Belanda
pertama kali datang ke Indonesia tahun 1596 dan kemudian mendirikan kongsi
dagang yang dikenal sebagai VOC (Verenigde Oost-Indische Compagnie) di Batavai
tahun 1602. Singkat cerita (235 tahun), Belanda memulai pendudukan di Tapanuli
tahun 1833 yang dimulai di Mandailing. Koffij-cultuure sendiri baru diperkenalkan
Belanda di Mandheling pada tahun 1841. Hasilnya, rakyat sangat menderita tapi
pemerintah Belanda juga tidak untung, Akan tetapi Belanda berkeyakinan bahwa Tapanuli sangat prospektif, karenanya
Tapanuli perlu dibentuk satu keresidenan sendiri tahun 1842 yang beribukota di
Sibolga dengan dua asisten residen yakni Asisten Residen Tapanoeli (juga di Sibolga)
dan Asisten Residen Mandheling en Ankola (di Kotanopan). Desentralisasi
pemerintahan yang dilakukan tetap tidak menunjukkan kemajuan, pemerintah
Belanda terus defisit di Tapanuli. Saat itu sumber pendapatan Belanda di
Tapanuli hampir seluruhnya berasal dari wilayah administrasi Asisten Residen
Mandheling en Ankola.
Tiga
asisten residen terdahulu, T.J. Willer, C. Rodenburg dan J.K.D. Lammleth tidak
mampu meningkatkan produktivitas daerah. Namun Gubernur Jenderal di Batavia
menyadari ada suatu kekeliruan berpikir yang dibuat Guberneur Surmatra’s
Westkut di Padang selama ini. Willer, Rodenburg dan Lammleth adalah tipikal
pemimpin style Belanda, keras, kaku dan tidak kompromi. Gaya ini tidak cocok
dan jelas mendapat resistensi di Tapanuli. Akademisi Belanda membantu
menjelaskan bahwa tipikal penduduk Tapanuli secara fisik kuat dan pekerja keras
juga cerdas karena hanya satu-satunya etnik di Nusantara yang sudah memiliki sistem
sosial dan sistem pemerintahan yang teratur yang bersifat demokratis, memiliki
teknologi sendiri, memiliki aksara dan
sastra sendiri, memiliki isntrumen musik sendiri, sangat happy karena berada di
lanskap yang subur.
Dengan
menyadari itu, pemerintah kolonial pusat di Batavia mengubah kebijakan dan
strateginya 180 derajat. Anehnya, siapa yang menjadi calon asisten residen di
Mandheling en Ankola bukanlah hal yang mudah. Cukup lama untuk mendapatkan
figure yang sesuai hingga akhirnya menemukan siapa yang juga secara mental kebetulan
sangat respek dengan situasi dan kondisi yang akan dihadapi. Dialah A.P. Godon, seorang yang sangat cerdas,
pemberani tapi santun serta memiliki sikap kompromistis dan humanis. Anehnya
lagi, A.P Godon besedia meski dia sendiri berpangkat Controleur kelas-1,
padahal untuk wilayah yang belum aman dan stabil yang ditunjuk adalah
Controleur kelas-2 sebagaimana tiga asisten residen terdahulu. A.P Godon tidak
ambil pusing dan bahkan pada kunjungan pertamanya ke Mandailing langsung
membawa istrinya. Namun pemerintah di Batavia tetap mewanti-wanti A.P. Godon sebagaimana
diberitakan di koran Nederlandsche
staatscourant, 28-07-1848: ‘di Sumatra’s Westkust, Asisten-Residen
Mandheling en Ankola, Controleur kelas-1, A.P. Godon, yang diminta melibatkan
kepada siapa, Radja, persepsi yang sudah ditetapkan’. Inti pesannya,
pemerintahan yang diwakili A.P. Godon harus bisa merangkul semua pemangku
kepentingan di Mandheling en Ankola. A.P. Godon sendiri menjawab dengan gaya
kepemimpinannya sendiri: model blusukan.
A.P. Godon
memperkenal pendidikan modern di Mandheling en Ankola
A.P.
Godon cepat membaca dan menganalisis situasi dan kondisi dan menemukan titik
permasalahan. Langkah pertama untuk meningkatkan produktivitas daerah adalah
membuka saluran perdagangan (Mandheling dan Natal) tetapi itu jika dikerjakan
sendiri (maksunya dibiayai sendiri) pihak Belanda tidak akan mampu karena
selama ini pengeluaran pemerintah untuk Tapanuli defisitnya semakin menganga
(ibarat perusahaan, itu harus dibubarkan dan Tapanuli dibiarkan saja). Dengan
cara kekerasan hanya menambah masalah. A.P. Godon berinisiatif merencanakan
dengan baik dan duduk bersama bermusyawarah di balai rakyat (sopo godang)
dengan pemimpim-pemimpin lokal. Hasilnya memuaskan, volume produksi (khususnya
kopi dan hasil-hasil hutan) dari Mandheling en Ankola mengalir deras ke
Pelabuhan Padang via Natal dan harga kopi Mandheling dan kopi Ankola harganya
terus merangsek hingga menjadi harga kopi dunia tertinggi di Eropa dan Amerika
Utara karena kualitasnya paling baik. Gubernur Jenderal Belanda di Batavia
mulai tersenyum dan sumringah. Karena tidak lama sejak A.P. Godon datang,
defisit mulai normal dan bahkan trennya akan segera surplus.
A.P.
Godon mulai rileks dengan meningkatnya portofolia dirinya sebagai pejabat
pemerintah, keluarga khususnya istrinya mulai nyaman dan merasa hidup di suatu
taman eden. Instrinya pun mulai ambil bagian dalam pembangunan Mandheling en
Ankola. Karena istrinya mantan seorang guru, maka sang nyonya setia ini
merintis pendidikan bagi pribumi dengan menyediakan ruang di rumah dinas mereka
di Kotanopan dan ia sendiri bertindak sebagai gurunya. Tidak dibayar memang
karena ia sudah mendapat tunjungan istri dari suaminya. Istrinya berkeliling
kampong ke kampong (blusukan) untuk mendapatkan sejumlah calon siswa potensial.
Ternyata angkatan pertama sekolah privat ini sudah menunjukkan hasil dan dua
orang lulusannya direkomendasikannya sendiri untuk meneruskan pendidikan yang
lebih tinggi di Batavia. Inilah keajaiban pertama, sebagai bagian dari
keseluruhan keajaiban yang terjadi di Tanah Mandheling en Ankola.
Si Asta dan Si
Angan siswa pertama berasal dari luar Jawa yang diterima di Sekolah ‘Dokter
Jawa’
Rekomendasi
istri A.P. Godon ini sepintas tampak suatu dilemma bagi suaminya dan juga orang
tua dua anak-anak didiknya ini. Namun, kekhawatiran sang istri yang juga guru
teladan ini justru mendapat dukungan dari pihak suami (wakil pemerintah) dan
orangtua murid (wakil rakyat). Kebetuluan anak-abak cerdas ini adalah anak-anak
pemimpin di Mandailing dan A.P. Godon sendiri lagi naik daun dan memiliki nilai
portofolio yang tinggi di Padang dan di Batavia. Inilah keajaiban kedua.
Cas-cis-cus. A.P. Godon langsung menulis surat ke Batavia karena ia tahu harus
merealisasikan pesan dari pusat ketika dia diperintahkan ketika berangkat mulai
bertugas di Tapanuli. Permintaan itu lekas dipenuhi dan ini merupakan bukti
adanya ‘bargaining position’ dari penduduk Tapanuli khususnya di Mandheling en
Ankola.
Akhir
November 1854, dua pemuda belia Mandheling bernama Si Asta dan Si Angan berangkat
ke Batavia. Mereka adalah anak-anak potensial yang ingin studi tentang
kesehatan (bedah dan kebidanan) di sekolah tinggi kedokteran pribumi di Batavia
(sekolah dokter Jawa). Pilihan orangtua anak-anak ini, sangat masuk akal, sebab
di Mandheling selain wabah penyakit masih sering muncul (inpeksi) juga
persoalan pertolongan kelahiran. Ahli
kesehatan yang ada, hanya cukup untuk orang-orang Belanda dan itupun biasanya
ditempatkan di tangsi-tangsi militer. Bagi masyarakat Mandheling yang sudah
lama menderita (padri dan koffij-cultuure), adanya penyakit dan masalah-masalah
persalinan akan menambah penderitaan bagi penduduk. Sudah waktunya ada yang
mengatasi secara baik dan modern. Inilah misi para anak muda ini studi
kedokteran ke Batavia.
Nieuwe Rotterdamsche courant: staats-, handels-,
nieuws-en advertentieblad, 18-01-1855: ‘Batavia, 25 November 1854. Satu permintaan oleh kepala
Mandheling (Batta-landen) dan didukung oleh Gubernur Sumatra’s Westkust,
beberapa bulan yang lalu, ditetapkan oleh pemerintah pusat, bahwa kedua anak
kepala suku asli terkemuka, yang telah menerima pendidikan dasar dibawa untuk
akun negara ke Batavia dan akan mengikuti pendidikan kedokteran, bedah dan
kebidanan. Para pemuda yang disebut Si Asta dan Si Angan di rumah sakit militer
di sana pada murid ini baru saja tiba dari Padang disini, dan akan disertakan
di pelatihan perguruan tinggi (kweekschool) dokter asli.’.
Sekolah
pendidikan kedokteran ‘Dokter-Jawa’ dibuka pada tahun 1851 di Batavia (Weltevreden,
Gambir) dengan jumlah murid terbatas dan lama pendidikan sekitar dua tahun. Si
Asta dan Si Angan merupakan masuk dalam angkatan awal dan pertama yang berasal
dari luar Jawa. Lulus sekolah ini diberi gelar Dokter Djawa dan diperbantukan
kepada pemerintah untuk ditugaskan khususnya di daerah-daerah endemik. Sekolah
pendidikan kedokteran ini dikemudian hari, 1903 menjadi cikal bakal STOVIA.
Si Sati, pelajar
pertama di Hindia Belanda studi ke Eropa
Salah
satu adik kelas Si Asta dan Si Angan juga murid yang cerdas bernama Si Sati. Si
Sati memiliki kemampuan linguistik yang baik. Selama fase belajar A. P. Godon
meminta Si Sati untuk menjadi penulisnya. Oleh karena proses belajar dilakukan
pada malam hari, tugas yang diminta A.P. Godon ini dapat dilakukan oleh Si Sati
dengan baik dan semakin mempercepat kinerja A.P Godon dalam mengelola
pemerintahan dan menyelenggarakan pembangunan masyarakat. Setelah lulus tahun
1855 Si Sati dinominasikan gurunya, istri A.P. Godon menjadi guru di sekolahnya
sendiri agar terjadi kesinambungan sambil istri A.P Godong menyiapkan cuti
besar. Hal ini terkait dengan peraturan bahwa setelah delapan tahun ambtenaar
(pejabat) pemerintah Belanda diberi cuti dua tahun ke Eropa. Oleh karena A.P.
Godon mulai bertugas 1848 maka pada tahun 1856 (tahun depan) A.P. Godon dan
keluarga akan mudik dan meninggalkan Mandheling en Ankola. Mungkin hanya A.P.
Godon yang bertugas di satu tempat cukup lama (delapan tahun). Ini sangat
jarang dan mungkin satu-satunya di level asisten residen di Nederlancsh-Indie.
Istri
A.P. Godon adalah guru yang visioner sebagaimana juga suaminya pekerja keras
yang memiliki visi dan misi yang jelas. Hal ini juga menurun pada anak didiknya.
Si Sati menganggap bahwa kebutuhan guru sangat mendesak, karena masyarakat
memerlukan pendidikan. Untuk memenuhi guru-guru formal ini (pendidikan guru), Si
Sati coba inisiatif untuk mendiskusikan dengan mentornya, A.P. Godon. Kedua
orang ini ternyata memiliki visi dan misi yang sama. Si Sati sendiri sangat berambisi
untuk sekolah guru ke Negeri Belanda. Si Sati telah melihat kakak kelasnya Si
Asta dan Si Angan yang telah memiliki visi dan misi di bidang kesehatan. Usul
Si Sati ini ternyata bukan bertepuk sebelah tangan, rupanya A.P. Godon juga
memikirkannya. Tentu saja istri A.P. Godon sangat respek dengan keputusan dua
pria beda generasi, beda latar belakang, beda warna kulit dan beda budaya
tetapi memiliki visi yang sama pada bidang peningkatan mutu modal manusia
melalui pendidikan. Inilah keajaiban ketiga di Mandheling en Ankola.
Sekali
lagi, A.P. Godon memainkan pengaruhnya di Batavia. Untuk permintaan A.P. Godon
ini tidak mudah, karena harus melalui parlemen di Batavia. Ada perdebatan
sengit antar anggota dewan, utamanya soal pembiayaan. Namun usul pemerintah
akhirnya diterima dewan apalagi didukung oleh Ratu di Negeri Belanda. Hal yang
menguatkan usul ini diterima karena Menteri Pendidikan berdasarkan masukan dari
A.P Godon berhasil meyakinkan anggota dewan karena di Mandheling en Ankola
tidak hanya memiliki potensi ekonomi (neraca surplus) juga memiliki potensi
pendidikan untuk menghasilkan guru-guru yang selama ini sulit dipenuhi
pemerintah. Istilah sekarang ternyata berlaku tempo doeloe ‘tidak ada makan
siang gratis’.
Singkat
cerita, Si Sati gelar Soetan Iskander akhirnya berangkat bersama keluarga A.P. Godon ke
Negeri Belanda tahun 1857. Si Sati alias Soetan Iskander adalah orang pribumi
pertama yang menempuh pendidikan tinggi ke Negeri Belanda. Setelah
menyelesaikan pendidikan guru (kweekschool) dan mendapat diploma guru, Si Sati yang mengubah namanya menjadi Willem Iskander telah
tiba di Batavia akhir 1861 dan kembali ke kampong halaman di Mandheling tahun
1862. Atas keinginannya, Willem Iskander
mendapat izin dari pemerintah untuk mendirikan sekolah guru (kweekschool) dan
memilih lokasi di Tano Bato arah ke Natal yang berhawa sejuk. Pemerintah
mengangkat Willem Iskander sebagai guru dan memiliki beslit pegawai pemerintah.
Bataviaasch
handelsblad, 27-12-1862: ‘Empat tahun lalu oleh asisten residen Godon
sekembalinya ke Belanda, salah satu dari Sumatera, Mandhelinger, Soetan
Iskander, juga dibawa. Hal ini di Belanda dilatih dan baru saja kembali sebagai
orang bijak dan beradab di negaranya. Guru sekolah, sebuah bukti baru dari
pengembangan orang asli bahkan dari daerah paling beradab. Iskander sekarang
berdiri sebagai kepala sekolah biasa di Mandheling dan dewan akan berada di sana agar mampu,
sebab pendidikan di atas cara dimaksud yang tentunya adalah mengharapkan hasil
yang terbaik’.
Introduksi pendidikan
di Sipirok dilakukan oleh para misionaris
Pada
awalnya dan secara definitif tahun 1938 afdeeling (kabupaten) Mandheling en
Ankola (asisten residen berkedudukan di Kotanopan) baru terdapat tiga
controleur, yakni: Controleur Natal berkedudukan di Natal, Controleur
Mandailing berkedudukan di Panjaboengan dan Controleur Ankola en Sipirok
berkedudukan di Padang Sidempuan. Padang Lawas sendiri, masih ‘gelap gulita’,
masih ada pertarungan antara Tuanku Tambusasi dengan pasukan militer Belanda. Kegiatan
misionaris di Mandheling en Ankola dimulai di Pakantan, Mandailing sejak 1834.
Kerena tidak ada progress, kegiatan misi dialihkan (diperluas) ke Sipirok.
Adalah Van Asselt yang memulai kegiatan misi ini di Sipirok (1858), dengan
memulai strategi memperkenalkan pendidikan dengan membuka sekolah rakyat di
Prau Sorat dengan gurunya Nommensen (mirip sekolah ala Si Sati di Mandailing).
Permulaannya
tidak mudah. Lantas Nommensen memulai misi ke Silindoeng, untuk kegiatan misi
di Sipirok diserahkan ke teman-temannya bangsa Jerman, sedangkan Asselt yang
berbangsa Belanda dan teman-temannya juga memperluas kegiatan di Angkola.
Hasilnya belum terlihat setidaknya melihat berita di koran Nieuwe Rotterdamsche
courant: staats-, handels-, nieuws- en advertentieblad, 20-03-1864 yang melaporkan
berdasarkan siaran yang diterbitkan panitia untuk urusan gereja-gereja
Protestan di Nederlands Ooost Indie, baru sebanyak 16 orang di Natal dan sebanyak
28 orang di Pakantan (sudah termasuk Baros). Sementara sekolah rakyat yang
dilakukan para misionaris ini tetap berlangsung meski pertambahan jumlah
pengikut jauh lebih kecil dari pertambahan jumlah anak didik.
Pendidikan di
Mandheling terbaik di Sumatra
Progres
Kweekschool Tano Bato semakin pesat. Pujian dan apresiasi mulai berdatangan. Seorang
pembaca menulis di koran Nieuwe Rotterdamsche
courant: staats-, handels-, nieuws- en advertentieblad, 20-03-1865: ‘..untuk
guru penutur asli di Hindia Belanda menunjukkan contoh, Willem Iskander, yang
berasal dari Sumatra’s Westkust yang telah mendapat pendidikan Belanda, saat
ini ia berdiri sebagai kepala sekolah bagi para guru di Mandheling, dan dilakukannya
dengan sebaik-baiknya. Willem Iskander memiliki semangat besar-besaran dan dikembangkan,
anak muda yang sangat rajin, dengan berbakat… dorongan lebih besar untuk
diterima.. kita mempercayakan kepemimpinan Iskander dalam hal aritmatika,
karakter, prinsip-prinsip fisika, sejarah, geografi dan matematika. Ada satu orang, muridnya kemajuan
dalam matematika. Dan tiga mereka sangat mahir melakukan geografi… Iskander adalah
guru dalam satu sekolah dengan dua belas murid yang dilakukan dia termasuk
empat malam dalam seminggu.. bagaimanapun kita berharap, akan terbentuk pendidik
terampil untuk mereka sendiri pada gilirannya untuk Mandheling.. perkecambahan
atau berdegenerasi,!. Dengan demikian keyakinan ada dalam satu inovasi yang
berkelanjutan di Mandheling dan formasi dari penduduk asli di sini di tempat
yang tepat—Bartholo’.
Seorang
pembaca lainnya menulis di koran Sumatra-courant:
nieuws- en advertentieblad, 23-06-1869 (Pendidikan di antara pribumi untuk
Sumatra’s Westkust): ‘Kami percaya pada laporan sekolah menunjukkan pendidikan
pesisir tersebut digambarkan kondisi yang sangat menyedihkan antara pribumi. Hanya sekolah di Mandheling membuat
pengecualian dalam hal pendidikan, tapi apa lokalitas yang bersangkutan,
yang sama-sama cacat. Sekarang ini harus didukung oleh pemerintah, yang
komentar akan mengajar jika tidak menimpa pentingnya jalan berdaya penonton?
Mereka yang penduduk asli tetapi hanya setengah kasih sayang akan harus mengakui
bahwa pendidikan dasar untuk mencium banyak yang harus diinginkan daun dengan
kami di sini… Karena itu, kami vermeenen bahwa Pemerintah Baar pelabuhan
prestise tangan, mereka datang ke akan harus pergi ke rigten untuk mencapai
bahwa doktrin pemuda worde ditanamkan untuk oin lebih banyak sekolah yaitu
pihak tidak dalam kepentingan pemerintah. Padang, 7 Juni 1869, G. A.’.
Jumlah
guru-guru yang dihasilkan Kweekschool Tano Bato semakin bertambah. Siswa yang
diterima bahkan tidak hanya dari afdeeling Mandheling en Ankola tetapi juga
dari afdeeling Tapanoeli. Para lulusan ini membuka sekolah rakyat di daerahnya
masing-masing, seperti di Panyabungan, Muara Sipongi, Natal, Padang Sidempuan,
Batunadua, Batang Toru, Simapilapil dan sebagainya. Untuk menghindari duplikasi
dengan sekolah rakyat di Prau Sorat yang dilakukan para misionaris, guru-guru
lulusan Kweekschool Tano Bato juga membuka sekolah rakyat di Sipirok dan Bunga
Bondar. Jumlah murid di dua kampong ini semakin banyak dan guru-guru juga
semakin bertambah.
Sementara
itu, pengikut kegiatan misi di Sipirok semakin bertambah, dan akibatnya rakyat
yang beragama Islam lebih memilih sekolah rakyat di Sipirok dan Bunga Bondar,
sebaliknya sebagian murid-murid yang telah beragama Kristen dari kedua kampong
ini lebih memilih ke sekolah rakyat di Prau Sorat. Lambat laun, sekolah rakyat
Prau Sorat didominasi oleh rakyat yang sudah beragama Kristen dan lambat laun
menjadi sekolah zending. Dalam perkembangannya sekolah zending diperluas ke
Sipirok dan Bunga Bondar.
Dengan
semakin pesatnya pendidikan di Sipirok, pemerintah (Controleur Ankola en
Sipirok) merasa perlu menempatkan seorang penilik sekolah di daerah itu.
Pengangkatan penilik sekolah ini diberitakan koran Java-bode: nieuws, handels-en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie,
01-05-1875: ‘Pengawas sekolah akan dirangkap oleh A. Laarhuis (pegawai di
Controleur Ankola en Sipirok) untuk Sipirok dan Boengabondar diangkat sebagai
anggota komisi sekolah untuk Keresidenan Tapanoeli’.
Untuk
memenuhi kebutuhan guru-guru untuk kegiatan misi, para misionaris juga membuka
sekolah guru zending (mengikuti pola pengembangan Kweekschool di Tano Bato yang
diasuh Willem Iskander). Jumlah murid sekolah zending dan sekolah guru zending
juga semakin bertambah. Perkembangan sekolah zending ini dilaporkan oleh
seorang pembaca di koran Sumatra-courant:
nieuws-en advertentieblad, 03-07-1875: ‘kondisi sekarang tentang hal misi
di Bataklanden. Ini hanya sekadar sketsa, tapi saya percaya, bagaimanapun, bahwa
sepenuhnya tidak diinginkan oleh banyak pengikut lainnya. Rijnsche
Zendeling-genootschap te Barmen di Bataklanden sekarang memiliki sembilan (stasiun)
misi (tiga diantaranya berada di Sipirok, Bunga Bondar dan Prau Sorat) dengan
10 misionaris dan 16 pembantu dari pribumi (guru dan kepala sekolah). Jumlah
murid di sekolah zending di Sipirok sebanyak 42 murid, Bunga Bondar 38 murid
dan Prau Sorat 25 murid, sedangkan murid sekolah guru zending masing-masing
sebanyak 65, 25 dan 20 murid.
Kweekschool Tano
Bato dipindahkan ke Padang Sidempuan
Penyebaran
pendidikan di afdeeling Mandheling en Ankola tidak lepas dari peran tiga
serangkai: A.P. Godon dan Istrinya serta Willem Iskander. A.P. Godon sendiri
ternyata kemudian diketahui adalah seorang birokrat sejati yang menggunakan
pola berpikir akademik. A.P. Godon telah meninggalkan nama baik di afdeeling
Mandheling en Ankola setidaknya telah memberi jalan ribuan penduduk untuk
memasuki sekolah rakyat dan puluhan atau bahkan ratusan guru-guru. A.P. Godon
juga menorehkan nama baiknya di dunia akademik para pelajar bangsa Belanda
dengan menulis buku yang diterbitkan tahun 1872 oleh penerbit H. M. DORPP &
Co. Buku tersebut berjudul: ‘Geen Militaire
Expedition, maar Een kundig en beleidvol Bestuur op Sumatra (Bukan Ekspedisi
Militer, tapi Manajemen Kompeten dan Bijaksana di Sumatera). Sangat jarang
seorang birokrat menulis buku yang berbau-bau akademik, kecuali Max Havelaar
yang dikenal sebagai Multatuli yang pernah menjabat sebagai Controleur di
Natal. Kontribusi A.P. Godon di dalam pendidikan bagi penduduk Mandheling en
Ankola sangatlah besar.
Sementara
itu, prestasi Willem Iskander juga semakin membahana hingga keluar Keresidenan
Tapanoeli. Di dalam efdeeling Mandheling en Ankola kebutuhan guru semakin
banyak, sementara kapasitas dan jumlah lulusan Kweekschool Tano Bato sangat
terbatas. Menteri Pendidikan menganggap perlu untuk meningkatkan kapasitas
kweekschool Tano Bato. Oleh karena ibukota afdeeling Mandheling en Ankola akan
dipindahkan ke Padang Sidempuan, maka perlu pula memindahkan lokasi Kweekschool
dari Tano Bato ke Padang Sidempuan. Hal ini juga sejalan dengan pemekaran
onderafdeeling Ankola en Sipirok menjadi onderadeeling Sipirok dan pembentukan
onderafdeeling Padang Lawas.
Willem
Iskander sendiri diproyeksikan akan menjadi Direktur Kweekschool Padang
Sidempuan yang akan direncanakan dibuka pada tahun 1879. Untuk meningkatkan kapabilitas
sebagai kepala sekolah dari Kweekschool yang lebih besar, Willem Iskander
direkomendasikan untuk mengambil akte guru kepala sekolah ke Negeri Belanda.
Dalam rencana studi ini, Willem Iskander diminta untuk membimbing sejumlah
guru-guru pribumi untuk mengambil akte guru di Negeri Belanda. Pada tahun 1874
Willem Iskander berangkat ke Negeri Belanda bersama tiga guru pribumi. Namun sangat
disayangkan, ketiga guru tersebut tidak berhasil pulang dengan diploma guru
sekolah karena alasan sakit yang berbeda ketiganya meninggal dunia. Willem
Iskander juga kemudian meninggal dunia di Negeri Belanda. Afdeeling Mandheling
en Ankola kehilangan putra terbaiknya, dan dunia pendidikan di
Nederlansche-Indie kehilangan satu-satunya guru pribumi yang mendapat
pendidikan di Eropa.
*Dikompilasi
oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan
sumber-sumber tempo doeloe.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar