Sabtu, Februari 13, 2016

Bag-2. Sejarah PADANG LAWAS: Kompleks Percandian Padang Bolak, Pusat Perdagangan Utama di Tanah Batak, Kawasan Ekonomi Terluas di Nusantara



Salah satu kompleks candi di Padang Lawas (1920)
Untuk memahami serupa apa kawasan Padang Bolak (kini Padang Lawas) di masa doeloe, dapat dimulai dari keberadaan candi. Selama ini, uraian suatu komplek percandian, hanya difokuskan dan terbatas pada upaya mengusut asal-usul keagamaan. Jarang yang memperhatikan tentang keberadaa penduduk lokal di sekitarnya. Nyaris semua menggunakan pandangan dari luar (barat: India dan Eropa) dan kurang menonjolkan dari sisi lain (timur atau lokal). Soal keberadaan percandian di Padang Lawas adalah suatu hal yang khusus yang boleh jadi seumur dengan keberadaan Barus. Sebagai titik tolak dari artikel ini: interpretasi masa kini terhadap keberadaan candi ini di masa lampau dapat mengindikasikan perihal berikut:
.
a.      Dibangun untuk kebutuhan keagamaan (Budha/Hindu): pemujaan atau pusat pengajaran.
b.      Bangunan megah dijamannya, membangunnya membutuhkan keahlian khusus (arsitek).
c.    Pada era teknologi yang masih sederhana, untuk membangunnya dibutuhkan jumlah tenaga kerja yang sangat banyak.
d.     Membangunnya haruslah ada yang memerintahkan dengan didukung pembiayaan yang sangat besar.
e.      Jumlah candi sangat banyak, tersebar di berbagai tempat (bandar/kota) yang berjauhan tetapi satu sama lain terhubung melalui moda transportasi sungai.
f.    Sungai utama (Baroemoen) ke hulu memiliki anak sungai yang dapat dilayari dan ke hilir memiliki akses langsung ke laut. Muara sungai Baroemoen adalah kawasan lalu lintas pelayaran internasional (east-west).
g.    Semua bandar/kota ini memiliki jalur ekonomi masing-masing ke daerah pedalaman dimana terdapat sentra produksi seperti emas, benzoin, kamper, kemenyan dan casia.
h.      Terdapat populasi kuda yang sangat banyak, kuda terbaik di Nusantara
i.        Ditemukan bendungan raksasa di beberapa tempat sebagai sumber irigasi pertanian.
j.    Sisa lain kemajuan masa lalu terdapat populasi ternak besar yang sangat banyak jumlahnya yang dimanfaatkan untuk produksi daging dan susu serta alat pertanian.
k.     Dan seterusnya.

Karakteristik yang didaftarkan beberapa aspek di atas, anglomerasi percandian di Padang Lawas seakan menjelaskan langsung bahwa di kawasan Padang Lawas ini di masa lampau terdapat suatu kerajaan besar yang menjadi pusat perdagangan utama di Tanah Batak. Dengan dukungan produksi komoditi dunia yang diusahakan oleh penduduk Batak dari seluruh penjuru angin, kawasan perdagangan ini besar kemungkinan adalah kawasan ekonomi terluas di Nusantara. Bagaimana hal itu disimpulkan? Mari kita lacak!

Awal Perdagangan Budha / Hindu di Sumatra (1030)

Menurut NJ Krom dalam bukunya Hindoe-Javaansche Geschiedenis (1926) hanya tiga kompleks candi di Sumatra yakni Palembang, Muara Takus (Riau) dan Panai (Padang Lawas). Tiga daerah ini jauh mendahului dari semua tempat di Sumatra, seperti Lamuri di Aceh, Malaka dan Pagaruyung. Dari spesimen makara yang terdapat di candi Padang Lawas menurut Krom, tidak hanya lebih tua (dari candi Melayu di Muara Takus) tetapi juga menunjukkan Panai (Padang Lawas) lebih makmur pada abad kesebelas.

Biaro Bahal di Padang Bolak (1920)
Keberadaan Panai tercatat dalam prasasti Tanjore, 1030. Urutan keberadaan tempat-tempat penting di Sumatra (lihat Krom, 1926) adalah sebagai berikut: Sriwijaya di Palembang, kemudian Panai di muara sungai Baroemoen dan selanjutnya Jambi (dan dihulunya muncul kemudian Muara Takus). Pada fase itu, Sriwijaya sudah memiliki hubungan dagang dengan Tiongkok. Produk-produk yang dikirim dari Palembang ke Tiongkok termasuk diantaranya kemenyan, benzoin dan kamper. Tiga komoditi alamiah yang unik ini sebagaimana diketahui hanya dihasilkan oleh penduduk Batak. Besar kemungkinan produk ini mengalir ke Palembang melalui pelabuhan Panai.

Pelabuhan Panai berkembang setelah era pelabuhan kuno, Baros memudar. Dengan kata lain pusat-pusat perdagangan dari pantai barat Sumatra (di Baros dan Natal) telah bergeser ke pantai timur Sumatra dimana Palembang dan Panai menjadi pelabuhan penting. Meski demikian, keberadaan penduduk Batak dalam mengusahaan produk-produk alamiah tetap sentral. Pelabuhan Panai (di hulu sungai Baroemoen atau sungai Batang Pane) didukung oleh bandar-bandar kecil di hulu sungai Baroemoen, tempat dimana pedagang-pedagang India melakukan transaksi dagang dengan penduduk dari semua punjuru Tanah Batak.

Di India selatan Radja Chola-I (memerintah 1012-1042) sangat iri melihat kemajuan perdagangan di Palembang (yang didukung oleh Panai). Aliran produk-produk perdagangan dari Jawa dan Sumatra (nusantara) mulai menyusut melalui barat (India) karena poros baru perdagangan ke timur (Tiongkok). Saat itu, kerajaan terbesar di nusantara adalah Sriwijaya. Setelah menaklukkan kerajaan-kerajaan di India sendiri (Ceilon, Orissa dan Bengalen) lalu Radja Chola mengirim ekspedisi militer untuk menaklukkan Sriwijaya. Hasilnya, Sriwijaya dihancurkan dan para penduduknya melakukan eksodus seperti ke Jambi dan Malaka.

Dalam ekspedisi militer Chola ini, bandar Panai tidak dalam posisi untuk ditaklukkan. Sebab, secara historis, Panai masih bertalian dengan Ceilon dan India Selatan. Dengan hancurnya Sriwijaya, secara tidak langsung Panai menjadi ;terbebaskan; dari pengaruh Sriwijaya. Supremasi Sriwijaya atas Panai yang lalu kemudian diikuti pengembangan aliansi Sriwijaya dengan Tiongkok boleh jadi menjadi pangkal perkara mengapa Radja Chola marah besar terhadap Sriwijaya.

Beringin raksasa di Padang Lawas (terbesar di nusantara, 1936)
Setelah Sriwijaya Palembang berhasil dihancurkan, para militer Chola mulai membangun pusat perdagangan di luar negeri (di luar India). Tampaknya mereka lebih memilih untuk membangun pusat perdagangan tersebut di daerah aliran sungai (DAS) Baroemoen daripada DAS sungai Musi. Hal ini dapat dipahami, karena beberapa aspek, yakni:: di DAS Baroemoen (of Panai) sudah sejak lama koloni India (selatan) mengembangkan perdagangannya; volume produk perdagangan dunia di DAS Baroemoen dipandang jauh lebih potensial dibanding semua tempat (bandar-bandar) di Sumatra; dan letak strategis muara sungai Baroemoen yang langsung berhadapan dengan selat yang mana selat ini dianggap sebagai koridor pertahanan dan lalu lintas perdagangan antara timur dan barat.  .

Untuk mengoptimalkan sumber-sumber perdagangan Panai, para militer Chola mulai memasuki pedalaman hulu sungai Baroemoen untuk mengembangkan bandar-bandar kecil di tepi sungai tempat dimana orang-orang India sejak lama telah melakukan transaksi dagang dengan penduduk Batak lalu menyatukannya menjadi suatu teritori (kawasan perdagangan) dengan ibukota di sungai Panai (kini sungai Batang Pane). Penyatuan teritori bandar-bandar ini besar kemungkinkan menjadi cikal bakal munculnya Kerajaan Aru. Lalu Kerajaan Aru inilah yang besar kemungkinan mempelopori pembangunan sejumlah kompleks candi Hindu di beberapa bandar (di hulu sungai Baroemoen)..

Makam raja di Siabu dekat Sibuhuan (lukisan le Clereq, 1846)
Pengaruh India (Kerajaan Aru) di hulu Sungai Baroemoen (dengan anak-anak sungainya Batang Pane, Sirumambe, Sangkilon dan Batang Onang dan Sihapas, tidak hanya dalam bentuk pembangunan candi-candi, tetapi juga nama-nama daerah seperti Panai, Aru, Portibi, Siunggam, Angkola, Pijor Koling dan gunung Malea (dari Himalaya). Situs penting lainnya, pada tahun 1936 masih ditemukan pohon beringin raksasa di Sibuhuan yang diperkirakan umurnya telah mencapai ratusan tahun [catatan: lukisan disamping ini dibuat oleh asisten Jenderal von Gagen yang pernah berkunjung ke Ankola di Padang Sidempoean tahun 1846. Utusan ratu, von Gagen ditemani oleh Jenderal Mischiel, gubernur Sumatra's Westkust. Sepintas makam tersebut terkesan seperti model arsitektur India kuno]. .  

Kerajaan Aru boleh jadi merupakan kelanjutan kerajaan pertama orang-orang India selatan beragama Hindu di Sumatra. Sebelum muncul koloni India selatan di pantai timur Sumatra, koloni India selatan sudah eksis lebih dahulu di pantai barat Sumatra seperti di Baros. Sebagaimana diketahui, tidak ada bukti peninggalan candi di Baros, maka besar kemungkinan orang-orang India selatan belum sampai pada tahap pembangunan kerajaan. Sebaliknya, koloni orang-orang India selatan di Baros dan sekitarnya justru melakukan migrasi ke Aru atau Panai di Padang Lawas setelah mengetahui kemakmuran yang terjadi di Kerajaan Aru.
Secara teoritis komunitas lokal (Batak) lebih dahulu eksis baru menyusul para pedagang (India Selatan) datang, tidak sebaliknya. Dengan kata lain ada dulu komoditi (produksi/konsumsi) baru perdagangan (ekonomi/trade) muncul. Juga secara teoritis ada dulu pra-kerajaan (Batak) sebelum terbentuk kerajaan yang lebih besar (India selatan). Para pedagang India selatan yang datang ke pedalaman tanah Batak hanyalah seglintir orang dibandingkan populasi Batak yang banyak. Namun para pedagang yang dibantu atau memiliki kekuatan militer lambat laun menguasai penduduk lokal (pra-kerajaan). Hal serupa ini juga yang terjadi dengan penduduk Melayu di Palembang, penduduk Jawa di Kediri dan Majapahit dan penduduk Sunda di Pakuan/Padjadjaran. Dalam konteks hubungan (perdagangan) internasional (Batak dan India) inilah baru populer nama-nama tempat dalam sistem navigasi kuno di pedalaman tanah batak seperti Portibi, Malea, Saeoemambe, Sangkilon, Pane/Panai. Semua nama ini secara linguistik berasal dari India selatan (Ceilon). Disamping itu juga eksis nama-nama lokal seperti Sihapas dan (batang) Onang. Penulis-penulis Portugis menyebut wilayah ini dengan nama Terra Daroe (terra d'Aroe). Terra sama dengan tanah atau wilayah; aroe sma dengan sungai; dengan demikian Terra Daroe atau Terra d'Aroe sama dengan Tanah/Wilayah yang memiliki sungai-sungai yang tentu saja adalah Tanah Batak (penghasil komoditi kuno kemenyan dan kamper) itu sendiri. Saat itu, hanya satu wilayah di dunia (portibi) sebagai penghasil kemenyan dan kamper.    .   
Bukti bahwa Kerajaan Panai/Aru ini sangat makmur dan berjaya di jamannya (sudah menggantikan posisi kejayaan Sriwijaya di nusantara) adalah begitu banyaknya candi-candi yang tersebar di dalam satu kawasan ekonomi sungai (aru) yang sangat luas di hulu sungai Baroemoen, suatu komplek percandian yang terluas di nusantara. Nama Padang Lawas baru muncul di era Belanda. Dalam fase ini, penduduk Padang Lawas (Panai/Aru) tidak hanya pusat (ekonomi) dunia (Portibi/Pritivi) juga penduduknya berhasil mengembangkan dasar sistem pengetahuan dalam wujud aksara Batak. Sebagaimana diketahui bahwa Uli Kozok (2009) telah membuktikan bahwa aksara Batak bermula di Tanah Batak selatan (Terra Daru atau Terra d'Aru). Oleh karena pusat (ekonomi/perdagangan) dunia di Panai/Aru terhubung dengan semua tempat-tempat pusat komoditi di Tanah Batak, maka difusi aksara Batak ini menyebar (melalui pedagang-pedagang pengumpul) ke seluruh penjuru Tanah Batak (Silindoeng, Toba, Karo, Pakpak/Dairi, Alas/Gayo).
Suatu interpretasi bisa dikembangkan berdasarkan fakta-fakta (prasasti Tanjore) bahwa Panai dan Aru adalah dua nama untuk menunjukkan tempat yang sama dalam dua periode (masa) yang berbeda. Secara teknis, Panai adalah nama daerah sejak jaman kuno di Ceilon. Orang-orang Ceilon yang melakukan koloni di Panai yang besar kemungkinan menganut Budha. Candi-candi yang dibangun di Padang Lawas boleh jadi sebagai umurnya jauh lebih tua daripada yang dilaporkan dan usianya bisa sejaman dengan Jawa Kuno (candi Brobodur/Budha) dan Kerajaan Sriwijaya/Budha. Sebagaimana diketahui bahwa Kerajaan Chola (Hindu) telah menaklukkan Ceilon (Budha), maka candi-candi yang ada di Padang Lawas sebagian dari vihara (biaro) Budha telah dialihfungsikan menjadi candi/vihara Hindu. Dalam pergeseran dominasi di Panai (Padang Lawas) dari Budha ke Hindu (pasca Chola) diduga munculnya Kerajaan Aru (Hindu). Istilah aru sendiri di Ceilon adalah sungai. Penamaan Kerajaan Aru/Hindu (suksesi Kerajaan Panai/Budha) adalah untuk menghilangkan kesan Budha ketika Hindu telah mendominasi. Penamaan kerajaan ini dengan nama Aru yang juga aru sama dengan sungai lebih mewakili untuk menyebutkan Kerajaan Aru adalah kerajaan dari kumpulan bandar-bandar yang terhubung satu sama lain dengan sungai. Dengan kata lain kerajaan aru adalah kerajaan sungai-sungai (sungai Barumun, sungai Panai, sungai Sirumambe, sungai Sangkilon dan sungai-sungai lainnya). Dalam peta-peta lama, nama sungai Barumun belum muncul ketika nama sungai Panai sudah sejak lama eksis. Dalam peta-peta pasca Portugis, sungai Barumun disebut sebagai river Baroemoen of Paneh (sungai Baroemoen atau Paneh). Dalam hal ini terminologi barumun diduga muncul dari asal kata 'aru' dalam terminologi baru yakni b'aru'mun atau b'aroe'moen.
Perlu disadari, dan juga kurang disadari oleh peneliti, secara historis penduduk Batak di hulu sungai Baroemoen (Angkola/Mandailing) tidak terhubung dengan penduduk lain bahkan dengan penduduk terdekat yang berbahasa Melayu. Seperti dikatakan TJ Willer (1846) memiliki sistem bahasa sendiri. Kata 'eme' (padi/beras) sebagai makanan pokok sudah eksis sejak adanya bahasa Batak. Bahasa Batak sendiri (terutama Angkola/Mandailing) tidak mengenal huruf F dan Q (dari bahasa asing) dan juga huruf V, W, X, Y dan Z. Oleh karenanya bahasa Batak Angkola/Mandailing tidak memiliki (kosa) kata yang dimulai dari huruf-huruf tersebut (lihat HJ Eggink, 1936). Dalam kamus Batak kuno, laman atau entri kata hanya sampai huruf T (minus F dan Q). Untuk huruf U ada di laman/entri O sebagai OE (sejaan lama Belanda van Ophuijsen). Sedangkan kata-kata yang berawalan W dan Y merupakan kata-kata serapan baru dari bahasa asing. Bahkan kata-kata yang dimulai dari huruf W dan Y di dalam bahasa Sankrit (Sanskerta dari India) tidak terdapat dalam kamus bahasa Batak kuno (dan kamus masa kini?). Boleh jadi hal ini mengapa Chola dilafalkan dengan Angkola.

Pengaruh Agama Islam di Bandar-Bandar Penting di Sumatra

Setelah Kerajaan Sriwijaya hancur (oleh ekspedisi militer Chola), satu-satunya kerajaan yang terbilang sangat besar di nusantara adalah Kerjaaan Aru. Kemakmuran di Kerajaan Aru ini oleh orang-orang India cukup lama sebelum datangnya pedagang-pedagang Moor di bandar-bandar penting di Sumatra bagian utara yang kemudian menggantikan dominasi pedagang-pedagang Arab/Persia di pantai barat Sumatra seperti Baros. Pedagang-pedagang Moor ini mula-mula mengembangkan perdagangannya di Aceh yang menjadi cikal bakal lahirnya Pasai, Lamuri, Pedir dan Perlak.

Menurut NJ Krom, ada perbedaan substansial antara koloni Budha/Hindu di Jawa dengan di Sumatra. Koloni Budha/Hindu di Jawa merupakan koloni pertanian (seperti di Mataram kuno). Sedangkan koloni di Sumatra lebih diwarnai kehidupan perdagangan sebagaimana Sriwijaya Palembang di DAS Musi dan Panai/Aru di DAS Baroemoen. Salah satu wujud dari perbedaan pembangunan candi di Jawa adalah membangun candi dalam ukuran besar besar seperti candi Borobudur dan candi Prambanan sebagai manifestasi tujuan setiap orang yang menganut agama Budha/HIndu. Sedangkan di Sumatra cenderung kecil-kecil tetapi sangat menyebar (terutama di DAS Baroemoen) sebagai manifestasi perintah dari pada pemimpin untuk memfasilitasi keburuhan penduduknya dalam beragama.

Tumbuhnya pusat-pusat perdagangan baru di Aceh merupakan suatu rangkaian dengan semakin menguatnya pelabuhan-pelabuhan penting di India barat yang didominasi oleh pedagang-pedagang Islam seperti Gujarat. Orang-orang Moor yang telah berada di Aceh pada dasarnya mengembangkan perdagangannya dengan penduduk Batak di Gayo/Alas dan juga mulai melirik perdagangan orang-orang Batak di koloni-koloni India di DAS Baroemoen.

Pelan tetapi pasti, arus perdagangan dari Tanah Batak dikuasai oleh orang-orang Moor. Produk-produk dari DAS Baroemoen akhirnya jatuh ke tangan orang-orang Moor. Oleh karena arus perdagangan yang dimainkan oleh orang-orang Moor ini tetap melalui jalur perdagangan barat (India), maka situasi yang dihadapi tidak mengalami resistensi (sebagaimana Radja Chola melihat Sriwijaya membangun aliansi ke timur di Tiongkok). Dengan kata lain, Islam dan Hindu masih bisa berjalan secara bersama-sama.

Lambat-laun penetrasi pedagang-pedagang Islam dari Moor ini memasuki DAS Baroemoen. Pedagang-pedagang Moor ternyata tidak hanya berdagang tetapi juga menyebarkan ajaran agama Islam terhadap penduduk lokal. Pengaruh Hindu lambat laun mulai menyusut dan digantikan oleh pengaruh Islam. Lalu kemudian Kerajaan (Hindu) Aru digantikan dengan munculnya Kesultanan (Islam) Aru. Kesultanan Aru boleh jadi merupakan kerajaan Islam pertama di Nusantara. Pada saat itu bandar-bandar Islam di Aceh belum terbentuk sebagai suatu kerajaan.

Laporan Ekspedisi Pamalayu Majapahit (1336 dan 1365)

Pada puncak kejayaannya, Kesultanan Aru membawahi Siak dan Malaka. Pada fase ini hikayat Laksamana Hang Tuah muncul, sebagai tokoh penting. Sebagian peneliti menganggap Laksamana Hang Tuah, panglima Siak dan sebagian yang lain panglima Aru. Sebagian peneliti menganggap Laksamana Hang Tuah, panglima Siak dan sebagian yang lain panglima Aru.

Di Jawa Kerajaan Majapahit tengah maju-majunya. Akan tetapi, Raja Hayam Wuruk mulai khawatir dengan keberadaan Hindu di Jawa. Sebab dominasi Hindu di Baroemoen telah digantikan oleh Islam. Dalam kaitan ini, Panglima Gajah Mada bersumpah yang dikenal sebagai sumpah Palapa (lihat Pararaton, 1336).

Asal mula kemarahan Gajah Mada (dari Majapahit) adalah bermula ketika Laksamana Hang Tuah pernah mengomentari Malaka sebagai Melayu bajingan yang memiliki elemen Jawa dari Madjapahit. Atas dasar itu Gajah Mada bersumpah untuk menaklukkan (kerajaan-kerajaan kecil) seperti dicatat dalam buku Negarakertagama: Gurun (Nusa Penida, Bali), Seram, Tanjung Pura (Kalimantan), Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang dan Tumasik (Singapore) dan akan menyatukannya.

Gajah Mada tidak (dan tentu saja tidak) menyebut Kerajaan (besar) Aru, karena justru motif penaklukan dan penyatuan ini adalah untuk menghancurkan Kerajaan Aru dimana seterunya Laksamana Hang Tuah berada (secara teoritis, hanya panglima dari kerajaan yang lemah yang bersumpah untuk mengumpulkan kekuatan untuk melawan laksamana dari kerajaan yang kuat; sementara Hang Tuah yang mewakili Melayu coba menghina Malaka yang telah tercampur dengan elemen Jawa ingin menunjukkan dirinya sebagai Melayu tulen yang disisi lain membuat Gajah Mada tersinggung).

Mengapa poros Kerajaan Madjapahit: Jawa, Palembang, Semenanjung plus Haru? Hipotesis MO Parlindungan dalam bukunya Tuanko Rao mungkin jawabnya. Perkembangan Islam Sumatra menjadi sinyal bagi Majapahit terhadap kelansungan masa depannya. Majapahit dalam ekspedisi Pamalayu di satu sisi ingin menaklukkan kerajaan-kerajaan kecil dan menyatukannya untuk memperkuat pengaruh Hindu/Djawa, sementara di sisi lain menghancurkan kesultanan-kesultanan Islam. Benar Pamalayu Expedition untuk menyatukan nusantara dalam konteks Hindu dan melenyapkan Islam dari nusantara.

Untuk melancarkan tujuan tersebut dapat dimaklumi mengapa poros Hindu memasukkan Haru sebagai bagiannya. Sebab, Haru adalah kesultanan paling lemah dan dengan mengokupasi Haru maka pengaruh Hindu ingin memisahkan dua pengaruh kesultanan Islam yang kuat, yakni Kesultanan Aru di Barumun dan Kesultanan Samudra/Pasai di Pasai. Inilah inti dari poros Jawa, Palembang dan Semenanjung plus Haru.

Menurut 'buku' Negarakertagama karangan Mpoe Prapantja (1365), disebutkan tiga tempat utama di pantai timur Sumatra yang ditaklukkan oleh Kerajaan Madjapahit dibawah pimpinan Gadja Mada adalah Panai, Haru dan Kampei. Dari catatan ini tidak terdapat Kerajaan Aru yang ditaklukkan. Panai adalah pelabuhan Kerajaan Aru. Menurut versi MO Parlindungan, Haru juga ditaklukkan malahan ekspedisi Gajah Mada justru mengalami kekalahan dan harus pulang kandang. Oleh karenanya, Kesultanan Aru tetap eksis.

Ekspedisi Tiongkok Pimpinan Cheng Ho (1405-1433)

Dalam situasi status quo di nusantara, Kerajaan Aru tetap tegak berdiri. Pada fase ini dilaporkan ada ekspedisi Tiongkok ke negeri-negeri di Samudera Barat dibawah pimpinan Laksamana Cheng Ho. Eskpedisi ini jauh dari motif penaklukan, melainkan untuk tujuan hubungan politik internasional Tiongkok. Ekspedisi Cheng Ho ini sendiri dilakukan tujuh kali antara tahun 1405-1433) yang meliputi 20 tempat penting. Dalam laporan Ma Huan yang mengikuti ekspedisi Cheng Ho berjudul Ying Ya Sheng Lan (ditulis 1451) disebutkan bahwa Kesultanan Aru dan Kesultanan Lamuri (cikal bakal Kesultanan Aceh), raja dan semua penduduknya beragama Islam.

Pulau Rantau, muara s.Barumun
Dalam laporan Tiongkok disebutkan lokasi Kerajaan Aru ini berada di muara sungai air tawar (fresh water estuary). Identifikasi ‘muara air tawar’ atau ‘laut air tawar’ tentu saja tidak sekadar menunjukkan pertemuan antara sungai (air tawar) dengan laut (air asin). Identifikasi itu jelas lebih dari itu. Identifikasi utusan Tiongkok itu haruslah diartikan dalam konteks navigasi atau pelayaran di era itu. Dengan kata lain, muara sungai itu haruslah sangat besar dan unik dimana muara sungai ini sulit dibedakan apakah muara itu laut, danau atau sungai. Sebagaimana diketahui, begitu besarnya muara sungai ini bahkan di tengahnya terdapat pulau besar yang dikenal sebagai Pulau Rantau. Dalam konteks pelayaran, air di muara sungai itu, airnya benar-benar dapat diminum dan tidak memerlukan upaya para awak kapal harus turun ke darat untuk mendapatkan air minum. 

Labuhan Bilik, fresh water estuary, muara S. Baroemoen (kanan, P. Rantau), 1921
Muara sungai yang sesuai dengan konteks serupa itu hanyalah cocok dengan sungai Baroemoen. Sebab sungai Baroemoen ini ratusan mil dapat dilayari ke hulu dimana sepertiga dari panjang sungai jelang laut airnya sangat tenang karena permukaan tanah sepanjang sungai ini hanya beberapa meter di atas permukaan laut yang dalam hal ini memungkinkan terjadinya pengendapan partikel-partikel lumpur sehingga airnya jernih (dan dapat diminum). Utusan-utusan Tiongkok dalam hal ini melaporkan adanya fresh water estuary tentu bukanlah identifikasi yang tidak berdasar. Oleh karena uniknya muara sungai ini maka mereka mengidentifikasinya sebagai salah satu tanda navigasi yang penting. Untuk ukuran kapal yang sangat besar yang dikomandoi Cheng Ho sangat memungkinkan tetap berlayar di muara sungai Baroemoen.

Laporan-laporan Portugis: Pires, Barbosa dan Pinto (1512-1539)

Pelaut Portugis sudah mendarat di Malacca tahun 1508 dan menguasainya tahun 1511. Tome Pires (1512-1515) pernah mengunjungi Malacca. Pires mendeskripsikan Sumatra berdasarkan informasi yang dikumpulkan di Malacca, dimana Daru tertukar dengan Baros atau de Aru (Daru adalah ucapan untuk 'de Aru'). Nama-nama ini mengindikasikan nama-nama yang berada di daerah teritori penduduk Batak. Beberapa bandar penting yang didaftar Tome Pires adalah Pedir, Aeilabu, Lide, Pirada dan Pacee. Dari tiga pelabuhan penting ini hanya Aeilabu (Aek Labu atau Lobu Toea? nama lain Baros) yang sangat dekat dengan teritori penduduk Batak, Meski disebut nama Aru, tetapi di dalam laporan Pires tidak menonjol.

Peta 1619 (buatan Portugis)
Dimana letak Aru ini menurut laporan orang-orang Inggris sebelum Portugis menguasai Malaka tahun 1511 adalah sebagai berikut: Kerajaan Kedah atau Quedah (Lat.6’10’) di daerah sebelah bawah Siam (Thailand). Di sebelah utara semenanjung Malacca ini yang sejajar dengan Kedah di Pulau Sumatra pada posisi 5’5’. Titik penting di pulau ini adalah Cape Diamond pada posisi 4’50’ (dan Belawan sendiri pada posisi 3’47’). Tempat berikutnya adalah Pulo Pera, suatu pelabuhan yang berada di tengah lautan (selat Malacca). Lebih jauh di selatan terdapat Pulo Aru (Lat.2’50’), suatu pulau kecil di tengah selat yang mana di sisi di sisi semenanjung Malacca di sebelah tenggara pulau ini terdapat teluk besar, yang kemudian di arah selatan teluk terdapat Malacca, ibukota semenanjung pada posisi 2’20’. Kota ini awalnya di bawah supremasi India (sebelum Portugis). Pelabuhan ini sangat ramai, selain India, juga dikunjungi oleh kapal-kapal dari Hindustan, China, Philipina, Persia, Arab dan bahkan Afrika. Orang-orang Arab menyebarkan agama Islam. Pelabuhan Malacca ini dikunjungi adminarl Lopez pada tahun 1508 (lihat C. Pennant, 1800).

Nama Aru baru menonjol dalam laporan Barbosa. Ekspedisi Barbosa dilakukan setelah Tome Pires. Barbosa menyebut hanya tujuh bandar penting, yakni: Pedir, Pansem, Achem, Compar (Kampar), Andiagao (Indragiri), Macaboo (Minangkabau) dan Ara (Aru). Barbosa melakukan ekspedisi pada tahun 1518. Barbosa tampaknya mengoreksi hasil identifikasi Tome Pires.

Menumbuk beras di Portibie (1890)
Dalam laporan  Barbosa/Tome Pires, Terra Aru ini dialiri oleh sungai yang sangat besar dan jauh ke pedalaman yang dapat dilayari yang tanahnya sebagian berada di tanah Minangkabao. Terra (tanah) ini sangat banyak menghasilkan emas, beras dan meat (daging), benzoin, kamper, rotan, madu, gaharu, Disebutkan Pires produk-produk mereka dijual melalui Pedir dan Pase (laut) dan melalui Panchur atau Baros (darat). Pires juga menyebut banyak budak yang berasal dari daerah ini diperdagangkan di pantai timur Sumatra. Sebagaimana diketahui hingga kini wilayah Padang Bolak adalah wilayah yang memiliki populasi ternak terbanyak di Sumatra Utara. Kerajaan Aru ini memiliki wilayah pantai antara Deli dan Rokan dimana terdapat tempat-tempat yang dijadikan sebagai pasar budak yakni di Kualu, Bila dan Panai.

Menurut Barbosa/Tome Pires, Kerajaan Aru adalah kerajaan yang sangat besar, melebihi yang lain di Sumatra. Kerajaan Aru ini beribukota di pedalaman di tempat dimana ditemukan banyak sungai (boleh jadi sungai-sungai itu sungai Batang Pane, aek Sirumambe, Aek Sangkilon, aek Batang Onang atau Aek Sihapas). Kerajaan ini sangat kuat tidak bisa dipenetrasi dikelilingi oleh pegunungan dan jaraknya ratusan mil dari laut. Radjanya adalah seorang Moor. Kerajaan ini memiliki banyak (orang) Mandarin yang disisi luar (selat Malaka) kerap melakukan perampokan dan ancaman di selat. Kerajaan Malaka selalu waspada kepada Kerajaan Aru, karena dimasa lalu Kerajaan Aru pernah menyerang Malaka.

Penyelidik Portugis lainnya adalah Duante Pinto yang tiba di Malaca tahun 1539. Dalam laporan Pinto Pinto ini disebut Kerajaan Aru beribukota di Panaju. Saat Pinto di Malaca datang utusan raja Kerajaan Aru ke Malaca untuk mengajak berkolaborasi untuk menyerang Atjeh. Utusan ini bernama Aquareng Daholay (marga Daulay?) ipar dari Raja Batak (marga Harahap?) menyebutkan banyak tersimpan di gudang-gudang hasil dari tanahnya seperti emas, lada, kamper, gaharu dan benzoin. Daholay sangat dendam ke Atjeh karena telah merenggut tiga anaknya di desa Jacur dan Lingau (Simaloengoen?). Dialek bahasa Batak Simaloengen dan Batak Padang Bolak sangat mirip. Pero de Faria (dan Pinto) diundang ke  Panaju pada hari kelima bulan kedelapan. Nakur adalah salah satu tempat yang disinggahi oleh ekspedisi Cheng Ho.

Pinto berangkat dari Malaka dan tiba di sebuah pelabuhan selepas pantai wilayah Kerajaan Aru bernama Surotilao (pulau Rantau?) di pertemuan laut di pedalaman dengan sungai yang disebut Hacanduri (sungai Bila?) dan kemudian berlayar sepanjang sungai lima hari hingga tiba di pertemuan sungai Baroemoen dan sungai Batang Pane lalu kemudian berlayar hingga ke Panaju (ibukota kerajaan Batak). Kerajaan ini disebut Pinto memiliki pasukan dengan kekuatan 15.000 orang, yang mana sebanyak 8.000 orang Batak dan selebihnya adalah orang-orang dari Menangkabau, Luzon, Indragiri, Jambi dan Borneo.

Pasukan Aru ini juga memiliki 40 gajah dan 12 meriam. Pasukan cadangan ada di dataran tinggi yang disebut Minacalao (Minangkabau?). Selama Pinto berada di Panaju ditemani oleh seorang Moor, dan Pinto sempat melihat ada sebanyak 63 kapal yang tengah bersandar di bandar Panecao. Gambaran kekuatan Kesultanan Aru yang disebut Pinto ini seakan mengatakan bahwa Kerajaan Aru memiliki poros Sumatra, Kalimantan, Philipina, Tiongkok (bandingkan dengan poros Majapahit: Jawa, Palembang dan Semenanjung plus Haru).

Peta 1818 (buatan Belanda)
Kerajaan Batak ini memiliki pasukan gajah dan pasukan cadangan di dataran tinggi Minangkabau (lihat Pinto). Daerah antara Rokan dan Angkola (coast to coast) merupakan habitat gajah, hingga ini hari masih ditemukan populasi gajah di daerah hulu Rokan yang berbatasan dengan Padang Lawas. Tentang pasukan cadangan dari Minangkabau yang berada di dataran tinggi boleh jadi merupakan indikasi hubungan partnership antara Kerajaan Aru di dataran rendah (Padang Lawas) dengan Kerajaan Pagarroejoeng di dataran tinggi. Catatan: anggapan sebagian pihak bahwa Kerajaan/Kesultanan Aru berada di Deli jelas keliru. Faktanya, teritori Kerajaan/Kesultanan Aru berpusat di DAS Baroemoen (dari hulu hingga hilir).

Rupanya laporan Pinto ini yang menyebabkan Kesultanan Aru diambang kehancuran. Untuk membangun kekuasaan Portugis mulai melakukan aneksasi terhadap tempat-tempat penting di Nusantara termasuk menyerang Kesultanan Aru. Sejak dikalahkan Portugis, Kesultanan Aru mulai melemah tetapi secara internasional namanya masih tercatat hingga kedatangan pelaut-pelaut Belanda.

Laporan Belanda: Kedatangan Cornelis de Hotman (1595-1597)

Hampir satu abad Portugis mendahului pelaut-pelaut Belanda. Kedatangan pelaut-pelaut Belanda dapat di baca dalam buku jurnal Belanda tahun 1598 berjudul: ‘Journael vande reyse der Hollandtsche schepen ghedaen in Oost Indien, haer coersen, strecking hen ende vreemde avontueren die haer bejegent zijn, seer vlijtich van tijt tot tijt aengeteeckent, ...’. Jurnal ini sepenuhnya berisi catatan hari demi hari tentang ekspedisi yang dilakukan oleh Cornelis de Houtman yang dimulai pada tanggal 2 April 1595 dengan total 249 orang. Di dalam jurnal ini juga berisi beberapa peta termasuk peta pulau Sumatra dimana dalam peta ini nama Ilhas (pulau) dan Terra (tanah) Daru sudah teridentifikasi. Sebagaimana diketahui, Cornelis de Houtman adalah pimpinan ekspedisi pertama Belanda yang berhasil memasuki nusantara.

Sebagaimana diketahui, kemudian muncul VOC tahun 1602 yang berkantor di Banten, lalu pindah ke Ambon, kemudian Sulawesi Selatan, lalu ke Banten lagi dan akhirnya menetap di Batavia tahun 1619. Sebelumnya, pada tahun 1614 buku kono paling lengkap tentang identifikasi nama-nama tempat di dunia adalah berjudul ‘Itinerarivm, ofte schipvaert naer Oost ofte Portugaels Indien’ yang terbit di Amsterdam tahun 1614. Buku berbahasa Belanda ini masih dicetak dengan huruf gothiek. Oleh karena itu buku ‘Itinerarivm, ofte schipvaert naer Oost ofte Portugaels Indien’ sudah beredar luas sebelum Belanda di Batavia memulai babak baru penguasaan nusantara. Nama Aru (Terra d'Arruen) tercatat dalam buku dunia ini.

Laporan Pedagang Tionghoa tentang Panai dan Angkola di Batavia (1701)

Setelah Pinto mengunjungi Kesultanan Aru di hulu sungai Bareomoen tahun 1539, dan penaklukan Portugis (Malaka) terhadap Kesultanan Aru tidak ada lagi ekspedisi yang dilakukan ke Tanah Batak. Apa yang terjadi sesudahnya tidak diketahui hingga munculnya laporan seorang pedagang Tionghoa yang pernah mengunjungi Tanah Batak 1701. Dari laporan yang disampaikan di Batavia ini terindikasi bahwa Tanah Batak sangat-sangat aman dan penduduknya sangat beradab.

Rute perjalanan Tionghoa ini juga sekaligus mengungkapkan bahwa antara pantai timur dan pantai barat Sumatra (coast to coast) sudah sejak lama terhubung (Baros-Panai?). Soal nama Pane juga dilaporkan oleh pedagang Tionghoa tersebut yang mana pedagang ini mondar-mandir berdagang di Angkola dimana terdapat nama kota Pande (laporan ini dirilis oleh Perret, yang mana Pande disebutnya mirip Pane).

Rute Tionghoa ini tampaknya adalah rute yang dahulunya merupakan rute orang-orang India dari Baros ke Aru (dan sebaliknya). Kedekatan hubungan Baros dan Aru ini agak menyulitkan peneliti-peneliti Portugis membedakan secara tegas Baros dan Aru yang di dalam tulisan Pires dan Pinto kerap tertukar (saling menggantikan) antara Baros, Bata dan Aru. Hal itu dapat dimaklumi karena poros perdagangan Baros dan Aru berada di dalam teritori penduduk Batak.

Ekspedisi Miller dan Laporan Marsden (1773 dan 1811)

Seorang botanis Inggris bernama Miller pernah berkunjung ke Angkola pada tahun 1773. Charles Miller melakukan ekspedisi dari teluk Tapanoeli via Angkola menuju Batang Onang (salah satu bandar di hulu sungai Baroemoen di jantung Kerajaan Aru di Padang Bolak). Laporan-laporan Miller ini menjadi bahan penting bagi William Marsden dalam bukunya The History of Sumatra (edisi 1811).

Marsden menggarisbawahi bahwa penduduk Batak telah mampu menciptakan senjata dan membuat mesiu (dari unsur belerang), setiap pria mengendarai kuda dan yang paling mereka (Miller dan Marsden) tidak diduga bahwa penduduk pedalaman Angkola ini lebih dari separuh bisa baca tulis (dalam aksara Batak), suatu angka literasi yang tinggi dan tidak pernah ditemukan di semua bangsa-bangsa di Eropa. Boleh jadi ini suatu sisa-sisa Kerajaan Aru  sebagai suatu kerajaan besar yang pernah unggul dan kerajaan yang sangat maju dalam militer maupun dalam pengembangan ilmu pengetahuan.

Laporan Willer dan Jung Huhn (1846)

Belanda memasuki Tanah Batak dimulai pada tahun 1833 melalui Natal dalam rangka melndungi penduduk terhadap terror yang dilakukan oleh padri. Setelah Belanda yang didukung penduduk Mandailing dan Angkola berhasil melumpuhkan pasukan padri di Benteng Bonjol (1837) dalam perang Bonjol, lalu pasukan Belanda yang didukung oleh penduduk Mandailing, Angkola dan Padang Lawas melakukan pengejaran terhadap pasukan padri hingga ke Portibie (perang Portibi) dan pada tahun 1838 Angkola dan Padang Lawas berhasil diamankan.

Pada tahun 1841 dibentuk Afdeling Mandheling en Ankola serta afdeeling Pertibie. Pemerintah colonial Belanda menempatkan Willer sebagai Asisten Residen di Mandheling en Ankola, sedangkan Jung Huhn ditempatkan di afdeeling Pertibie sebagai pengawas. Dalam tugas awal pemerintahan ini, Willer bertugas sebagai penyelidik social kemasyarakatan dan Jung Hunh sebagai penyelidik geografi. Laporan kedua pejabat ini dapat dibaca dalam laporan yang mereka terbitkan.   

Candi Padang Lawas (1923)
Di dalam laporan Jung Huhn disebutkan bahwa lanskap di Padang Lawas ditemukan kompleks percandian yang sangat banyak dan tersebar. Laporan Jung Huhn inilah yang mengawali berbagai penyelidikan candi di Padang Lawas. Sementara di dalam laporan Willer sangat kaya informasi tentang kependudukan, social budaya baik di Mandheling, Ankola maupun di Padang Lawas. Di dalam laporan Willer ini tidak menemukan adanya bukti adanya ternak babi di tiga lanskap ini. Ini adalah suatu bukti pengaruh agama Islam sudah sejak lama ada. Sebagaimana laporan Tiongkok yang ditulis Ma Huan (1451), bahwa raja dan penduduk Kesultanan Aru semuanya menganut agama Islam.

Napak Tilas di Teritori Kesultanan Aru: Portibi-Bila (1855)

Dalam laporan Willer (1846) disebutkan lanskap Padang Lawas (menggantikan nama Pertibie) terdiri dari enam onderafdeeling, yakni: Padang Lawas, Dollok, Baroemoen, Tamboeseij, Paneh dan Biela. Total sebanyak 120 kampung dengan 4.620 keluarga. Dengan asumsi satu keluarga memiliki enam anggota, maka jumlah populasi diperkirakan bisa mencapai maksimum 28.000 jiwa. Onderafdeeling Padang Lawas sendiri terdiri dari empat distrik, yaitu: Batang Onang, Pertibie, Batang Paneh dan Kotta Pinang. Keempat distrik ini terdiri dari 23 kampung yang dihuni oleh 805 keluarga.

Dalam buku berjudul ‘Bijdragen tot de taal-, land-en volkenkunde van Nederlandsch-Indie’ tahun 1855, penerbit Nijhoff  terdapat satu bab tentang sebuah laporan ekspedisi penelitian geologi ke Ankola dan Padang Lawas. Ekspedisi ini dimulai dari Sibolga melalui jalur  Lumut, kemudian Batangtoru, Huraba Panabasan, Sisoendoeng hingga akhirnya sampai ke Pijor Koling. Di dalam benteng Pijor Koling, tim ekspedisi ini bertemu hanya dengan seorang sersan berbangsa Belanda bernama  Scheeren dengan anak buah sebanyak dua puluh tentara Jawa.

Di desa Pijor Koling sendiri terdapat 40 buah rumah kecil yang terbuat dari bambu yang konstruksi berbentuk rumah panggung. Sejumlah ternak berkeliaran di halaman, para wanita tampak menenun kain berwarna warni dan menggunakan manik-manik, para pria bertani padi dan jagung untuk kebutuhan sendiri (subsisten). Hanya beberapa pria yang bisa berbahasa Melayu sedikit-sedikit. Kami mendapat informasi sekadarnya dari mereka..

Kami melanjutkan perjalanan ke Padang lawas. Jalan dari Pitjar Kolling yang kami lalui berjalan secara soliter (ala Indian). Pertama kami menyeberang sungai besar Batang Angkolah yang lebarnya 100 kaki. Lalu kami berjalan melalui wilayah pegunungan, lereng gunung dan terus naik di bagian belakang pegunungan yang luas, kadang-kadang, terutama oleh hutan yang tinggi, di atas bukit Simardona (suhu 21 C). Di puncak bukit Simardona kami bisa melihat ke barat merupakan lembah Pitjar Kollin, ke timur merupakan wilayah yang luas. Titik tertinggi Bukit Simardona terletak 520 meter di atas laut.

Selanjutnya kami turun melalui hutan, rumput tinggi, lalu kami sampai ke sungai Batang Anang, yang mana sumber airnya dari Simardona Mountains yang kemudian tercurah sekitar dua jam ke lembah yang luas di mana terdapat sungai yang lebih besar sungai Batang Siapas yang di bagian selatan lembah luas dengan ketinggian tempat 198 meter di atas laut. Sungai Siapas bersumber dari pegunungan di Sipirok dan Loeboeraja. Ini mengalir deras kemudian melalui lembah luas hingga berakhir di selatan pasca Goenong Tuah. Di sini dia membelok lebih ke timur, antara pegunungan Sioengam dan bukit Sipapal. Dekat Goenong Tuah sungai ini bersatu dengan Batang Anang yang hulu di bukit Simardona. Di bagian belakang atau sisi timur pegunungan sumber terakhir dari sungai besar Batang Boeroemon, yang mengalir ke laut di Selat Malaka.

Pertemuan sungai Batang Paneh dan Batang Baroemoen terletak pada jarak hanya sekitar satu setengah jam dari Pertibi. Dari sana, seorang pria bisa berlayar dalam enam hari sampai kampung Bila, tidak jauh dari pantai laut dan dengan perahu di Boeroemon bisa mencapai tujuh hari ke Bila. Nama-nama desa kini di sepanjang pantai yang memberi kita jauh berbeda dengan yang dapat ditemukan terdaftar di peta terbaru.

Saat matahari terbit perjalanan kami mulai sesuai dengan informasi yang diberikan kepada kami, pada siang hari di kampung Koerita dan saat malam kampung Simangabat. Hari kedua akan, setelah beberapa jam berada ancaman ke mulut besar, di sisi kiri yang Boeroemon jatuh sungai, yang disebut Singa Kanan, dan menjelang malam pada saat sepi Kampong Padang Matingi.

Pada hari ketiga yang memenuhi Geene dusun. Satu semalam untuk Pasir Andjangan dan melewati bahwa hari pertama pelebaran luar biasa sungai, yang dikenal dengan nama Loeboe Dalam. Hari keempat biasanya berlayar ke Kota Pinang; tetapi kita juga dapat mencapai kampung Sisamoet sebelum matahari terbenam, seperti berbohong sebelumnya di tepi kiri. Hari kelima (selalu pagi 06:00 ekspedisi awal) satu tiba di malam ke kampung Paneh, di mana satu, seperti biasa, malam tetap, dan hari keenam akhirnya kami tiba di kampung Bila, yang serikat sungai nama itu dengan Boeroemon berada.


Youtube Candi di Kab. Padang Lawas Utara Bag. I



Bersambung:
Bag-3. Sejarah PADANG  LAWAS: Pembentukan Pemerintahan di Padang Lawas (dalam proses)



*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe.

1 komentar:

Unknown mengatakan...

Fakta selalu menarik untuk di baca...
Kerajaan aru hindu/budha digantikan kesultanan aru islam, membuat komplek candi2 ditinggalkan tidak terawat, keberadaan aru sangat menarik untuk dibaca karena hilang tidak berbekas, tidak ada kenangan yg di tinggal, hanya komplek candi2 kecil kebudayaan hindu/budha, di sebut budaya islam sudah masuk tapi tidak ada bukti kenangan kemajuan peradapan islam yg ditinggalkan hanya perang paderi yg menghapus segala yg ada. Setiap kerajaan selalu ada rajanya tapi raja aru tidak diketahui sampai sekarang sebuah nama yg pernah berkuasa. Atau memang tidak pernah ada seorang raja karena raja2 sudah ada setiap luat, yg ada hanya seorang pemersatu atau panutan..? Yang logika sederhana saya menyebutkan hubungan dan ikatan keluarga yg begitu solid dari suku batak membuatnya tampak seperti gambaran kerajaan dalam penafsiran orang luar, seperti suku indian di amerika, baduy di arab atau tar-tar di mongol, mengalami interaksi dengan bangsa penguasa lain tapi bukan berarti menguasai secara penuh. Kecuali setelah masuknya bangsa eropah yg mana mereka seperti gerombolan serigala yg sedang memakan dunia, menghabiskan yg ada tidak tersisa sedikitpun.

Mambaca sejarah batak najolo dohot sannari, namundur do uida batak nita on bang...! haha..