Dalam
buku Prof dr. G.A. Wilken berjudul ‘Handleiding voor de vergelijkende
volkenkunde van Nederlandsch-Indie’ tidak menyebut tentang geopbagie (tanah
liat yang bisa dimakan). Seseorang merasa perlu melengkapi yang terdapat dalam
buku Wilken tersebut dengan sebuah tulisan yang berjudul ‘Eenige Medeelingen
Omtrent Het Voorkomen van Geophagie in de Resitentie Tapanoeli’ yang dimuat
dalam koran Sumatra-courant: nieuws- en
advertentieblad yang terbit pada 25-06-1894. Sumber tulisan ini berasal
dari sebuah chapter dalam Tijdschrift voo Indische Taal-, Land- en Volkenkunde
yang diterbitkan oleh Bataviaasch Genootschap van Konsten en Wetenschappen
dengan redaksi J.H. Abendanon en P.J.F Louw dengan nara sumber A.L. van
Hasselt, Resident Tapanoeli, E.W.L von Faber abtenaar dan Direktur van O, E,N
plus catatan J. Baak, seorang apoteker militer.
Tulisan
tersebut intinya sebagai berikut:
Ada kebiasaan makan tanah liat (yang disebut
tano bange) di sebagian besar Tapanuli, seperti di Baros, Siboga, Batang Taroe,
Ankola, Sipirok, Padang Lawas, Groot and
Klein Mandheling, Batang Natal, Oeloe en Pakanten, Natal, Toba, Silndoeng dan
Nias. Namun, kebiasaan ini hanya ditemukan pada aat terjadi bencana kelaparan.
Di Sipirok, kebiasaan ini muncul ketika kerap terjadi di masa lalu perang antar
kampong. Untuk memenuhi kebutuhan darurat para pria mencoba mencari dan
menemukan tanah liat yang memang tersedia di daerah itu—enak dimakan dan memang
lezat. Mereka menyebutnya bange, bangei, atau tano bango. Bange ini dapat
ditemukan di lapisan tanah liat sepanjang lereng gunung, tepi sungai dan
dataran yang kurang subur dengan vegetasi minim seperti ilalang. Spesies bange ini
berbeda dalam warna dan kandungan air: abu-abu merah (lereng gunung); abu-abu
terang putih kekuningan (sungai). Yang paling dicari adalah yang di sungai
karena memang jumlahnya terbilang banyak. Di Toba bango ini lazim
diperdagangkan di pasar (onan).
Rasa bange ini bermacam-macam. Ada yang rasa
asam, kadang-kadang asin. Sedang aroma bange ini unik (harum). Untuk
penggunaannya disiapkan dengan cara yang sangat sederhana yakni dipotong
menjadi semacam biscuit kecil yang dibentuk menjadi berupa bola. Dapat
ditambahkan garam atau dalam beberapa hari di dalam sebuah wadah direndam
dengan air yang ditaburi garam lalu dikeringkan. Di Mandheling bange ini
diproduksi dalam bentuk pipa bambu dan kemudian dikeringkan di bawah matahari.
Juga ditemukan di Mandheling dan Batang Taroe disimpan dalam keranjang yang
terbuat dari pandan lalu dikeringkan.
Dalam masa damai, bange ini banyak dikonsumsi
oleh para ibu hamil yakni sebanyak dua potong ‘biskuit’ setiap hari. Adakalanya
anak-anak juga memakan biscuit alam ini. Untuk jumlah
kecil misalnya makan
bange dapat memperbaiki pencernaan, tetapi menggunakan terlalu banyak justru kadang-kadang
menyebabkan sembelit yang parah. Di Sipirok bange ini digunakan sebagai cara mencegah
diare (baramoenji). Prosesnya direndam dalam air kunyit ditambah garam.
Konsekuensi dari bange ini sebagai pengobatan belum
terjelaskan. Juga disebutkan bahwa bahan bange ini dapat mengobati penyakit
mata. Kontraindikasinya adalah jika hanya dikomsumsi relatrif sedikit, memang
benar-benar tidak berbahaya. Yang jelas tampak sekali kebiasaan mangan bange
ada pada wanita-wanita. Di dalam sebuah majalah, perihal ini pernah dibahas dan
hanya ada di Residentie Tapanoeli. Kebiasaan makan tanah liat
ini bukan baru karena sudah ditemukan di
dunia kuno
(dahulu kala).
Uniknya, tanah pemberian bumi ini juga dapat
sebagai anti penyakit dalam perut dan mampu meredakan rasa lapar untuk beberapa
waktu. Namun demikian bange ini sebagai pengganti makanan benar-benar tidak
cocok. Menurut seujumlah pihak
penggunaan yang juga sering tidak selalu mempengaruhi kesehatan, namun
bagaimanapun pada kenyataannya tidak selalu demikian.
***
Ampo
Dari
Wikipedia bahasa Indonesia. Ampo adalah makanan yang terbuat dari tanah liat
yang berasal dari Jawa Tengah, Jawa Barat,
dan Jawa Timur, terutama wilayah Tuban. Bahan dasar makanan ini murni
terbuat dari tanah liat tanpa ada campuran bahan apapun. Ampo biasanya dikonsumsi sebagai makanan
ringan atau camilan, terutama digemari oleh kalangan wanita yang sedang hamil.
Kebiasaan makan lempung ini disebut juga dengan geofagi, dilakukan oleh
beberapa masyarakat di belahan dunia, biasanya dimiliki oleh orang yang tinggal
di daerah tropis dan hangat. Kebiasaan ini banyak dimiliki oleh masyarakat dari
berbagai negara di dunia, meski sebagian besar negara yang memiliki kebiasaan
memakan tanah liat ini tidak pernah mengakuinya.
Mitos. Makanan dari tanah liat yang diberi nama
"Ampo" ini sudah menjadi makanan tradisional yang dipercaya oleh
masyarakat di Pulau Jawa, terutama masyarakat di Jawa Tengah dan Jawa Timur
dipercaya dapat menguatkan sistem pencernaan. Bahkan memakan tanah liat juga
dipercaya sebagai obat yang dapat mengobati beberapa macam penyakit.
Keuntungan. Sebuah studi menyebutkan bahwa ternyata tanah liat atau
lempung yang steril tersebut memiliki efek menyamankan perut dan membantu
melindungi dari serangan virus dan bakteri. Tanah liat juga bisa mengikat hal
yang berbahaya seperti mikroba, patogen dan virus. Sehingga lempung yang
dimakan itu bisa menjadi semacam pelindung, semacam masker lumpur untuk usus.
Kerugian. Ada risiko yang jelas dalam konsumsi tanah liat yang
terkontaminasi oleh kotoran hewan atau manusia, khususnya risiko dari telur
parasit, seperti cacing gelang yang dapat tinggal selama bertahun-tahun di
dalam tanah dan dapat menimbulkan masalah. Juga dapat meningkatkan risiko
terjangkit Tetanus. Namun, risiko ini umumnya sudah dipahami oleh sebagian
besar masyarakat atau suku yang mengonsumsi tanah liat. Kegemaran anak-anak
untuk terlibat dalam mengonsumsi ampo membuat mereka lebih rentan terhadap
infeksi cacing. Bahaya lain yang terkait dengan mengonsumsi tanah liat mencakup
kerusakan enamel gigi, menelan berbagai bakteri, berbagai bentuk pencemaran
tanah, dan obstruksi usus. Namun proses pengolahan tanah liat yang cukup bagus
dengan cara memasak atau dipanggang dapat mengurangi risiko tersebut.
Cara Pembuatan. Cara membuat Ampo sangat sederhana dan mudah. Namun,
tanah yang digunakan sebagai bahan baku membuat ampo tidak bisa sembarangan,
melainkan harus berjenis tanah liat yang bertekstur lembut dan bebas dari
pasir, kerikil, atau batu. Dari tanah yang sudah dikumpulkan, pembuat kemudian
membentuk semacam adonan berbentuk kotak atau bentuk tertentu lainnya dengan
menambahkan air secukupnya agar adonan tanah menjadi kalis dengan ciri tidak
lengket di tangan. Untuk membuat adonan kotak tersebut, tanah ditambah air
sedikit demi sedikit sambil sesekali ditumbuk dengan alat semacam palu besar
dari kayu. Setelah adonan kotak siap, proses berikutnya adalah mengikis atau
menyerut tanah di bagian atas adonan sedikit demi sedikit dengan menggunakan
bilah pisau bambu. Hasil serutan tanah yang berbentuk seperti stik wafer dengan
panjang 6-8 cm itu yang disebut ampo. Ampo kemudian dikumpulkan dan ditempatkan
pada semacam periuk gerabah tanah liat untuk diasapi di atas tungku kayu bakar.
*Dikompilasi
oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan
sumber tempp doeloe dan sumber masa kini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar