*Suatu sketsa Kota Padang Sidempuan
Ini adalah suatu sketsa (analisis sederhana) berdasarkan
fakta-fakta sejarah yang ada. Mungkin para generasi yang lebih muda tidak
menyadari bahkan mungkin tidak mengetahui, bahwa Kota Padang Sidempuan masa
kini, ternyata di jaman doeloe memiliki dinamikanya sendiri. Bagaimana Kota
Padang Sidempuan tumbuh di masa doeloe? Mari kita lacak!
***
Afdeeling Mandheling en Ankola sudah sejak
1840 dibentuk sebagai suatu wilayah pemerintahan baru di Residentir Aijer
Bangie, Sumatra;s Westkust yang berkedudukan di Panjaboengan. Pada tahun 1842 di
Afdeeling Mandheling en Ankola dibentuk Controleur di Ankola dan Controleur di
Oeloe en Pakanten. Controleur Ankola berkedudukan di Padang Sidempuan,
sementara Asisten Residen berkedudukan di Panyabungan. Selanjutnya, pada tahun
1845, Afdeeling Mandheling en Ankola menjadi bagian dari Residentie Tapanoeli.
Pada bulan Juni 1946, Padang Sidempuan mendapat
kehormatan dikunjungi oleh Jenderal von Gagern (utusan Ratu) dan Jenderal
Michiels (Gubernur Sumatra’s Westkust). Situasi kota saat kunjungan ini, sudah
ada beberapa orang Belanda yang tinggal di Padang Sidempuan plus sejumlah
anggota militer berbangsa Belanda yang sudah ada lebih dulu. Di dalam komunitas
Belanda ini sudah ada rumah sakit dan apotik (tentunya buat kebutuhan aparatur
pemerintah dan militer). Jenderal von Gagern sempat berpidato di dalam suatu
acara puncak yang juga dihadiri oleh para pemimpin-pemimpin lokal dengan pengikutnya
yang datang dengan mengendarai kuda.
Kehadiran para pemimpin-pemimpin lokal ini
adalah salah satu dari tugas pokok dan fungsi Controleur di wilayah Ankola
dalam menjalankan misinya. Para pemimpin-pemimpin lokal ini di satu sisi
menjadi partner pemerintah (dalam hal ini Controleur) untuk menfasilitasi dan
memenuhi kebutuhan sehari-hari orang Belanda dan para tentara di garnisun. Di
sisi lain Controleur, para komandan tentara dan para pemimpin lokal tentu saja
mulai merancang pembangunan infrastruktur Ankola seperti jalan, jembatan dan
irigasi.
Misi para pelopor Belanda di Padang Sidempuan
adalah untuk mempromosikan kekuatan Belanda dan tentu saja sambil
mengidentifikasi sumber-sumber ekonomi penduduk Ankola. Selain itu, pihak
Belanda juga memfasilitasi arus masuk barang yang dibutuhkan penduduk (melalui
partnership dengan pedagang-pedagang Tionghoa yang berada di kota-kota pantai
di Sumatra’s Westkust). Penduduk juga diinisiasi untuk menghasilkan
komoditi-komoditi perdagangan sebagai alat pertukaran seperti kopi, gula, beras
dan sebagainya. Kemudian, dengan begitu, pemerintah dapat mengontrol arus
perdagangan (entry and exit). Atas dasar itu, timbul pusat-pusat perdagangan
alias pasar-pasar.
Budidaya Kopi di Sekitar Padang Sidempuan
Ketika di Mandheling perkebunan kopi sudah
sangat luas dan telah menghasilkan kopi serta siap untuk diperdagangkan, di
Ankola justru belum melakukan apa-apa tentang komoditi perdagangan ini.
Controleur Polanen Patel memperkenalkan tanaman kopi di Ankola (1846-1847) dan
diteruskan oleh Controleur Stijman (1848-1850). Pada tahun 1848 kopi Mandheling
sudah ikut lelang di Padang. Selain kopi, di Ankola (1852) juga mulai
dikembangkan gambir untuk komoditi perdagangan.
Potensi ekonomi Afdeeling Mandheling en
Ankola sudah mulai terlihat. Karena itu, 1854 perlu menambah seorang pengawas
(opziener) untuk membantu Controleur Hammers yang ditempatkan di Loemoet.
Struktur pemerintahan di Mandheling en Ankola pada tahun 1855 pemerintah juga perlu
mengangkat seorang komisioner untuk membantu asisten residen. Komisioner ini
bertugas untuk mengawasi keluar dan masuk barang dan lainnya di wilayah
Mandheling en Ankola, juga meliputi pelabuhan dan gudang induk di Aier Bangies.
Untuk lanskap Mandheling menggunakan
pelabuhan Natal dan untuk lanskap Ankola menggunakan pelabuhan Loemoet.
Pada tahun 1856 Controleur W.A. Hennij didatangkan
ke Padang Sidempuan untuk menggantikan Controleur Hammers. Hennij adalah
seorang Controleur yang berpengalaman di lanskap-lanskap produsen kopi
sebelumnya. Hennij melakukan ekspor perdana kopi dari Ankola tahun 1857. Pada
tahun 1858 kopi dari Sipirok juga menyusul memasuki pelabuhan Loemoet. Kopi
dari Ankola Djoeloe, Ankola Djai dan Sipirok sebelum diteruskan ke pelabuhan
Loemoet, semua dipoolkan di gudang besar yang dipersiapkan di Padang Sidempuan.
Dari Padang Sidempuan diangkut dengan gerobak ke Loemoet dan kemudian dengan
perahu-perahu ke Djaga-Djaga dan pelabuhan Sibolga dan seterusnya ke Padang.
Nieuw Amsterdamsch
handels-en effectenblad, 01-12-1857:
‘Hasil pengepulan kopi di Padang, yang
ditutup pada 30 September, terdapat sebanyak 5.172 picols dari Mandhaling dengan harga van ƒ36 tot f 36 15/120; 1.143
picols dari Ankola dengan harga van f 36 5/120
tot f 36 10/120’.
Ternyata hasil kopi dari Ankola dan Sipirok
tidak kalah jauh dari kopi Mandheling. Kedua jenis kopi ini ternyata mendapat
apresiasi tinggi di pusat lelang di Padang. Tidak lama, harga kopi Mandheling
dan kopi Ankola langsung meroket harganya. Hennij pun semakin bersemangat. Melihat
aliran komoditi perdagangan yang semakin deras, Hennij mulai meningkatkan
kualitas jalan dari Padang Sidempuan menuju Loemoet dari jalan setapak
sebelumnya (angkutan kuda beban) diperlebar dan dirapikan agar gerobak (tanpa
roda) yang ditarik kerbau bisa berjalan mulus.
Hennij juga mengambil kebijakan baru, yakni
pembatasan penyembelihan kerbau utamanya yang dilakukan dalam perayaan orang
meninggal. Hal
ini dapat mengurangi populasi ternak dan orang harus membayar sangat mahal. Kesepakatan
dengan para kepala-kepala kampong tidak sulit, hal ini karena bercermin dari
sukses di Mandheling pada tahun 1849. Aturan ini akan diberlakukan di semua
tempat sebanyak mungkin, dan khususnya
di Padang Lawas. Secara tak langsung, kebijakan pembatasan penyembelihan
kerbau juga akan mampu menambah armada angkutan kopi.
Pasar di Padang Sidempoean, 1890 |
Singkat cerita, perdagangan kopi telah
menggerakkan ekonomi penduduk di seluruh Ankola dan Sipirok, khususnya di
Padang Sidempuan. Penduduk yang terpencil sekalipun di lereng-lereng Gunung
Lubuk Raya dan Sibualbuali sudah memegang uang. Ada uang ada barang. Jika kopi
terus mengalir ke pelabuhan, maka dengan sendirinya barang-barang sekunder juga
mengalir ke padalaman. Fungsi kota Padang Sidempuan pun semakin beragam: tidak
hanya pusat pemerintahan, juga pusat perdagangan. Pusat-pusat transaksi muncul
dengan sendirinya. Pasar Siborang mewadahi transaksi untuk mewakili lanskap
Ankola Djai, dan Pasar Siteleng untuk mewadahi kegiatan transaksi dari Ankola
Djoeloe dan Sipirok. Petani-petani sawah di sekitar kota juga mendapat imbas
dan mengalami percepatan perputaran uang. Para petani kopi yang tidak memiliki sawah
membutuhkan komoditi beras. Ditemukannya tambang emas di Siondop ikut
meramaikan perputaran uang di Padang Sidempuan.
Berkembangnya pasar-pasar di Padang Sidempuan
mengakibatkan tumbuhnya jasa-jasa baru. Aliran komoditi yang memusat di Padang
Sidempuan khususnya di Pasar Siteleng dan Pasar Siborang juga mengakibatkan aliran orang yang awalnya
bermukim di pedesaan lalu menjadi penduduk sementara atau penduduk permanen di
Padang Sidempuan. Pemukiman penduduk di sekitar pasar lambat laun semakin
meluas dengan cepat bagaikan deret geometris.
***
Controleur Ankola terus bekerja. Selain
menata pemerintahannnya, Controleur juga ingin segera menggerakkan pembangunan.
Dia tidak bisa sendiri harus melibatkan semua penduduk.
Java-bode: nieuws,
handels-en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 15-02-1862: ‘di distrik Ankola (Tapanoeli) masih
terbelakang, namun penanaman sawah mereka berkembang dan umumnya cukup baik,
pemerintah disana membuat setiap usaha untuk mengakhiri ketertinggalan mereka’.
Salah satu prioritas Controleur setelah
berkembang budidaya dan perdagangan kopi adalah ekstensifikasi pertanian sawah.
Akibat adanya urbanisasi di Padang Sidempuan, ketersediaan pangan harus tetap
dijaga untuk mendukung ekonomi kopi yang terus menggeliat.
Sumatra-courant:
nieuws-en advertentieblad, 14-06-1862:
‘diadakan outsourcing untuk evakuasi koffij ke Padang dari tempat-tempat
sebagai berikut (antara lain): dari Ankola en Si Pirok melalui Djaga-Djaga
(dekat Loemoet) ke Padang dengan biaya sebesar ƒ 4.40 per picols. (Pemberi
kerja: Li Thong)’.
Pengalihan fungsi lahan sawah di dalam kota
menjadi tidak terelakkan. Controleur bekerja dengan kepala-kepala kampong di
luar kota untuk memperluas lahan sawah. Akibatnya sawah-sawah di Batunadua semakin
meluas ke timur hingga mencapai Silandit, sawah-sawah di Hutarimbaru dan Sabungan
semakin meluas ke hulu hingga Siharang Karang. Demikian juga di Dollok dan Ankola
Djai. Satu areal pencetakan sawah baru justru terjadi di tengah kota yang pada gilirannya
kemudian menjadi persawahan Pasar Sitamiang dan Kampong Losung.
(bersambung)
*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe. Sumber
utama, antara lain:
- Topographisch Bureau, Batavia, Batavia: Kaart van Padang Si Dimpoewan en Omstreken (1880).
- Kaart van het Gouvernement Sumatra's Westkust : opgenomen en zamengesteld in de jaren 1843 tot 1847 / door L.W. Beijerink met medehulp van C. Wilsen... et al. Beijerink, L.W., Topographisch Bureau, Batavia, 1852.
- Peta 1830
- Peta 1908
- Peta 1943
- Etappekaart Sumatra's West Kust, 1845
- Almanak Pemerintahan Belanda
- Koran-koran Belanda
- Laporan Tahunan Pemerintahan Belanda
- Observasi pribadi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar