Soetan
Naposo di Mandailing dan Mangaradja Naposo di Sipirok. Yang dibicarakan
sekarang adalah Mangaradja Naposo dari Sipirok. Siapa itu Mangaradja Naposo?
Dia adalah kepala kampong dari Sipirok yang memiliki nama lain: Thomas Siregar atau
Muhammad Junus Siregar. Thomas Siregar dulunya adalah salah satu dari tiga
murid pertama dari sekolah dasar yang didirikan van Asselt (1861) dengan
gurunya Nommensen (1862) di Prau Sorat. Dua murid yang lain adalah Petrus dan
Markus. Kedua anak muda ini aktif di dalam kegiatan zending di Sipirok dan juga
mereka termasuk asisten Nommensen dalam kegiatan misi di Bataklanden.
Ketika,
kebutuhan guru semakin meningkat dengan bertambahnya jumlah usia sekolah yang memerlukan
pendidikan di Sipirok, sekolah-sekolah rakyat (yang yang dulunya inisiatif para
guru lulusan Kweekschool Tanobato kemudian diakuisisi pemerintah dan ditambah
sekolah baru) ternyata tidak mencukupi. Lantas, tiga orang terpelajar (murid
Nommensen dulu) ini diangkat menjadi guru yang dibayar pemerintah untuk menambah
kekurangan guru yang diperlukan. Thomas ke Sipirok, Petrus ke Prau Sorat dan
Markus ke Arse. Selanjutnya ketika pemerintahan di Sipirok dibentuk, diperlukan
sejumlah pegawai untuk membantu Controleur dalam menjalankan pemerintahan.
Salah satu calon pegawai tersebut adalah Thomas Siregar, yang sebelumnya adalah
guru yang diangkat pemerintah. Dengan kata lain, ketika Thomas Siregar diangkat
sebagai mantri-politie di Sipirok, sebenarnya Thomas hanya berpindah posisi:
dari guru menjadi pegawai. Di dalam sisa hidupnya, Thomas Siregar hanya berkarir
sebagai pegawai pemerintah.
Sumatra-courant:
nieuws- en advertentieblad, 17-06-1890 memberitakan pengumuman pemerintah
sebagai berikut: ‘diangkat dari mantri kelas-1 menjadi mantri kelas-2 (salah
satu): Thomas gelar Mangaradja Naposo di standplaats Tapanoeli’.
***
Pada
tahun 1890, anak Thomas Siregar yang bernama Si Julius masuk sekolah guru
(kweekschool) di Padang Sidempuan. Tidak lama, setelah Si Julius masuk sekolah
guru ini, pemerintah segera menutup sekolah ini karena defisit anggaran
pemerintah dan pendaftaran murid baru ditutup. Si Julius gelar Soetan Martoea
Radja lulus Kweekschool Padang Sidempuan tahun 1893.
Bataviaasch
nieuwsblad, 17-06-1893: ‘dari tanggal 21 hingga 24 Maret 1893 di sekolah guru
Kweekschool Padang Sidempoean dilakukan ujian. Dari tujuh kandidat, semuanya
lulus ujian. Mereka yang lulus ini (diantaranya) adalah Si Loehoet galar Raja
Enda Boemi dari Baringin, Si Julius galar Soetan Martoewa Radja dari Si Pirok,
Si Raja Dangijang galar Regar Indo Mora dari Sijala Goendi dan Si Tirem galar
Dja Ali Saman dari Si Pirok’.
Soetan
Martoea Radja dan kawan-kawan adalah lulusan terakhir di Kweekschool Padang
Sidempuan. Soetan Martoea Radja kemudian menjadi guru dan kepala sekolah di Pargarutan.
Pada tahun 1899, Soetan Martoea Radja dipindahkan ke Sipirok. Sekolah dasar
Sipirok ini merupkan sekolah lama yang direnovasi dan ditingkatkan
kapasitasnya. Selanjutnya, pada tahun 1914, Soetan Martoea Radja sehubungan
dengan pembukaan sekolah guru Normaalschool (pengganti kweekschool) di Pematang
Siantar diangkat menjadi kepala sekolah. Setelah 10 tahun menjadi guru di
Pematang Siantar, Soetan Martoea Radja pension dengan pangkat guru pribumi
kelas-1.
Pada
tahun 1924, Soetan Martoea Radja kemudian diangkat menjadi anggota dewan kota
(gementeeraads) Pematang Siantar. Di dewan kota hanya tiga orang yang berasal
dari pribumi, yakni: Soetan Martoea Radja Siregar, Madong Loebis (guru
Normaalschool) dan Muhammad Hamzah Harahap (pegawai pertanahan). Soetan Martoea
Radja dan Muhammad Hamzah Harahap gelar Soetan Batoe na Doea ditunjuk lagi menjadi
anggota dewan kota periode kedua dan berakhir tahun 1937. Namun pada tahun
1938, kedua anggota dewan senior ini ditunjuk lagi untuk periode ketiga. Sedangkan
Saulus gelar Soetan Maradja penganti Madong Loebis ditunjuk juga untuk periode
yang kedua. Madong Loebis setelah tidak menjadi anggota dewan, diangkat sebagai
Inlandsen Schoolppziener di Medan. Soetan Martoea Radja sendiri selama menjadi
anggota dewan juga ‘nyambi; menjadi konsultan di Handel Mij. Indische Drukkerij
yang berkantor di Medan.
***
Pada
tahun 1931 anak Si Julius gelar Soetan Martoea Radja yang namanya disingkat
sebagai A.F.P. Siregar masuk MULO di Medan. Pada tahun 1935 A.F.P Siregar
melanjutkan pendidikan HBS di Medan. Pada tahun 1936 A.F.P Siregar dipromsikan
dari kelas empat ke kelas lima afdeling-B (jurusan IPA sekarang). Pada tahun
1037, A.F.P. Siregar dinyatakan lulus ujian akhir (eindexamen).
Setelah
lulus sekolah HBS, A.F.P. Siregar gelar Mangaradja Onggang Parlindoengan berangkat
ke Batavia untuk selanjutnya melanjutkan pendidikan tinggi ke luar negeri. Dari
Batavia, yang terdaftar di dalam manifest M.O. Parlindoengan dengan menumpang
kapal Indrapoera berangkat dari Batavia tanggal 28 Juli 1937 menuju Marseile
(Prancis). Dari kota pelabuhan ini, Parlindoengan melanjutkan perjalanan dengan
kereta api ke Jerman.
Orang
pribumi yang melanjutkan pendidikan tinggi selalu ke Negeri Belanda. Tidak
demikian dengan M.O. Parlindoengan, ia justru ke Jerman. Mungkin Parlindoengan
adalah orang Indonesia pertama yang sekolah ke Jerman. Setelah lulus dan
memperoleh gelar akademik insinyur (Ir), A.F.P. Siregar gelar Mangaradja
Onggang Parlindoengan pulang ke tanah air. Sesampainya di tanah air, situasi
berubah dengan adanya pendudukan oleh militer Jepang. Keahlian Parlindoengan
dibutuhkan oleh militer Jepang. Setelah Belanda kembali (angresi militer
Belanda), Parlindoengan bergabung dengan laskar di Surabaya dengan pangkat terakhir
Letnan Kolonel.
Setelah
pengakuan kedaulatan oleh Belanda, Mangaradja Onggang Parlindoengan pada tahun
1950 ditunjuk pemerintah untuk menjadi direktur Pabrik Sendjata dan Mesiu (PSM)
di Bandung. Pada tahun ini juga (1951) ayahnya Soetan Martoea Radja meninggal
dunia di Pematang Siantar. Sepulang dari Pematang Siantar, M.O.Parlindoengan
memasang berita duka di koran Algemeen Indisch dagblad : de Preangerbode (mulai
edisi 16-06-1951) dan De nieuwsgier (mulai edisi 19-06-1951) dengan bunyi
beritanya sebagai iklan di koran tersebut.
Tahun
dan bulan ini (Juni 1951) adalah suasana duka cita dan juga sekaligus suka
cita. Ayahnya meninggal, juga kelahiran putrinya yang kedua sebagaimana di dalam
sebuah iklan koran Algemeen Indisch dagblad : de Preangerbode (edisi
28-06-195). Selanjutnya, pada tahun 1954, M.O. Parlindoengan pension dari PSM.
Kemudian pada tahun itu juga Parlindoengan pindah ke Jakarta. Di Jakarta lahir
anak yang ketiga, yang ditunggu-tunggu, seorang putra yang disebut Sonny. Di
masa pension ini, Mangaradja Onggang Parlindoengan menulis buku yang terkenal
tetapi kontrovesial yang berjudul: Pongkinangolngolan Sinambela Gelar Tuanku
Rao: ‘Terror Agama Islam Mazhab Hambali di Tanah Batak 1816-1833’. Buku ini
ditulis, kata penulisnya, untuk Sonny jika kelak dia sudah dewasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar