Gubernur
Sumatera Utara, Abdul Hakim mengambil inisiatif untuk mendirikan sebuah
universitas di Medan. Untuk mewujudkan itu, didirikan Jajasan Universitas
Sumatera Utara yang mana Dewan Pimpinan terdiri dari: Gubernur Abdul Hakim,
Presiden, Tengku Dr Mansur, Wakil Presiden, Dr Sumarsono, Sekretaris bendahara
dan anggota Walikota Djaidin Poerba, Ir. RS. Danunagoro, Sahar, Oh Tjie Lien,
Anwar Abubakar, Madong Lubis dan perwakilan dari Ikatan Dokter Indonesia,
Persatuan Dokter Gigi Indonesia dan Dewan Ekonomi Indonesia.
Abdul Hakim Harahap, 1953 |
Abdul Hakim mengambil inisiatif, yang
berarti Abdul Hakim memiliki kemampuan untuk memulai atau meneruskan
suatu perbuatan dengan penuh energi tanpa petunjuk dari yang lain; atau atas
kehendak sendiri (the power or ability to begin or to follow through
energetically without prompting or direction from others; on one’s own). Abdul
Hakim yang menjabat gubernur Sumatera Utara yang ketiga (25-01-1951 sd 23-10-1953)
bukanlah orang baru di Medan maupun di Sumatera Utara. Oleh karena itu Abdul
Hakim sangat paham apa yang menjadi kebutuhan provinsi Sumatera Utara.
Abdul
Hakim lahir di Sarolangoen, Djambi 15 Juli 1905. Setelah lulus ELS di Sibolga,
melanjutkan studi ke MULO di Padang lalu kemudian dilanjutkan ke Batavia di Prins
Hendrikschool (sekolah menengah atas, bidang ekonomi). Setelah lulus di Prins
Hendrikschool, Abdul Hakim mengikuti kursus untuk layanan bea dan cukai. Abdul
Hakim lalu ditempatkan di bea dan cukai di Medan 1927. Pada tahun 1930 Abdul
Hakim terpilih sebagai anggota dewan kota (gementeeraad) Medan (De Sumatra post,
21-08-1930). Jabatan sebagai anggota dewan berlangsung selama tujuh tahun. Pada
tahun 1937, Abdul Hakim pindah ke Batavia. Ia bekerja sebagai pejabat di
Departemen Keuangan (divisi Akuntan dan Statistik Keuangan). Abdul Hakim
beberapa kali pindah sebelum akhirnya pada tahun 1941 Abdul Hakim dipindahkan
ke Makassar untuk jabatan Administrator Keuangan kelas-3 di kantor pusat
(Centraalkantoör) untuk akun Macassar. Abdul Hakim sebelumnya adalah seorang
pejabat di kantor Gubernur Jawa Barat yang saat ini diperbantukan ke kantor
Pontianak untuk tugas-tugas yang sama. Selama pendudukan Jepang, Abdul Hakim di
Makassar menjabat sebagai representatif kepala kantor pusat di wilayah
Sulawesi. Pada tahun 1943 di dalam tugas-tugasnya yang super sibuk dan ketat di
Makassar dibawah pengawasan militer Jepang, Abdul Hakim mendapat kabar duka,
ayahnya Karim Harahap gelar Mangaradja Gading telah meninggal dunia di Padang
Sidempuan.
Abdul
Hakim dan keluarga pulang. Setelah segala sesuatunya ditunaikan secara adat di
kampong halaman, Abdul Hakim tidak pernah berpikir kembali ke Makassar. Di
Tapanuli sendiri, militer Jepang ingin menanamkan image baik di hadapan rakyat
Indonesia, lantas Jepang membentuk dewan perwakilan rakyat di eks Kresidenan
Tapanuli. Abdul Hakim yang diidentifikasi ‘berkelakuan baik’ oleh Jepang lalu
dipanggil ke Tarutung (ibukota Tapanuli yang baru, menggantikan Sibolga) untuk
menjabat sebagai sekretaris tetap dewan. Setelah Jepang takluk terhadap sekutu
dan tidak berdaya, dewan Tapanuli vakum, Setelah proklamasi Republik Indonesia
pada bulan Agustus 1945, Abdul Hakim ditunjuk menjadi Wakil Residen Tapanuli (Residen
adalah Dr. F. Loemban Tobing) dan kemudian menjadi penasehat Residen Tapanuli.
Singkat cerita, September-November 1948, Abdul Hakim telah memberikan banyak
dukungan kepada Residen Tapanuli, Gubernur Sumatera dan komandan Sumatera
hingga kedatangan Wakil Presiden M. Hatta di Sibolga.
Ketika Abdul Hakim ‘menangkis’ serangan
militer Belanda di Tapanuli, di Medan diproklamirkan Negara Sumatera Timur.
Berdasarkan Surat Keputusan Kerajaan Belanda melalui Kementerian Luar Negeri
telah ditunjuk sejumlah individu untuk membentuk pemerintahan, antara lain Dr. Tengkoe
Mansoer sebagai Wali Negara Soematera Timur (lihat Nederlandsche staatscourant,
30-08-1948). Di pihak Republik Indonesia terjadi perubahan: Ketika Sumatera
Timur sudah dikuasai, Belanda merangsek dan tekanan semakin kuat di Tapanuli.
Dalam situasi ini, lantas Abdul Hakim diangkat menjadi wakil komandan militer
di wilayah Tapanuli sedangkan Gubernur Militer Noord Sumatra diangkat Dr. Gindo
Siregar dengan pangkat Mayor Jenderal. Dr. Gindo Siregar dan Dr. Tengkoe
Mansoer adalah sama-sama alumni STOVIA.
Tengkoe
Mansoer berangkat dari Asahan ke Batavia dengan kapal ss. van Noort (Het nieuws
van den dag voor Nederlandsch-Indie, 09-10-1911). Pada tahun 1915 dibawah Tengkoe
Mansoer: Aminoedin Pohan, S. Loemban Tobing, Djabangoen, F. Loemban Tobing Pirngadi,
Amir, Abdoel Moenir Nasution dan Mohamad Djamil; di atas Tengkoe Mansoer: Maamoer
L. Rasjid Nasution, Sjoeib Paroehoeman, dan Djoendjoengan Lubis, Abdoel Rasjid
Siregar. Tengkoe Mansoer lulus 1919. Ditempatkan sebagai asisten guru di rumah
sakit Surabaya (Bataviaasch nieuwsblad, 17-06-1920). Pada saat penempatan
Mansoer ini terdapat beberapa mutasi: dari
STOVIA ke Lubuk Pakam, Maamoer L. Rasjid Nasution; Sjoeib Paroehoeman dari Penjaboengan
ke Solok; Abdoel Rasjid dari Weltevreden ke Penjaboengan.
Tengkoe
Mansoer terbilang yang pertama dari Sumatra;’s Oostkust memasuki sekolah
kedokteran. Pada saat Tengkoe Mansoer naik
dari persiapan tahun satu ke tahun kedua (1912) Radjamin Nasution lulus. Kakak
kelas Radjamin Nasution antara lain: Mohamad Daulaj, Abdul Karim Harahap, Abdul
Hakim Harahap, Mohamad Hamzah Harahap, Haroen Al Rasjid Nasution.
Siswa-siswa
yang diterima di Docter Djawa School (sebelum berganti nama menjadi STOVIA)
dari afdeeling Padang Sidempuan (Mandheling en Ankola) sudah ada sejak 1854.
Dua yang pertama adalah Si Asta dan Si Angan. Mereka ini adalah yang pertama
dari luar Jawa. Kemudian tahun 1856 menyusul dua lagi, Si Dorie dan Si Napang.
Demikian seterus hingga Docter Djawa School berganti nama menjadi STOVIA tahun
1902.
Dr.
Gindo Siregar adalah lulusan STOVIA tahun 1930 (11 tahun setelah Dr. Tengkoe
Mansoer. Gindo Siregar sebelum studi ke
Belanda pernah selama dua tahun enam bulan di rumah sakit Pangoeroeran dari
tahun 1931. Gindo Siregar lulus studi kedokteran (bedan dan kebidanan) di
Belanda lalu dan setelah mendapat lisensi di Batavia membuka praktek di Medan
tahun 1936. Namun baru satu sahun di Medan, sudah langsung dicalonkan sebagai
anggota dewan kota Medan. Langsung berhasil.
Gindo
Siregar (1922-, Aminoedin Pohan (1919-), Diapari Siregar (1921-), Moerad Loebis
(1920-), Amir Hoesin (1918-), Soleiman Siregar, Amijn Pane (1924-), serta
lainnya. Gindo Siregar, Diapari Siregar (lulus di Leiden 1932), Aminoedin Pohan
(lulus di Leiden 1931) dan Sjoeib Paroehoeman
melanjutkan pendidikannya ke Negeri Belanda untuk memperoleh akte dokter
spesialis. Diapari Siregar membuka dokter praktek di Pematang Siantar.
Ketika dokter-dokter di Tapanuli
berjuang habis-habisan untuk tegaknya kemerdekaan RI, dokter-dokter di Medan
dan Sumatera Timur tampaknya bernapas lega. Dr. Tengkoe Mansoer telah menjadi
Wali Nagara, Dr. Ahmad Sofian menjadi anggota Pro Juventute di Medan. Dr.
Pirngadi pulang kampong ke Banten, Dr. Djabangoen Harahap melakukan konsolidasi
terhadap anak-anak republik di Medan di dalam persiapan pembentukan Front
Medan. Dr. Djabangoen adalah Ketua Front Medan.
Het
nieuwsblad voor Sumatra, 24-02-1949: ‘Baru-baru ini, kami telah membuat pembentukan
kembali di Departemen Medan yang disebut Asosiasi Pro Juventute. Sekarang Dewan
diketuai oleh Mr. Djaidin Purba, sekretaris Mr. G. Meijer dan bendahara Mr C.
H. N. Vendrik. Dalam dewan terdiri dari anggota (antara lain) Mr Tan Tjeng Bic, Dr. Ahmad Sofian, Oei Tiong
Han. Ranjit Singh, T. Amiroedin A. Wahab Abbas, R. Soeratno
Wirjoatmodjo, Ramli dan lainnya. Sebagai akan ingat, Asosiasi Pro Juventute ini
bertujuan untuk memerangi kejahatan (perlawanan)
di kalangan anak muda (pemuda patriot)
di Indonesia… Pro Juventute Medan didirikan pada Mei tahun 1924 oleh Mr ALA. Tanp.
Hent dan ÚJ. Huber yang kemudian masing-masing presiden pertama dan sekretaris…Sebelum
perang, Pro Juventute sudah dilakukan secara luas dan di sini pekerjaan yang
berguna di bidang pemuda untuk anak-anak dari semua kelompok. Sebagai seorang
perwira dari Pro Juventute adalah Mr Gorinchem dipekerjakan, yang meninggal
dalam waktu interniran Jepang. Presiden terakhir sebelum perang adalah Mr. Haag
yang meninggal di tahanan’.
Demikianlah gambaran situasi
alumni-alumni STOVIA terpecah: sebagian pro republik dan sebagian yang lain
kontra republik. Yang pro republik bertempur melawan Belanda, sedangkan yang
kontra republik ‘duduk manis’ di pangkuan Belanda.
Dr.
Pirngadi adalah teman dekat Dr. Djabangoen. Dr. Pirngadi kelahiran Banten
adalah saudara dari Mr. Djajadiningrat. Sedangkan Dr. Djabangoen adalah saudara
dari Mr. Soetan Casajangan. Pada bulan Oktober 1908, Soetan Casajangan
mendirikan Perhimpunan Pelajar (Indisch Vereeniging=IV) di Leiden, Belanda
dimana salah satu anggotanya adalah Hoesein Djajadiningrat. Pembentukan IV (trans
nasional) ini untuk merespon pembentukan Boedi Oetomo (kedaerahan) oleh Soetomo
dkk di STOVIA (Mei 1908). Soetan Casajangan lulus tahun 1913 dan kembali tahun
1914 ke tanah air. Namun sepulang Soetan Casajangan IV terkesan mengendor dalam
menyuarakan kebangsaan. Pada tanggal 1 Januari 1917, Sorip Tagor mempelopori
dibentuknya Sumatranen Bond (karena Boedi Oetomo semakin disokong oleh Belanda)
sementara intensitas pembangunan di luar Jawa semakin melemah. Tujuan pendirian
Sumatranen Bond adalah untuk membangun Sumatra yang sudah jauh tertinggal. Di
Batavia, mahasiswa-mahasiswa STOVIA merespon positif pendirian Sumatranen Bond,
Pada tanggal 17 Desember 1917 dibentuk Sumatranen Bond di Batavia dengan
susunan pengurus sebagai berikut: Ketua, Tengkoe Mansoer, Wakil Ketua, Abdul
Moenir Nasution, Sekretaris, Amir dan ; Bendahara, Marzoeki.
Pada saat Dr. Tengkoe Mansoer diangkat
sebagai Wali Negara Sumatera Timur, yang menjadi Gubernur Sumatera Utara adalah
Mr. SM Amin Nasution. Gubernur pertama Sumatera Utara ini (sejak 18 Juni 1948) adalah
adik dari Dr. Abdul Moenir Nasution. Masih dalam masa agresi militer Belanda di
Tapanoeli, SM Amin digantikan oleh Dr. Ferdinand Lumban Tobing. Selanjutnya Abdul
Hakim menjadi Residen Tapanoeli.
Pada
masa gencatan senjata akan dilakukan Konferensi Meja Bundar (KMB) di Belanda.
Pimpinan delegasi adalah Mohamad Hatta. Abdul Hakim dalam delegasi ke KMB
bertindak sebagai penasehat. Keutamaan Abdul Hakim dalam delegasi ini selain
menguasai tigas bahasa asing (Belanda, Inggris dan Prancis), Abdul Hakim sudah
berpengalaman sebagai pejabat keuangan di era Belanda dan era pendudukan
Jepang.
Pasca Pengakuan Kedaulatan RI, Abdul
Hakim diangkat menjadi Gubernur Sumatra Utara.Portofolio paling tinggi diantara
putra-putri terbaik Sumatra Utara pasca Pengakuaan Kedaulatan RI adalah Abdul
Hakim Harahap, memiliki pengalaman pemerintahan di era Belanda, di era Jepang
dan di era perang (agresi Militer Belanda), sebagai pejabat keuangan, sebagai
Residen Tapanuli dan sebagai penasehat bagi delegasi RI ke KMB. Tentu saja
banyak yang memiliki portofolio yang buruk, seperti Dr. Tengkoe Mansoer
(mengingkari NKRI), Dr. Ahmad Sofian (anggota Pro Juventute, organisasi yang bertujuan
untuk memerangi perlawanan dari kalangan pemuda patriot Indonesia di Medan dan
sekitarnya) dan Dr. Amir yang lari ke Belanda.
Pasca Pengakuan Kedaulatan, Negara
Sumatra Timur dibubarkan dan semua wilayah eks Sumatra Timur dimasukkan ke
dalam NKRI. Abdul Hakim sebagai gubernur baru mulai kerja keras lagi untuk
membangun Sumatra Utara yang porak-poranda selama perang. Tugas ini tentulah
sangat berat, di Medan, ibukota Sumatra Utra yang berada di Sumatra Timur,
Abdul Hakim harus menyusun personel yang baik, apalagi para pentolah Negara
Sumatra Timur masih belum sepenuh hati menjadi bagian dari NKRI. Sementara itu,
banyak putra-putri terbaik dari kalangan republik yang bagus, tetapi mereka
banyak yang masih kelelahan dalam bertempur dengan Belanda dan bahkan ada yang
cacat akibat perang. Sebagai contoh: Dr. Djabangoen yang menjadi Ketua Front
Medan, Dr. Gindo Siregar (Gubernur Militer Sumatra Utra), Dr. Diapari Siregar
(yang wara wiri membedah para pejuang yang terluka di medan perang).
Beberapa agenda pokok Abdul Hakim adalah
pemulihan ekonomi, peningkatan mutu pendidikan dan persiapan menjadi tuan rumah
PON III. Untuk merealisasikan inisiatif Abdul Hakim dalam mendirikan
universitas diperlukan orang-orang yang cukup waktu. Program pertama dari
inisiatif ini adalah mendirikan fakultas kedokteran. Mengapa demikian? Abdul
Hakim mengetahui secara persis riwayat anak-anak Tapanuli yang begitu banyak
berpendidikan kedokteran, bahkan sudah ada sejak tahun 1854. Jumlah dokter terbanyak
saat itu di Indonesia, setelah dari etnik Jawa adalah etnik Batak dari
Tapanoeli khususnya dari afdeeling Padang Sidempuan. Tradisi sekolah kedokteran
itu harus dilembagakan dalam bentuk fakultas di Sumatra Utara (karena STOVIA
tidak ada lagi dan sudah menjadi bagian dari Universitas Indonesia).
Putra-putri Sumatra Utara tidak perlu jauh kuliah ke Jakarta. Inilah dasar
pemikiran dari Abdul Hakim. Untuk merealisasikan ini tidak terlalu sulit sebab
koneksitas alumni STOVIA pada saat itu masih kuat. Hubungan Medan dan Jakarta yang
kondusif membuat proses pengurusannya akan lancar-lancar saja.
Di
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, manterinya adalah Dr. Bahder Djohan.
Untuk memfasilitasi ini dibutuhkan Dr. Diapari Siregar, sebab Bahder Djohan dan
Diapari Siregar adalah berteman dekat, keduanya adalah tokoh Sumatranen Bond
tahun 1928 (Bahder sebagai ketuam Diapari sebagai sekretaris). Untuk urusan ke
Kementerian Kesehatan juga terdapat koneksi yang baik antara Dr. Djabangoen
dengan Dr. Pirngadi yang menjadi Sekretaris Jenderal Kemeterian Kesehatan.
Kedua dokter alumni STOVIA ini berteman cukup dekat. Selain saudara mereka
berteman dekat (Soetan Casajangan dan Husein Djajadiningrat), Dr. Djabangoen
pernah berdinas di Banten (kampong halaman Dr. Pirngadi). Selain itu, Dr.
Pirngadi dan Dr. Djabangoen adalah dua dokter yang asli pribumi di Rumah Sakit Umum
Medan tahun 1931. Ketika, Belanda kembali (berdirinya Negara Sumatra Timur)
Direktur rumah sakit ini diduduki oleh Dr. Ahamd Sofian. Kelak nama rumah sakit
ini bernama RS Pirngadi.
Abdul Hakim adalah pejuang dan negarawan.
Untuk mensukseskan kerja Jajasan
Universitas Sumatra Utara. Sejak April 1952, Abdul Hakim merangkul kawan
maupun yang dulunya menjadi lawan. Oleh karenanya wakil yayasan dimintanya Dr.
Tengkoe Mansoer. Selama masa perang, Tengkoe Mansoer (Wali Negara Sumatra
Timur) adalah lawan politik dari Abdul Hakim (Residen Tapanoeli), namun di masa
damai tampaknya Abdul Hakim harus menganggap memiliki hak yang sama. Tapi
mungkin masih selektif. Untuk jabatan pemerintahan (yang bersifat politis)
tidak diberikan kepada pentolan-pentolan Negara Sumatra Timur, seperti Tengkoe
Mansoer, Ahmad Sofian dan lainnya. Ahmad Sofian diberi kesempatan karena setelah
kembali Belanda, mendapat posisi bagus sebagai kepala rumah sakit umum dan juga
memiliki waktu untuk menulis berbagai buku-buku kesehatan/kedokteran (meski
secara akademik tidak memiliki kualifikasi akademik yang tinggi).
Yang
memiliki kualifikasi akademik yang tinggi di Medan adalah Dr. Tengkoe Mansoer,
Dr. Gindo Siregar, Dr. Diapari Siregar dan Dr. Pamenan Harahap yang telah
mendapat pendidikan spesialis (master) di Universiteit Leiden. Beberapa orang
Indonesia lainnya yang memiliki pendidikan master adalah Dr. Mohamad Djamil,
Dr. Soetomo, Dr. Soeib Parahoeman. Orang Indonesia yang memiliki pendidikan
sarjana dan master yang langsung di Belanda hanya beberapa orang diantaranya
Dr. Parlindoengan Loebis dan Dr. Ildrem. Parlindongan dan Ildrem sama-sama satu
angkatan di Belanda. Parlindoengan Loebis adalah Ketua Perhimpunan Pelajar
Indonesia (PPI) yang terakhir di Belanda periode 1938-1941). Satu-satu orang
Indonesia yang bergelar doktor (PhD) di bidang kedokteran sebelum perang adalah
Dr. Ida Loemongga Nasution, PhD yang meraih gelar doktor tahun 1931 (sarjana,
master dan PhD diambil di Belanda). Ida Loemongga adalah saudara kandung dari Mr.
Gele Harun, pejuang selama agresi militer yang menjadi Residen pertama Lampung
(kini sedang diusulkan menjadi Pahlawan Nasional).
Pada
tangga 4 Juni Jajasan Universitas Sumatera Utara didirikan dihadapan Notaris
Soetan Pane Paroehoem di Medan. Di dalam akte pendirian ini diberi nama Jajasan
Universitas Sumatera Utara dan berkedudukan di Medan. Dewan Jajasan: Presiden,
Abdul Hakim, Wakil. Dr. T. Masoer, Sekretaris Dr. Soemasono, anggota, antara
lain: Anwar Abubakar, Madong Lubis, Dr. Maas. Dr. J. Pohon, Drg. Barlan dan Notaris
Soetan Pane Paroehoem.
Soetan Pane Paroehoem adalah notaries pribumi
pertama. Soetan Pane Paroehoem saudara sepupu dari Dr. Djabangoen lulus sekolah
notariat di Batavia tahun 1927. Untuk orang pribumi baru pada tahun 1927 diberi
kesempatan untuk menjadi notaries. Soetan Pane Paroehoem adalah notaries pribumi
pertama di Sumatra Utara (satu dari tiga di Sumatra: Sumatra’s Estkust dan
Lampoeng). Pada tahun 1920 di Pematang Siantar, Soetan Pane Paroehoem dengan
kawan-kawannya (termasuk Dr. Mohamad Hamzah Harahap, sepupu Dr. Djabangoen)
mendirikan bank pribumi pertama yanmg diberi nama Bataksch Bank.
Soemarsono pada tahun pada tahun 1922 sekelas
dengan Daliloedin Loebis, Gindo Siregar, Pamenan Harahap. Di bawah mereka:
Loemban Toeroean dan Nasoetion. Di atas mereka: Anwar Aboebakar, Di atasnya
lagi: Tobing dan Kasmir Harahap, Siregar. Di atasnya lagi: Tobing, Pohan,
Bahder Djohan, Manoppo; diatasnya lagi: Maa’moer Nasution, Djabangoen Harahap,
diatasnya lagi Tobing dan Pirngadi, Maas, Soedarsono, di atasnya lagi Leimena
dan Amir (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 06-05-1922).
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatra
Utara secara resmi dibuka pada tanggal 20 Agustus 1952. Ketua curator fakultas ditunjuk Dr Ahmad Sofian, lulus dari Geneeskundige Hoogeschool di Batavia tahun 1937 (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 25-05-1937). Sebagaimana diketahui, selama perang dan berdirinya Negara Sumatra Timur, Dr Ahmad Sofian diangkat sebagai kepala
rumah sakit umum Medan.
Het nieuwsblad voor Sumatra, 05-08-1952: ‘Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara akan resmi dibuka pada 20 Agustus di Auditorium
fakultas di Jalan Seram, Medan. Oleh Dewan manajemen Jajasan Universitas
Sumatera Utara yang dipimpin oleh Gubernur Abdul Hakim telah dibentuk sebuah Dewan
yang terdiri dari curator: Ketua, Dr Ahmad Sofian, anggota yang ditunjuk: Walikota
Djalaluddin, Dr; M. Wasidin, Istri Mr. A. Abas Manopo, Mr. Lic Ghien Ghiam, Tan
Boen Djin, M. Ganie dan Arsul dan lainnya. Sekretaris yang juga Kepala
administrasi pusat universitas, ditunjuk Mr Usman Fachroeddin. Dewan pengawas yang
memiliki tugas kepentingan dari universitas akan dibventuk jika perlu untuk menjaga
hubungan antara pemerintah dan lembaga-lembaganya, dan untuk memastikan bahwa
semua peraturan telah dipenuhi pada organisasi universitas’.
Setelah melalui proses yang panjang, akhirnya
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatra Utara secara resmi melakukan dies
natalis sebagai pertanda dimulainya perkuliahan. Jumlah mahasiswa pertama
sebanyak 26 orang. Gubernur Abdul Hakim tampaknya sumringah karena inisiatifnya
sudah terlaksana. Abdul Hakim mungkin teringat bahwa anak-anak dari kampungnya
di Padang Sidempuan yang sejak 1854 hingga 1853 (satu abad) telah banyak bahkan
ratusan yang menjadi dokter di Batavia dan tersebar di seluruh Indonesia, kini
sudah waktunya pendidikan dokter dapat ditempuh di daerahnya sendiri.
De
vrije pers: ochtendbulletin, 24-08-1953: ‘Medan, 21 Agustus dilakukan dies
natalis Fakultas Kedokteran Universitas Sumatra Utara dimana jumlah mahasiswa yang hadir sekarang sebanyak
26 mahasiswa. Sejumlah pihak telah diundang untuk menghadiri upacara seperti
Residen Mr. Daudsjah, dari kalangan kantor gubernuran, konsul dan pejabat
lainnya. Upacara ini dilakukan di di aula yang dihadiri oleh para curator yang
telah bekerja sejak Mei. Dr Ahmad Sofian tampil membaca laporan tahunan dan
mendeskripsikan riwayat singkat pembentukan universitas. Setelah itu, Dr. Tengkoe
Mansoor member kata sambutan mewakili dewan jajasan universitas..’
Abdul Hakim pencetus didirikannya Universitas
Sumatra Utara sudah selesai menunaikan tugas dengan baik. Namun tak terduga Abdul Hakim mendapat kabar
Dr. Tengkoe Mansoer meninggal dunia. Semua kehilangan. Abdul Hakim meski dulu
adalah lawan politiknya tetapi kini kehilangan salah satu putra terbaik Sumatra
Utara.
Het
nieuwsblad voor Sumatra, 07-10-1953: ‘Surat kabar Mestika mempublikasikan
pernyataan dari Gubernur Abdul Hakim (yang tengah berdinas di Tapanoeli), atas
meninggalnya Dr. Tengku Mansur menyebut kerugian yang sangat besar bagi ilmu
kedokteran, dan khususnya untuk fakultas kedokteran, yang almarhum telah
melakukan begitu banyak. Gubernur menunjukkan bahwa Dr. Mansur selalu siap
pasiennya, tanpa membuat perbedaan apapun. Apakah secara kebetulan pernah
menjadi lawan politik, tidak pernah memainkan peran menyusul pembentukan negara kesatuan. Mansoer telah mendesak selalu
untuk semua orang untuk mematuhi kepada Pemerintah Republik Indonesia. Selama
masa transisi dalam pembentukan terpadu negara dijanjikan oleh Dr. Mansur, yang
akan dipertahankan keamanan di Sumatera Timur secara keseluruhan. Dalam politik
ia konsisten dalam mengejar kebebasan bagi umatnya. Sejak berdirinya provinsi
Sumatera Utara telah pernah menemui kesulitan sedikit dari tangannya
pengelolaan kawasan ini. Sebaliknya, Abdul Hakim bersukacita tulus dalam klaim
yang dibuat, dan dirinya sering memuji kemauan itu, demikian kata Gubernur Abdul
Hakim’.
Java-bode:
nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 10-10-1953: ‘Ribuan
warga Medan telah hadir (tidak menyebutkan kapan) memberikan penghormatan
terakhir di masjid besar kepada Dr. Tengku Mansur. Sejumlah tokoh terkemuka di
antara pihak-pihak yang berkepentingan hadir. Gubernur diwakili (karena tengah
bertuhas ke Tapanoeli) oleh Residen T M. Daudsjah dan Binanga Siregar, Kolonel
Simbolon, Dr. A. Sofian atas nama fakultas kedokteran dari Universitas Sumatera
Utara, dan Mr. SB. Monastery dalam perannya sebagai pemimpin Eropa di Deli. Sultan
Asahan, sepupu dari almarhum mengucapkan terima kasih atas nama keluarga atas
kehadiran handai tolan.
Itulah pengakuan yang tulus dari Abdul
Hakim kepada Dr. Tengkoe Mansoer yang kini telah tiada yang dulu menjadi lawan
politiknya. Pengakuan tulus ini mengindikasikan Abdul Hakim sebagai seorang
negarawan. Abdul Hakim hanya menggarisbawahi sisi positif Dr.Tengkoe Mansoer
(tanpa pernah menyinggung sisi negatifnya).
Untuk sekadar diketahui, sebelum adanya Universitas Sumatra Utara (Fakultas Kedokteran), di Padang sudah lebih dahulu didirikan universitas pertama di Sumatra, namanya Universitas Pantjasila (Fakultas Hukum). Pendirian universitas ini dipelopori oleh Mr. Egon Hakim Nasution. Fakultas Hukum Universitas Pantjasila ini dibuka secara resmi tanggal 21 Agustus 1951 dengan jumlah mahasiswa sebanyak 80 orang. Dosen-dosen yang menjadi pengajar antara lain: Mr. Prawoto, Mr. Egon Hakim, dan Mr. Mak Kin San (lihat Het nieuwsblad voor Sumatra, 22-08-1951).
Oleh karenanya, Abdul
Hakim memiliki inisiatif untuk mendirikan universitas di Sumatra Utara dan
mendahulukan mendirikan fakultas kedokteran bukanlah tanpa dasar. Pengertian
inisiatif (dalam bahasa asing) yang dikutip di atas adalah inisiatif melakukan
sesuatu tanpa ditunjukkan atau diperintahkan oleh seseorang. Inisiatif adalah
kemauan sendiri dengan berbagai pertimbangan, latar belakang dan prospek. Bahwa
ada pihak lain yang bermimpi atau ngoceh,mirip seperti inisiatif Abdul Hakim
tersebut itu masalah lain, masalah yang tidak terkait dengan pendirian
Universitas Sumatra Utara dan juga tidak ada dasarnya (hanya his story). Oleh
karenanya inisiatif Abdul Hakim dalam pendirian Universitas Sumatra Utara
(Fakultas Kedokteran) adalah dasar sejarah pendirian yang kuat, valid.
Untuk sekadar diketahui, sebelum adanya Universitas Sumatra Utara (Fakultas Kedokteran), di Padang sudah lebih dahulu didirikan universitas pertama di Sumatra, namanya Universitas Pantjasila (Fakultas Hukum). Pendirian universitas ini dipelopori oleh Mr. Egon Hakim Nasution. Fakultas Hukum Universitas Pantjasila ini dibuka secara resmi tanggal 21 Agustus 1951 dengan jumlah mahasiswa sebanyak 80 orang. Dosen-dosen yang menjadi pengajar antara lain: Mr. Prawoto, Mr. Egon Hakim, dan Mr. Mak Kin San (lihat Het nieuwsblad voor Sumatra, 22-08-1951).
Egon
Hakim Nasution kelahiran Sibolga. Alumni dari sekolah hokum di Universiteit
Leiden di Belanda. Setelah pulang ke tanah air ditempatkan sebagai hakim di
Kantor Pengadilan di Padang. Selama penduduk Jepang, Egon mendirikan sekolah
swasta dan selama agresi militer menampung anak-anak republik untuk bersekolah.
Setelah Pengakuan Kedaulatan RI menjadi kepala Kantor Pengadilan Padang. Mr.
Egon Hakim adalah saudara sepupu dari Dr. Ida Loemongga Nasution, PhD (doktor
pertama Indonesia bergelar PhD).
Untuk
urusan pendidikan di Padang dan Sumatra Barat selalu dimulai oleh orang
terpelajar yang berasal dari Padang Sidempuan. Abdul Azis Nasution gelar Soetan
Kenaikan pada tahun 1925 berinisiatif mendirikan sekolah pertanian swasta di
Loeboeksikaping, Pasaman. Uniknya, sekolah pertanian ini kurikulumnya
mengintegrasikan pendidikan pertanian, pendidikan agama dan praktek dengan
sistem asrama. Karena itu orang Belanda menyebutnya sebagai Mohammedaansch
Lyceum. Guru-guru pertanian direkrut dari Sekolah Pertanian Bogor sedangkan
guru-guru agama dari Universitas Al
Azhar di Kairo (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 21-12-1925). Sekolah ini
didirikannya karena sekolah pertanian pemerintah di Padang Pandjang macet
(tutup) yang mana pada waktu itu Abdul Azis Nasution salah satu gurunya. Abdul
Azis Nasution alumni pertama Sekolah Menengah Pertanian (Middelbare
Landbouwschool) di Bogor tahun 1914. Dua tahun sebelumnya (1912) SoripTagor
lulus Sekolah Dokter Hewan (Veeartsen School) Bogor. Sorip Tagor lulusan
pertama, kemudian menjadi asisten dosen dan pada tahun 1916 melanjutkan studi
ke Belanda. Sorip Tagor (ompung dari Inez dan Risty Tagor) ini adalah pendiri
Sumatranen Bond tahun 1917 di Belanda. Sukses Abdul
Azis Nasution membangun sekolah pertanian pertama di luar Jawa membuat dirinya
berhasil dalam pilkada dan terpilih menjadi Anggota Dewan Minangkabau Raad
Jauh
sebelumnya, tahun 1895, Dja Endar Moeda, mantan guru di Tapanoeli mendirikan
sekolah swasta di Padang. Saleh Harahap gelar Dja Endar Moeda alumni
Kweekschool Padang Sidempuan (1884) berinisiatif mendirikan sekolah karena
banyak penduduk yang tidak tertampung di sekolah negeri di Padang. Dja Endar
Moeda adalah orang pribumi terkaya dan yang paling terpandang di Padang. Dja
Endar Moeda adalah ompung dari Dr. Ida Loemongga, PhD (ibu Ida Loemongga adalah
putri pertama dari Dja Endar Moeda yang menikah dengan Dr. Harun AL Rasjid
Nasution, 1903).
Sebagaimana dokter, ahli hukum juga
sudah banyak di Indonesia yang berpendidikan sekolah hukum. Selain Docter Djawa
School atau STOVIA atau Geneeskundige Hoogeschool di Batavia sudah ada Recht
School juga di Batavia. Ahli hukum pertama orang Batak, Alinoedin Siregar gelar
Radja Enda Boemi adalah master hukum (Mr) yang pertama meraih gelar doktor
(PhD) pada tahun 1925 di Universiteit Leiden, Belanda. Doktor hukum Indonesia
terkenal adalah Mr. Masdoelhak, yang meraih PhD pada tahun 1942 dengan predikat
cum laude di Leiden. Setelah lulus (sarjana/master/doctor di Belanda)
Masdoelhak pulang ke tanah air dan pasca proklamasi diangkat menjadi Residen
Sumatra Tengah dan pada saat ibukota RI pindah ke Jogjakarta, Masdoelhak dipindahkan
ke Jogja untuk menjadi penasehat hukum internasional Soekarno dan Hatta. Pada
saat serangan ke Jogja (agresi militer ke-2) yang pertama kali diculik adalah
Masdoelhak yang kemudian ditembak di Pakem. Atas penembakan ini Dewan Keamanan
PBB di New York marah besar karena membunuh secara keji intelektual muda
Indonesia untuk segera Den Haag melakukan penyelidikan yang tuntas. Mr.
Masdoelhak Nasution, PhD adalah yang merupakan saudara sepupu dari Dr. Ida
Loemongga, PhD dan juga saudara sepupu Mr. Egon Hakim pada tahun 2006 menjadi
Pahlawan Nasional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar