*Untuk melihat semua artikel Sejarah Padang Lawas dalam blog ini Klik Disini
Baca juga: Bag-3. SEJARAH ANGKOLA: Melayu Kuno, Jawa Kuno dan Batak Kuno; Candi Simangambat Lebih Tua daripada Candi Borobudur
Baca juga: Bag-3. SEJARAH ANGKOLA: Melayu Kuno, Jawa Kuno dan Batak Kuno; Candi Simangambat Lebih Tua daripada Candi Borobudur
Salah satu kompleks candi di Padang Lawas (1920) |
.
a. Dibangun
untuk kebutuhan keagamaan (Budha/Hindu): pemujaan atau pusat pengajaran.
b.
Bangunan
megah dijamannya, membangunnya membutuhkan keahlian khusus (arsitek).
c. Pada
era teknologi yang masih sederhana, untuk membangunnya dibutuhkan jumlah tenaga
kerja yang sangat banyak.
d. Membangunnya
haruslah ada yang memerintahkan dengan didukung pembiayaan yang sangat besar.
e.
Jumlah
candi sangat banyak, tersebar di berbagai tempat (bandar/kota) yang berjauhan tetapi
satu sama lain terhubung melalui moda transportasi sungai.
f. Sungai
utama (Baroemoen) ke hulu memiliki anak sungai yang dapat dilayari dan ke hilir
memiliki akses langsung ke laut. Muara sungai Baroemoen adalah kawasan lalu
lintas pelayaran internasional (east-west).
g. Semua
bandar/kota ini memiliki jalur ekonomi masing-masing ke daerah pedalaman dimana
terdapat sentra produksi seperti emas, benzoin, kamper, kemenyan dan casia.
h.
Terdapat
populasi kuda yang sangat banyak, kuda terbaik di Nusantara
i.
Ditemukan
bendungan raksasa di beberapa tempat sebagai sumber irigasi pertanian.
j. Sisa
lain kemajuan masa lalu terdapat populasi ternak besar yang sangat banyak
jumlahnya yang dimanfaatkan untuk produksi daging dan susu serta alat
pertanian.
k. Dan
seterusnya.
Karakteristik
yang didaftarkan beberapa aspek di atas, anglomerasi percandian di Padang Lawas
seakan menjelaskan langsung bahwa di kawasan Padang Lawas ini di masa lampau terdapat
suatu kerajaan besar yang menjadi pusat perdagangan utama di Tanah Batak. Dengan
dukungan produksi komoditi dunia yang diusahakan oleh penduduk Batak dari
seluruh penjuru angin, kawasan perdagangan ini besar kemungkinan adalah kawasan
ekonomi terluas di Nusantara. Bagaimana hal itu disimpulkan? Mari kita lacak!
Awal Perdagangan
Budha / Hindu di Sumatra (1030)
Menurut
NJ Krom dalam bukunya Hindoe-Javaansche Geschiedenis (1926) hanya tiga kompleks
candi di Sumatra yakni Palembang, Muara Takus (Riau) dan Panai (Padang Lawas). Tiga
daerah ini jauh mendahului dari semua tempat di Sumatra, seperti Lamuri di
Aceh, Malaka dan Pagaruyung. Dari spesimen makara yang terdapat di candi Padang
Lawas menurut Krom, tidak hanya lebih tua (dari candi Melayu di Muara Takus)
tetapi juga menunjukkan Panai (Padang Lawas) lebih makmur pada abad kesebelas.
Biaro Bahal di Padang Bolak (1920) |
Pelabuhan Panai
berkembang setelah era pelabuhan kuno, Baros memudar. Dengan kata lain
pusat-pusat perdagangan dari pantai barat Sumatra (di Baros dan Natal) telah
bergeser ke pantai timur Sumatra dimana Palembang dan Panai menjadi pelabuhan
penting. Meski demikian, keberadaan penduduk Batak dalam mengusahaan
produk-produk alamiah tetap sentral. Pelabuhan Panai (di hulu sungai
Baroemoen atau sungai Batang Pane) didukung oleh bandar-bandar kecil di hulu sungai Baroemoen, tempat
dimana pedagang-pedagang India melakukan transaksi dagang dengan penduduk dari
semua punjuru Tanah Batak.
Di
India selatan Radja Chola-I (memerintah 1012-1042) sangat iri melihat kemajuan perdagangan di Palembang
(yang didukung oleh Panai). Aliran produk-produk perdagangan dari Jawa dan
Sumatra (nusantara) mulai menyusut melalui barat (India) karena poros baru
perdagangan ke timur (Tiongkok). Saat itu, kerajaan terbesar di nusantara
adalah Sriwijaya. Setelah menaklukkan kerajaan-kerajaan di India sendiri (Ceilon, Orissa dan Bengalen) lalu Radja Chola mengirim ekspedisi militer untuk menaklukkan
Sriwijaya. Hasilnya, Sriwijaya dihancurkan dan para penduduknya melakukan eksodus
seperti ke Jambi dan Malaka.
Dalam
ekspedisi militer Chola ini, bandar Panai tidak dalam posisi untuk ditaklukkan.
Sebab, secara historis, Panai masih bertalian dengan Ceilon dan India Selatan. Dengan hancurnya Sriwijaya,
secara tidak langsung Panai menjadi ;terbebaskan; dari pengaruh Sriwijaya. Supremasi
Sriwijaya atas Panai yang lalu kemudian diikuti pengembangan aliansi Sriwijaya
dengan Tiongkok boleh jadi menjadi pangkal perkara mengapa Radja Chola marah
besar terhadap Sriwijaya.
Beringin raksasa di Padang Lawas (terbesar di nusantara, 1936) |
Untuk
mengoptimalkan sumber-sumber perdagangan Panai, para militer Chola mulai
memasuki pedalaman hulu sungai Baroemoen untuk mengembangkan bandar-bandar kecil
di tepi sungai tempat dimana orang-orang India sejak lama telah melakukan transaksi dagang
dengan penduduk Batak lalu menyatukannya menjadi suatu teritori (kawasan perdagangan) dengan ibukota
di sungai Panai (kini sungai Batang Pane). Penyatuan teritori bandar-bandar ini
besar kemungkinkan menjadi cikal bakal munculnya Kerajaan Aru. Lalu Kerajaan
Aru inilah yang besar kemungkinan mempelopori pembangunan sejumlah kompleks
candi Hindu di beberapa bandar (di hulu sungai Baroemoen)..
Makam raja di Siabu dekat Sibuhuan (lukisan le Clereq, 1846) |
Kerajaan
Aru boleh jadi merupakan kelanjutan kerajaan pertama orang-orang India selatan beragama Hindu di Sumatra.
Sebelum muncul koloni India selatan di pantai timur Sumatra, koloni India
selatan sudah eksis lebih dahulu di pantai barat Sumatra seperti di Baros. Sebagaimana
diketahui, tidak ada bukti peninggalan candi di Baros, maka besar kemungkinan
orang-orang India selatan belum sampai pada tahap pembangunan kerajaan. Sebaliknya,
koloni orang-orang India selatan di Baros dan sekitarnya justru melakukan
migrasi ke Aru atau Panai di Padang Lawas setelah mengetahui kemakmuran yang terjadi di Kerajaan
Aru.
Secara teoritis komunitas lokal (Batak) lebih dahulu eksis baru menyusul para pedagang (India Selatan) datang, tidak sebaliknya. Dengan kata lain ada dulu komoditi (produksi/konsumsi) baru perdagangan (ekonomi/trade) muncul. Juga secara teoritis ada dulu pra-kerajaan (Batak) sebelum terbentuk kerajaan yang lebih besar (India selatan). Para pedagang India selatan yang datang ke pedalaman tanah Batak hanyalah seglintir orang dibandingkan populasi Batak yang banyak. Namun para pedagang yang dibantu atau memiliki kekuatan militer lambat laun menguasai penduduk lokal (pra-kerajaan). Hal serupa ini juga yang terjadi dengan penduduk Melayu di Palembang, penduduk Jawa di Kediri dan Majapahit dan penduduk Sunda di Pakuan/Padjadjaran. Dalam konteks hubungan (perdagangan) internasional (Batak dan India) inilah baru populer nama-nama tempat dalam sistem navigasi kuno di pedalaman tanah batak seperti Portibi, Malea, Saeoemambe, Sangkilon, Pane/Panai. Semua nama ini secara linguistik berasal dari India selatan (Ceilon). Disamping itu juga eksis nama-nama lokal seperti Sihapas dan (batang) Onang. Penulis-penulis Portugis menyebut wilayah ini dengan nama Terra Daroe (terra d'Aroe). Terra sama dengan tanah atau wilayah; aroe sma dengan sungai; dengan demikian Terra Daroe atau Terra d'Aroe sama dengan Tanah/Wilayah yang memiliki sungai-sungai yang tentu saja adalah Tanah Batak (penghasil komoditi kuno kemenyan dan kamper) itu sendiri. Saat itu, hanya satu wilayah di dunia (portibi) sebagai penghasil kemenyan dan kamper. .Bukti bahwa Kerajaan Panai/Aru ini sangat makmur dan berjaya di jamannya (sudah menggantikan posisi kejayaan Sriwijaya di nusantara) adalah begitu banyaknya candi-candi yang tersebar di dalam satu kawasan ekonomi sungai (aru) yang sangat luas di hulu sungai Baroemoen, suatu komplek percandian yang terluas di nusantara. Nama Padang Lawas baru muncul di era Belanda. Dalam fase ini, penduduk Padang Lawas (Panai/Aru) tidak hanya pusat (ekonomi) dunia (Portibi/Pritivi) juga penduduknya berhasil mengembangkan dasar sistem pengetahuan dalam wujud aksara Batak. Sebagaimana diketahui bahwa Uli Kozok (2009) telah membuktikan bahwa aksara Batak bermula di Tanah Batak selatan (Terra Daru atau Terra d'Aru). Oleh karena pusat (ekonomi/perdagangan) dunia di Panai/Aru terhubung dengan semua tempat-tempat pusat komoditi di Tanah Batak, maka difusi aksara Batak ini menyebar (melalui pedagang-pedagang pengumpul) ke seluruh penjuru Tanah Batak (Silindoeng, Toba, Karo, Pakpak/Dairi, Alas/Gayo).
Suatu interpretasi bisa dikembangkan berdasarkan fakta-fakta (prasasti Tanjore) bahwa Panai dan Aru adalah dua nama untuk menunjukkan tempat yang sama dalam dua periode (masa) yang berbeda. Secara teknis, Panai adalah nama daerah sejak jaman kuno di Ceilon. Orang-orang Ceilon yang melakukan koloni di Panai yang besar kemungkinan menganut Budha. Candi-candi yang dibangun di Padang Lawas boleh jadi sebagai umurnya jauh lebih tua daripada yang dilaporkan dan usianya bisa sejaman dengan Jawa Kuno (candi Brobodur/Budha) dan Kerajaan Sriwijaya/Budha. Sebagaimana diketahui bahwa Kerajaan Chola (Hindu) telah menaklukkan Ceilon (Budha), maka candi-candi yang ada di Padang Lawas sebagian dari vihara (biaro) Budha telah dialihfungsikan menjadi candi/vihara Hindu. Dalam pergeseran dominasi di Panai (Padang Lawas) dari Budha ke Hindu (pasca Chola) diduga munculnya Kerajaan Aru (Hindu). Istilah aru sendiri di Ceilon adalah sungai. Penamaan Kerajaan Aru/Hindu (suksesi Kerajaan Panai/Budha) adalah untuk menghilangkan kesan Budha ketika Hindu telah mendominasi. Penamaan kerajaan ini dengan nama Aru yang juga aru sama dengan sungai lebih mewakili untuk menyebutkan Kerajaan Aru adalah kerajaan dari kumpulan bandar-bandar yang terhubung satu sama lain dengan sungai. Dengan kata lain kerajaan aru adalah kerajaan sungai-sungai (sungai Barumun, sungai Panai, sungai Sirumambe, sungai Sangkilon dan sungai-sungai lainnya). Dalam peta-peta lama, nama sungai Barumun belum muncul ketika nama sungai Panai sudah sejak lama eksis. Dalam peta-peta pasca Portugis, sungai Barumun disebut sebagai river Baroemoen of Paneh (sungai Baroemoen atau Paneh). Dalam hal ini terminologi barumun diduga muncul dari asal kata 'aru' dalam terminologi baru yakni b'aru'mun atau b'aroe'moen.
Perlu disadari, dan juga kurang disadari oleh peneliti, secara historis penduduk Batak di hulu sungai Baroemoen (Angkola/Mandailing) tidak terhubung dengan penduduk lain bahkan dengan penduduk terdekat yang berbahasa Melayu. Seperti dikatakan TJ Willer (1846) memiliki sistem bahasa sendiri. Kata 'eme' (padi/beras) sebagai makanan pokok sudah eksis sejak adanya bahasa Batak. Bahasa Batak sendiri (terutama Angkola/Mandailing) tidak mengenal huruf F dan Q (dari bahasa asing) dan juga huruf V, W, X, Y dan Z. Oleh karenanya bahasa Batak Angkola/Mandailing tidak memiliki (kosa) kata yang dimulai dari huruf-huruf tersebut (lihat HJ Eggink, 1936). Dalam kamus Batak kuno, laman atau entri kata hanya sampai huruf T (minus F dan Q). Untuk huruf U ada di laman/entri O sebagai OE (sejaan lama Belanda van Ophuijsen). Sedangkan kata-kata yang berawalan W dan Y merupakan kata-kata serapan baru dari bahasa asing. Bahkan kata-kata yang dimulai dari huruf W dan Y di dalam bahasa Sankrit (Sanskerta dari India) tidak terdapat dalam kamus bahasa Batak kuno (dan kamus masa kini?). Boleh jadi hal ini mengapa Chola dilafalkan dengan Angkola.
Pengaruh Agama Islam di Bandar-Bandar Penting di Sumatra
Pengaruh Agama Islam di Bandar-Bandar Penting di Sumatra
Setelah
Kerajaan Sriwijaya hancur (oleh ekspedisi militer Chola), satu-satunya kerajaan
yang terbilang sangat besar di nusantara adalah Kerjaaan Aru. Kemakmuran di
Kerajaan Aru ini oleh orang-orang India cukup lama sebelum datangnya
pedagang-pedagang Moor di bandar-bandar penting di Sumatra bagian utara yang
kemudian menggantikan dominasi pedagang-pedagang Arab/Persia di pantai barat
Sumatra seperti Baros. Pedagang-pedagang Moor ini mula-mula mengembangkan
perdagangannya di Aceh yang menjadi cikal bakal lahirnya Pasai, Lamuri, Pedir
dan Perlak.
Menurut NJ Krom,
ada perbedaan substansial antara koloni Budha/Hindu di Jawa dengan di Sumatra.
Koloni Budha/Hindu di Jawa merupakan koloni pertanian (seperti di Mataram
kuno). Sedangkan koloni di Sumatra lebih diwarnai kehidupan perdagangan
sebagaimana Sriwijaya Palembang di DAS Musi dan Panai/Aru di DAS Baroemoen.
Salah satu wujud dari perbedaan pembangunan candi di Jawa adalah membangun
candi dalam ukuran besar besar seperti candi Borobudur dan candi Prambanan
sebagai manifestasi tujuan setiap orang yang menganut agama Budha/HIndu.
Sedangkan di Sumatra cenderung kecil-kecil tetapi sangat menyebar (terutama di
DAS Baroemoen) sebagai manifestasi perintah dari pada pemimpin untuk
memfasilitasi keburuhan penduduknya dalam beragama.
Tumbuhnya
pusat-pusat perdagangan baru di Aceh merupakan suatu rangkaian dengan semakin
menguatnya pelabuhan-pelabuhan penting di India barat yang didominasi oleh
pedagang-pedagang Islam seperti Gujarat. Orang-orang Moor yang telah berada di
Aceh pada dasarnya mengembangkan perdagangannya dengan penduduk Batak di
Gayo/Alas dan juga mulai melirik perdagangan orang-orang Batak di koloni-koloni
India di DAS Baroemoen.
Pelan
tetapi pasti, arus perdagangan dari Tanah Batak dikuasai oleh orang-orang Moor.
Produk-produk dari DAS Baroemoen akhirnya jatuh ke tangan orang-orang Moor.
Oleh karena arus perdagangan yang dimainkan oleh orang-orang Moor ini tetap
melalui jalur perdagangan barat (India), maka situasi yang dihadapi tidak
mengalami resistensi (sebagaimana Radja Chola melihat Sriwijaya membangun
aliansi ke timur di Tiongkok). Dengan kata lain, Islam dan Hindu masih bisa
berjalan secara bersama-sama.
Lambat-laun
penetrasi pedagang-pedagang Islam dari Moor ini memasuki DAS Baroemoen.
Pedagang-pedagang Moor ternyata tidak hanya berdagang tetapi juga menyebarkan ajaran
agama Islam terhadap penduduk lokal. Pengaruh Hindu lambat laun mulai menyusut
dan digantikan oleh pengaruh Islam. Lalu kemudian Kerajaan (Hindu) Aru digantikan
dengan munculnya Kesultanan (Islam) Aru. Kesultanan Aru boleh jadi merupakan
kerajaan Islam pertama di Nusantara. Pada saat itu bandar-bandar Islam di Aceh belum
terbentuk sebagai suatu kerajaan.
Laporan Ekspedisi Pamalayu Majapahit (1336 dan 1365)
Pada
puncak kejayaannya, Kesultanan Aru membawahi Siak dan Malaka. Pada fase ini
hikayat Laksamana Hang Tuah muncul, sebagai tokoh penting. Sebagian peneliti
menganggap Laksamana Hang Tuah, panglima Siak dan sebagian yang lain panglima
Aru. Sebagian peneliti menganggap Laksamana Hang Tuah, panglima Siak dan
sebagian yang lain panglima Aru.
Di
Jawa Kerajaan Majapahit tengah maju-majunya. Akan tetapi, Raja Hayam Wuruk
mulai khawatir dengan keberadaan Hindu di Jawa. Sebab dominasi Hindu di
Baroemoen telah digantikan oleh Islam. Dalam kaitan ini, Panglima Gajah Mada
bersumpah yang dikenal sebagai sumpah Palapa (lihat Pararaton, 1336).
Asal mula
kemarahan Gajah Mada (dari Majapahit) adalah bermula ketika Laksamana Hang Tuah
pernah mengomentari Malaka sebagai Melayu bajingan yang memiliki elemen Jawa
dari Madjapahit. Atas dasar itu Gajah Mada bersumpah untuk menaklukkan
(kerajaan-kerajaan kecil) seperti dicatat dalam buku Negarakertagama: Gurun
(Nusa Penida, Bali), Seram, Tanjung Pura (Kalimantan), Haru, Pahang, Dompo,
Bali, Sunda, Palembang dan Tumasik (Singapore) dan akan menyatukannya.
Gajah
Mada tidak (dan tentu saja tidak) menyebut Kerajaan (besar) Aru, karena justru
motif penaklukan dan penyatuan ini adalah untuk menghancurkan Kerajaan Aru
dimana seterunya Laksamana Hang Tuah berada (secara teoritis, hanya panglima
dari kerajaan yang lemah yang bersumpah untuk mengumpulkan kekuatan untuk
melawan laksamana dari kerajaan yang kuat; sementara Hang Tuah yang mewakili
Melayu coba menghina Malaka yang telah tercampur dengan elemen Jawa ingin
menunjukkan dirinya sebagai Melayu tulen yang disisi lain membuat Gajah Mada
tersinggung).
Mengapa
poros Kerajaan Madjapahit: Jawa, Palembang, Semenanjung plus Haru? Hipotesis MO
Parlindungan dalam bukunya Tuanko Rao mungkin jawabnya. Perkembangan Islam
Sumatra menjadi sinyal bagi Majapahit terhadap kelansungan masa depannya.
Majapahit dalam ekspedisi Pamalayu di satu sisi ingin menaklukkan
kerajaan-kerajaan kecil dan menyatukannya untuk memperkuat pengaruh
Hindu/Djawa, sementara di sisi lain menghancurkan kesultanan-kesultanan Islam.
Benar Pamalayu Expedition untuk menyatukan nusantara dalam konteks Hindu dan
melenyapkan Islam dari nusantara.
Untuk
melancarkan tujuan tersebut dapat dimaklumi mengapa poros Hindu memasukkan Haru
sebagai bagiannya. Sebab, Haru adalah kesultanan paling lemah dan dengan
mengokupasi Haru maka pengaruh Hindu ingin memisahkan dua pengaruh kesultanan
Islam yang kuat, yakni Kesultanan Aru di Barumun dan Kesultanan Samudra/Pasai
di Pasai. Inilah inti dari poros Jawa, Palembang dan Semenanjung plus Haru.
Menurut
'buku' Negarakertagama karangan Mpoe Prapantja (1365), disebutkan tiga tempat
utama di pantai timur Sumatra yang ditaklukkan oleh Kerajaan Madjapahit dibawah pimpinan Gadja Mada
adalah Panai, Haru dan Kampei. Dari catatan ini tidak terdapat Kerajaan Aru
yang ditaklukkan. Panai adalah pelabuhan Kerajaan Aru. Menurut versi MO
Parlindungan, Haru juga ditaklukkan malahan ekspedisi Gajah Mada justru
mengalami kekalahan dan harus pulang kandang. Oleh karenanya, Kesultanan Aru
tetap eksis.
Ekspedisi
Tiongkok Pimpinan Cheng Ho (1405-1433)
Dalam
situasi status quo di nusantara, Kerajaan Aru tetap tegak berdiri. Pada fase
ini dilaporkan ada ekspedisi Tiongkok ke negeri-negeri di Samudera Barat
dibawah pimpinan Laksamana Cheng Ho. Eskpedisi ini jauh dari motif penaklukan,
melainkan untuk tujuan hubungan politik internasional Tiongkok. Ekspedisi Cheng
Ho ini sendiri dilakukan tujuh kali antara tahun 1405-1433) yang meliputi 20
tempat penting. Dalam laporan Ma Huan yang mengikuti ekspedisi Cheng Ho berjudul
Ying Ya Sheng Lan (ditulis 1451) disebutkan bahwa Kesultanan Aru dan Kesultanan
Lamuri (cikal bakal Kesultanan Aceh), raja dan semua penduduknya beragama
Islam.
Pulau Rantau, muara s.Barumun |
Labuhan Bilik, fresh water estuary, muara S. Baroemoen (kanan, P. Rantau), 1921 |
Laporan-laporan Portugis: Pires, Barbosa dan Pinto (1512-1539)
Pelaut
Portugis sudah mendarat di Malacca tahun 1508 dan menguasainya tahun 1511. Tome
Pires (1512-1515) pernah mengunjungi Malacca. Pires mendeskripsikan Sumatra
berdasarkan informasi yang dikumpulkan di Malacca, dimana Daru tertukar dengan
Baros atau de Aru (Daru adalah ucapan untuk 'de Aru'). Nama-nama ini mengindikasikan
nama-nama yang berada di daerah teritori penduduk Batak. Beberapa bandar
penting yang didaftar Tome Pires adalah Pedir, Aeilabu, Lide, Pirada dan Pacee.
Dari tiga pelabuhan penting ini hanya Aeilabu (Aek Labu atau Lobu Toea? nama
lain Baros) yang sangat dekat dengan teritori penduduk Batak, Meski disebut
nama Aru, tetapi di dalam laporan Pires tidak menonjol.
Peta 1619 (buatan Portugis) |
Nama
Aru baru menonjol dalam laporan Barbosa. Ekspedisi Barbosa dilakukan setelah
Tome Pires. Barbosa menyebut hanya tujuh bandar penting, yakni: Pedir, Pansem,
Achem, Compar (Kampar), Andiagao (Indragiri), Macaboo (Minangkabau) dan Ara
(Aru). Barbosa melakukan ekspedisi pada tahun 1518. Barbosa tampaknya
mengoreksi hasil identifikasi Tome Pires.
Menumbuk beras di Portibie (1890) |
Menurut
Barbosa/Tome Pires, Kerajaan Aru adalah kerajaan yang sangat besar, melebihi
yang lain di Sumatra. Kerajaan Aru ini beribukota di pedalaman di tempat dimana
ditemukan banyak sungai (boleh jadi sungai-sungai itu sungai Batang Pane, aek
Sirumambe, Aek Sangkilon, aek Batang Onang atau Aek Sihapas). Kerajaan ini
sangat kuat tidak bisa dipenetrasi dikelilingi oleh pegunungan dan jaraknya
ratusan mil dari laut. Radjanya adalah seorang Moor. Kerajaan ini memiliki
banyak (orang) Mandarin yang disisi luar (selat Malaka) kerap melakukan
perampokan dan ancaman di selat. Kerajaan Malaka selalu waspada kepada Kerajaan
Aru, karena dimasa lalu Kerajaan Aru pernah menyerang Malaka.
Penyelidik
Portugis lainnya adalah Duante Pinto yang tiba di Malaca tahun 1539. Dalam
laporan Pinto Pinto ini disebut Kerajaan Aru beribukota di Panaju. Saat Pinto di
Malaca datang utusan raja Kerajaan Aru ke Malaca untuk mengajak berkolaborasi
untuk menyerang Atjeh. Utusan ini bernama Aquareng Daholay (marga Daulay?) ipar
dari Raja Batak (marga Harahap?) menyebutkan banyak tersimpan di gudang-gudang
hasil dari tanahnya seperti emas, lada, kamper, gaharu dan benzoin. Daholay
sangat dendam ke Atjeh karena telah merenggut tiga anaknya di desa Jacur dan
Lingau (Simaloengoen?). Dialek bahasa Batak Simaloengen dan Batak Padang Bolak
sangat mirip. Pero de Faria (dan Pinto) diundang ke Panaju pada hari kelima bulan kedelapan.
Nakur adalah salah satu tempat yang disinggahi oleh ekspedisi Cheng Ho.
Pinto
berangkat dari Malaka dan tiba di sebuah pelabuhan selepas pantai wilayah
Kerajaan Aru bernama Surotilao (pulau Rantau?) di pertemuan laut di pedalaman
dengan sungai yang disebut Hacanduri (sungai Bila?) dan kemudian berlayar
sepanjang sungai lima hari hingga tiba di pertemuan sungai Baroemoen dan sungai
Batang Pane lalu kemudian berlayar hingga ke Panaju (ibukota kerajaan Batak).
Kerajaan ini disebut Pinto memiliki pasukan dengan kekuatan 15.000 orang, yang
mana sebanyak 8.000 orang Batak dan selebihnya adalah orang-orang dari
Menangkabau, Luzon, Indragiri, Jambi dan Borneo.
Pasukan
Aru ini juga memiliki 40 gajah dan 12 meriam. Pasukan cadangan ada di dataran
tinggi yang disebut Minacalao (Minangkabau?). Selama Pinto berada di Panaju
ditemani oleh seorang Moor, dan Pinto sempat melihat ada sebanyak 63 kapal yang
tengah bersandar di bandar Panecao. Gambaran kekuatan Kesultanan Aru yang
disebut Pinto ini seakan mengatakan bahwa Kerajaan Aru memiliki poros Sumatra,
Kalimantan, Philipina, Tiongkok (bandingkan dengan poros Majapahit: Jawa,
Palembang dan Semenanjung plus Haru).
Peta 1818 (buatan Belanda) |
Rupanya
laporan Pinto ini yang menyebabkan Kesultanan Aru diambang kehancuran. Untuk
membangun kekuasaan Portugis mulai melakukan aneksasi terhadap tempat-tempat
penting di Nusantara termasuk menyerang Kesultanan Aru. Sejak dikalahkan
Portugis, Kesultanan Aru mulai melemah tetapi secara internasional namanya masih
tercatat hingga kedatangan pelaut-pelaut Belanda.
Laporan Belanda: Kedatangan Cornelis de Hotman (1595-1597)
Hampir
satu abad Portugis mendahului pelaut-pelaut Belanda. Kedatangan pelaut-pelaut
Belanda dapat di baca dalam buku jurnal Belanda tahun 1598 berjudul: ‘Journael
vande reyse der Hollandtsche schepen ghedaen in Oost Indien, haer coersen,
strecking hen ende vreemde avontueren die haer bejegent zijn, seer vlijtich van
tijt tot tijt aengeteeckent, ...’. Jurnal ini sepenuhnya berisi catatan hari
demi hari tentang ekspedisi yang dilakukan oleh Cornelis de Houtman yang
dimulai pada tanggal 2 April 1595 dengan total 249 orang. Di dalam jurnal ini
juga berisi beberapa peta termasuk peta pulau Sumatra dimana dalam peta ini
nama Ilhas (pulau) dan Terra (tanah) Daru sudah teridentifikasi. Sebagaimana
diketahui, Cornelis de Houtman adalah pimpinan ekspedisi pertama Belanda yang
berhasil memasuki nusantara.
Sebagaimana
diketahui, kemudian muncul VOC tahun 1602 yang berkantor di Banten, lalu pindah
ke Ambon, kemudian Sulawesi Selatan, lalu ke Banten lagi dan akhirnya menetap
di Batavia tahun 1619. Sebelumnya, pada tahun 1614 buku kono paling lengkap
tentang identifikasi nama-nama tempat di dunia adalah berjudul ‘Itinerarivm,
ofte schipvaert naer Oost ofte Portugaels Indien’ yang terbit di Amsterdam
tahun 1614. Buku berbahasa Belanda ini masih dicetak dengan huruf gothiek. Oleh
karena itu buku ‘Itinerarivm, ofte schipvaert naer Oost ofte Portugaels Indien’
sudah beredar luas sebelum Belanda di Batavia memulai babak baru penguasaan
nusantara. Nama Aru (Terra d'Arruen) tercatat dalam buku dunia ini.
Laporan Pedagang Tionghoa tentang Panai dan Angkola di Batavia (1701)
Setelah
Pinto mengunjungi Kesultanan Aru di hulu sungai Bareomoen tahun 1539, dan
penaklukan Portugis (Malaka) terhadap Kesultanan Aru tidak ada lagi ekspedisi
yang dilakukan ke Tanah Batak. Apa yang terjadi sesudahnya tidak diketahui
hingga munculnya laporan seorang pedagang Tionghoa yang pernah mengunjungi
Tanah Batak 1701. Dari laporan yang disampaikan di Batavia ini terindikasi bahwa Tanah Batak sangat-sangat
aman dan penduduknya sangat beradab.
Rute
perjalanan Tionghoa ini juga sekaligus mengungkapkan bahwa antara pantai timur
dan pantai barat Sumatra (coast to coast) sudah sejak lama terhubung (Baros-Panai?). Soal nama
Pane juga dilaporkan oleh pedagang Tionghoa tersebut yang mana pedagang ini
mondar-mandir berdagang di Angkola dimana terdapat nama kota Pande (laporan ini
dirilis oleh Perret, yang mana Pande disebutnya mirip Pane).
Rute Tionghoa
ini tampaknya adalah rute yang dahulunya merupakan rute orang-orang India dari
Baros ke Aru (dan sebaliknya). Kedekatan hubungan Baros dan Aru ini agak
menyulitkan peneliti-peneliti Portugis membedakan secara tegas Baros dan Aru
yang di dalam tulisan Pires dan Pinto kerap tertukar (saling menggantikan)
antara Baros, Bata dan Aru. Hal itu dapat dimaklumi karena poros perdagangan
Baros dan Aru berada di dalam teritori penduduk Batak.
Ekspedisi Miller
dan Laporan Marsden (1773 dan 1811)
Seorang
botanis Inggris bernama Miller pernah berkunjung ke Angkola pada tahun 1773.
Charles Miller melakukan ekspedisi dari teluk Tapanoeli via Angkola menuju
Batang Onang (salah satu bandar di hulu sungai Baroemoen di jantung Kerajaan
Aru di Padang Bolak). Laporan-laporan Miller ini menjadi bahan penting bagi
William Marsden dalam bukunya The History of Sumatra (edisi 1811).
Marsden
menggarisbawahi bahwa penduduk Batak telah mampu menciptakan senjata dan
membuat mesiu (dari unsur belerang), setiap pria mengendarai kuda dan yang
paling mereka (Miller dan Marsden) tidak diduga bahwa penduduk pedalaman
Angkola ini lebih dari separuh bisa baca tulis (dalam aksara Batak), suatu
angka literasi yang tinggi dan tidak pernah ditemukan di semua bangsa-bangsa di
Eropa. Boleh jadi ini suatu sisa-sisa Kerajaan Aru sebagai suatu kerajaan besar yang pernah
unggul dan kerajaan yang sangat maju dalam militer maupun dalam pengembangan
ilmu pengetahuan.
Laporan Willer
dan Jung Huhn (1846)
Belanda
memasuki Tanah Batak dimulai pada tahun 1833 melalui Natal dalam rangka melndungi
penduduk terhadap terror yang dilakukan oleh padri. Setelah Belanda yang
didukung penduduk Mandailing dan Angkola berhasil melumpuhkan pasukan padri di
Benteng Bonjol (1837) dalam perang Bonjol, lalu pasukan Belanda yang didukung
oleh penduduk Mandailing, Angkola dan Padang Lawas melakukan pengejaran
terhadap pasukan padri hingga ke Portibie (perang Portibi) dan pada tahun 1838 Angkola
dan Padang Lawas berhasil diamankan.
Pada
tahun 1841 dibentuk Afdeling Mandheling en Ankola serta afdeeling Pertibie.
Pemerintah colonial Belanda menempatkan Willer sebagai Asisten Residen di Mandheling
en Ankola, sedangkan Jung Huhn ditempatkan di afdeeling Pertibie sebagai
pengawas. Dalam tugas awal pemerintahan ini, Willer bertugas sebagai penyelidik
social kemasyarakatan dan Jung Hunh sebagai penyelidik geografi. Laporan kedua
pejabat ini dapat dibaca dalam laporan yang mereka terbitkan.
Candi Padang Lawas (1923) |
Napak Tilas di Teritori
Kesultanan Aru: Portibi-Bila (1855)
Dalam
laporan Willer (1846) disebutkan lanskap Padang Lawas (menggantikan nama Pertibie)
terdiri dari enam onderafdeeling, yakni:
Padang Lawas, Dollok, Baroemoen, Tamboeseij, Paneh dan Biela. Total sebanyak 120
kampung dengan 4.620 keluarga. Dengan asumsi satu keluarga memiliki enam
anggota, maka jumlah populasi diperkirakan bisa mencapai maksimum 28.000 jiwa. Onderafdeeling
Padang Lawas sendiri terdiri dari empat distrik, yaitu: Batang Onang, Pertibie,
Batang Paneh dan Kotta Pinang. Keempat distrik ini terdiri dari 23 kampung yang
dihuni oleh 805 keluarga.
Dalam
buku berjudul ‘Bijdragen tot de taal-, land-en volkenkunde van
Nederlandsch-Indie’ tahun 1855, penerbit Nijhoff
terdapat satu bab tentang sebuah laporan ekspedisi penelitian geologi ke
Ankola dan Padang Lawas. Ekspedisi ini dimulai dari Sibolga melalui jalur Lumut, kemudian Batangtoru, Huraba Panabasan,
Sisoendoeng hingga akhirnya sampai ke Pijor Koling. Di dalam benteng Pijor
Koling, tim ekspedisi ini bertemu hanya dengan seorang sersan berbangsa Belanda
bernama Scheeren dengan anak buah
sebanyak dua puluh tentara Jawa.
Di desa Pijor
Koling sendiri terdapat 40 buah rumah kecil yang terbuat dari bambu yang
konstruksi berbentuk rumah panggung. Sejumlah ternak berkeliaran di halaman,
para wanita tampak menenun kain berwarna warni dan menggunakan manik-manik,
para pria bertani padi dan jagung untuk kebutuhan sendiri (subsisten). Hanya beberapa
pria yang bisa berbahasa Melayu sedikit-sedikit. Kami mendapat informasi
sekadarnya dari mereka..
Kami
melanjutkan perjalanan ke Padang lawas. Jalan dari Pitjar Kolling yang kami
lalui berjalan secara soliter (ala Indian). Pertama kami menyeberang sungai
besar Batang Angkolah yang lebarnya 100 kaki. Lalu kami berjalan melalui
wilayah pegunungan, lereng gunung dan terus naik di bagian belakang pegunungan
yang luas, kadang-kadang, terutama oleh hutan yang tinggi, di atas bukit
Simardona (suhu 21 C). Di puncak bukit Simardona kami bisa melihat ke barat
merupakan lembah Pitjar Kollin, ke timur merupakan wilayah yang luas. Titik
tertinggi Bukit Simardona terletak 520 meter di atas laut.
Selanjutnya
kami turun melalui hutan, rumput tinggi, lalu kami sampai ke sungai Batang
Anang, yang mana sumber airnya dari Simardona Mountains yang kemudian tercurah
sekitar dua jam ke lembah yang luas di mana terdapat sungai yang lebih besar
sungai Batang Siapas yang di bagian selatan lembah luas dengan ketinggian
tempat 198 meter di atas laut. Sungai Siapas bersumber dari pegunungan di
Sipirok dan Loeboeraja. Ini mengalir deras kemudian melalui lembah luas hingga
berakhir di selatan pasca Goenong Tuah. Di sini dia membelok lebih ke timur,
antara pegunungan Sioengam dan bukit Sipapal. Dekat Goenong Tuah sungai ini
bersatu dengan Batang Anang yang hulu di bukit Simardona. Di bagian belakang
atau sisi timur pegunungan sumber terakhir dari sungai besar Batang Boeroemon,
yang mengalir ke laut di Selat Malaka.
Pertemuan
sungai Batang Paneh dan Batang Baroemoen terletak pada jarak hanya sekitar satu
setengah jam dari Pertibi. Dari sana, seorang pria bisa berlayar dalam enam hari
sampai kampung Bila, tidak jauh dari pantai laut dan dengan perahu di Boeroemon
bisa mencapai tujuh hari ke Bila. Nama-nama desa kini di sepanjang pantai yang
memberi kita jauh berbeda dengan yang dapat ditemukan terdaftar di peta
terbaru.
Saat
matahari terbit perjalanan kami mulai sesuai dengan informasi yang diberikan
kepada kami, pada siang hari di kampung Koerita dan saat malam kampung
Simangabat. Hari kedua akan, setelah beberapa jam berada ancaman ke mulut
besar, di sisi kiri yang Boeroemon jatuh sungai, yang disebut Singa Kanan, dan
menjelang malam pada saat sepi Kampong Padang Matingi.
Pada
hari ketiga yang memenuhi Geene dusun. Satu semalam untuk Pasir Andjangan dan
melewati bahwa hari pertama pelebaran luar biasa sungai, yang dikenal dengan
nama Loeboe Dalam. Hari keempat biasanya berlayar ke Kota Pinang; tetapi kita
juga dapat mencapai kampung Sisamoet sebelum matahari terbenam, seperti
berbohong sebelumnya di tepi kiri. Hari kelima (selalu pagi 06:00 ekspedisi
awal) satu tiba di malam ke kampung Paneh, di mana satu, seperti biasa, malam
tetap, dan hari keenam akhirnya kami tiba di kampung Bila, yang serikat sungai
nama itu dengan Boeroemon berada.
Youtube Candi di Kab. Padang Lawas Utara Bag. I
Bersambung:
Bag-3. Sejarah PADANG LAWAS: Pembentukan Pemerintahan di Padang Lawas (dalam proses)
*Dikompilasi
oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan
sumber-sumber tempo doeloe.
1 komentar:
Fakta selalu menarik untuk di baca...
Kerajaan aru hindu/budha digantikan kesultanan aru islam, membuat komplek candi2 ditinggalkan tidak terawat, keberadaan aru sangat menarik untuk dibaca karena hilang tidak berbekas, tidak ada kenangan yg di tinggal, hanya komplek candi2 kecil kebudayaan hindu/budha, di sebut budaya islam sudah masuk tapi tidak ada bukti kenangan kemajuan peradapan islam yg ditinggalkan hanya perang paderi yg menghapus segala yg ada. Setiap kerajaan selalu ada rajanya tapi raja aru tidak diketahui sampai sekarang sebuah nama yg pernah berkuasa. Atau memang tidak pernah ada seorang raja karena raja2 sudah ada setiap luat, yg ada hanya seorang pemersatu atau panutan..? Yang logika sederhana saya menyebutkan hubungan dan ikatan keluarga yg begitu solid dari suku batak membuatnya tampak seperti gambaran kerajaan dalam penafsiran orang luar, seperti suku indian di amerika, baduy di arab atau tar-tar di mongol, mengalami interaksi dengan bangsa penguasa lain tapi bukan berarti menguasai secara penuh. Kecuali setelah masuknya bangsa eropah yg mana mereka seperti gerombolan serigala yg sedang memakan dunia, menghabiskan yg ada tidak tersisa sedikitpun.
Mambaca sejarah batak najolo dohot sannari, namundur do uida batak nita on bang...! haha..
Posting Komentar