*Untuk
melihat semua artikel Sejarah TOKOH Tabagsel dalam blog ini Klik Disini
**Fakta-fakta baru yang belum pernah dilaporkan sebelumnya.
|
Mochtar Lubis (1956) |
Garis silsilah tokoh pers dari Padang
Sidempoean di dalam peta pers nasional adalah garis lurus yang tercetak tebal yang
kapabilitasnya selalu berada di peringkat atas. Tokoh pers Padang Siempoean antara yang satu dengan yang lainnya terdapat
garis continuum, sambung menyambung tanpa ada putusnya. Tokoh pers nasional
dimulai dari Dja Endar Moeda yang memulai kiprah pertama kali tahun 1897 yang
diangkat sebagai editor pribumi pertama dalam pers Hindia Belanda di Padang. Ini
berarti pada periode pertama (sebelum tahun 1900) Dja Endar Moeda adalah satu-satunya
pribumi yang memiliki kapabilitas dalam pers era kolonial (Nederlansch Indie).
Editor kedua yang diangkat adalah Tirto Adhi
Soerjo di Batavia. Ketika Tirto Adhi Soerjo diangkat sebagai editor tahun 1902,
Dja Endar Moeda sudah menjadi pemilik koran Pertja Barat dan sekaligus pemilik
percetakannya. Editor ketiga yang diangkat adalah Mangaradja Salamboewe pada
tahun 1903 pada Pertja Timor di Medan. Mangaradja Salamboewe di koran Pertja
Timor menjadi editor hingga tahun 1908. Selama lima tahun di Pertja Timor koran
Sumatra Post (di Medan) dan Batavia Nieuwsblad (di Batavia) mengakui kecerdasan
dan keberanian Mangaradja Salamboewe. Pada masa kejayaan Mangaradja Salamboewe
ini, situasi dan kondisi yang dialami oleh Tirto Adhi Soerjo tidak menetap dan
beberapa kali gonta-ganti media. Baru pada tahun 1908 Tirto Adhi Soerjo dan
kawan-kawan mendirikan koran Medan Prijaji di Batavia. Dengan demikian
kapabilitas tertinggi pada periode kedua (1901-1910) tetap pada Dja Endar
Moeda, disusul oleh Mangaradja Salamboewe lalu baru Tirto Adhi Soerjo.
|
Statistik entri nama tokoh pers Indonesia dalam koran Belanda |
Pada saat Tirto Adhi Soerjo dan Medan Prijaji
naik daun di periode ketiga (1911-1920), kiprah Mangaradja Salamboewe sudah
lama berhenti karena meninggal dunia tahun 1908. Sementara, Dja Endar Moeda pada
tahun 1910 sudah memiliki enam media (tiga di Padang, satu berbahasa Belanda),
dua di Tapanoeli, satu di Banda Aceh dan satu lagi di Medan (Pewarta Deli). Karir
Tirto Adhi Soerjo ternyata tidak lama. Pada tahun 1912 Tirto Adhi Soerjo mati
langkah karena tersandera oleh para krediturnya yang mengkabibatkan Medan
Prijaji berhenti dan kiprah Tirto Adhi Soerjo redup dan menghilang. Pada fase
ini peran Dja Endar Moeda di bidang keredaksian memang sudah mulai berkurang
karena lebih focus ke administrasi bisnis media. Namun the new comer, Parada
Harahap cepat melesat melampaui kapabilitas Tirto Adhi Soerjo yang sudah lama
menghilang. Parada Harahap sejak 1917 sudah memberi kontribusi dalam kasus
Poenali Sacntie, lalu menjadi editor Benih Mardeka tahun 1918 dan karena
korannya ditutup seperti kasus Medan Prijaji, lalu Parada Harahap tahun 1919
mendirikan koran Sinar Merdeka di Padang Sidempoean. Dua tahun di Padang
Sidempoean, Parada Harahap sudah sebanyak belasan kali kena delik pers dan dua
belas diantaranya berakhir ke penjara. Sebagai perbandingan: Tirto Adhi Soerjo
hanya mendapat delik pers dua kali, sebanyak yang pernah dialami oleh Dja Endar
Moeda. Dengan demikian kapabilitas Parada Harahap pada periode ketiga ini jauh
di atas Tirto Adhi Soerjo dan Dja Endar Moeda.
|
Mochtar Lubis dan Rosihan Anwar |
Pada periode keempat (1931-1940) Parada
Harahap sudah berkiprah di Batavia. Kiprahnya di dalam pers Hindia Belanda,
merupakan satu-satunya pribumi yang berada di papan atas (setara dengan
wartawan Eropa/Belanda). Ada beberapa wartawan yang menonjol pada periode ini
antara lain, Abdullah Lubis (pemilik Pewarta Deli), Adinegoro (editor Pewarta
Deli) BM Diah dan Mangaradja Ihoetan (editor Sinar Deli) serta Adam Malik
(pimpinan Antara), Saeroen (Pemandangan) dan lainnya. Kemuidian memasuki
periode kelima (1941-1950) peran Parada Harahap sudah mulai berkurang,
sementara Adinegoro terus meningkat. Akan tetapi di akhir periode ini hadir dua
new comer yang sangat menonjol yakni Mochtar Lubis dan Rosihan Anwar. Dua
musketeer ini cepat melesat melampaui Adinegoro dan Parada Harahap. Sejak
periode ini figur Mochtar Lubis tak pernah tertandingi bahkan Rosihan Anwar sendiri selalu di bawah bayang-bayang Mochtar Lubis hingga akhir hayatnya..