Radjioen gelar Soetan Casajangan Soripada |
Willem Iskander pelopor pendidikan di Nederlansch-Indie dari Mandailing telah tiada, meninggal
di Negeri Belanda (1876) dalam tugas belajar untuk mendapatkan akte kepala
sekolah. Sementara itu, Kweekschool Padang Sidempuan telah pula selesai
dibangun. Pada tahun ajaran pertama (1879) di Kweekschool Padang Sidempuan,
posisi kandidat Willem Iskander diberikan kepada seorang Belanda bernama L.K.
Harmsen, kepala sekolah di Kweekschool Fort de Kock. Pada tahun ajaran baru ini
murid yang mengikuti pelajaran sebanyak 18 orang yang datang dari berbagai
daerah. Salah satu murid dari angkatan
pertama ini adalah Si Saleh dari Sabungan yang kemudian dikenal dengan nama Dja
Endar Moeda di kemudian hari menjadi seorang Raja Persuratkabaran di Sumatra.
Sejak
keberangkatan Willem Iskander ke Negeri Belanda hingga selesainya Kweekschool Padang
Sidempuan, aktivitas belajar mengajar di Kweekschool Tano Bato vakum dan
konsekuensinya selama beberapa tahun tidak ada murid baru dan calon guru baru di Tapanoeli.
Figur sentral Willem Iskander pada Kweekschool Tano Bato menjadi alasan utama
mengapa ditutup. Tidak demikian dengan Kweekschool Padang Sidempuan. Setelah penunjukan
Direktur Kweekschool Padang Sidempuan, sejumlah guru bangsa Belanda
berdatangan. Salah satu guru yang ditunjuk untuk mengajar di sekolah guru ini
adalah Charles Adriaan van Ophuysen (1881).
Adriaan van Ophuysen bukan hanya
berprofesi guru, tetapi juga seorang terpelajar yang terus belajar (ilmuwan).
Secara struktural selama di Kweekschool Padang Sidempuan Adriaan van Ophuysen dipromosikan menjadi direktur sekolah,
secara fungsional (akademik), Adriaan
van Ophuysen
terus melakukan tugas mengajar dan juga tugas riset mandiri (mempelajari sastra
Batak dan Melayu) mempublikasikan karya-karyanya sebagai buku-buku bacaan di
sekolah maupun bukua bacaan umum. Semasa Adriaan
van Ophuysen
menjadi direktur (1885-1890) salah satu muridnya yang paling bersemangat adalah
Si Radjiun dari Batunadua. Setelah lulus kweekschool, Radjiun menajdi guru dan
kemudian kepala sekolah di Simapilapil. Di lain hal, karena alasan keuangan Negara,
Menteri Pendidikan menutup Kweekschool Padang Sidempuan tahun 1893, guru-guru
dan calon murid baru diarahkan ke Kweekschool Fort de Kock (Bukittinggi). Salah satu lulusan terakhir dari kweekschool
ini adalah Soetan Martoewa Radja dari Sipirok yang dikenal kemudian sebagai
ayah dari Mangaradja Onggang Parlindungan, penulis buku Tuanku Rao yang controversial
itu.
***
Radjiun
gelar Soetan Casajangan mulai galau di Simapilapil. Kweekschool Padang
Sidempuan akan ditutup. Ini berarti cita-cita Willem Iskander yang ingin
mendapat akte kepala sekolah dan akan diproyeksikan menjadi Direktur
Kweekschool Padang Sidempuan tidak tercapai. Di dalam kegalauan itu, Radjiun
menangkap cita-cita Willem Iskander ini untuk direalisasikan. Soetan Casajangan
mulai mempersiapkan diri dengan meningkatkan kemampuan bahasa Belanda dengan
belajar privat. Dengan tidak ada beasiswa namun didukung ekonomi keluarga yang
kuat di Batunadua, Soetan Casajangan berketetapan hati dan berangkat studi ke
Negeri Belanda. Willem Iskander sendiri mendapat akte guru sekolah pada studi
ke Belanda yang pertama, namun pada studi yang kedua ke negeri Belanda untuk
mendapatkan akte kepala sekolah gagal karena meninggal dunia di Belanda. Soetan
Casajangan berencana untuk mendapatkan akte guru sekolah dan juga akte kepala
sekolah (hoofdacte). Pendek kata, Soetan Casajangan ingin meraih cita-cita dari
Willem Iskander serta menjadi Direktur Kweekschool Fort de Kock.
***
Singkat cerita, Soetan Casajangan berangkat
dari Batavia 5 Juli 1905 dan tiba di Rotterdam 30 Juli 1905. Soetan
Casajangan merupakan akademisi kedua yang datang ke negeri Belanda untuk
menempuh pendidikan tinggi. Sehari kemudian Soetan Casajangan berkunjung ke
rumah mantan gurunya (di Kweekschool Padang Sidempuan) yang sudah menjadi guru
besar di Universiteit Leiden yakni Profesor Charles Adriaan van Ophuysen. Sebelum
Soetan Casajangan memulai kuliah di Rijkskweekschool (setingkat IKIP sekarang)
di Haarlem, Soetan Casajangan mengajak pemuda-pemudi pribumi untuk datang
menuntut ilmu jauh ke negeri Belanda yang diceritakannya dalam sebuah artikel
singkat di Bintang Hindia yang terbit 1905.
Deskripsi yang menarik tersebut
nyata-nyata meningkatkan minat pemuda terpelajar di Indonesia dikemudian hari.
Jumlah yang datang ke Belanda semakin meningkat dan pada tahun 1907
diperkirakan jumlahnya sebanyak duapuluhan akademisi muda yang tengah belajar
di Belanda [bandingkan dengan akhir tahun 1905, jumlah mahasiswa baru enam
orang]. Sebagai mahasiswa senior dan berprofesi guru di tanah air, Soetan
Casajangan merupakan pelajar pertama di luar negeri yang tidak berbicara lagi
tentang dirinya sendiri tetapi juga tentang soal kebangsaan dan nasib bangsanya
sendiri. Bangsa pribumi harus ditingkatkan pendidikannya juga perlu mempelajari
bahasa asing (waktu itu bahasa internasional adalah Bahasa Belanda). Menurut
Soetan Casajangan, memiliki pengetahuan bahasa asing melalui pendidikan
merupakan kunci untuk memperoleh pengetahuan secara luas.
Soetan Casajangan memulai
memperjuangkan pendidikan untuk bangsanya sendiri melalui perlunya mendidirikan
sebuah organisasi mahasiswa. Gagasan pendidirian organisasi mahasiswa ini dapat
diwujudkan dengan berdirinya Indische Vereeniging (Perhimpunan Indonesia) yang
disahkan pada tanggal 25 Oktober 1908 di Leiden. Soetan Casajangan menjadi
presiden pertama. Organisasi ini
menggalang persaudaraan orang Indonesia yang berada di negeri Belanda yang
dikemudian hari menjadi cikal bakal Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) di
Eropa.
Soetan Casajangan juga menjadi
mentor para mahasiswa baru asal Indonesia (termasuk Todung Sutan Gunung Mulia
Harahap dan Mangaraja Soangkupon Siregar). Soetan Casajangan akhirnya lulus dan
menderima diploma (akte) guru sekolah 1909, sebagaimana telah diperoleh Willem
Iskander. Selanjutnya Soetan Casajangan mengambil akte kepala sekolah (hoofdacte)
selama tiga tahun. Ketika tengah sibuk-sibuk kuliah, sepak terjang Soetan
Casajangan sudah diketahui umum, karena itu Soetan Casajangan diundang oleh Vereeniging
Moederland en Kolonien (Organisasi para ahli/pakar bangsa Belanda di negeri
Belanda dan di Hindia Belanda) untuk berpidato dihadapan para anggotanya.
Dalam forum yang diadakan pada tahun
1911, Soetan Casajangan, berdiri dengan sangat percaya diri dengan makalah 18
halaman yang berjudul: 'Verbeterd Inlandsch Onderwijs' (peningkatan pendidikan
pribumi’. Akhirnya Soetan Casajangan berhasil meraih akte kepala sekolah pada
tahun 1912. Berita kelulusan Soetan Casajangan ini dimuat di koran De
Sumatra Post yang terbit tanggal 26 September 1912. Soetan Casajangan
sendiri adalah mahasiswa non Belanda yang pertama kali diizinkan berkuliah di
Rijkskweekschool. Setelah Soetan
Casajangan lulus, di sekolah yang sama di Haarlem waktu itu adalah Ibrahim
gelar Datoek Tan Malaka yang berasal dari Fort de Kock (Bukittinggi). Pengakuan
terhadap Soetan Casajangan diwujudkan dalam berbagai bentuk. W. J. Giel
mengungkapkan kekaguman terhadap potret seorang pelopor pribumi di Hindia
Belanda bernama Soetan Casajangan di dalam sebuah artikel berjudul ‘Een
Inlandsch pionier in Nederland' yang ditulis tanggal 23 Maret 1913. Artikel ini
(n.l.de Batakker M. Soetan Casajangan Soripada)’ diterbitkan di Weekblad.voor
Indie 10 (1913-14).
***
Soetan Casajangan sendiri di negeri
Belanda pernah tercatat menikah dengan seorang janda bernama Johanna Henriette
van den Dop (lahir di Zoeterwoude, 1887) pada tanggal 6 Mei 1913 di Leiden. Soetan
Casajangan pada saat menikahi Johanna Henriette sudah berumur 38 tahun. Soetan
Casajangan Soripada Harahap sendiri kemudian kembali ke tanah air bulan Juli
1913. Soetan Casajangan sebelum ditempatkan untuk menjadi guru di Sekolah Raja
di Fort de Kock, untuk sementara waktu ditugaskan di sekolah Eropa di Bogor. Dari
Bogor Soetan Casajangan ditempatkan ke Kweekschool Fort de Kock. Di Fort de
Kock, dari istrinya Johanna Henriette van den Dop, Soetan Casajangan memiliki
satu anak yang bernama Johnny (lahir di Fort de Kock atau Bukittinggi 28 April
1914).
Selama di Fort de Kock, Soetan
Casajangan kerap datang ke Padang Sidempuan. Di kampung halamannya ini, Soetan
Casajangan sempat menerbitkan surat
kabar berbahasa Batak yang bernama Poestaha (yang kemudian diteruskan oleh Parada
Harahap). Kehadiran koran berkala ini, tidak saja telah memberikan pengetahuan
bagi rakyat di Padang Sidempuan dan sekitarnya, tetapi juga telah membangkitkan
kesadaran kebangsaan atas ketidakadilan Belanda.Parada Harahap sendiri
dikemudian hari menjadi Raja Surat Kabar di Jawa (The King of Java Press).
Kiprah Soetan Casajangan terus
dipantau akdemisi bangsa Belanda baik yang berada di Nederland maupun yang
berada di Nederlansch-Indie. Pada tahun 1920, Soetan Casajangan diundang
kembali oleh Vereeniging Moederland en Kolonien dari tanah air untuk
berpidato di hadapan para anggota organisasi pada tanggal 28 Oktober 1920
dengan makalah 19 halaman yang berjudul :'De associatie-gedachte in de
Nederlandsche koloniale politiek (modernisasi dalam politik kolonial Belanda).
Setelah kunjungan yang terakhir ke Belanda, Soetan Casajangan karena kesibukannya
tidak pernah kunjung kembali ke negeri Belanda, tetapi istrinya pulang ke
negeri Belanda. Mungkin karana adat yang berbedza, berdasarkan pengadilan di
Hague pada tanggal 24-07-1925 Henriette van den Dop dan Rajiun Gelar Soetan
Casajangan Soripada Harahap dianggap bercerai.
Di
tanah air, Soetan Casajangan juga pernah mengajar di berbagai tempat, seperti
di Ambon, Dolok Sanggul dan terakhir di Meester Cornelius di Batavia. Selama
tugas-tugas mengajar, mata pelajaran yang diajarkan oleh Soetan Casajangan
meliputi matematika, ilmu ukur, sejarah, biologi, botani, fisika dan geografi.
Tentu saja Soetan Casajangan mengajar bahasa Melayu dan bahasa Belanda.
Soetan
Casajangan lalu mengundurkan diri sebagai guru karena mulai lelah dan sakit.
Permintaan Soetan Casajangan kemudian dikabulkan dan diberhentikan dengan
hormat sebagai Direktur Normaal School di Meester Cornelis (Jakarta)
yang dimuat di koran De Indische Courant yang terbit tanggal 18-03-1927. Tidak
lama kemudian, tersebar luas Soetan
Casajangan pada tanggal 2
April 1927 telah menghembuskan nafas terakhir, meninggal dunia karena stroke.
Berita meninggalnya Soetan Casajangan dimuat di koran De Indische Courant yang
terbit tanggal 08-04-1927.
***
Radjioen
Harahap gelar Soetan Casajangan Soripada telah memainkan peran yang penting di awal
pergerakan politik mahasiswa Indonesia utamanya di luar negeri. Prestasinya
sangat gilang gemilang di mata bangsa Belanda. Sangat disayangkan, Soetan
Casajangan berumur pendek sebagaimana Willem Iskander meninggal di usia muda.
Namun demikian, Soetan Casajangan keluar Soetan Casajangan telah menunjukkan potensi
pelajar Tapanuli Selatan (Zuid Tapanoeli), Soetan Casajangan ke dalam sudah
menunaikan cita-cita Willem Iskander. Dengan demikian, Soetan Casajangan telah melengkapi kepeloporan Willem Iskander dan dalam dunia
pendidikan di Nusantara. Bravo!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar