjo mendirikan surat kabar investasi pribumi di Batavia yang diberi nama
Medan Prijaji.
Delik Pers Pewarta Deli
Untuk soal perjuangan keadilan, surat kabar
Pewarta Deli tidak perlu menunggu waktu. Meski Pewartra Deli surat kabar baru, namun
editornya Dja Endar Moeda adalah editor yang
telah berpengalaman dan kerap menghadapi delik pers semasa di Padang. Dja Endar
Moeda pejuang keadilan pantang menyerah.
Dja Endar Moeda hijrah ke Medan karena telah
diusir oleh pemerintah di Padang. Pada tahun 1905 surat kabar Pertja Barat dan
Sumatra Nieuwsblad, milik, Dja Endar Moeda terkena delik pers karena melaporkan
seorang pejabat di Kajoetanam yang telah bertindak jahat terhadap seorang
penduduk. Surat kabar Dja Endar Moeda dituduh telah menghina pejabat, lalu
diadili dengan hukuman cambuk dan harus meninggalkan kota Padang.
Awalnya pindah ke Kota Radja (menerbitkan
Pembrita Atjeh) dan kemudian melebarkan sayap bisnis media ke Medan. Dja Endar
Moeda harus berbagi waktu untuk semua medianya. Pewarta Deli telah mulai
diterima di public (apalagi Pertja Timor semakin merosot setelah Mengaradja
Salamboewe tiada) sementara di Atjeh masih memerlukan upaya-upaya serius. Dja
Endar Moeda bersama anaknya Kamaroedin ke Kota Radja, sementara Pewarta Deli
dilakukan strukturisasi dengan mengangkat editor baru, namanya Panoesoenan
gelar Soetan Zeri Moeda.
De Sumatra post, 22-03-1911: ‘seorang pembaca, apoteker
di klinik dokter pribumi di Asahan telah menulis artikel di Pewarta Deli. Isi
artikel dianggap menghasut dan telah menghina pengadilan. Artikel itu dikirim
lewat pos dan kemudian editor melakukan editing dan kemudian dipublikasikan di
Pewarta Deli edisi 26 Oktober 1910’.
Pewarta Deli akhirnya mendapat tempat di hati
para pembaca di Medan dan Deli. Panoesoenan mengikuti jejak seniornya
Mangaradja Salamboewe dengan menomorsatukan gaya kritis terhadap kebijakan
pemerintah dan persoalan ketidakadilan. Oleh karena terlalu kencang, Panoesonan
hilang kendali di jalan yang banyak rambu-rambu. Pada tahun 1915 Panoesoenan
kena delik pers di pengadilan Medan dan mendapat hukuman kurungan 14 hari.
Posisi Panoesoenan digantikan oleh Soetan Parlindoengan, seorang mantan guru dan djaksa.
Kini pengasuh Pewarta Deli dipimpin oleh seorang editor
mantan jaksa, sebagaimana sebelumnya Pertja Timor yang digawangi oleh
Mangaradja Salamboewe, yang juga seorang mantan jaksa (di Natal).
De Sumatra post, 28-10-1912: ‘di dalam kepala berita,
yang ditulis oleh Flora di Pewarta Deli dalam menanggapi artikel di Sumatra
post bahwa pemerintah Belanda tidak adil terhadap penduduk asli’. [catatan:
Flora adalah nama samara dari Soetan Koemala Boelan].
Surat kabar Pewarta Deli digawangi oleh
orang-orang Mandailing dan Angkola dari Tapanuli. Pewarta Deli meski koran
yangt bersifat nasionalis adakalanya terpengaruh oleh dinamika masyarakatnya. Persaingan
antara orang-orang Tapanuli dengan orang-orang Minangkabau di lapangan
kehidupan di Medan berimbas ke media. Orang-orang Tapanuli yang menganggap
Pewarta Deli sebagai ‘bendera’ dan tempat menulis opini tentang persaingan,
membuat orang-orang Minangkabau beraliansi dengan surat kabar Andalas (Tionghoa
Padang) untuk menjadi organ untuk melindungan kepentingan mereka. Hal ini
dilakukan karena Pertja Timor juga setelah Mangaradja Salamboewe masih
ditangani editor orang Mandailing bernama Musa. De Sumatra post, 18-06-1914 menulis
bahwa persaingan ini merupakan peristiwa yang berulang. Pada 14 tahun yang lalu
(1900?) persaingan antara Minangkabau dengan Tapanuli di Padang juga sempat
meruncing. Orang-orang Tapanuli menulis di Pertja Barat (kebetulan kepemilikan
dan editornya orang Tapanuli) sementara media orang Minangkabau tidak ada yang representatif.
Lantas orang-orang Minangkabau menggunakan surat kabar Tjahaja Sumatra (milik
Tionghoa). Surat kabar Andalas di Medan adalah surat kabar orang-orang Tionghoa
yang berasal dari Padang.
Editor-editor terbaik di Padang pada era itu
sesungguhnya berasal dari Tapanoeli (Pertja Barat). Tjahaja Sumatra dan Sinar
Sumatra di Padang awalnya digawangi oleh orang-orang Tionghoa dari Padang
Sidempuan. Namun dalam perkembangannya, para editorial didominasi oleh
orang-orang Tionghoa dari Padang. Lim Hoen Hin besaudara dari Padang Sidempuan
kemudian pindah ke Sibolga.
Perseteruan orang-orang Tapanuli dan Minangkabau di Medan
juga terjadi di Sarikat Islam (SI) di Medan. De Sumatra post, 08-01-1915
menulis bahwa pemerintah harus membuat dua kelompok (etnik) ini terjadi
konvergensi, melakukan intervensi ke salah satu hanya menambah masalah. Orang-orang
Minangkabau coba mendominasi SI yang bagi anggota yang berasal dari Tapanuli
beranggapan bahwa SI dibangun untuk orang-orang Minangkabau (kebetulan ketuanya
orang Minangabau). Munculnya ide pembentukan SI Tapanuli dimaksudkan untuk
menghilangkan kesan itu. Kedua kelompok ini kerap bersaing dapat dipahami
karena kedua kelompok sama-sama memiliki tingkat pendidikan yang baik.
Tampaknya penciptaan SI Tapanoeli tidak akan menjadi halangan untuk pergerakan
Minangkabau, tapi paling tidak satu keinginan untuk tidak tunduk kepada
kepemimpinan dari Mohammad Samin (orang Minangkabau). Perpecahan dua kubu ini
di dalam SI akan membuat pemerintah lebih sulit mengontrolnya.
Pewarta Deli sesungguhnya tetap pada
platformnya yang bersifat nasionalis. Hanya saja publik menganggap orang
Tapanuli berafiliasi dengan Pewarta Deli. Pada tahun 1916 setelah terjadi rapat
besar organisasi-organisasi di Medan, surat kabar Benih Mardeka diterbitkan. Pendirinya
adalah M. Samin, M. Joenoes dan Abdulah (Lubis). M. Samin dan M. Joenoes adalah
SI sedangkan Abdulah dari sarikat guru.
Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 24-08-1917:
‘Medan, 24 Agustus 1917. Persdelict. Kemarin dan hari ini di Pengadilan Medan terjadi
demo oleh 500 penduduk asli atas tuntutan terhadap editor Pewarta Deli. Editor dituduh
dianggap melakukan pasal penghinaan terhadap pejabat Gubernur. Selanjutnya,
terdakwa didakwa dengan menyuarakan perasaan benci. Pengadilan menuntut f100 dan 8 hari penjara’.
Pada tahun 1918 Parada Harahap bergabung
dengan Benih Mardeka, dimana sebelumnya Abdulah Lubis sudah pindah ke Pewarta
Deli. Parada Harahap adalah seorang nasionalis dan karakternya cenderung lebih
bersifat moderat (menganggap semua sama).
De Sumatra post, 24-02-1919: ‘Parada Harahap dari Benih
Mardeka berpendapat perlunya kerjasama yang lebih antara kelompok penduduk
pribumi di Pantai Timur Sumatera. Persaingan antara Mandhelinger (Tapanoelier)
dan Minangkabauer harus dihilangkan, orang harus merasa dirinya pribumi, rasa
memiliki, satu untuk semua dan semua untuk satu, dan bukan seperti yang terjadi
sekarang, semua untuk saya. Penulis berharap akan membawa hal besar ini ke
pertemuan SI, untuk ditemukan perdamaian antara kelompok etnis pribumi yang
berbeda’.
Pada awal April 1919 di Medan dibentuk
organisasi wartawan. Organisasi ini merupakan aliansi wartawan pribumi dan
Tionghoa. Besar kemungkinan organisasi wartawan di Medan ini yang pertama untuk
wartawan pribumi. Pewarta Deli menambah tim redaksinya seorang anggota dewan.
De Sumatra post, 04-04-1919 (Een jounalistén bond):
‘Asosiasi wartawan Inlandsch Chinesche didirikan. Pengurus dewan sebagai
berikut: Presiden, Mohamad Joenoes; Sekretaris, Parada Harahap. Komisaris, satu
diantaranya Mohamad Joenoes di Siantar. Sarikat telah memiliki tidak kurang dari
40 anggota. Asosiasi ini bukan untuk wartawan Belanda, untuk tujuan bersama,
melainkan tujuan sendiri dan bisa meluas ke rekan-rekan mereka sesama
oriental’.
De Sumatra post, 11-04-1919: ‘Mr. Ismail, anggota dewan yang
saat ini juga sebagai guru di HIS termasuk dalam jajaran editor dari Pewarta
Deli. Jadi kita bisa berharap untuk kepentingan yang lebih besar dalam pers
Melayu untuk urusan negeri. Hal ini memang bisa disebut tidak terlalu berlebihan’.
Pewarta Deli telah memainkan peran kembali
soal kesatuan dan persatuan pribumi di Medan dan Sumatera Timur. Soetan
Parlindoengan, editor Pewarta Deli memiliki sosok yang sentral dalam membangun
opini di Medan dan sekitarnya. Setelah berhasil meredakan ketegangan antara dua
kelompok (Tapanoeli dan Minangkabau), Soetan Parlindoengan dari Pewarta Deli
coba menengahi munculnya isu antar agama (bukan lagi antar etnik). Sarikat
Islam (SI) mulai mendapat respon dari penganut agama yang berbeda (Kristen).
Redaktur Pewarta Deli, Ismail diberhentikan oleh direksi NV. Sjarikat Tapanoeli
karena membela kaum kapitalis.
De Sumatra post, 25-07-1919 (Pers pribumi): ‘Soetan
Parlindoengan dari Pewarta Deli, memprotes buku yang menistakan agama Islam.
Parlindoengan menyalahkan penulis buku, “bahwa alih-alih berjuang untuk
kesatuan semua orang pribumi. Kristen dan Muslim, seharusnya tidak saling
mencela, dan justru perlu membangun kesatuan. Buku itu adalah racun bagi masyarakat”.
Seorang tokoh Batak yang dikutip menganggap buku itu tidak tepat dan tidak
layak jual. Kemudian buku itu ditarik dari peredaran’
De Sumatra post, 06-02-1920: ‘Dalam pengunduran diri
Bapak Ismail sebagai editor dari Pewarta Deli duduk soalnya sebagai berikut: oleh
manajemen NV. Sjarikat Tapanoeli, penerbit surat kabar Pewarta Deli
memberhentikan Ismail’.
Pewarta
Deli memuat tulisan dari Abdulah Lubis, anggota dewan kota (gemeeteraad) Medan yang dikutip oleh De Sumatra post, 18-09-1920
tentang usulan pengelolaan tanah yang awalnya berada di tangan Sultan dan
pengaran untuk dialihkan ke pemerintah (kota). Para anggota dewan termasuk
Abdullah Lubis menyarankan perlu review terhadap pengaturan yang ada selama
ini, karena mengandung ketidakadilan yang mana Eropa diuntungkan daripada
pribumi. Kini waktunya semua pihak mengadopsi hukum, bukan semata-mata atas
dasar kontrak (yang telah dibuat) yang tidak ada manfaatnya bagi penduduk.
Sultan bukan pemerintahan sendiri. Sebagai yang
menentukan secara umum (Negara) tentu saja haru mengacu pada adat, ang dalam
hal ini tanpa pandang bulu mencangkokkan adat dari Pantai Barat ke Deli.
Sejarah Deli memang begitu singkat dan imigrasi pribumi dan asing selalu begitu
besar bahwa ada adat Psychedelic. Dan apa yang ada di sini dalam perjalanan
waktu tanah telah dilakukan di luar kepentingan wilayah, untuk menunjukkan suatu
pembangunan dari Negeri, seperti di Pantai Barat. Usulan ini akan diteruskan ke
Mahkamah Agung untuk diputuskan.
Anggota Dewan
Kota selama ini (di luar orang Eropa/Belanda) hanya terdiri dari Kapiten Cina,
Kapiten Keling, Sultan dan controleur atas nama Batak (Sunggal). Pada tahun
1918 anggota dewan dipilih (pilkada), salah satu dari tiga non Eropa adalah
Radja Goenoeng. Dalam perkembangannya menjadi lima orang dimana satu anggota
baru adalah Abdullah Lubis. Ini dengan sendirinya, pada tahun 1920 merupakan
awal dari perubahan pengaturan tentang wilayah di Medan dan Deli. Kontrak
Sultan dan Planter tidak relevan dalam bernegara. Negara adalah rakyatb
(pribumi). Asal-usul tanah dalam bernegera adalah tanah adat. Dalam kasus Medan
dan Deli, hampir smua tanah adat (penduduk Batak) disewakan Sultan kepada para Planter
(yang dulu tanpa pernah memberikan kompensasi kepada penduduk pemilik tanah
yang asli).
De Preanger-bode, 12-12-1920 |
De Preanger-bode, 20-04-1922 |
Pewarta
Deli dibawah pimpinan redaksi Mangaradja Ihoetan tetap menjadi dinamisator dan
korektor di Medan.
De Preanger-bode,
23-02-1923: ‘Pelanggaran Pers. Medan, 23 Fbr. (Aneta). Dewan negara menghukum editor
Pewarta Deli sekian ratus gulden atas langkahnya karena penempatan tulisan Mohamad
Said, dimana terdapat kata-kata ‘Anak
Hindia malas dan bodoh’ yang mengutip perkataan Mr. van Gennep’.
De Sumatra post, 04-07-1923 |
De Sumatra post,
18-12-1924: ‘Pelanggaran pers. Putusan Dewan negara 26 Agustus tahun ini Mangaradja
Ihoetan, editor Pewarta Deli, yang didakwa karena satu penghinaan terhadap hoofddjaksa
pada Rapat di Sibolga, telah dikonfirmasi oleh keputusan Dewan Kehakiman 28
November’.
Pewarta
Deli terus menerus berteriak di Medan. Kini, surat kabar yang memiliki tiras
besar itu kembali menyuarakan suara rakyat. Suara dari Pewarta Deli ini
dilaporkan oleh Bataviaasch nieuwsblad, 19-06-1926. Disebutkan bahwa di Deli
dilakukan promosi pembangunan ekonomi di bawah kebijakan pintu terbuka, modal
asing menurut Pewarta Deli sebagaimana dalam Persoverzicht no. 24 akan
mendapatkan kebebasan tanpa batas dan mungkin semua lahan yang tersedia akan digunakan.
Oleh karena itu Pcwarta Deli meminta bahwa aliran modal tersebut dihentikan
untuk sementara waktu dan sebaliknya penduduk asli ditampilkan cara untuk
mengembangkan ekonomi dan untuk membangun kemitraan, jika perlu dengan cara
prentah. Jika sebagian besar dari perusahaan adalah di tangan penduduk asli,
satu hanya bisa mengatakan bahwa Indonesia telah meningkat secara ekonomi. Dan
kemudian, dengan begitu Indonesia menuju ke sana, Indonesia Merdeka, mandiri di
mana kita bisa tertawa (senang). Tapi selalu perbedaan antara teriakan (keinginan)
ini dan kenyataan tidak pernah berakhir, pemerintah tidak pernah memiliki keterlibatan,
inisiatif, dukungan, kepemimpinan, tanggung jawab untuk apa pun dan segala
sesuatu.
De Sumatra post,
22-02-1927: ‘Konsesi dan penanaman publik. Dari ringkasan pers asli diberitahu
dalam pesan dari Pewarta Deli, beberapa waktu lalu, co-editor, Mr. Njolat
Soleiman dipanggil oleh Jaksa di Tandjong Balai terkait dengan sebuah artikel
tentang salah satu keluhan oleh sejumlah orang dari Perapat Djandji (Kisaran)
tentang tindakan melanggar hukum dari administrator Sungei Silau bahwa
perkebunan penduduk dijadikan konsesi dan telah ditebang, tanpa membayar
kompensasi selama lima tahun terakhir’.
Abdullah
Lubis adalah anggota dewan kota Medan tahun 1920 hingga tahun 1930. Pada tahun
1929 Abdulah Lubis menjadi direktur Sarikat Tapanoeli yang menerbitkan Pewarta
Deli. Editor Pewarta Deli, Mangaradja Ihoetan terkena delik pers atas
pemberitaannya mengenai persekongkolan penjualan tanah yang melibatkan Gubernur
(De Sumatra post, 28-01-1929). Mangaradja Ihoetan kembali terkena delik pers
tentang pelaporan salah tembak dalam berburu yang dilakukan oleh Sultan (De
Sumatra post, 27-08-1929). Pengganti Mangaradja Ihoetan adalah Kanoen (mantan redaktur Bintang Timoer
di Batavia). Namun tidak lama kemudian, Kanoen juga terkena delik pers karena
artikelnya berisi kebencian terhadap pemerintah colonial (Bataviaasch
nieuwsblad, 14-11-1929).
Abdulah
Lubis sebagai direktur Pewarta Deli menjadi kebingungan untuk mencari
pengganti dua editornya yang terkena
delik pers dalam satu tahun. Lantas, Abdulah Lubis berangkat ke Batavia untuk
menemui koleganya Parada Harahap. Kedua tokoh pers ini sepakat bahwa editor
Bintang Timoer (milik Parada Harahap) Adinegoro
untuk menjadi editor Pewarta Deli. Adinegoro yang memiliki nama asli
Djamaloedin juga adalah koresponden Pewarta Deli di Batavia (De Sumatra post, 04-11-1929).
Di Medan sendiri baru-baru ini terbit surat kabar baru, Sinar Deli yang mana
editornya adalah Mangaradja Ihoetan (mantan editor Pewarta Deli).
De Sumatra post, 05-03-1930 |
Ini
adalah proses yang berulang. Mangaradja Ihoetan adalah pengganti Soetan
Parlindoengan, editor Pewarta Deli yang terkena kasus delik pers. Kemudian
Soetan Parlindoengan menjadi editor surat kabar yang baru, Pantjaran Berita.
Kini, Mangaradja Ihoetan terkena delik pers dan kemudian menjadi editor surat
kabar yang baru, Sinar Deli.
Pewarta
Deli tidak pernah putus dirundung malang. Pewarta Deli tidak dalam posisi
terkana delik pers lagi, tetapi editornya yang baru Adinegoro alias Djamaloedin
dituduh terkait dengan gerakan komunis. Namun tuduhan itu tidak berdasarkan.
DR. Soetomo, pimpinan surat kabar Soeara Oemoem di Surabaya membela Adinegoro (De
Sumatra post, 21-09-1932). Sebagai pengantinya, Abdulah Lubis merekrut editor revolusioner
Muhamad Arif Lubis. Kehadiran Arif
Lubis juga sempat membuat Abdulah Lubis cemas karena dikaitkan dengan Partai
Indonesia, partai yang dianggap berbahaya oleh pemerintah (De Sumatra post, 27-09-1932).
Pewarta
Deli identik dengan Sjarikat Tapanoeli. Penerbit surat kabar Pewarta Deli
adalah NV. Sjarikat Tapanoeli. Pewarta Deli kini telah berusia 24 tahun, suatu
usia yang cukup dewasa untuk sebuah surat kabar. Baru-baru ini salah satu tokoh
Sjarikat Tapanoeli, Sjech Ibrahim meninggal dunia dalam usia 73 tahun. Almarhum
tergolong yang tertua diantara orang-orang Tapanoeli di Medan. Almarhum datang
ke Medan sejak 58 tahun yang lalu. Ini berarti almarhum tiba di Medan pada
tahun 1875, sepuluh tahun setelah kedatangan Nienhuys tahun 1865. Pada tahun
1875 ibukota afdeeling Deli masih berada di Laboehan Deli (ibukota dipindahkan ke
Medan tahun 1879).
De Sumatra post,
21-04-1933: ’Selama 58 tahun tinggal di Deli. Sehari sebelum kemarin tiba-tiba
meninggal pada usia 73 tahun Sjech Ibrahim, mantan Penghulu Pekan. Almarhum
adalah salah satu yang tertua orang Tapanuli di sini. 58 tahun yang lalu dia
datang dari afdeling Mandheling en Ankola. Pekerjaan pertamanya sebagai krani di
Serdangsche Sultanaatskantoor, di Rantau Pandjang. Pada tahun delapan puluhan
ia pindah kerja ke Huttenbach & Co, salah satu toko pertama Eropa di Medan.
Kemudian ia diangkat Penghoeloe Pekan. Setelah pension pada tahun 1925 ia
diangkat anggota Landraad. Almarhum adalah pendiri dari beberapa orgnisasi sosial
dan keagamaan, yang lebih lanjut Sjech Ibrahim adalah co-pendiri Sjarikat Tapanoeli,
penerbit surat kabar Pewarta Deli. Pemakaman kemarin sore dibawah bunga yang
besar sebagai gantinya’.
Direktur
Pewarta Deli, Abdulah Lubis berangkat ke Jepang (Bataviaasch nieuwsblad, 21-11-1933).
Kunjungan ke Jepang ini merupakan salah satu bentuk provakasi orang Indonesia
terhadap pemerintahan kolonial Belanda. Abdulah Lubis adalah salah satu dari
tujuh orang pertama Indonesia ke Jepang, mewakili kelompok jurnalistik.
Pimpinan rombongan tersebut adalah Parada Harahap, Direktur dan editor surat
kabar Bintang Timoer di Batavia. Dalam rombongan ini terwakili kelompok
wartawan (Abdullah Lubis), akdemisi politisi (Mohamad Hatta), guru, pengusaha
(pertanian, manufaktur dan perdagangan). Rombongan ini berangkat dari Batavia
dengan kapal Panama Maru ke Jepang dan kembali pada bulan Januari 1934 (di
Surabaya). Di Jepang Parada Harahap dijuluki oleh pers setempat sebagai The
King of Java Press.
Soerabaijasch
handelsblad, 06-01-1934: ‘Mohamad Hatta di Jepang. Imperialisme pan-Asia. Het Nws. v.d melaporkan baru-baru Drs. Hatta,
presiden terkenal dewan PN I lokal, pada saat ini, membuat semacam perjalanan
bisnis ke Jepang, tetapi juga dalam hal ini politik nasionalis sementara juga
melakukan kontak dengan lingkaran politik tertentu di negara itu. Pewarta Deli
di Medan menulis berdasarkan dari koresponden di Belanda yang menyatakan bahwa menurut
tokoh kelompok komunis Rustam Effendi, Mr. Mohamad Hatta tidak lebih dari
sebuah agen dari imperialis Jepang karena muncul dalam serangkaian artikel yang
ditulis pada kesempatan kunjungannya ke Tokyo telah menunjukkan pendukung
ekspansi Jepang, diwujudkan dalam slogan Pan Asia. Drs. Hatta, menurut pesan
ini, propaganda untuk ide-ide yang suka perang dari Menteri Araki, yang semua
Asia akan bersatu’.
Gerakan
politik yang dilancarkan oleh berbagai pihak terhadap Belanda semakin kencang,
baik ke dalam maupun ke luar (rombongan ke Jepang). Di dalam negeri, sejumlah
media telah memainkan peran yang signifikan dalam pergerakan tersebut. Pada
tahun ini sejumlah media mulai dihambat dan beberapa surat kabar dikenakan
pasal delik pers termasuk dua surat kabar di Medan, Pewarta Deli dan Sinar Deli.
Het nieuws van
den dag voor Nederlandsch-Indie, 24-03-1934: ‘Persbreidel. Sekarang Sinar Deli.
Sinar Deli, sebuah surat kabar pribumi nasionalis di Medan, memuat tulisan
bermuatan politik atas nama PG, menerima peringatan keras, yang mengatakan
bahwa opini tulisan-tulisan berikutnya, menjadi dasar dikenakan persbreidel.
Gambaran dari opini yang menerima peringatan terakhir serius dan yang secara
resmi persbreidel dilaksanakan ini menunjukkan bahwa lebih dari 90 persen media
pribumi telah berkomitmen untuk artikel publik yang dapat memnyebabkan ketertiban
umum dalam situasi yang ada dapat menyebabkan gangguan. Sejauh ini yang
dikenakan pers breidel antara lain: Soeara Oemoem (Surabaya), Bahagia (Semarang),
Sikap (Solo), Pewarta (Padang), di Medan Sinar Deli dan Pewarta Deli (menerima
peringatan serius), Persatoean Indonesia dari PI di Batavia, Indonesia Raja di Batavia
(media serikat mahasiswa), Sipatahoenan (Bandoeng), Garuda Merapi (Jawa Tengah),
dll..... daftar ini tentunya akan belum selesai. Segera akan ada lebih banyak
untuk mengikuti’.
De Sumatra post, 31-03-1934 |
Pewarta
Deli kembali kehilangan tokoh yang pernah membesarkannya. Soetan Parlindoengan
dalam usian 86 tahun meninggal dunia kemarin sore (De Sumatra post, 13-06-1934).
Disebutkan bahwa Soetan Parlindoengan, mantan seorang guru di Tapanoeli adalah
seorang wartawan paling berpegaruh di Medan yang memulai terjun di bidang
jurnalistik sebagai editor di Pewarta Deli. Setelah mengalami delik pers
(Pewarta Deli), Soetan Parlindoengan melanjutkan profesi barunya dengan menjadi
editor pada surat kabar yang baru Pantjaran Berita. Soetan Parlindoengan juga pernah
menjadi anggota Landraad.
Bataviaasch
nieuwsblad, 23-06-1934: ‘Abdul Hamid Lubis, Pemimpin PI (Partai Indonesia) di
Medan. Abdul Hamid Lubis salah satunya telah dilaporkan bahwa setelah
berakhirnya hukuman di penjara akan ditangkap sehubungan dengan persiapan internal
telah mengalami hukuman untuk pelanggaran pers. Ini bukan pertama kalinya bahwa
pemuda ini dengan pengadilan pidana sehubungan dengan fakta-fakta yang sama
atau mirip bersentuhan. Kita ingat bahwa ia usia 16 tahun sudah menjadi bagian
dari staf editorial dari Pewarta Deli, harus menjalani penjara karena
penghinaan terhadap orang Eropa. Itu sekarang hukumannya sudah habis dan tidak
diinginkan seharusnya dilakukan lagi dan dapat kembali ke profesinya’. [baca artikel tentang Abdul Hamid Lubis dalam
no.21 pada blog ini].
Pewarta
Deli kembali terkana pasal delik pers (Bataviaasch nieuwsblad, 15-08-1934).
Kepemimpinan Abdulah Lubis berakhir di Pewarta Deli dan dewan direksi Sjarikat
Tapanoeli mengangkat Haji Mohamad Kasim terhitung sejak tanggal 13 April (Bataviaasch
nieuwsblad, 18-04-1936). Pers Belanda menilai meski pers pribumi sangat beragam
namun memiliki kesamaan dalam gerakan rakyat seperti Pemandangan, Pertja
Selatan, Tempo, Sinar Sumatra, Soera Oemoem, Warta Harian, Tjaha Timoer
(pimpinan Parada Harahap, suksesi dari Bintang Timoer), Pewarta Deli dan
sebagainya (Algemeen Handelsblad, 19-04-1939). De Indische courant, 19-04-1941
menulis tentang riwayat hidup Mangaradja Soangkoepon, anggota Voksraad seumur
hidup dari Sumatera Timur. Mangaradja Soangkoepon disebutkan lahir di
Panjanggar, Padang Sidmpuan dan bersekolah dasar di kota itu kemudian
dilanjutkan ELS ke Medan. Setelah bekerja beberapa tahun di export-impor
kemudian melanjutkan studi sekolah guru ke Leiden. Pada tahun 1915 Abdul Firman
gelar Mangaradja Soangkoepon kembali ke tanah air di Medan dan bekerja sebagai
editor Pewarta Deli (catatan: kepala editor pada waktu itu adalah Panoesoenan).
Bataviaasch
nieuwsblad, 25-09-1941: ‘Sejumlah wartawan di Hindia Belanda telah melakukan
perjalanan jurnalistik ke Australia atas undangan pemerintah Australia,
termasuk diantaranya editor, R. Djamaloedin, Pewarta Deli di Medan. Rombongan
ini berangkat 4 Oktober dengan pesawat
ke Sydney dan kemungkinan akan kembali 19 Oktober di Hindia Belanda’.
Pewarta
Deli berhenti selama pendudukan Jepang (sejak 1942) dan setelah proklamasi
terbit kembali. Namun kembali Belanda ke Indonesia yang dikenal sebagai agresi
militer.
Het dagblad:
uitgave van de Nederlandsche Dagbladpers te Batavia, 30-03-1946: ‘Pewarta Deli
menyatakan bahwa adopsi uang Hindia (Indisch) baru sama saja dengan
pengkhianatan dan ahwa setiap orang menemukan mereka dalam kepemilikan akan dituduh
sebagai pengkhianat’.
Ketika Medan masih kampung, Padang Sidempuan sudah menjadi kota |
*Dikompilasi
oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar