Jumat, Juni 03, 2016

Nama ‘Butet’ Bukan Berasal dari Batak: Editor Surat Kabar ‘Perempuan Bergerak’ (1918) Berasal dari Batak



Sebelum nama ‘butet’ dikenal di Tanah Batak, nama butet sudah sejak lama digunakan oleh orang Eropa sebagai nama seseorang. Misalnya Boetet Schoppe (Leydse courant, 28-11-1725); Gerrit Boetet (Amsterdamse courant, 09-04-1774); Butet & Co (Algemeen Handelsblad, 05-01-1912); H.L. Boetet (Leeuwarder courant, 30-05-1913); notaries LA Butet (Algemeen Handelsblad, 13-12-1917). Butet juga menjadi nama marga di Eropa.

De Preanger-bode, 19-06-1919
Pada tahun 1919 di Medan ada seorang perempuan bernama Boetet Satidjah. Perempuan ini bukan sembarang orang. Boetet Satidjah adalah editor suratkabar bulanan Perempuan Bergerak yang terbit di Medan tahun 1919 (De Preanger-bode, 19-06-1919). Motto surat kabar kaum wanita ini adalah ‘De beste stuurlui staan aan wal’ (sahabat terbaik mampu melindungi). Tujuan dari majalah ini memajukan tindakan wanita, sesuai untuk mendukung keinginannya saat ini, dan juga membantu aksi pria. Selanjutnya, surat kabar ini akan mencakup semua hal terkait minat wanita seperti masalah anak, pendidikan, kehidupan wanita itu sendiri dan urusan rumah tangga.

Nama surat kabar Perempuan Bergerak ini terkesan lebih revolusioner dibandingkan dengan surat kabar perempuan yang pernah terbit di Padang, Sunting Melayu (1912). Dari nama mengandung makna yang jelas dan bersifat nasionalis. Perempuan bergerak mendorong perempuan untuk tidak bermalas-malasan dan sudah waktunya bergerak lebih maju. Sedangkan Sunting Melayu dari namanya hanya mengandung makna hiasan (sunting) bagi etnik Melayu saja (seperti halnya Boedi Oetomo, Jawa). Kehadiran Parada Harahap, sang revolusioner di belakang surat kabar Perempuan Bergerak menunjukkan misi nasionalis yang ingin diterabas: dobrak! Dobrak daerah/etnik sentris dan dobrak imperialisme Eropa. Pada saat itu, di Medan adalah pusat kemajuan Eropa di Nederlandsch Indie. Dari westkust berpindah ke Oostkust. Media Eropa telah pindah dari Sumatra Courant di Padang menjadi Sumatra Post di Medan. Juga media nasional: dari Pertja Barat di Padang menjadi Pewarta Deli di Medan. Kebetulan pemiliknya sama: Hadji Dja Endar Moeda dan slogan kedua surat kabar ini tentu sama pula: 'Oentoek Segala Bangsa' (Batak, Minangkabau, Melayu, Atjeh, Jawa dan semuanya). Pada situasi dan kondisi inilah surat kabar Perempuan Bergerak hadir: Revolusiner dan trans nasional.

Boetet Satidjah, wartawati pertama yang merupakan pendiri dan sekaligus editor dimana dibelakangnya berdiri Parada Harahap. Ini klop dengan slogan yang diambil Perempuan Bergerak: ‘De beste stuurlui staan aan wal’. Boetet Satidjah adalah wartawati Pewarta Deli. Dengan  berpartner dengan Parada Harahap, yang masih menjabat sebagai editor Pewarta Deli, sosok Boetet Satidjah menjadi lebih kuat. Ini dengan sendirinya, Boetet Satidjah ditempatkan jauh ke masa depan, melampaui peran yang dilakukan tokoh-tokoh wanita sejaman, seperti RA Kartini (yang tulisan korespondensi dengan teman-temannya dibukukan) dan Rohana Kudus (surat kabar Sunting Melayu). Boetet Satidjah kelak dikenal sebagai istri dari Parada Harahap, wartawan paling revolusioner di Indonesia. Boetet Satidjah dan Satiaman adalah orang yang sama: istri Parada Harahap. Dengan menyimak slogan surat kabar Perempuan Bergerak yakni ‘De beste stuurlui staan aan wal’ diartikan sebagai pasangan yang terbaik adalah yang bisa juga berdiri di depan.

Sosok Boetet Satidjah menjadi idola di kampong halamannya di Padang Sidempuan. Adik-adiknya juga tidak ketinggalan untuk mendirikan surat kabar yang diberi nama ‘Boroe Tapanoeli’. Surat kabar ini diterbitkan oleh tokoh-tokoh perempuan muda di Padang Sidempuan. Surat kabar ini terbit pertama kali pada tanggal 10 Oktober 1940. Surat kabar ‘Boroe Tapanoeli’ terbit secara berkala, setiap 10 hari sekali (tanggal 10, 20 dan 30). Surat kabar ini dipimpin oleh Srikandi Padang Sidempuan bernama Awan Chatidjah Siregar, dengan anggota redaksi: Soemasari Rangkoeti, Roesni Daulaj, Dorom Harahap, Marie Oentoeng Harahap dan Halimah Loebis. Pada bagian administrasi tercantum nama Siti Sjachban Siregar, Lela Rangkoeti dan Intan Nasoetion.

Satidjah dan Boetet Chatidjah adalah dua perempuan beda generasi tetapi dengan semangat yang sama: emansipasi. Sejarah emansipasi di Padang Sidempuan sesungguhnya lebih awal dibandingkan di tempat lain. Generasi sebelum Boetet Satidjah sudah terdengar luas di Padang Sidempuan bahwa perempuan pribumi pertama yang memiliki pendidikan Eropa berasal dari Padang Sidempuan. Namanya Alimatoe Saadiah. Berita ini pertama kali terdengar ketika Alimatoe Saadiah yang masih sekolah di Sekolah Radja di Fort de Kock tahun 1900 dibawa ayahnya pulang kampong di Padang Sidempuan dari Padang. Alimatoe Saadiah sendiri, saat itu masih bersekolah di Sekolah Radja di Fort de Kock, Sebelumnya Alimatoe Saadiah adalah lulusan ELS (sekolah Eropa tujuh tahun) di Padang (perempuan pribumi pertama yang mendapat pelajaran dari kurikulum sekolah Eropa).

Alimatoe Saadiah adalah ‘boroe panggoaran’ dari Dja Endar Moeda: mantan guru, pengarang novel, pendiri sekolah swasta pertama di Padang, editor surat kabar Pertja Barat di Padang dan pemilik percetakan dan toko buku di Padang. Ayah Alimatoe Saadiah adalah orang paling terkenal di Padang sejak 1895. Pada tahun 1903 Alimatoe Saadiah br. Harahap menikah dengan Dr. Harun Al Rasjid Nasoetion di Padang. Setelah menikah pasangan baru ini pindah ke Sibolga dan kemudian menetap di Lampoeng. Putri mereka (cucu Dja Endar Moeda) disekolahkan ke ELS Tandjong Karang kemudian dilanjutkan ke Prins Hendrik School (afdeeling-B/IPA) di Batavia. Setelah lulus tahun 1922, putri mereka yang bernama Ida Loemongga melanjutkan studi kedokteran ke Belanda (hingga meraih gelar PhD tahun 1930). Dr. Ida Loemongga, PhD adalah perempuan pribumi pertama yang bergelar doktor (PhD).

Anak-anak sekolah negeri di Sipirok (tahun 1920an)
Inilah esensi emansipasi khas Padang Sidempuan: pendidikan dan pers. Tidak hanya untuk laki-laki juga untuk perempuan. Seperti pernah dikatakan Dja Endar Moeda bahwa pendidikan dan pers sama pentingnya. Sekali lagi: Inilah esensi emansipasi khas Padang Sidempuan. Seperti diketahui putra-putri dari Padang Sidempuan selalu lebih awal dari semuanya: Tidak hanya di bidang pendidikan juga di bidang pers..

Saleh Harahap gelar Dja Endar Moeda adalah editor pribumi pertama (1897) yang jauh lebih awal dari Tirto Adhi Soerjo (1903). Radjioen Harahap gelar Soetan Casajangan adalah mahasiswa gelombang pertama yang kuliah di Belanda (1905). Alimatoe Saadiah adalah perempuan pribumi pertama yang masuk sekolah Eropa. Jika mundur ke belakang lagi: Sati Nasoetion alias Willem Iskander adalah pribumi pertama yang studi ke negeri Belanda (1857). Sedikit mundur lagi: Dr. Asta dan Dr. Angan adalah siswa pertama dari luar Jawa yang diterima di Docter Djawa School (STOVIA) pada tahun 1854. Dr. Asta adalah ayah dari Mangaradja Salamboewe, editor Pertja Timor di Medan (1902). Abdul Hasan Nasoetion gelar Mangaradja Salamboewe adalah editor peribumi kedua setelah Dja Endar Moeda (dan sebelum Tirto Adji Soerjo).

Sekadar koreksi. Selama ini banyak yang keliru mempersepsikan makna dan praktek emansipasi. Di Tanah Batak sudah dejak jaman purba emansipasi dielaborasi ke dalam system social yang dikenal konsep ‘dalihan na tolu’: hati-hati terhadap kahanggi (semarga), mengayomi terhadap boru (marga yang mengambil boru) dan bersembah terjadap mora (marga pemberi boru). Dalam konteks sosial, di Tanah Batak perempuan harus ditinggikan tempatnya. Emasipasi di bidang pendidikan dan pers adalah produk ‘dalihan na tolu’. Studi tentang kedudukan wanita di Tanah Batak sudah dilakukan oleh Masdoelhak dalam desertasinya berjudul; ‘De plaats van de vrouw in de Bataksche Maatschappij’ (Tempat perempuan dalam masyarakat Batak).

Masdoelhak lulus ujian doktoral tahun 1943 dengan predikat cum laude di Universiteit Leiden (tempat dimana Dr. Ida Loemongga, PhD meraih gelar doktor tahun 1930). Setelah lulus, Masdoelhak pulang ke tanah air, Pada awal pembentukan NKRI, Masdoelhak diangkat menjadi Residen Sumatra Tengah yang berkedudukan di Bukit Tinggi. Setelah kehilanan ahli hukum RI, Amir Sjarifoedin Harahap, pemerintah RI di Jogjakarta meminta Masdoelhak ke Jogjakarta. Masdoelhak adalah penasehat hukum internasional dari Ir. Soekarno dan Drs. Mohamad Hatta di Jogjakarta. Pada saat serangan militer di Jogjakarta, yang pertama kali dicari dan ditangkap adalah Masdoelhak dan kemudian ditembak mati di Pakem (21 Desember 1948). Atas penembakan intelektual muda Indonesia ini Dewan Keamanan PBB di New York marah besar dan meminta Den Haag untuk melakukan penyelidikan segera (lihat De Heerenveensche koerier : onafhankelijk dagblad voor Midden-Zuid-Oost-Friesland en Noord-Overijssel, 01-02-1949). Masdoelhak Nasoetion gelar Soetan Oloan pada tahun 2008 mendapat gelar Pahlawan Nasional.

Masdoelhak adalah pribumi terakhir yang meraih gelar doktor sebelum perang (penduduk Jepang dan agresi militer Belanda). Masdoelhak adalah delapan orang Indonesia pertama yang terdeteksi (di surat kabar) peraih gelar doktor di Indonesia. Dari delapan orang itu terdapat empat orang asal Padang Sidempuan (satu diantaranya perempuan). Dua doktor lagi asal Padang Sidempuan adalah Alinoedin Siregar gelar Radja Enda Boemi (meraih PhD di Leiden, 1925), kelahiran Batang Toru, ahli hukum pertama orang Batak, kedua di Sumatra dan satu dari delapan dan menjadi satu-satunya ahli hukum bergelar doktor di Nederlandsch Indie. Doktor satu lagi adalah Todoeng Harahap gelar Soetan Goenoeng Moelia, kelahiran Padang Sidempoean meraih PhD di Leiden tahun 1933 yang kelak menjadi Menteri Pendidikan RI yang kedua. Merdeka!


*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber tempo doeloe. Riwayat masing-masing tokoh beerta sumbernya dapat dilihat dalam berbagai artikel di dalam blog ini.

Tidak ada komentar: