Hanya
beberapa surat kabar lama (tempo doeloe) yang masih bisa bertahan hingga ini
hari. Dua diantaranya: Mimbar Umum di Medan dan Pikiran Rakyat di Bandung.
Editor terkenal Mimbar Umum adalah M. Arif Lubis dan editor terkenal Pikiran
Rakyat adalah Sakti Alamsyah Siregar. Surat kabar Mimbar Umum didirikan pada
tangga 6 November 1945. Ini berarti surat kabar (harian) Mimbar Umum merupakan koran
tertua di Sumatera pada masa kini.
Siapa Muhamad Arif
Lubis?
Padang
Sidempuan adalah asal M.Arif Lubis. Di kota ini pada tahun 1919
diterbitkan surat kabar nasional yang bersifat revolusioner, Sinar Merdeka.
Surat kabar ini dipimpin oleh editor Parada Harahap. Sejak itu, nama Padang
Sidempuan terkenal sebagai pusat pergerakan politik. Salah satu tokoh politik
di Padang Sidempuan adalah Abdul Karim (alumni Docter Djawa School, sekelas
dengan Dr. Tjipto).
Nama M. Arif Lubis muncul ke permukaan pada tahun 1931. Surat kabar berbahasa Melayu yang terbit di Sibolga, Pertjatoeran mengalami delik pers di bawah editor M. Arif Lubis (De Sumatra post, 16-09-1931). Pangkal perkara diajukannya ke meajau hijau M. Arif Lubis karena melaporkan seorang kepala polisi Belanda melakukan tindakan kekerasan terjadap penduduk.
Surat kabar
berbahasa Melayu, Pertjatoeran terdeteksi pada tahun 1925 di Sibolga (De
Indische courant, 18-09-1925). Kota Sibolga adalah kota pertama di Sumatera
Utara yang memiliki pers pribumi. Surat kabar pertama adalah Tapian Na Oeli
yang terbit pertama tahun 1900 (lihat Soerabaijasch handelsblad, 12-11-1900).
Surat kabar ini diterbitkan oleh Dja Endar Moeda, pemiliki surat kabar Pertja
Barat di Padang. Sementara itu, surat kabar berbahasa Melayu di Medan baru
terbit pertama tahun 1901 (anak perusahaan, investasi Belanda, Sumatra Post).
Pada tahun 1910 surat kabar Pewarta Deli terbit di Medan. Surat kabar ini investornya
adalah Dja Endar Moeda. Motto surat kabar Pertja Barat dan surat kabar Pewarta
Deli sama persis: ‘Ontoek Segala Bangsa’. Editor-editor terkenal Pewarta Deli:
Soetan Panoesoenan, Soetan Parlindoengan, Abdullah Lubis, Mangaradja Ihoetan
dan Hasanoel Arifin. Surat kabar lainnya di Sibolga yang terkenal adalah Hindia
Sepakat, surat kabar berbahasa Melayu, suksesi surat kabar Tapian na Oeli
dengan editor Abdul Karim, seorang dokter kelahiran Padang Sidempuan.
Tulisan-tulisan protes Abdul Karim di Hindia Sepakat terhadap pemerintah kerap
memicu penduduk untuk berdemonstrasi terhadap kebijakan pemerintah kolonial.
Abdul Karim, sekelas dengan Dr. Tjipto ini, digambarkan seorang intelektual
(Bataviaasch nieuwsblad, 04-11-1920). Abdul Karim pindah ke Langsa, korannya
Oetoesan Rakjat terkena delik pers di Langsa (De Sumatra post, 26-03-1923). Dr.
Abdul Karim gelar Baginda Djoendjoengan sejak 1924 tinggal di Medan. Pada tahun
1926 kalah dalam pilkada untuk dewan kota (gementeeraad) dan salah satu yang
terpilih adalah Abdulah Lubis (incumbent). Dr. Abdul Karim adalah pemimpin
Partai Indonesia (Dr. Tjipto dkk) di Sumatera. Dr. Abdul Karim adalah mentor
politik M. Arif Lubis.
Setelah kasus delik pers di Sibolga, M. Arif
Lubis hijrah ke Medan. Pada tahun 1932 sebagaimana dilaporkan De Sumatra post,
19-01-1932 di Medan didirikan Partai Indonesia. M. Arif Lubis di dalam dewan
Partai Indonesia Medan sebagai sekretaris.
Surat kabar berbahasa Melayu, Surja terbit di Sibolga.
Surat kabar ini berukuran mini hanya seperempat lembar. Ukuran surat kabar ini
terbilang terkecil di negeri ini. Surat kabar ini terdeteksi tahun 1932 yang
memberitakan kedatangan Ir. Soekarno ke Tapanoeli dalam rangka pembentukan divisi Partai
Indonesia (De Sumatra post, 13-05-1932).
M. Arif Lubis yang merupakan wartawan
sesungguhnya adalah motor dari Partindo Medan. M. Arif Lubis telah berkampanye
ke sejumlah tempat dan membentuk organisasi-organisasi pendukungnya seperti
Persatuan Motorist Indonesia Medan, Letterzetter Vereeninging (Persatuan
karyawan percetakan).
Abdul Hamid Lubis adalah Presiden dari Letterzetter
Vereeninging (De Sumatra post, 07-02-1933). Abdul Hamid Lubis juga adalah
traveling propagandis (reizende propagandisten) dari Persatuan Motorist
Indonesia Medan (De Sumatra post, 31-03-1932). Abdul Hamid Lubis sejak remaja
sudah sangat revolusioner. Pada tahun 1928. Abdullah Lubis yang masih berumur
17 tahun menulis di surat kabar Pewarta Deli, atas tulisannya yang dianggap
bermusuhan (terhadap pemerintah) diajukan ke mejahijau (De Sumatra post, 26-06-1928.
Suksesi Abdul Hamid Lubis adalah Adam Malik Batubara (pada umur 17 tahun sudah
ditangkap dan dibui),
Surat kabar Sinar Sipirok terbit di Sipirok. Editor
mingguan Sinar Sipirok ini adalah Soetan Katimboeng (De Sumatra post,
26-05-1933). Surat kabar ini merupakan surat kabar paling radikal. De Sumatra
post, 26-06-1933 Sutan Katimboeng mantan Loehathoofd dari Saromatinggi
melakukan rapat besar tentang politik di Gunung Tua. Rapat itu dianggap
pelanggaran secara hukum dan menjatuhkan hukuman sembilan bulan penjara. Surat
kabar Sinar Sipirok berafiliasi dengan suatu partai dimana nama Adam Malik
dikaitkan.
M. Arif
Lubis pernah menajdi editor Pewarta Deli (De Sumatra post, 19-10-1933). Pada
tahun 1934 M. Arif Lubis melakukan aktivitas politik di Padang Sidempuan. Boleh
jadi perpindahan M. Arif Lubis ke Padang Sidempuan untuk membangkitkan semangat
pribumi untuk mencapai kemerdekaan.
De tribune: soc. dem. Weekblad, 26-06-1934: ‘Pada tanggal
11 Mei pukul 1 siang di dalam pemerintahan HPII (Himpunan Pemuda Islam
Indonesia) di Padang Sidempoean dilakukan pencarian. Hal ini terjadi di rumah
Moh. Arif Lubis, Presiden HPII Padang Sidempoean. Beberapa buku dan
afdeelingsstukken lainnya disita, juga potret Mahatma Gandhi. Kemudian polisi
menggeledah rumah Yusuf Djajat, Direktur divisi dari HPII Tapanoeli. Penyidik mengambil
lebih banyak waktu. surat disita dari pusat administrasi dari afdeelingsbesturen,
serta hak cipta pencetakan dan beberapa buku. Yang terakhir jiga disita gambar
Sukarno, Sartono dan lain-lain. Alasan untuk pencarian tidak ditentukan, tetapi
mungkin terkait dengan larangan pertemuan rapat antara HPII dan PMI (Indonesian
Jeugdvereeniging) dept. Tapauoeli’.
De Sumatra post, 27-10-1934: ‘Larangan pertemuan. Minggu
terakhir di Siantar ditangkap Adam Malik, anggota dewan dari partai politik di
Siantar. Penangkapan itu terjadi atas permintaan hakim Sipirok sejak Adam Malik
itu diduga mengadakan pertemuan partai ketika ia berada selama di Siporok. Di
bawah polisi mengawal Adam Malik dibawa ke Sipirok’.
M. Arif Lubis kembali ke Medan. M. Arif Lubis
terdeteksi di Medan tahun 1937 dimana dia tinggal di Jalan Hakka no. 69 (De
Sumatra Post, 01-03-1937). Nama M. Arif Lubis tidak terdeteksi selama
pendudukan Jepang. Namanya baru muncul setelah proklamasi Kemerdekaan Republik
Indonesia. M. Arif Lubis di Medan menjadi editor surat kabar untuk pemerintah,
Soeloeh Merdeka (Oktober 1945), sementara di Jakarta surat kabar pemerintah
Negara Baroe juga diterbitkan dibawah pimpinan Parada Harahap.
Surat kabar pemerintah ini dimaksudkan untuk mendampingi
surat kabar-surat kabar lama yang terbit kembali seperti di Medan, seperti
Pewarta Deli dan Sinar Deli. Pewarta Deli terbit kembali pada bulan September
1945 (editor Mohammad Said dan Amarullah Ombak Lubis. Surat kabar baru yang
muncul adalah Mimbar Oemoem pada tanggal 6 November 1945 (pimpinan editor Abdul
Wahab Siregar yang dibantu oleh Mohammad Saleh Umar dan M. Yunan Nasution).
Kemudian menyusul sejumlah surat kabar baru seperti Waspada (terbit mulai Januari 1947).
Het
dagblad: uitgave van de Nederlandsche Dagbladpers te Batavia, 26-06-1946: ‘Sebuah
opini tajam dalam surat kabar Indonesia ‘Mimbar Oemoem’ melemparkan cahaya
terang pada situasi saat ini di perusahaan Deli sebagaimana Aneta
mentransmisikan dari Medan. Penulis membagi staf perusahaan menjadi tiga
kelompok, yaitu, pertama, para pemimpin dan administrasi kedua yang mandur dan
toekang, ketiga pekerja. Surat kabar lanjut mencatat bahwa kelompok pertama dan
kedua tidak melakukan apa-apa. Mereka, menurut surat kabar tersebut, yang akan
dilakukan di kursi atau berjalan-jalan di sekitar kebun dengan tongkat besar
tanpa pernah kerja, sedangkan kelompok ketiga bekerja keras, tetapi kelompok
ini memiliki pakaian hanya 10 persen dan anak-anak mereka berjalan dalam empat
tahun terakhir hanya terlihat telanjang’.
Surat kabar yang menjadi kompetitor Mimbar
Umum yang juga masih eksis hingga ini hari Waspada terbit mulai Januari 1947. M. Arif Lubis menjadi
editor Mimbar Umum sejak 1947.
Het nieuwsblad voor Sumatra, 20-12-1948 |
Pada tahun 1950 sejumlah editor tukar tempat. Editor Mimbar Umum tetap masih M. Arif Lubis, editor Waspada, M. Said (Het nieuwsblad voor Sumatra, 30-03-1950). Surat kabar lainnya di Medan adalah Rakjat, Warta Berita, Waktu dan Mestika. Surat kabar berbahasa Belanda adalah Het nieuwsblad voor Sumatra. M. Arif Lubis mendapat reaksi dari pimpinan PKI di Medan atas pemberitaan surat kabar Mimbar Umum.
Het nieuwsblad voor Sumatra, 26-07-1950: ‘M. Arif Lubis
dan Mimbar Umum diadukan Sarikat Buruh Perkebunan karena dianggap telah
memberitakan keterlibatan unsur PKI di dalam sarikat. Sarikat meminta untuk
permintaan maaf’.
Mimbar
Umum adalah salah satu surat kabar nasional yang terbit di daerah (Medan). Surat
kabar nasional lainnya adalah Untuk Jakarta termasuk: Indonesia Raya, Merdeka,
Pedoman, Pemandangan, Sumber, Abadi dan Antara. (kantor berita). Untuk East Java:
Express, Harian Umum. Massa, Suara Rakyat. Suara Masjarakat, Trompet Masjarakat.
Mingguan di Djakarta: Merdeka, Siasat, Lembaran Minggu, Sikap, Garuda, Perwarta
Jakarta, Mimbar Indonesia, Nasional, Aneka dan Suara Rakyat. Untuk East Java: Penyebar
Semangat, Obor Surabaya, Zaman Baru, Demokrasi, Tindjauan dan Joyoboyo (De
vrije pers: ochtendbulletin, 04-07-1951).
M. Arif Lubis termasuk salah satu wartawan yang mendapat kesempatan untuk melakukan kunjungan ke Amerika Serikat.
Het nieuwsblad voor Sumatra, 03-09-1952: ‘Wartawan Medan
ke Amerika. Mimbar Umum, dari departemen Medan diundang untuk perjalanan
jurnalistik selama empat bulan ke America, termasuk pimpinan redaksi Mr Arif
Lubis. Oleh karena surat kabar ini tidak ingin terdapat kekosongan begitu lama,
sekarang Mr. Samsuddin Manan, ditunjuk menjadi editor. M. Arif Lubis akan
berangkat pada pertengahan September’.
M. Arif Lubis tampaknya terlalu sibuk dengan
perjuangan dan cita-cita kemerdekaan. M. Arif Lubis baru berpikir untuk menikah
setelah usia agak tua. Pada tahun 1952 M. Arif Lubis menikah dengan Zahara
Nasution binti Abdul Mutalib.
Het nieuwsblad voor Sumatra, 02-12-1952: ‘Tadi malam di
Grand Hotel Medan, pada kesempatan pernikahan direktur Mr. Arif Lubis, editor
Mimbar Urnurn, dengan Ms. Zahara Nasution binti Abdul Mutalib menggelar resepsi
dengan berbagai karangan bunga yang dihadiri lebih dari 600 tamu. Mr. Lubis adalah
tokoh terkemuka di Medan..
M. Arif Lubis, Ketua Sarikat Perusahaan
Suratkabar turut hadir dalam pembukaan pressroom di Medan.
Het nieuwsblad voor Sumatra, 15-01-1953: ‘Tadi malam
secara resmi pressroom di Medan dibuka. Abdul Wahab Siregar, Kepala Dinas
Informasi Medan memberikan kata sambutan. Juga hadir Komisaris Polisi Mustafa
Pane, Arif Lubis (Ketua Sarikat Perusahaan Surat kabar), Amarullah Ombak Lubis
(mewakili Antara)’.
Het nieuwsblad voor Sumatra, 09-06-1953: ‘Di kantor
pressroom Jalan Soetomo anggota SPS berkumpul untuk membicarakan tentang Sarikat
Perusahaan Surat kabar Medan yang akan menghadiri Kongres SPS di Jakarta, 18-20
September. Delegasi medan tiga orang yang diketuai oleh M. Arif Lubis’.
Polemik antara sesama insan pers di Medan
mulai muncul. Pers terbagi atas tiga haluan: nasionalis, agama dan komunis. M.
Arif Lubis dan Mimbar Umum adalah koran berhaluan nasionalis.
Het nieuwsblad voor Sumatra, 19-01-1955: ‘M. Arif Lubis
dari Mimbar Umum dituntut PKI karena menyudutkan beberapa pemimpinnya’.
Het nieuwsblad voor Sumatra, 03-02-1955 M. Arif Lubis
didemo di kantornya, Mimbar Umum’. Het nieuwsblad voor Sumatra, 03-03-1955
melaporkan M. Arif Lubis divonnis selama satu bulan dengan masa percobaan enam
bulan.
M. Arif Lubis pendiri dan pengurus Persatuan
Wartawan Indonesia cabang Medan, Surat kabar Mimbar Umum adalah surat kabar
terbesar di Medan. Beberapa surat kabar berhaluan komunis. Untuk membentengi pengaruh lainnya, PWI Medan
mengumumkan daftar nama-nama anggotanya.
Algemeen I.dagblad: de Preangerbode, 30-01-1957 |
Het nieuwsblad voor Sumatra, 29-11-1957: ‘Daftar resmi
PWI di Medan. Dalam menanggapi fakta bahwa sering nama jurnalis disalahgunakan,
PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) departemen Medan merasa perlu untuk
mempublikasikan nama-nama anggota yang resmi. Daftar lengkap anggota PWI Medan adalah
sebagai berikut: Ani Idrus (Duma Wanita) - (Waspada); Arif Lubis (Mimbar Umum);
Amarullah Ombak Lubis (Antara); A. Manan Karim (Indonesia Baru); A. Halim
(Mimbar Umum); Amir Hasan Lubis (Mimbar Umum); Ammary Iraby (Waspada); A.
Dahlan (Lembaga); A. Marzoeki (Amarz) - (Pat'riot); Abdullah (Patriot); Anwar
Effendi (Mimbar Umum); Arsjad Y. (Waspada); Aziz Harahap (Mimbar Umum); Amir
Hamzah Tamin (Tjerdas); A. Rachman Toweran (Mestika); Bustamam (Mimbar Umum);
Chamran S. .Waspada); Ja'far (Tjerdas); Hasan Dinar (Waspada); Imran Zouny
(Patriot); Yusuf Sou'yb (Lembaga); Kaharuddin (Antara); Mohd Said (Waspada);
Anwar Rawy (Anftara); Mhd. TWH. (Mimbar Umum); Narmin Suti (New China Times);
Sjamsuddin Manan (Mimbar Umum); T. Jafizham (Mestika); Usman Siregar (Waspada);
Wan Zahir Saros (Tjerdas); Zahari (Waktu); Zainuddin (Nieuwsblad voor Sumatra).
Surat kabar Mimbar Umum sejak awal
penerbitannya adalah surat kabar besar (dan terbesar) di Medan. Surat kabar
penerima iklan utama di Medan adalah Mimbar Umum, Waspada dan Warta Berita (cf.
Het nieuwsblad voor Sumatra, 19-12-1949). Mimbar Umum juga termasuk surat kabar
yang dikutip oleh surat kabar lain yang berbahasa Belanda (De locomotief:
Samarangsch handels- en advertentie-blad, 13-04-1954). Mimbar Umum, surat kabar
nasional termasuk yang kritis terhadap pemerintah. Pada tahun 1959 Mimbar Umum
termasuk salah satu surat kabar yang dibreidel.
De Telegraaf, 03-02-1959: ‘Kepala pemerintah di masa
perang di Padang, Sumatera Tengah memberlakukan larangan publikasi terhadap
surat kabar Pedoman, Abadi dan Indonesia Raya yang diterbitkan di Jakarta dan
surat kabar Lembaga dan Mimbar Oemoem di Medan’.
M. Arif Lubis adalah editor legendaris dari Mimbar Umum, seorang pejuang pers. Surat kabar Mimbar Umum telah melalui perjuangan yang sangan panjang. Sudah sangat banyak surat kabar yang pernah diterbitkan di Indonesia, tetapi sudah banyak pula yang tutup. Hanya beberapa surat kabar yang masih bertahan. Surat kabar Mimbar Umum termasuk yang masih eksis hingga ini hari. Ini suatu pencapaian yang fantastis untuk suatu surat kabar nasional yang terbit di daerah. Boleh jadi, surat kabar Mimbar Umum sebagai surat kabar tertua yang masih hidup hingga sekarang. Suatu warisan nasional yang perlu dipertahankan.
Arif Lubis lahir di Medan pada tanggal 15 October 1911.
Pada saat namanya muncul pertamakali tahun 1929 dalam delik pers sebagai editor
surat kabar Petjatoeran (De Sumatra post, 16-09-1931), maka umur M. Arif Lubis
kala itu adalah 20 tahun. Ketika diberitakan bahwa M. Arif Lubis menikah (Het
nieuwsblad voor Sumatra, 02-12-1952) maka umurnya adalah 41 tahun. Pada tahun
1957 M. Arif Lubis memiliki putrid empat orang yang berumur masih kecil (tertua
1953 dan termuda 1957).
Pikiran Rakyat di Bandung Didirikan Sakti Alamsyah
Siregar
Untuk urusan media surat kabar hampir
semuanya terkait dengan orang-orang Padang Sidempuan. Editor pribumi pertama
Dja Endar Moeda (1897), pemilik surat kabar pertama Tapian Na Oeli (1900),
surat kabar revolusioner Sinar Merdeka di Padang Sidempuan (1919). Surat kabar
besar bertiras paling tinggi di masanya: Pertja Barat di Padang (1901), Pewarta
Deli (1910) dan Mimbar Umum (1945) di Medan, Bintang Timoer pimpinan Parada
Harahap di Batavia (1926), Indonesia Raya pimpinan Mochtar Lubis di Jakarta
(1952), Pikiran Rakyat pimpinan Sakti Alamsyah di Bandung (1966) dan lain
sebagainya. Untuk kategori tokoh: Dja Endar Moeda sebagai Radja Persuratkabaran
Sumatra, Parada Harahap sebagai The King of Java Press dan Mochtar Lubis
sebagai De Beste Jurnalist.
Satu kategori lagi adalah surat kabar tempo
doeloe yang hingga ini hari masih eksis yakni: selain Mimbar Umum adalah surat
kabar harian Pikiran Rakyat di Bandung yang didirikan oleh Sakti Alamsyah, seorang
guru, seorang orang tua, dan seorang pahlawan bangsa. Sakti Alamsyah, nama
lengkapnya Sakti Alamsyah Siregar gelar Patuan Sojuangon lahir di Sungai
Karang, Sumatera Utara 27 Januari 1922. Ayahnya Sutan Kamala Martua Siregar
berasal dan meninggal dunia di Desa Parau Sorat, Kecamatan Sipirok, Kabupaten
Tapanuli Selatan.
Tidak banyak orang tahu masa kecil Sakti
Alamsyah, tetapi orang Jawa Barat hanya mengenal Sakti Alamsyah melalui
suaranya. Ceritanya bermula ketika masa-masa awal revolusi kemerdekaan nama
Sakti Alamsyah dikenal sebagai penyiar RRI. Sakti Alamsyah termasuk penyiar
yang sangat disukai para pendengarnya. Boleh jadi para pendengarnya tidak
banyak yang tahu bahwa Sakti Alamsyah juga terkenal di kalangan dunia musik
sebagai pencipta lirik lagu yang andal.
Pada masa itu, kiprah fenomenal Sakti
Alamsyah ketika membacakan teks proklamasi yang dapat didengar publik melalui
Radio Bandung (cikal bakal RRI Bandung). Anehnya, ketika Sakti Alamsyah memulai
membaca teks proklamasi tersebut, beliau justru memulainya dengan pengantar sebagai
berikut: “Di sini Radio Bandung, siaran Radio Republik Indonesia...".
Padahal waktu itu belum lahir Radio Republik Indonesia alias RRI. Pembacaan
teks proklamasi oleh Sakti Alamsyah dilakukan tepat pada tanggal 17 Agustus
1945 pukul tujuh malam. Teks proklamasi yang dibaca Sakti Alamsyah tersebut
kemungkinan besar diperoleh dari Radio
Jakarta yang sudah terlebih dahulu memperoleh salinannya dari Adam Malik yang
waktu itu beliau menjadi pemimpin Kantor Berita Antara. Pertanyaannya: Mengapa
justru Radio Bandung yang berani menyiarkannya?
Selain itu, teks yang dibacakan Sakti
Alamsyah—yang pada waktu itu Sakti Alamsyah masih berumur 23 tahun—ada
perbedaan kecil dalam teks proklamasi yang disiarkan Sakti dengan teks
sebagaimana dibacakan Soekarno di Pegangsaan Timur, Jakarta. Sakti Alamsyah justru
menutupnya dengan kalimat "Wakil-wakil Bangsa Indonesia,
Soekarno-Hatta". Padahal, Bung Karno membacakannya dengan kalimat yang
jelas terdengar "Atas Nama Bangsa Indonesia, Soekarno-Hatta". Tidak
ada yang mengetahui dengan pasti bagaimana asal muasal perbedaan teks dan yang
dibacakan Soekarno dengan apa yang disuarakan Sakti Alamsyah Siregar.
Pengucapan ‘Radio Republik Indonesia’ untuk
menamai diri dalam pengantar siaran, Sakti Alamsyah justru mengabaikan nama
yang selama ini diucapkan dengan ‘Radio Bandung Hoshokyoku’. Sekalipun hari itu
proklamasi sudah dikumandangkan, tetapi kenyataannya bentuk negara belum
disepakati. Para pemerhati, menganggap ucapan Sakti Alamsyah sebagai pernyataan
futuristik dari lubuk hgati dirinya. Padahal negara baru Indonesia justru
setelahnya diputuskan berbentuk republik yang notabene juga nama radio nasional
baru ditetapkan kemudian persis seperti yang diucapkan pertama kali oleh Sakti
Alamsyah: “Di sini Radio Bandung, siaran ‘Radio Republik Indonesia’...".
Kita harus akui bahwa inisiatif para pekerja
khususnya penyiar Radio Bandung Hoshokyoku, Sakti Alamsyah, untuk menyuarakan
teks proklamasi di udara yang dapat didengar semua publik jelas-jelas seuatu
keputusan yang berani. Tidak hanya sampai di situ para penyiar Radio
Bandung Hoshokyoku tanpa rasa takut terus berulang-ulang menyiarkan naskah
proklamasi itu setiap kali ada kesempatan untuk dibacakan kembali. Berkat
siaran Radio Bandung itu yangdipancarkan dari Jalan Malabar, Bandung kabar
kemerdekaan sebuah negara baru bernama Indonesia diketahui khalayak yang lebih
luas, yang tak hanya dapat ditangkap di seluruh pelosok nusantara, tetapi juga
tetangkap di seluruh dunia.
Setelah beberapa lama menjadi penyiar RRI
Bandung, Sakti Alamsyah memulai karir baru dan aktif sebagai wartawan di surat
kabar Pikiran Rakyat yang terbit di Bandung. Ketika di dalam organisasi
penerbitan tersebut terjadi gejolak internal akibat situasi politik saat itu,
Sakti Alamsyah bersama sejumlah karyawan lainnya memisahkan diri dan mendirikan
surat kabar baru dengan tetap menggunakan nama surat kabar tempat mereka
sebelumnya bekerja yakni Pikiran Rakyat.
Bagi warga Jawa Barat, Sakti Alamsyah Siregar
digambarkan sebagai sosok yang wajahnya berciri khas Batak, agak angker, dan
seumur hidup beliau memang tidak juga pintar berbahasa Sunda. Tapi, ketika
berita kematiannya diberitakan, yang tampak paling kehilangan justru orang Jawa
Barat. Sakti Alamsyah meninggal dunia di Banjarmasin 28 April 1983) ketika
menjalankan tugas dan jenazahnya dikebumikan di Taman Makaman Pahlawan Cikutra,
Bandung. Besoknya, pada tajuk rencana harian Pikiran Rakyat (PR), koran
terbesar di Jawa Barat meratapi kepergiannya dengan pernyataan "Pemimpin
kami, guru kami, ayah kami, sahabat dan kolega kami, tiba-tiba pergi meninggalkan
kita semua.".
Sakti Alamsyah Siregar, rupanya bukan cuma
seorang pemimpin umum sebuah surat kabar yang kebetulan besar di daerah,
seperti PR tetapi juga ketegasan dan keberaniannya bagaikan guru: mendidik dan
membangun. Sejumlah koleganya menganggap Sakti Alamsyah adalah seorang
yang kaya dengan gagasan besar. Ini bermula di awal tahun 1970-an ketika pers
daerah khususnya di wilayah Jawa Barat mengalami masa-masa sulit atas penetrasi
surat kabar nasional (Jakarta) merambah ke daerah. Jaringan transportasi dan
komunikasi yang semakin membaik menyebabkan koran-koran ibukota mulai terasa
menggeser keberadaan koran-koran yang terbit di daerah.
Tapi Sakti Alamsyah, punya resep sakti dengan
PR-nya bahwa menghadapi koran-koran Jakarta tidak harus bereaksi dengan semangat
berperang, tetapi justru dengan sikap yang proporsional. Sakti Alamsyah
menyemangati bawahannya dengan pernyataan "Biar orang pegang koran Jakarta
di tangan kanan, kita cukup di tangan kiri”.
Untuk mengantisipasinya, Sakti Alamsyah pun mulai memikirkan dengan
memperbesar porsi berita daerah di harian Pikiran Rakyat. Resep skati dari
Sakti Alamsyah Siregar diketahui pada akhirnya PR bukan koran tangan kiri lagi
tetapi juga telah menjadi koran tangan kanan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar