Perkebunan kopi dan nenas di Batang Toru |
Ketika jembatan
Batang Toru selesai dibangun (1883), di atasnya sudah makin sibuk
gerobak-gerobak pedati yang datang dari Angkola dengan muatan yang berisi kopi.
Kopi-kopi ini diteruskan ke pelabuhan Loemoet dan kemudian dikumpulkan di pelabuhan
Djaga-Djaga sebelum diangkut dengan kapal ke Padang. Sementara pada masa ini
pelabuhan Baros masih aktif menampung komoditi ekspor lainnya utamanya kamper.
Para pedagang dari Angkola (termasuk Batang Toru) membawa dagangan kamper dalam
keranjang rotan dengan tangkai bamboo di pundak. Dalam skala besar pedagang
Tionghoa meneruskan ke Singapura lalu diekspor ke Tiongkok (utamanya keperluan
balsam bagi orang yang meninggal). Dari Baros para pedagang membawa garam dan
produk lainnya untuk diperdagangkan di Batang Toru dan Angkola (Sumatra-courant
: nieuws- en advertentieblad, 22-02-1881).
Namun
diantara puja puji yang dialamatkan terhadap jembatan Batang Toru dan kepada
arsitek Eisses, juga ada kritik yang dilancarkan, terutama ditujukan terhadap jembatan
Batang Toru. Orang-orang yang kritik di satu sisi menganggap jembatan itu indah
dan meski telah menelan biaya yang sangat fantastis tapi itu sepadan. Mereka
menyoroti bahwa biaya yang sangat besar itu menganggap terlalu tinggi buat
menghubungkan Sibolga dan Angkola. Ini dianggap taruhan pemerintah ‘membuang
biaya besar’ dan merugikan (tidak sebanding pengeluaran dengan pendapatan yang
diharapkan). Kendaraan yang melintas di atas jembatan hanya pedati dan masih
lebih efisien dengan menyewa angkutan kuda yang hanya f2 per pikul. Memang harga kopi (Angkola dan Sipirok) terus meningkat tetapi apakah biaya investasi jembatan akan kembali dalam 40
tahun? Demikian para pengkritik (lihat juga Sumatra-courant: nieuws- en
advertentieblad, 24-08-1886).
Tunggu
deskripsi lengkapnya
Bersambung::
*Dikompilasi
oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan
sumber-sumber tempo doeloe
Tidak ada komentar:
Posting Komentar