Jumat, November 21, 2014

Bag-1. Sejarah Padang Sidempuan: 'Kampong Baroe, Kampung Lama, Suatu Koeria di Tengah Kota dan Asal Usul Nama Padang Sidempuan'


*Suatu sketsa Kota Padang Sidempuan

Ini adalah suatu sketsa (analisis tidak mendalam) berdasarkan fakta-fakta sejarah. Mungkin tidak ada yang menyadari bahkan para keluarga mereka sekalipun, bahwa di tengah Kota Padang Sidempuan masa kini, ternyata di jaman doeloe terdapat satu koeria. Koeria apa itu? Mari kita lacak!


Misteri Koeria Kampong Baroe

Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda (Staatsblad No. 141 tahun 1862) yang mana Residentie Tapanoeli (Kresidenan Tapanuli) terdiri dari enam afdeeling. Salah satu afdeelingnya disebut Afdeeling Mandheling en Ankola. Salah satu lanskap (kemudian disebut onderafdeeling) adalah Ankola en Sipirok. Di lanskap atau onder afdeeling Ankola en Sipirok ini terdapat sebanyak 14 koeria (yang dikepalai koeriahoofd), yakni:

1.      Kampong-baroe
2.      Si Mapil-Apil
3.      Saboengan Djai
4.      Batoe-nadoea
5.      Oeta Rimbaroe
6.      Si Pirok
7.      Bringin
8.      Praoe Sorat
9.      Soeroemantigi
10.  Pintoe Padang
11.  Si Galangan
12.  Moeara Thais
13.  Pitjar Koeleng
14.  Si Ondop

Pada tahun 1864 ada suatu kejadian pembunuhan sebagaimana dilaporkan di dalam Koran yang mana para kepala-kepala koeria tersebut menjadi anggota rapat (pengadilan lokal). Mereka telah menjadi bagian dari sistem pemerintahan sipil di Ankola en Sipirok. Berdasarkan staatsblads yang dikutip koran Bataviaasch handelsblad, 10-06-1871, semua koeria tersebut diberi tunjangan sebesar f 960 per koeria per tahun (f=GDN).

De Oostpost: letterkundig, wetenschappelijk en commercieel nieuws- en advertentieblad, 14-10-1864: ‘Pada tanggal 12 Mei 1864 para kepala koeria telah melakukan rapat (musyawarah) untuk memutuskan tentang suatu kasus pembunuhan oleh Dja N dengan temannya terhadap Sie P, yang mana Dja N memotong kepala Sie P dan mengambil lidah dan bibir atas lalu membawanya ke rumahnya. Dja N beralasan karena Sie P menuduhnya memiliki begu attuk.Atas keputusan rapat para koeria Dja N diganjar hukuman mati dan keluarganya diminta denda satu ekor kerbau dan empat batang besi ditambah uang f 50. Para kepala-kepala koeria yang memutuskan itu adalah Si Mapie Apil, Oeta Rinebara, Bato-nan-doea, Kampong Baroe, Saboengan, Si Pirok, Bringin, Praoe Sorat, Pitjar Kolling, Moeara Thais, Si Galangan, dan Pintoe Padang. Proses pengadilan lokal ini berada di bawah pengawasan Controleur di Padang Sidempoean, T.A.L. Kroesen. Gubernur Sumatra’s Westkust meminta penundaan waktu eksekusi’.

***
Pertanyaan yang masih tersisa adalah dimana letak koeria Kampong Baroe tersebut? Sebab sejak 1862 koeria Kampong Baroe sudah diakui sebagai salah satu koeria di onder afdeeling Ankola en Sipirok dan kepala koeria Kampong Baroe juga telah terlibat dalam pengadilan pribumi (rapat). Menemukan dimana letak Koeria Kampong Baroe berada di tengah Kota Padang Sidempuan bukanlah pertanyaan yang mudah dijawab. Mari kita susun skenarionya:

  1. Dokomen resmi Pemerintahan Belanda baik peraturan perundangan (staatsblad 1952) maupun laporan resmi (terutama Almanak) dari daftar nama-nama koeria yang ada di Ankola, koeria Kampong Baroe berada pada urutan nomor satu. Tentu ada alasannya. Daftar dimulai dari pusat pemerintahan (pusat kota) di Padang Sidempuan.
  2. Nama-nama yang terdapat dalam peta resmi Kota  Padang Sidimpoewan (1880) antara lain Batoena Doewa, Ajoemi, Sitataring, Tanobato, Tamijang, (kampong) Losoeng, Aek Tampang, dan Padang Matinggi, Boeloe Gonting, Panjanggar, Oejoeng Padang, Silandit, Tamijang, Ajoemi.  Moeara Si Pongie, Losoeng, Batang Toehoel, Si Batoe Loting, Poedoen, Baroewas, Oejoeng Goerap dan Batoe Nanga. Jumlahnya tidak banyak, tersebar dan antara satu kampong dengan kampong lainnya berjauhan.
  3. Penetapan koeria dan pengarsipan oleh Balanda tentu saja atas dasar adanya populasi (sumber daya manusia) dan resources (sumber daya alam) untuk maksud pemungutan pajak dan pemberdayaan penduduk untuk pembangunan jalan, jembatan dan irigasi. Kombinasi keduanya untuk menciptakan nilai tambah ekonomi (komoditi perdagangan seperti kopi dan rempah-rempah). Di dalam peta Kota Padang Si Dimpoewan, hanya kampong Batunadua yang terbilang populasinya sangat besar, sedangkan yang lainnya sedikit. Ciri-ciri utama kampong-kampung terdapat sawah sebagai proksi adanya resources yang besar.
  4. Pada peta resmi yang lebih tua (1843) di sekitar Padang Sidempuan hanya empat kampong yang disebut yakni Kotta Rimbaroe, Batoenyang Doewa, Siondop dan Pitjer Kolling. Dengan membandingkan peta 1880, hanya Koeria Batunadua yang di dalam kota, sedangkan Huta Imbaru, Siondop dan Pitjer Kolling berada di luar kota. 
Pertanyaan yang tetap misteri adalah dimana letak Koeria Kampong Baroe, mengapa tidak ada dinyatakan dalam peta kota, sementara di dalam peta lama hanya menyebut Padang Sidempoean, Kotta Rimbaroe, Siondop dan Pitjer Kolling.

Asal Usul Nama ‘Padang Sidempuan’
Peta Padang Sidempoean, 1880

Jauh sebelum Belanda memasuki lanskap Ankola, nama Si Dimpoewan sudah ada. Si Dimpoewan adalah nama sebuah kampong kecil (terdiri dari beberapa rumahtangga petani sawah). Kampung-kampung kecil semacam ini tersebar berjauhan, seperti Tanobato, Sitataring, Boeloe Gonting, Panjanggar, Ajoemi, Batang Toehoel, Si Batoe Loting, Poedoen, Baroewas, Oejoeng Goerap dan Batoe Nanggar. Semua kampong-kampong tersebut memiliki arti (dalam bahasa setempat) dan ciri-ciri utama adanya kampong tersebut bahwa di sekitar kampong terdapat sawah yang signifikan luasnya.

Sawah-sawah (yang menjadi sumber kebutuhan utama) tersebut berpengairan baik dengan desain irigasi tradisional. Irigasi terbaik terdapat di Batoe na Doea yang memanfaatkan dan menyodet Sungai Batang Ajoemi di Sigalagala Torop. Irigasi di Tanobato, Ajoemi dan Panjanggar juga sangat baik. Hal ini karena irigasi di Saboengan, dan Oeta Rimbaroe sudah baik yang menyodet Sungai Aek Sibontar dan Sungai Aek Sipogas di daerah hulu.
Sebuah kampong di Sidimpoean, 1870

Satu-satunya areal yang tidak memiliki sawah adalah areal di belakang (selatan) Kampong Si Dimpoewan, yaitu: suatu lahan kering yang arealnya diapit oleh Sungai Aek Sangkumpal Bonang dan Sungai Aek Sibontar. Areal ini jelas selalu kering karena air kedua sungai yang mengapitnya berada jauh di bawah (rura). Sementara areal persawahan di depan (utara) Kampoeng Si Dimpoewan sumber air berasal dari limpahan sawah-sawah (irigasi) di daerah hulunya. Pada masa ini (apa lagi tahun 1970-an) selokan atau parit persawahan (yang kini menjadi pemukiman penduduk di Jalan Topi, Jalan Tonga dan Jalan Merdeka) ini masih bisa ditelusuri dengan jelas yakni parit-parit yang melalui Kampung Salak yang terbagi tiga (satu aliran ke arah Jalan Topi, satu aliran ke Jalan Tonga, dan satu aliran menyusuri sepanjang sisi utara Jalan Merdeka).

Ketiga aliran parit/selokan sawah ini akan bertemu di belakang sekolah dasar (Jalan Sutomo) yang sekarang, lalu aliran ini memotong Jalan Merdeka dan jatuh ke Sungai Aek Sibontar. Dengan kata lain, aliran air selokan/parit yang berasal dari hulu yang mengairi sawah-sawah di Jalan Topi, Jalan Tonga dan Jalan Merdeka tidak akan bisa melewati Kampung Bukit yang sekarang yang pada gilirannya tidak pernah ada pengairan ke pusat Kota Padang Sidempuan yang sekarang meski permukaannya jauh lebih rendah dari Kampung Bukit. Areal tanpa pengairan ini hanya merupakan areal perladangan.

Boleh jadi nama Kampong Si Dimpoewan berasal dari kondisi geografis serupa itu yang memang sedikit lebih tinggi (dimpu) jika dibandingkan dengan daerah di sekitarnya. Ini berarti bahwa Kampong Si Dimpoewan yang terletak sedikit lebih tinggi ini berada di antara areal persawahan (sisi utara) dan areal perladangan (sisi selatan). Jika ditebak, dimana Kampong Sidimpoewan persisnya, ini tidak lain adalah lokasi dimana sekolah dasar dan pabrik es di Jalan Sutomo pada masa kini. Catatan: penamaan nama Kampung Bukit di era kolonisasi Belanda, dilihat dari arah selatan (pusat kota) ke areal perlandangan penduduk yang sedikit lebih tinggi (dimpu) tersebut.

Dalam konteks ini, seharusnya tanah yang lebih tinggi (dimpu) yang menjadi asal muasal nama Kampong Sidimpoewan haruslah dipandang dari utara (dari arah persawahan), bukan dari selatan (dari arah perladangan). Sebab sawah yang di hilir (belakangan) diturunkan (dicetak) dari sawah-sawah yang berada di hulu (yang lebih dulu ada). Dengan kata lain, populasi penduduk lebih dulu berkembang di utara kota (Huta Rimbaru, Sabungan, Losung Batu, Panyanggar, Tanobato dan Batang Ayumi), sementara areal tanah kering yang menjadi pusat Kota Padang Sidempuan masa kini, dulunya merupakan areal hutan dan perladangan yang banyak ditumbuhi oleh ilalang (padang). Suatu areal tanah kosong yang tidak berpenghuni yang menjadi wilayah perburuan penduduk yang berada di Kampong Sidangkal (kampong awal terdekat). Sementara wilayah Sitamiang adalah areal kosong yang tidak berpenduduk yang merupakan pada perburuan penduduk yang berada di Kampung Batunadua.

Hal yang sama juga dapat ditelusuri areal persawahan yang kemudian menjadi Kampung Rambin dan Kampung Marancar dan Kampung Malayu yang di masa dulu sepenuhnya adalah persawahan yang mendapat pengaliran air dari limpahan air persawahan yang kemudian menjadi Kampung Tobu, Kampung Batang Ayumi dan Kampung Tobat. Sawah-sawah yang menjadi kampong-kampung tersebut sumber airnya disodet dari sungai Aek Sangkumpal Bonang di hulu plus limpahan air sawah dari arah hulu di areal persawahan Tanobato dan Boeloe Gonting.

***
Seorang Controleur Belanda sangat menikmati indahnya persawahan di Padang Sidempuan, memuji teknologi irigasi persawahan di Padang Sidempuan. Lantas siapa para ‘insinyur-insinyur’ Padang Sidempuan yang membangun sawah-sawah yang maha luas itu? Mereka adalah para raja-raja terdahulu yang mendiami kampong-kampong di Batu na Doewa, Saboengan, Oeta Rimbaroe dan Kampong Baroe. Raja Kampong Baroe diduga kuat yang menjadi ‘insinyur pengairan’ dalam pengembangan sawah-sawah yang doeloe berada di Kampung Tobat, Kampung Batang Ayumi, Kampung Tobu, Kampung Marancar, Kampung Malayu dan Kampung Rambin, Kampung Salak, Kampung Salamat dan pemukiman sekitar Jalan Tonga (hingga Kampung Bukit yang dulunya lokasi Kampong Sidempoewan). Lalu bagaimana sawah-sawah yang maha luas itu berkurang. Mari kita telusuri sebab musababnya. 

***
Dalam penguasaan Ankola, Militer Belanda masuk ke Ankola dari dua arah. Dari arah selatan (pantai Natal) di Benteng Elout (dibangun di Panyabungan, 1834), kemudian memindahkan aktivitasnya ke arah utara dan membangun benteng di Pijor Koling (1837). Dari arah barat (pantai Sibolga) didirikan pos militer di Tobing (lokasinya di lereng Gunung Lubuk Raya, antara Sitinjak dan Hutarimbaru). Post militer ini dibangun 1837 bersamaan dengan benteng di Pijor Koling.
De avondbode: algemeen nieuwsblad voor staatkunde, handel, nijverheid, landbouw, kunsten, wetenschappen, enz./doo…edisi 06-09-1838: ‘baru-baru ini telah melakukan pengepungan setengah lingkaran (dari Portibi, Kota Pinang dan Kota Nopan) terhadap Tuanku Tambusai dan pasukannya. Namun untuk wilayah Ankola dan Sipirok sudah dianggap terbebaskan, dimana selama ini penduduknya berkeluh kesah terhadap ‘teror’ yang dilakukan oleh pasukan Tuanku Tambusai’.
Setelah situasi dirasa ‘aman dan terkendali’ di lanskap Ankola, oleh pemerintahan militer Belanda, di dua post militer (Pijor Koling dan Tobing) direduksi (masih ada tetapi jumlah personelnya dikurangi) dan menempatkan sebuah garnisun (semacam Markas Militer) dengan komandan berpangkat kapten yang tempatnya dipilih adalah Kampong Si Dimpoewan. Pos utama (garnisun) ini dengan sendirinya menjadi poros militer Kota Nopan, Panyabungan, Sayurmatinggi, Pijor Koling, Padang Sidempuan dan Tobing. Tampaknya, pilihan Kampong Si Dimpoean boleh jadi dimaksudkan untuk strategi pertahanan. Hal ini karena lokasi garnisun di Kampong Si Dimpoean letaknya sangat strategis dan posisinya secara alamiah sudah dengan sendirinnya semacam benteng (di dalam wilayah sempit yang dibatasi oleh empat sungai: Sungai Batang Ankola dan Sungai Aek Sibontar di selatan dan Sungai Batang Ayumi dan Sungai Aek Sipogas di utara. Sementara dua pos militer mengawalnya (Pijor Koling dan Tobing).

Sebelum ada garnisun ini, kekuatan militer Belanda di Ankola adalah pos militer Pijorkoling yang telah ditingkatkan menjadi benteng pada waktu dibentuknya pasukan gabungan untuk ‘mengejar’ pasukan Tuanku Tambusai di daerah Padang Lawas. Pasukan yang berasal dari Tapanoeli (Sibolga) mengambil rute Loemoet, Batang Toru, Panabasan, Tobing dan langsung ke Pitjar Koling melalui hulu Sungai Batang Angkola via Kampung Sisoendoeng dan Kampung Siondop. Sementara pasukan dari Kota Nopan di pecah menjadi dua di Siaboe. Sebagian pasukan melalui pos militer di Sayurmatinggi dan menuju Pijor Koling dan bersama dengan pasukan dari Siboga kemudian menuju Pertibi via Batang Onang. Sebagian yang lain di Siabu mendaki gunung ke timur menuju Kampung Baroemoen. Sedangkan pasukan dukungan yang berasal dari Rao di pecah menjadi dua pasukan. Satu pasukan ke Baroemoen dan besrama-sama pasukan via Siabu menuju Pertibi. Pasukan yang kedua menuju timur ke Daloe-Daloe. Inilah yang disebut strategi setengah lingkaran untuk melumpuhkan pengikut Tuanku Tambusai.
 
Peta Militer Belanda untuk mengepung Tanku Tambusai
Yang disebut jalur-jalur militer tadi, sebenarnya adalah jalur-jalur tradisional penduduk di Mandheling en Ankola sejak doeloe kala. Oleh karena itu jika penduduk Mandheling dan sebaliknya ke Padang Lawas dapat dilakukan melalui Siaboe atau Pijor Kolling. Demikian juga jika penduduk Padang Lawas dan sebaliknya ke Ankola dapat dilakukan melalui Pijor Koling, Siondop dan Angkola Djulu di Hutarimbaru dan seterusnya ke Sipirok. Penduduk Padang Lawas dan sebaliknya ke Sipirok dapat dilalui jalur pegunungan dari Batang Onang, Aek Godang, Goenoeng Manungkap hingga ke Prau Sorat. Dengan demikian, pilihan lokasi garnisun di Kampong Si Dimpoean lebih pada pilihan strategis pertahanan dan tidak dimaksudkan untuk pengembangan ibukota wilayah.

Ibukota wilayah Ankola justru awalnya dipilih Pitjar Kolling agar tetap menjadi 'interchange' antara tiga jurusan (Mandheling, Padang Lawas dan Siboga). Atas dasar ini, pada tahun 1839 di Batavia tersiar kabar bahwa akan ditempatkan seorang Controleur di Ankola. Namun realisasinya masih tertunda. Pada tahun 1841 nama lanskap diubah dari Ankola menjadi Petjirkolling en Ankola yang mana Controleur berkedudukan di Pitjar Kolling. Sekali lagi juga penempatan pos Controleur ini masih tertunda. Baru akhirnya tahun 1842 Controleur ditempatkan di Ankola yang dijabat oleh V.P.J. Happe, namun tidak berkedudukan di Pitjar Kolling melainkan di Kampong Si Dimpoean—mengikuti lokasi dimana garnisun sudah berada.
Javasche courant, 27-04-1839: ‘Controleur kelas-3 Ankola (Sumatra’s Westkust), V. Barthelemij, seorang pejabat di Sumatra’s Westkust’.
Nederlandschestaatscourant, 13-07-1841: ‘Controleur kelas-2 di  Petjirkolling en Ankola (Sumatra’s Westkust), FW. Godin, petugas supernumerary’.
Rumah Controleur di Ankola

Letak garnisun dan rumah/kantor Controleur Ankola ini terletak tidak jauh dari Kampong Si Dimpoean (di tengah kota Padang Sidempuan masa kini). Garnisun mengambil posisi di Kantor Kodim (strategis karena pintu masuk ke dalam kota). Kemudian, rumah/kantor Controleur berada di sisi barat garnisun yang menjadi lokasi Pasar Baru/Pasar Sangkumpal Bonang yang sekarang. Controleur Happe tidak lama karena pada tahun 1843 posisinya digantikan oleh W.F. Godin (lihat Almanak, 1843) dan pada tahun 1846 digantikan oleh L.B. van Polanen Petel.

Lantas, kapan Kampong Sidimpoewan mengalami transformasi menjadi Kota Padang Sidempoean? Jawabnya di sekitar tahun 1842 (saat Controleur pertama menempati posnya di Ankola) dan 1847 (pada saat bahan-bahan peta Tapanoeli selesai dikumpulkan). Perhatikan surat pembaca yang dimuat di Koran Algemeen Handelsblad, 09-12-1847.
Algemeen Handelsblad, 09-12-1847 (surat pembaca, yang ditulis pada bulan Agustus 1846, di Sidim Poewang di dataran tinggi Sumatera): ‘Saya tinggal di sebuah lembah di bagian lembah sungai Ankola... Rumahku, jika anda tahu, telah dibangun, dan jendela telah dilengkapi dengan jendela kaca, sangat menyenangkan, dan taman di sekitar rumah saya…Di sini di sekitar negara Batta ini, rumah-rumah tidak begitu kuat dibuat, sebagai salah satu kebiasaan mereka, beberapa diantaranya mewah (mungkin maksudnya rumah adat). Namun kuda-kuda mereka cukup tersedia yang boleh dibilang dianggap untuk yang terbaik dari Nusantara setelah Makassersche. Mereka berlari cepat dan bisa bertahan lama…Pria naik kuda hanya di sini…Jika kamu membayangkan yang satu akan menemukan di sini, seperti dengan setiap langkah kaki harus berhati-hati. Hal ini berlaku sesedikit bahwa ular atau hewan liar pada dasarnya banyak ditemukan di sini.berlimpah baik di sepanjang jalan atau di daerah  penduduk, anda bertanggung jawab untuk selalu hati-hati. Adakalanya bertemu harimau, orangutan, oliefanlen, dll, seseorang harus menembus hutan ketika ia bepergian, mendaki gunung, ..oleh orang-orang jarang melintasi wilayah ini sepanjang saya dalam dua tahun tinggal di tempat ini, aku punya pengalaman, bagaimana aku kadang-kadang melakukan perjalanan cukup jauh, di tengah jalan dapat melihat  satwa liar, seekor badak, orang oetan dan aku bahkan tidak perlu menemukan mereka sampai jauh…Kita memiliki garnisun kecil disini, itu biasanya sangat tenang (tidak ada gangguan keamanan). Jarang seseorang dari Padang atau Tappanoelie (Sibolga) untuk mengunjungi kami, dan itu sudah beberapa bulan sejak kami telah dikunjungi beberapa fisikawan di sini (geolog). Sebulan lalu, yang di posting (pos) ini terkait dengan Jenderal von Gagern…Pada pertengahan Juni (1846), ia telah ditemani Jenderal Michiels, gubernur militer Sumatra’s Weskust... Anda bisa membayangkan betapa besar jumlah kami di sini dalam kunjungan pejabat tinggi ini…untuk menyambut tamu kami…rumah dan Kasernen, gebraiji ordo dan semuanya dipoles atau diperbaharui…Pada bulan Juli (1846) kedua  jenderal itu di sini (Padang Sidempuan), dengan rombongan, empat asisten, tiga ambtenaren sipil, dan pegawai dan operator, waarvar. Lebih dari dua ratus operator telah diperlukan untuk membawa.pakkagie (perbekalan) yang dibawa melalui pegunungan dan lembah. Kuda-kuda diberi makan hanya rumput, di sini setiap hari harus dipotong. Sekarang, untuk memastikan agar kuda-kuda Lords terdapat seratus Melayu dalam layanan harian. Satu kemudian membayangkan  yang sulit dimengerti dan banyaknya kerumunan di kami sehingga sangat ramai di Sidimpoewang. Dari semua sisi yang kepala Batta, datang dengan sejumlah pengikut, semua datang dengan di atas kuda, banyak peningkatan harian, mereka untuk menyaksikan Pak Gubernur eerbewijzingen. Untuk menampung tamu kami, secara substansial tidak mudah.Tentu saja, bagi dua jenderal, rumah yang dipilih adalah rumah terbaik untuk mereka tinggal; ini adalah gouvernemenlsgebouw, dan untuk ini kamar dan ruangan harus sangat rapi dan tersedia rak baru yang luas. Gubernur, itu mendiami, harus mencari tempat yang aman; Aku, dan tuan-tuan lain dari posting ini (yang berdiam di sini), memiliki yang terbaik untuk meninggalkan penguasa sipil dan pembantu berperan besar. Dengan saya tinggal Mr L. dan teman saya, R. Meskipun para jenderal telah berkunjung dan selesai ke tempat di pelosok-pelosok di sini, namun mereka  lebih dari empat hari mereka tinggal di sini--dua kali dari yang direncanakan. Ini bukti bahwa hal itu menyenangkan mereka dengan kami. Sekarang di sini adalah benar-benar lingkungan yang sangat menyenangkan dan untuk menawarkan banyak variasi; dan udara yang kita hirup dalam bergslreken ini, sangat sehat. Semuanya telah ditinjau di sini, bahkan rumah sakit dan apotek kami dan tentang segala sesuatu memberi kesan bahwa Jenderal von Gagern menyatakan kepuasannya…Kita yang berada jauh di sini kita dinyatakan dalam pengasingan kami cukup sering menyerah, karena tidak ada orang yang datang. Kini, semua Eropa Scheeren amble hamba dan petugas setiap hari..setelah kepergian tamu yang tinggi, sebelum kita kembali ke kehidupan kita yang tenang dan panjang hanya akan mengunjungi kami entah kapan lagi itu. Rombongan meninggalkan kami menuju Tappanoelie (Sibolga), untuk selanjutnya para jenderal di sepanjang pantai menuju ke Padang untuk kembali…Ini adalah salah satu Fraaije dan komisi terhormat; menguntungkan yang sama karena salah satu adjudantnya mengatakan kepada saya bahwa secara umum mengeluarkan dana sebesar f 4.000..Hujan di sini biasanya lebih berat, guntur dan petir ganas dan lebih mengerikan daripada di Eropa dan kita semua di sini selalu sangat sehat, bukti bahwa kita memiliki climaat yang sangat baik’…Jenderral von Gagern adalah utusan Raja yang datang dari Negeri Belanda, seorang tentara professional pensiunan jenderal Jerman yang memberi advis ke Raja dari kunjungannya ke Hindia Belanda’.
Algemeen Handelsblad, 15-12-1847 (Lanjutan surat dari Sidim Poewang, lihat Handelsblad tanggal 9 Desember 1847): ‘Anda tidak harus membayangkan bahwa kesehatan yang kita nikmati, sebagai pengecualian dari aturan ini adalah untuk dipertimbangkan…Apakah terlalu takut? Jiwa Battas untuk daging manusia bukanlah dongeng. Namun, kasus itu bagi bangsa suku ini yang menginginkan hanya mereka diakui sebagai tahanan yang diambil dalam perang, atau untuk penjahat yang dihukum mati, lagi pula kesempatan untuk bertemu hal seperti itu, tidak sering bahkan sangat jarang terjadi. Boleh jadi itu di masa lalu. Belum lama ini, tiga pelaku kejahatan tertangkap karena pembunuhan dan kepala desa telah berkomitmen untuk menghukum mereka karena telah direstui dewan kepala adat. Tindakan ini pada dasarnya dikutuk namun demi efek jera. Jadi saya punya kesempatan untuk hadir. Sesuai dengan penggunaan, tiga pembunuh itu di pasar harus masing-masing diikat di tiang, kemudian oleh salah satu kerabat korban diminta menusuk mereka, dan masing-masing sesuai dengan tingkat kekerabatan atau pangkatnya. Diperbolehkan mengambil sedikit, dipanggang atau dimasak sebagai suatu kelezatan dikonsumsi, namun kenyataannya tidak ada yang bersedia…Hukuman mati ini sudah dikonfirmasi oleh Gubernur Michiels, tapi eksekusi ditunda sampai kedatangannya. Kami pikir itu penundaan bertujuan untuk memberikan General von Gagern sebuah tontonan meriah yang luar biasa. Sementara itu tampaknya bahwa narapidana tidak gesleld kehormatan itu, setidaknya, pagi hari sebelum para jenderal datang ke sini, mereka kabur dari penjara, dan mereka tidak diberi lerug. Di sana mereka telah di penjara di bawah militer. Komandan militer postingan ini berpangkat kapten, mendapat tuduhan serius karena kecerobohannya. The Battasche oppeihoofden yang akan berpartisipasi, sangat kecewa bahwa mereka lolos…Kita hidup di sini, seperti telah saya katakan, sangat tenang, karena Battas uiet woelziek dapat disebut llet sangat berbeda dengan tetangga kita, orang Melayu--mereka adalah pahit berombak, dan meskipun mereka ditemukan ketika mereka kerusuhan atau membuat konspirasi, yang terburuk, mereka selalu memulai baru, juga satu di kabupaten Melayu sangat waspada; tampaknya seolah-olah alam luslelooze mereka niei menahan terik...Tapi di sini kita memiliki kesan dari mereka berbahaya namun disposisi tidak perlu takut...Oleh pegunungan lembah Rau dengan negara Batta dipisahkan. Itu adalah pertama kabupaten Mandheling, yang sangat luas, sangat baik penduduknya, mereka dilindungi oleh benteng. Kemudian mengikuti distrik kami, yang Ankola kurang luas daripada Mandheling, dan jauh lebih sedikit penduduknya, dan dihitung hampir 15.000 jiwa, sedangkan desa-desa semua kecil, dan tersebar jauh dari yang lain. Distrik ini juga punya benteng, seperti lembah Mandheling, hampir sama adalah benteng Rau. Hal ini dapat Anda menentukan apakah di Battas tenang, saya jamin itu di pos-pos tersebut Sumatera uplands sangat memang menjaga mereka. Satu hal yang kita kadang-kadang tidak menyenangkan, adakalanya surat dari Eropa lama sampai ke sini, bahkan daripada waktu-waktu membutuhkan dua bulan bagi kami untuk terus tanpa kabar dari Batavia’.
Peta Ankola 1843-1847
Surat pembaca tersebut besar kemungkinan ditulis oleh W.F. Godin yang menjabat Controleur Ankola sejak 1843 hingga 1846. Namun perlu diperhatikan Godin hanya menyebut tempatnya sebagai Sidim Poewang (ucapan/aksara Batak ke ucapan/aksara Latin). Pada peta Tapanoeli terbitan 1852, nama Kampong Si Dimpoean, Sidim Poewang bergeser menjadi Padang Sidempoean pertama kali ditulis secara resmi [lihat Kaart van het Gouvernement Sumatra's Westkust : opgenomen en zamengesteld in de jaren 1843 tot 1847 / door L.W. Beijerink met medehulp van C. Wilsen... et al. 1852]. Perubahan ini diduga kuat berasal dari tim topografi yang boleh jadi Kampong Si Dimpoean dilihat dari pusat Belanda (Garnisun/Markas Militer dan rumah Controleur) yang dibatasi oleh padang (bahasa local ilalang). Ini sejalan dengan maksud untuk lebih mempopulerkan nama kota baru mengikuti nama Padang Lawas yang sudah lama eksis dan tentu saja nama ibukota provinsi Sumatra’s Weskust. Kemudian pengucapan dan penulisan Sidimpoean menjadi Sidempoean mungkin karena alasan lebih praktis atau lebih nyaman diucapkan oleh orang yang berbahasa Belanda?

(bersambung)

*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama, antara lain:
  • Topographisch Bureau, Batavia, Batavia: Kaart van Padang Si Dimpoewan en Omstreken (1880).
  • Kaart van het Gouvernement Sumatra's Westkust : opgenomen en zamengesteld in de jaren 1843 tot 1847 / door L.W. Beijerink met medehulp van C. Wilsen... et al. Beijerink, L.W., Topographisch Bureau, Batavia, 1852.
  • Peta 1830
  • Peta 1908
  • Peta 1943
  • Etappekaart Sumatra's West Kust, 1845
  • Almanak Pemerintahan Belanda (berbagai tahun)
  • Koran-koran Belanda (berbagai edisi)
  • Laporan Tahunan Pemerintahan Belanda (berbagai tahun)
  • Observasi pribadi

Tidak ada komentar: