Senin, Maret 21, 2016

Sejarah BATANG TORU (4): Industri Perkebunan di Tapanuli Dimulai di Batang Toru, Bermunculan Orang Kaya Baru



Perkebunan kopi dan nenas di Batang Toru
Pembangunan jembatan Batang Toru adalah suatu prestasi pemerintah kolonial di Nederlandsch Indie. Berita ini sudah tersiar jauh hingga ke Eropa khususnya Nederland. Bahkan jembatan Batang Toru ini mendapat sambutan dalam suatu pameran di Amsterdam dimana jembatan lama dari rotan disandingkan dengan jembatan baru dari baja (Sumatra-courant: nieuws- en advertentieblad, 24-08-1886). Sang arsitek mendapat apresiasi sebagaimana dilaporkan oleh Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 04-01-1884: ‘Gubernur Jenderal di Batavia memuji hasil kerja Eisses dan diberi cuti selama dua bulan ke Eropa’.

Ketika jembatan Batang Toru selesai dibangun (1883), di atasnya sudah makin sibuk gerobak-gerobak pedati yang datang dari Angkola dengan muatan yang berisi kopi. Kopi-kopi ini diteruskan ke pelabuhan Loemoet dan kemudian dikumpulkan di pelabuhan Djaga-Djaga sebelum diangkut dengan kapal ke Padang. Sementara pada masa ini pelabuhan Baros masih aktif menampung komoditi ekspor lainnya utamanya kamper. Para pedagang dari Angkola (termasuk Batang Toru) membawa dagangan kamper dalam keranjang rotan dengan tangkai bamboo di pundak. Dalam skala besar pedagang Tionghoa meneruskan ke Singapura lalu diekspor ke Tiongkok (utamanya keperluan balsam bagi orang yang meninggal). Dari Baros para pedagang membawa garam dan produk lainnya untuk diperdagangkan di Batang Toru dan Angkola (Sumatra-courant : nieuws- en advertentieblad, 22-02-1881). 

Namun diantara puja puji yang dialamatkan terhadap jembatan Batang Toru dan kepada arsitek Eisses, juga ada kritik yang dilancarkan, terutama ditujukan terhadap jembatan Batang Toru. Orang-orang yang kritik di satu sisi menganggap jembatan itu indah dan meski telah menelan biaya yang sangat fantastis tapi itu sepadan. Mereka menyoroti bahwa biaya yang sangat besar itu menganggap terlalu tinggi buat menghubungkan Sibolga dan Angkola. Ini dianggap taruhan pemerintah ‘membuang biaya besar’ dan merugikan (tidak sebanding pengeluaran dengan pendapatan yang diharapkan). Kendaraan yang melintas di atas jembatan hanya pedati dan masih lebih efisien dengan menyewa angkutan kuda yang hanya f2 per pikul. Memang harga kopi (Angkola dan Sipirok) terus meningkat tetapi apakah biaya investasi jembatan akan kembali dalam 40 tahun? Demikian para pengkritik (lihat juga Sumatra-courant: nieuws- en advertentieblad, 24-08-1886).

Tunggu deskripsi lengkapnya

Bersambung::
*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe

Tidak ada komentar: