Rabu, Oktober 29, 2014

Bag-4. Generasi Pertama Pelajar Tapanuli Selatan: Merantau dan Tidak Kembali




Pelajar-pelajar Tapanuli Selatan pada masa lalu adalah perintis dalam dunia pendidikan di Hindia Belanda. Sati Nasoetion dari Pidoli, Mandailing yang mengubah namanya menjadi Willem Iskander adalah pelajar pribumi pertama yang studi di Negeri Belanda (1857) dan berhasil mendapat diploma guru sekolah (1860). Pada tahun 1874 Willem Iskander kembali berangkat studi ke Negeri Belanda untuk mendapatkan diploma kepala sekolah (setara S1) namun tidak tercapai, karena meninggal dunia. Setelah Willem Iskander, baru tahun 1903 orang pribumi datang studi ke Negeri Belanda dan disusul oleh Radjioen Harahap, dari Batunadua pada tahun 1905. Pada tahun 1908 Radjioen Harahap gelar Soetan Casajangan mendapat diploma guru sekolah dan langsung melanjutkan pendidikannya dan lulus mendapat izajah kepala sekolah (setara S1) dari Rijsschool pada tahun 1913. Dan setelah lulus, Soetan Casajangan kembali ke tanah air dan berkarir sebagai guru di normaalschool (sekilah guru) berbagai kota.

Pelajar Tapanuli Selatan berikutnya yang datang ke Negeri Belanda adalah Abdul Firman Siregar gelar Maharaja Soangkoepon dari Sipirok kelahiran Panyanggar pada tahun 1910. Kemudian datang lagi Todoeng gelar Soetan Goenoeng Moelia dari Padang Sidempuan (1911). Sekembalinya Abdul Firman ke tanah air (1914), ia meniti karir sebagai pegawai pemerintahan. Sedangkan Todoeng berkarir sebagai guru Eropa (Europeesch lager onderwijs) di tanah air. Setelah cukup lama berkarir sebagai guru, Todoeng mendapat beasiswa untuk kembali studi ke Negeri Belanda. Todoeng mendapat kesempatan menerima beasiswa untuk studi ke Negeri Belanda untuk mendapatkan gelar PhD. Pada tahun 1933 Todoeng lulus di Rijksuniversiteit dan mendapat doctor di bidang bahasa dan sastra dengan tesis berjudul: ‘Het primitive denken in de modern wetenschap’.

Ketika, Soetan Casajangan, Maharadja Soangkoepan dan Soetan Goenoeng Moelia masih di Negeri Belanda untuk menyelesaikan studi masing-masing, Alinoedin anak Batangtoru tengah mempersiapkan studinya di sekolah MULO di Padang dan kemudian diterima di sekolah hukum (Rechts School) di Batavia pada tahun 1915. Setelah lulus Rechts School, Alinoedin gelar Radja Enda Boemi diangkat sebagai pegawai pemerintah di Badan Pertanahan. Kemudian setelah beberapa tahun menjadi pegawai ia mendapat beasiswa untuk berangkat ke Negeri Belanda untuk mencapai rechtsstudiĆ«n. Pada rahun 1925, Enda Boemi dinyatakan lulus di Leiden dan mendapat gelar doctor (PhD) dengan tesis berjudul: ‘Het grondenrecht in de Bataklanden: Tapanoeli, Simeloengoen en het Karoland’. Enda Boemi adalah Ahli Hukum pertama dari Tanah Batak dan kedua dari Sumatra dan salah satu dari delapan ahli hukum pribumi yang ada di Nederlancsh-Indie.

Pelajar berikutnya dari Tapanuli Selatan yang studi ke negeri Belanda adalah mereka yang lulusan STOVIA di Batavia. Anak-anak Tapanuli Selatan yang kuliah dan lulus STOVIA diantanya adalah Radjamin Nasoetion (1907-), Gindo Siregar (1922-, Aminoedin Pohan (1919-), Diapari Siregar (1921-), Moerad Loebis (1920-), Amir Hoesin (1918-), Soleiman Siregar, Amijn Pane (1924-), Amir dan Moenir Nasoetion bersaudara serta lainnya. Namun diantara mereka hanya Diapari Siregar dan Aminoedin Pohan  melanjutkan pendidikannya ke Negeri Belanda untuk memperoleh akte dokter spesialis. Amimoedin Pohan sendiri memiliki riwayat yang sangat spesial, karena dialah satu-satunya sarjana yang pernah pulang kampong setelah era Willem Iskander, Soetan Casajangan dan Todoeng Soetan Goenoeng Moelia.

Aminoedin Pohan kelahiran Sipirok memulai pendidikan di HIS Padang Sidempuan dan kemudian melanjutkan sekolah dan mendaftar di sekolah elit Wilhelmina School di Batavia 1916 lalu masuk STOVIA. Setelah lulus ia menjadi dokter pemerintah dan kemudian studi ke Negeri Belanda dan mendapat akte dokter spesialis di Leiden 1931 dengan judul skripsi: ‘Abortus, voorkomen en behandeling’. Sepulang dari Belanda Aminoedin mengundurkan diri dari pegawai pemerintah, tetapi kemudian diusulkan oleh Abdul Rasjid (anggota Volksraads) dan bersaing dengan dokter-dokter Belanda dan akhirnya yang dipromosikan Menteri Kesehatan ke Padang Sidempuan adalah Amidoedin Pohan untuk menjabat sebagai Direktur rumahsakit yang baru dibangun (1936). Setelah dua tahun menata rumah sakit Padang Sidempuan ia dipindahkan ke Semarang dan penggantinya di Padang Sidempuan adalah Dr. M.M. Hilfman. Pada tahun 1940, Aminoedin dipindahkan ke Departemen Kesehatan di Batavia. Sementara itu, Diapari Siregar mendapat akte dokter spesialis di Leiden 1932. Setelah berhenti pegawai pemerintah, Diapari Siregar pulang kampong tapi hanya sampai di Pematang Siantar. Diapari Siregar lebih memilih membuka prakter dokter swasta di Pematang Siantar.

Alumni STOVIA lainnya adalah Radjamin Nasoetion dan Gindo Siregar. Sesungguhnya, Radjamin Nasoetion adalah anak Tapanuli Selatan pertama yang memasuki STOVIA. Sekolah tinggi ini dulunya disebut sekolah Dokter Jawa dan berubah nama menjadi STOVIA (1906). Pada era sekolah Dokter Jawa ada dua anak Mandailing yang bernama Si Asta dan Si Angan yang diterima di tahun 1856 (sekolah Dokter Jawa dibuka 1951). Ini berarti Radjamin sendiri boleh dikatakan merupakan penerus dari Si Asta dan Si Angan. Radjamin Nasoetion diterima di STOVIA pada tahun 1907. Setelah lulus, Radjamin Nasoetion berkarir sebagai pegawai pemerintah di bidang bea dan cukai yang akhirnya terjun ke dunia politik dan menjadi Walikota Surabaya Pertama yang berasal dari pribumi. Sedangkan Gindo Siregar, setelah lulus kembali ke Medan dan di era perang kemerdekaan, Gindo Siregar masuk milisi dan pangkat terakhir Mayor Jenderal dan diangkat pemerintah pusat sebagai Gubernur Militer Sumatra Utara (Atjeh, Oost Sumatra dan Tapanoeli),

***
Pelajar-pelajar yang berasal dari Tapanuli Selatan yang mengambil bidang studi non-kedokteran di Jawa antara lain: Amir Sjarifudin Harahap, Luat Siregar, Anwar Nasoetion, Hoemala Harahap, Hasan Basyarudin Nasoetion, dan lainnya. Jauh sebelum mereka ini sudah adalah Mr. Alinoedin gelar Radja Enda Boemi, PhD yang mengambil sekolah hukum dan meniti karir di pengadilan di era Belanda. Enda Boemi adalah ahli hukum pertama orang Batak, kedua dari Sumatra dan salah satu dari delapan ahli hukum dari kalangan pribumi di Nederlansch-Indie.

Amir Sjarifoeddin Harahap lahir di Medan, 27 April 1907. Amir memulai pendidikan di Medan, ELS dan selesai 1921. Amir yang sepupu Dr. Todoeng Harahap Gelar Soetan Goenoeng Moelia kemudian melanjutkan sekolah hukum ke Leiden 1926 dan menyelesaikan gelar Mr di Batavia. Setelah lulus sekolah hokum, Amir fokus ke dunia politik. Sukarno, Hatta dan Amir adalah tiga founding father dari negeri ini. Amir pernah memegang sejumlah jabatan seperti Menteri Pertahanan dan Perdana Menteri.

Luat Siregar lahir di Sipirok, 1908. Ia meraih gelar sarjana hukum di Leiden pada tahun 1934. Sebagaimana Diapari Siregar yang membuka dokter praktek di Pematang Siantar, Luat Siregar membuka praktik hukum di Medan. Sebagaimana Radjamin Nasoetion di Surabaya yang telah menjabat wakil walikota di era Belanda dan Walikota di era Jepang, Luat Siregar di era Jepang diangkat menjadi sekretaris Wali Kota Medan. Kemudian di era Republik, Luat Siregar diangkat menjadi Walikota Medan yang pertama.

Anwar Nasoetion, Aboebakar Siregar, Hoemala Harahap dan Hasan Basyarudin Nasoetion adalah empat anak Tapanuli Selatan yang studi dan mengambil bidang pertanian. Anwar Nasoetion dan Aboebakar Siregar masuk sekolah kedokteran hewan di Buitenzorg (Bogor). Hoemala Harahap gelar Soetan Dia Angkola dan Hasan Basyarudin Nasoetion memulai dari sekolah menengah pertanian di Buitenzorg. Soetan Di Angkola mengambil Agronomi sedangkan Hasan Basyarudin Nasoetion mengambil bidang kehutanan. Anwar Nasoetion dikemudian hari dikenal sebagai ayah dari Andi Hakim Nasoetion (mantan rektor IPB, 1976-1987).

Pelajar-pelajar yang berasal Tapanuli Selatan yang mengambil jalur militer diantaranya Abdul Harris Nasution dan Gindo Siregar. Abdul Haris Nasoetion memulai pendidikan HIS di Kotanopan dan melanjutkan sekolah raja (setingkat MULO) di Bukittinggi setahun setelah Hasan Basyarudin Nasoetion. Karena sekolah raja ditutup, Abdul Haris Nasoetion menyelesaikannya di Bandung. Di Bandung Abdul Haris Nasoetion masuk militer dan selanjutnya menjadi pelaku penting dalam pembangunan TNI dan petinggi militer di NKRI serta di akhir masa hidupnya dianugerahkan sebagai Jenderal Bintang Lima (bersama Sudirman dan Suharto). Gindo Siregar sendiri masuk militer dari jalur fungsional (sebagai dokter).

***
Setelah generasi pertama pelajar dari Tapanuli Selatan sudah menua, generasi berikutnya terus berdatangan sekolah ke Jawa dan tidak ada hentinya hingga sekarang ini. Namun perlu diingat bahwa tidak semua pelajar Tapanuli Selatan melanjutkan pendidikan ke sekolah tinggi. Alumni Kweekschool Padang Sidempuan di era Belanda banyak alumninya yang langsung menjadi guru di berbagai tempat di luar Tapanuli Selatan. Dua diantara lulusan guru Padang Sidempuan adalah Muhammad Taif Nasoetion dan Adem Loebis yang sama-sama menjadi guru di Aceh.

Taif Nasoetion dikemudian hari dikenal sebagai ayah dari Muhammad Amin Nasoetion (sering disebut S.M. Amin) adalah gubernur pertama dan ketiga Gubernur Sumatra Utara. Setelah dari Aceh, Taif kembali ke Manambin, Mandailing kampong halamannya. S.M. Amin yang kelahiran Aceh memulai sekolah rakyat di Manambin dan diteruskan ke ELS lalu ke Batavia mengambil sekolah hukum untuk mengikuti dua abangnya yang telah studi di STOVIA.

Adem Loebis dikemudian hari dikenal sebagai ayah dari Kolonel Zulkifli Lubis. Adem Loebis tetap menetap di Aceh dan menyekolah Zulkifli mulai dari HIS kemudian MULO di Aveh dan AMS di Yogyakarta. Selama di Yogya Zulkifli masuk militer Jepang dan seterusnya berkarir di militer bidang intelijen hingga pernah menjadi KASAD. Sekadar ingat, tahun 1984 saya pernah bertemu dengan ‘uda’ ini di Bogor, ketika saya mengantarkan undangan Halal Bi Halal Masyarakat Tapanuli Selatan. Sangat respek dan antusias. Meski hanya sedikit-sedikit mengeluarkan bahasa Batak, tetapi Zulkifli Loebis, komandan pertama intelijen NKRI ini paham betul tentang Tanah Mandailing ketika kami ngobrol.

Sungguh begitu banyak pelajar-pelajar asal Tapanuli Selatan generasi pertama, namun tidak semua teridentifikasi karena kurangnya sumber. Dari mereka-mereka yang ada sumbernya, tanpa maksud mengecualikan, tidak semua dirilis dalam artikel ini karena semata-mata keterbatasan redaksional. Mungkin di suatu kesempatan dapat saya teruskan dalam artikel lain atau ada pembaca yang ingin menuliskannya?

*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe.

Tidak ada komentar: