Di
Medan, jangan membicarakan yang lain dulu sebelum menyebut nama Abdul Hamid
Lubis. Setelah itu baru membicarakan Adam Malik. Abdul Hamid Lubis adalah
mentor dari Adam Malik. Hanya dua pemuda belia ini di Medan yang benar-benar dapat
disebut pemuda paling revolusioner di Medan. Kedua pemuda ini memulai aktivitas
politik pada usia 15 tahun.
Abdul Hamid
Lubis dan Parada Harahap tidak pernah bertemu di Medan. Parada Harahap sudah
hengkang dari Medan tahun 1919. Parada Harahap pulang kampong di Padang
Sidempuan mendirikan surat kabar Sinar Merdeka. Sepeninggal Parada Harahap,
Medan hanya biasa-biasa saja. Tiba-tiba pada tahun 1928 kota Medan heboh. Abdul
Hamid Lubis ditangkap!
Abdul
Hamid Lubis memulai karir sebagai wartawan di Medan. Uniknya, Abdul Hamid Lubis
tidak hanya seorang jurnalis tetapi juga penulis opini berbakat. Topik yang
dipilih selalu perihal yang terlarang, yakni: perlawanan terhadap pemerintah kolonial.
Ini yang terjadi pada pertengahan tahun 1928. Namanya kemudian menjadi terkenal, tidak hanya di Medan tetapi
juga di Batavia. Parada Harahap yang sudah sejak tahun 1923 berada di Batavia mendengar
dan membaca berita tentang Abdul Hamid Lubis tersebut.
De Sumatra post, 28-03-1928 |
Berita
itu tentu saja mengagetkan seluruh insan pers dan pentolan pergerakan politik di Nederlandsch
Indie (baca: Indonesia). Partai politik pertama baru didirikan baru beberapa
bulan sebelumnya (4 Juli 1927), yakni partai yang didirikan di Bandung oleh
para tokoh nasional seperti Dr. Tjipto Mangunkusumo dan Mr. Sartono. Ke dalam
partai baru ini, kemudian para pelajar yang tergabung dalam Algemeene Studie
Club yang diketuai oleh Ir. Soekarno ikut bergabung. Dengan kata lain: Abdul
Hamid Lubis berteriak lebih dahulu dibandingkan dengan kandidat Soekarno. Pada
tahun dimana Abdul Hamid Lubis ditangkap (1928), partai Indonesia pertama ini
diubah namanya menjadi Partai Nasional Indonesia (PNI). Organisasi politik PNI
dan orang-orangnya baru dianggap pemerintah Belanda berbahaya pada tahun 1929.
De Sumatra post,
11-10-1928: ‘Beberapa bulan yang lalu, Landraad di Medan, wartawan pribumi
berumur 16 tahun, Abdul Hamid Lubis, yang diadili untuk sebuah artikel melawan
otoritas Belanda di Pertja Timoer, dihukum 10 bulan penjara. Pemimpin redaksi dalam
hal ini yang juga bertanggungjawab Djoendjoengan Loebis dipidana empat bulan. Permintaan
pengampunan (grasi) keduanya ditolak. Tidak hanya sampai disitu, sebuah kasus
baru akan diperlakukan terhadap Abdul Hamid Lubis, karena fakta yang ada, yaitu
publikasi artikel yang serupa diarahkan terhadap otoritas pemerintah di dalam surat
kabar Pewarta Deli, dimana dalam hal ini editor yang bertanggungjawab, Mangaradja
Ihoetan. Keringan dalam hal ini (kasus kedua) tampaknya juga ditolak’.
Protes
dari Parada Harahap (editor Bintang Timoer di Batavia dan peimpinan organisasi
wartawan Indonesia), Abdul Firman Siregar gelar Mangaradja Soangkoepon (anggota
Volksraad dari dapil Sumatra’s Oostkust) dan Mohamad Husni Thamrin (anggota Volksraad
dari dapil Batavia) tidak mempan. Ini menunjukkan kasus Abdul Hamid Lubis
adalah di mata pemerintah kolonial di Batavia tergolong serius. Seperti ditulis
De Sumatra post, kasus Abdul Hamid Lubis terbilang sangat membahayakan bagi
otoritas pemerintah. Kasus Abdul Hamid Lubis ini bersifat nasional dan harus
ditangani langsung oleh pemerintah pusat di Batavia.
Selama ini
pelanggaran jurnalistik disebut delik pers hanya dianggap biasa-biasa saja.
Abdul Hamid Lubis tidak dalam posisi melaporkan, tetapi membuat opini dalam
bentuk artikel. Oleh karenanya, kasus Abdul Hamid Lubis bukan sekadar delik
pers tetapi juga menyangkut otoritas pemerintahan colonial. Kasus delik pers
pernah dialami oleh Dja Endar Moeda editor Pertja Barat (1905) dengan dihukum
cambuk dan diusir dari Padang, Mangaradja Salamboewe, editor Pertja Timoer
(1906), Soetan Panoesoenan editor Pewarta Deli (1911) kurungan 15 hari, Soetan
Parlindoengan editor Pewarta Deli (1915) dihukum dua bulan penjara, Tirto Adhi
Soerjo, editor Medan Prijaji di Batavia (1916), Parada Harahap editor Sinar
Merdeka di Padang Sidempuan (1919-1922) beberapa kali masuk bui, Abdul Karim
gelar Baginda Djoendjoengan editor Oetoesan Rakjat di Langsa, Abdul Karim.
Kini, editor Mangaradja Ihoetan dalam kasus artikel opini Abdul Hamid Lubis.
Tunggu
deskripsi lebih lanjut
*Dikompilasi
oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan
sumber-sumber tempo doeloe.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar