Jembatan Batang Toru: semasa agresi militer Belanda |
De Sumatra post,
10-09-1940: ‘dalam suatu pertemuan besar korps sukarela di lapangan Sibolga
pada tanggal 3 September diputuskan untuk membentuk VKT (Vrijwilligers Korps
Tapanocli=Korp Sukarela Tapanuli), yang terdiri dari orang Belanda, pribumi dan
Tionghoa. Pembentukan ini diharapkan terjadi di Sibolga, Batang Toru, Tarutung
dan Padang Sidempuan.
Pada
tanggal 19 April 1941, VKT secara resmi diinstal sebagai bagian dari penjaga
kota (lihat Soerabaijasch handelsblad, 28-04-1941). Ini dengan sendirinya akan
memperkuat ketahanan masyarakat Tapanuli yang didukung oleh het VOC Batang
Taroe dan brigade van het detachement Sibolga. Hari itu juga dilakukan defile
barisan dari korps yang di bentuk dimana di tribun para undangan yang hadir.
Residen berpidato dimana diingatkannya bahwa pada tanggal 10 Mei 1840 pasukan
Belanda mulai ditempatkan di Sibolga. Dinyatakannya bahwa ini saatnya korps
sukarela mengambil posisi strategis utamanya dalam pelestarian hukum dan
ketertiban. Lalu Komandan Territorial Tapanoeli (berpangkat luitenant colonel) berpidato
yang intinya bahwa VKT adalah bagian kehormatan dari KNIL (Koninklijke
Nederlandsch Indische Leger). Residen dan komandan meninggalkan lapangan,
barisan melakukan defile dalam kota yang diakhirnya di rumah Residen dengan
suatu perjamuan.
Situasi
dan kondisi ini menunjukkan bahwa di Tapanoeli sudah mulai kondusif, para
tentara mulai mundur ke markas-markas, para korps sukarela akan memainkan peran
yang penting dalam ketertiban dan penerapan hokum dalam mewujudkan tupoksi pemerintahan
sipil yang efektif. Yang lebih penting, pelibatan penduduk pribumi sebagai
bagian dari korps sukarela mengindikasikan bahwa suasana pemerintahan colonial sudah
mengerucut (bergeser menjadi) ke pembentukan civil society (suatu negara berdaulat)
yang lepas dari negara induknya, Nederland. Itulah Nederlandsch Indie, dimana
Residentie Tapenoeli sebagai bagiannya, dan kota Batang Toru sebagai salah satu
dari berbagai kota yang akan menjadi simpul masyarakat sipil. Batang Toru telah
sampai ke suatu akhir perjalanan yang panjang, sejak era Hindu (komoditi kamper
dan kemenyan) hingga era industry (perkebunan karet).
Pendudukan
Jepang di Tapanuli
Sebagaimana
kota-kota lain di Nederlandsch Indie (termasuk Batang Toru) mulai lepas landas
dalam peradaban sipil, tiba-tiba (disadari atau tidak disadari) suasana berubah
drastic 180 derajat. Berita tentang invasi Jepang sudah menduduki tempat-tempat
strategis membuat semuanya panic, pemerintah dan militer menjadi gamang,
masyarakat (Eropa/Belanda, Tionghoa dan Timur asing serta penduduk pribumi)
yang baru merasakan arti kehidupan sipil mulai tertekan dengan perang yang
sudah di depan mata.
Serdadu Jepang
sudah mendarat di Laboehan Bilik dan serdadu Jepang sudah mendarat di timur
Batavia. Serdadu Jepang juga telah menduduki tempat-tempat penting seperti Balikpapan,
Palembang dan Riau. Di Tapanoeli, wait and see. Sibolga, Tarutung, Batang Toru
dan Padang Sidempuan mulai tidak menentu, bahwa lambat laun serdadu Jepang akan
memasuki kota-kota. Dan memang benar, pasukan Jepang telah berada dimana-mana,
serdadu-serdadu Jepang dengan cepat memasuki kota-kota penting: Medan, Pematang
Siantar, Parapat, Balige, Tarutung, Sibolga, Batang Toru lalu Padang Sidempuan.
Pusat
militer Jepang tidak di Sibolga dan juga tidak di Padang Sidempuan (sebagaimana
di era Belanda). Kekuatan militer Jepang dipusatkan di Tarutung dan di kota ini
pemerintahan militer Jepang mulai membentuk pemerintahan dimana pimpinannya
orang Jepang dan wakilnya orang-orang terbaik dari penduduk pribumi. Salah satu
putra terbaik Angkola, Abdul Hakim mantan pimpinan kementerian keuangan
Nederlandsch Indie di Indonesia Timur yang berkedudukan di Makasar dan
kebetulan pulang kampong karena ayahnya meninggal direkrut militer Jepang
sebagai ketua dewan Tapanoeli di Tarutung. Fungsi Abdul Hakim adalah untuk
mempersiapkan dewan dan menyusun pemerintahan di Tapanoeli.
Di Surabaya,
seorang putra terbaik Mandailing, Radjamin Nasoetion diangkat oleh militer
Jepang untuk menjabat sebagai wakil walikota Surabaya. Radjamin Nasoetion
sebelumnya (di era Belanda) pada tahun 1938 adalah anggota dewan kota
(gementeeraad) Surabaya. Posisi dewan kota juga pernah ditempati oleh Abdul
Hakim selama tujuh tahun di Medan (sejak 1930). Pada pemerintahan militer
Jepang Abdul Hakim menjadi wakil residen Tapenoeli (kelak pada tahun 1952, Abdul Hakim Harahap
menjadi gubernur Sumatra Utara yang keempat).
Bagaimana
situasi dan kondisi selama pendudukan Jepang di Batang Toru tidak diketahui
secara jelas. Informasi selama pendudukan Jepang sangat terbatas (terpusat),
media yang bebas selama era Belanda tidak dirasakan lagi. Bagaimana
perkembangan kota Batang Toru dan bagaimana nasib perkebunan-perkebunan karet
di Batang Toru dan sekitarnya juga tidak diketahui. Pendudukan Jepang di
Tapanoeli dan khususnya di Batang Toru adalah malapetaka. Pendudukan Jepang
telah menutup segala pintu informasi tentang Batang Toru. Selama pendudukan
Jepang Batang Toru seakan lenyap ditelan bumi.
Tunggu
deskripsi lebih lanjut
Bersambung:
Sejarah BATANG TORU (8): Putra-Putri Terbaik Batang Toru di Perantauan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar