Muara sungai Lumut menuju Angkola via Batang Toeu |
Pemahaman
teoritis ini juga ternyata kemudian berulang kembali pada era kolonial Belanda. Lanskap
Batang Toru awalnya masuk Onderafdeeling Ankola, Afdeeling Mandheling en Ankola
tetapi kemudian dipisahkan dan dimasukkan ke Afdeeling Sibolga en Ommnenlanden.
Lalu kemudian lanskap Batang Toru kembali lagi menjadi bagian dari Onderafdeeling
Ankola, Afdeeling Padang Sidempuan. Hal lainnya: ibukota
Residentie Tapanoeli awalnya di Sibolga, lalu pernah pindah ke Padang Sidempuan
tetapi kemudian kembali lagi ke Sibolga.Lantas, apa gerangan yang membuatnya demikian?
Mari kita lacak!
Jalur perdagangan kuno Angkola-Barus
Barus sudah dikenal sejak jaman perdagangan kuno.
Suatu tempat dimana pedagang-pedagang Ceilon, India, Persia, Arab dan Mesir
melakukan pembelian produk-produk alami seperti kamper dan kemenyan. Pada waktu
itu hanya Tanah Batak yang menghasilkan dua produk komersial dunia itu. Ini
secara langsung menjelaskan bahwa keberadaan penduduk Batak mendahului
munculnya pelabuhan Barus sebagai pelabuhan ekspor-impor dunia. Penduduk Batak
yang mengusahakan kamper dan kemenyan ini mentransfer ke Barus untuk
dipertukarkan dengan produk luar seperti garam, besi dan kain.
Salah satu koridor aliran produk-produk alami
itu yang juga jalur produksi adalah sungai Lumut via Batangtoru menuju Angkola.
Keutamaan jalur ini karena produk-produk bernilai tinggi yang berasal dari
Angkola tidak hanya kamper dan kemenyan tetapi juga emas. Popularitas Angkola
sebagai sumber produksi produk perdagangan dunia besar kemungkinan tidak mampu
diungguli oleh jalur-jalur perdagangan ke pedalaman seperti sungai Singkel,
sungai Sorkam dan sungai Batahan.
Banyak jalur dari pantai menuju Angkola, tetapi daerah
yang disebut kemudian Batang Toru merupakan jalur yang paling mudah dilalui
dari pantai menuju Angkola. Satu-satunya rintangan terbesar hanya melintasi
sungai Batang Toru. Pernah suatu ekspedisi militer Belanda melakukan ekplorasi
dari Angkola ke pantai barat melewati pegunungan yang disebut penduduk lokal
sebagai pegunungan setan. Oleh karenanya, satu-satunya jalur terbaik dari
Angkola ke pantai hanyalah melalui jalur Batang Toru. Inilah keutamaan Batang
Toru dalam perdagangan Angkola ke Barus atau sebaliknya.
Pedagang-pedagang Ceilon dan India tampaknya
yang paling tertarik memasuki pedalaman Tanah Batak. Pedagang-pedagang India
mulai merintis perdagangan langsung ke pusatnya di Angkola. Boleh jadi ini
dimaksudkan untuk mendekatkan diri ke TKP sekaligus membangun pusat perdagangan
di Tanah Batak agar lebih mudah mengontrol volume dan kualitas komoditi alami
(kamper, kemenyan dan emas) yang diperdagangkan di Barus. Dinamika inilah yang
besar kemungkinan menyebabkan munculnya koloni-koloni asing di pedalaman Tanah
Batak. Orang-orang Ankola dari India selatan membuat koloni di Simangambat (adanya
candi Simangambat abad kedelapan) dan orang-orang Panai dari Ceilon membuat
koloni di Padang Bolak (candi Padang Lawas). Secara geografis dua lanskap ini
sangat berdekatan tetapi terhalang oleh pegunungan, namun masih bisa dilalui di
Siaboe dan Pijorkoling. Kedua lokasi ini terhubung oleh sungai besar yang kemungkinan
besar munculnya nama sungai Batang Angkola.
Ekspedisi Miller ke Angkola dan Perjalanan Pedagang
Tionghoa ke Barus
Charles Miller melakukan ekspedisi ke Angkola
tahun 1772 (lihat buku The Hostory of Sumatra by William Marsden, 1811). Charles Miller--yang dipandu penunjuk jalan dan kuli angkut memulai
perjalanan dari Pulau Pontjang, suatu pos perdagangan Inggris di teluk yang
disebut Teluk Tapanoeli. Dengan kapal kecil berangkat tanggal 21 Juni 1772
hingga tiba di muara sungai Lumut. Kampung-kampung yang dilalui adalah tempat
tinggal orang-orang Batak hingga tiba di Hutarimbaru di Angkola. Salah satu catatan Miller di Angkola adalah sebagai berikut: 'Di
sini saya bertemu dengan hal yang luar biasa semacam semak berduri yang disebut
penduduk sebagai Andalimon, yang berbentuk bulat yang memiliki rasa pedas yang
sangat menyenangkan di lidah dan mereka menggunakan dalam gulai (kari) mereka'.
Miller menemukan andaliman (sinyarnyar) di Angkola 1772 |
Tampaknya hanya satu kampong di tepi sungai
Batang Toru (Sipisang) dan tempat penyeberangan berada di utara (yang boleh
jadi di tempat dimana muncul nama huta Batang Toru). Jalan yang ditempuh Miller
besar kemungkinan jalan yang sudah dikenal sejak doeloe. Pada tahun 1701
seorang pedagang Tionghoa (bersama istrinya orang Angkola dan satu putri)
melakukan perjalanan sebaliknya dari Angkola menuju Barus untuk melakukan
pelayaran ke Batavia. Laporan pedagang Tionghoa ini (yang dimuat dalam Catatan
Kastil Batavia, 1701) hanya mengungkapkan lama perjalanan dari Angkola ke Barus
yang ditempuh selama 11 hari. Lamanya perjalanan pedagang Tionghoa ini
tampaknya bersesuaian dengan laporan lamanya perjalanan yang dibuat Miller (dari
Pulau Poncang dan Angkola).
Pemetaan wilayah oleh Jung Huhn
Sungai Batang Toru dan Gunung Lubuk Raya (1840) |
Laporan berikutnya baru ditemukan pada setengah
abad kemudian ketika Jung Huhn (dan Rosenberg) melakukan ekspedisi geologi pada
tahun 1840 dari Teluk Tapanoeli ke Angkola. Titik pangkal perjalanan Jung Huhn
masih sama dengan Miller. Namun bedanya, Jung Huhn telah menyebutkan nama
sungai Batang Toru. Meski Jung Huhn tidak menyebut adanya nama suatu tempat,
besar kemungkinan di sekitar tempat penyeberangan sungai Batang Toru ini sudah
terdapat perkampungan. Tempat penyeberangan ini sudah terdapat suatu jembatan
suspensi yang terbuat dari rotan (bahasa lokal: rambin). Dua lukisan Rosenberg
(rambin dan gunung Lubuk Raya masing-masing dengan latar sungai Batang Toru)
dalam perjalanan Jung Huhn ini mengindikasikan tiga penanda yang penting yakni
keberadaan sungai Batang Toru, ketersediaan jembatan penyeberangan dan gunung
Lubuk Raya tempat dimana di lerengnya banyak terdapat kampung-kampung.
Dari tiga laporan dari era yang berbeda
tersebut (1701, 1772 dan 1840) dalam interval waktu sekitar 70 tahun ada
indikasi bahwa jalur tersebut adalah jalur perdagangan lama dari Barus ke
Angkola dan sebaliknya dan penduduk semakin meningkat populasinya di sepanjang
jalur ini. Disebut jalur perdagangan lama. Dalam peta terbitan 1830 nama-nama
yang ditandai dalam jalur perdagangan adalah pelabuhan Baroes, pelabuhan
Tapanolij dan pelabuhan Natal. Satu nama lagi yang ditandai adalah suatu tempat
di pedalaman yakni Hoeraba. Nama Hoeraba tampaknya lebih penting dari nama-nama
yang pernah disebut sebelumnya seperti Lumut dan Sipisang.
Pada tahun 1840 sebuah garnisun dibangun di tempat dimana
lokasinya di dekat kampong Padang Sidempuan. Garnisun ini dibangun untuk
memenuhi kebutuhan strategis colonial Belanda setelah Mandailing, Angkola dan
Padang Lawas secara keseluruhan berhasil dibebaskan dari padri (1837-1839).
Sebelum adanya garnisun pusat militer Belanda berada di benteng Pijorkoling
(dibangun tahun 1835). Pada tahun 1841 pemerintahan sipil di Mandheling en
Ankola dibentuk dimana seorang controleur ditempatkan di Angkola. Awalnya
ibukota Angkola di Pijorkoling namun pada tahun 1843 dipindahkan ke tempat
dimana garnisun berada. Pada tahun 1843 controleur mulai membangun kota baru, dengan
nama Padang Sidempuan (mengikuti nama kampong yang berada di sebelah utara ke
arah Hutarimbaru bernama kampong Sidempuan). Belanda sendiri mulai menganeksasi
Tanah Batak tahun 1833 dimulai dari Natal kemudian membangun benteng di
Panjaboengan (disebut benteng Elout). Antara tahun 1833-1837 militer Belanda
lebih berkonstrasi dalam Perang Bonjol (Tuanku Imam Bonjol) dan baru kemudian
1837-1839 konsentrasi dengan Perang Pertibi (Tuanku Tambusai).
Rute militer Tapanoeli ke Portibi via Pijor Koling (1838) |
Sebelum Jung Huhn tiba di Batang Toru tahun
1840, tiga tahun sebelumnya (1837) terdapat rute militer dari kamp militer di
Tapanoeli untuk mendukung kekuatan dalam Perang Portibie. Rute in dimulai dari
Teluk Tapanoeli ke Loemoet (16 pal), Tabolon (15 pal), Hoeraba (15 pal),
Sigoemoeroe (? Pal) dan Pijor Koling (?pal) dan terus ke Batang Onang (19 pal).
Dalam peta militer ini Batang Toru cukan sebagai pos militer karena Batang Toru
berada diantara Sabolon dan Hoeraba (karena alasan jarak tempuh perjalanan
infantry). Namun yang jelas rute militer ini seakan mengikuti (kembali) jalur lama
dalam perdagangan awal dari pantai melalui Loemoet ke Angkola. Selain nama
Batang Toru tidak disebut, juga nama Sibolga dan Padang Sidempuan tidak disebut
(karena memang belum menjadi tempat yang penting).
Keberadaan Sibolga sendiri baru muncul kemudian (1843?)
ditempat dimana kini kota Sibolga dipilih sebagai tempat kantor controleur
(pindah dari Pulau Pontjang). Nama ibukota ini Sibolga mengikuti nama kampong
yang berada di sebelah utara ke arah Barus yang bernama kampong Sibalga. Pendirian
kota Sibolga kurang lebih sama dengan tahun pendirian kota Padang Sidempuan
(1843).
Pada tahun 1846 Gubernur Sumatra’s Westkust
Jenderal Michiel bersama tamunya Jenderal von Gagern (utusan Raja) berkunjung
ke Padang Sidempuan yang menempuh perjalanan beberapa hari dari Padang. Ketika
rombongan Gubernur ini pulang ke Padang, jalur yang ditempuh melalui Sibolga, kemudian dari Sibolga berlayar ke Padang (lihat Algemeen
Handelsblad, 09-12-1847). Asisten von Gagern (Clereq) mengabadikan
rambin yang pernah dilukis Rosenberg dalam satu lukisan. Ini menunjukkan
(sekali lagi) bahwa rambin dan sungai Batang Toru adalah penanda rute perjalanan
yang penting. Satu lukisan yang dihasilkan oleh Clercq adalah sebuah pos
militer di tepi sungai Batang Ayumi di Padang Sidempuan.
Tunggu
deskripsi lengkapnya
*Dikompilasi
oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan
sumber-sumber tempo doeloe.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar