Nama publiknya adalah Dja Endar Moeda. Nama kecil dan nama adatnya adalah Si Saleh (Harahap) gelar (Mangara)Dja Endar Moeda. Gelar mangaradja dari doeloe kerap disingkat Dja (hingga masa kini). Setelah menunaikan ibadah haji ke Mekkah, Si Saleh, (Mangara)Dja Endar Moeda mendapat nama baru: Hadji Muhammad Saleh.
.
Masih
ingat, dua anak murid Kweekschool Padang Sidempoean yang diberitakan koran
Sumatra Courant (01-05-1884) [lihat artikel bagian kedua dari serial Kweekschool Padang Sidempoean dalam blog ini] yang
bernama Si Saleh dan Si Doepang yang melakukan kebajikan mengumpulkan dana
untuk disalurkan kepada orang-orang yang membutuhkan. Si Saleh, yang kala itu
menjadi siswa tingkat akhir Kweekschool Padang Sidempoean sudah menyadari arti
penting sharing dan caring. Entah bagaimana, koran Sumatra Courant jeli
memperhatikan kiprah Si Saleh yang masih bersekolah (atas biaya orang tua)
sudah sukarela pula membantu orang lain yang memerlukan biaya pendidikan. Kini
dia telah menjadi guru.
***
Koran
Sumatra-courant: nieuws-en advertentieblad, 22-05-1886 memberitakan bahwa Si
Saleh, galar Raja Endar Moeda, saat ini berada di Batahan, terpencil dan hidup
kesepian. Dia adalah salah satu guru lulusan dari Kweekschool Padang Sidempoean
yang diangkat dengan gaji f75 plus f25 untuk perumahan. Sekolah makin memburuk,
siswa hanya enam orang paling banyak 10 murid. Namun guru ini cukup cakap
menulis dalam bahasa Belanda dan memiliki kecenderungan untuk membangun namun
tidak memiliki buku dan fasilitas yang sangat minim.
***
Setelah
lama, kini Si Saleh gelar Radja Endar Moeda muncul di dunia lain. Koran
Sumatra-courant: nieuws-en advertentieblad, 25-10-1897 memberitakan bahwa
Percetakan Winkeltmaatschappij (sebelumnya Paul Baiimer & Co) menerima
sebuah buku kecil yang ditulis tangan terampil dari Dja Endar Moeda. Editor
Pertja Barat, Penerbit Winkeltmaatschappij menganggap buku itu layak. Buku
kecil itu berjudul ‘Hikayat Dendam taq Soedah Kalau Soedah Menawan Hati’. Namun
demikian, tentang konten, kami belum bisa menilai-itu nanti. Tapi kami tidak
ragu bahwa isi dan ruang lingkup cerita juga akan memenuhi tuntutan layak
terbit. Oleh karena itu kami akan mengembangkan buku itu bersama penulis agar
memiliki karakter yang solid. Namun tidak lama kemudian, koran Sumatra-courant:
nieuws-en advertentieblad, 04-12-1897 memberitakan tentang perayaan penobatan
Ratu Wilhelmina sebagai kolom editorial di dalam koran berbahasa Melayu, Pertja
Barat, yang mana sang editor disebutkan adalah Dja Endar Moeda.
***
Sejak
Dja Endar Moeda menjadi editor Pertja Barat, koran Sumatra Courant sering
mengutip dan memberitakan kiprah Dja Endar Moeda karena pemikirannya. Koran
Sumatra-courant: nieuws-en advertentieblad, 25-03-1898 memberitakan isi esai
Dja Endar Moeda mengusulkan di dalam korannya, Pertja Barat, menginginkan agar
di sekolah pribumi, bahasa pengantarnya adalah bahasa Melayu, bukan bahasa
Belanda. Alasannya adalah bahwa sangat sulit bagi pribumi untuk bisa berbahasa
Belanda. Mungkin inspirasi ini bersumber dari kiprah C.A. van Ophuysen adalah orang Belanda,
berbahasa Belanda mengajar bahasa melayu untuk siswa pribumi (C.A. van Ophuysen, adalah mantan guru dari
Dja Endar Moeda di Kweekschool Padang Sidempoean).
Pernyataan
Dja Endar Moeda ini membuat petinggi di Batavia tersentak. Koran Sumatra
Courant juga memuat hasil wawancara korespondennya di Batavia yang menanyakan
langsung Menteri. Koresponden: ‘Apakah penggunaan bahasa kita (maksudnya
Belanda) dalam pendidikan akan dihentikan?”. Menteri menjawab: ‘Jangan sampai
terjadi, nanti tidak ada ajaran yang lebih mengikat seperti sebelumnya yang
terjadi di sekolah guru’. Koran ini menambahkan bahwa memang Dja Endar Moeda
belum mengklaim bahwa bahasa Belanda dihentikan dalam pendidikan pribumi,
tetapi hanya menunjuk bahwa fakta mengajar dalam bahasa Belanda lebih berat
bagi penduduk pribumi. Dja Endar Moeda juga menyadari bahwa bahasa Melayu masih
terbilang miskin untuk melayani ilmu dan pengetahuan yang ingin dipejari oleh
murid pribumi. Dja Endar Moeda berpendapat, bahasa Melayu sebagai pengantar di
sekolah, tetapi bahasa Belanda juga perlu dan mengusulkan adanya pelajaran
bahasa Inggris atau Prancis di sekolah pribumi. Intinya: kegelisahan Dja Endar
Moeda masih kita rasakan di era modern ini—bahasa pengantar di sekolah
menggunakan bahasa Indonesia, tetapi masih dianggap tidak cukup untuk melayani
ilmu dan pengetahuan. Dja Endar Moeda memang cerdas.
Beberapa
kali koran Sumatra Courant mengutip isi editorial Dja Enda Moeda sebelumnya.
Kini, koran Sumatra-courant: nieuws- en advertentieblad, 15-11-1898
memberitakan Dja Endar Moeda yang mengkritisi penghematan dan pemotongan
anggaran pendidikan untuk sekolah-sekolah pribumi (termasuk kweekschool). Koran
Pertja Barat edisi 10-11-1898 sebagaimana dikutip Sumatra Courant, memberitakan
pendapata Dja Endar Moeda bahwa ‘Sepuluh tahun yang lalu, kondisi pantai barat
begitu buruk, Deputi Inspektur Pendidikan Pribumi Pantai Barat hanya digaji f
700 per bulan tetapi harus bertanggungjawab juga untuk mengawasi
sekolah-sekolah pribumi di Aceh dan Benkoelen. Bahkan pada tahun 1887 kami
tidak punya adjunt inspektur (pengawas sekolah) dan Mr Grivel, hanya digaji f
500 per tahun. Sekarang, meski kita memiliki inspektur di pantai barat dengan
gaji f 900 dan wakil inspektur f700 per bulan, namun jumlah sekolah pribumi
belum meningkat secara signifikan. Ini berarti pemotongan anggaran pendidikan
yang telah diputuskan pusat (Batavia) akan lebih merepotkan dan membuat lebih
buruk lagi pendidikan bagi pribumi. Dja Endar Moeda memang pejuang pendidikan,
perjuangannya tidak pernah luntur sejak masih sekolah di Kweekschool Padang
Sidempoean hingga beralih profesi dari guru menjadi editor surat kabar Pertja
Barat di Padang.
Kembali
koran Sumatra-courant : nieuws-en advertentieblad, 28-02-1899 mengutip
pernyataan goeroe Dja Endar Moeda (koran ini masih memberi label kepada Dja
Endar Moeda sebagai guru meski bertindak sebagai jurnalis/editor), bahwa orang
Melayu harus mengoreksi kesalahan sendiri bangsanya, bagaimanapun, harus tetap
ada keinginan untuk bekerja di bidang pertanian, dan menunjuk ke jumlah
berlatih pertanian oleh orang lain (non Melayu) dan mendorong Melayu untuk
mengikuti contoh itu. Dja Endar Moeda, memang seorang nasionalis yang juga
memperhatikan bangsanya sendiri dari sukubangsa yang lain.
***
Dja Endar Moeda setelah sukses di rantau, teringat kampung halaman di Padang Sidempuan. Koran Sumatra-courant : nieuws- en
advertentieblad, 01-05-1900 menguntit Dja Endar Moeda ketika pulang kampung dan mengabarkannya sebagai berikut: 'pada bulan Maret aktor terkenal koran Pertja Barat bersama anak dan istri telah datang ke sini (Padang Sidempuan). Pada tanggal 24 Maret, Dja Endar Moeda telah mengundang teman-temannya untuk sebuah reuni di Cafe Biljart milik Marczak. Banyak yang hadir, selain rekan-rekannya juga para abtenaar dan pejabat pemerintah. Di pintu Cafe terpampang ucapan sukacita dalam dua bahasa: "Selamat Dja Endar Moeda anak istri' / 'Leve Dja Endar Moeda en familie". Tentu saja hadir koeriahoofd dari Batoe-na-Doewa, Losoeng Batoe dan Si-Mapil-Apil dan Hoofd-Djaksa van Sibolga. Acara dibuka, Dja Endar Moeda memberi kata sambutan, kemudian kembang api dinyalakan, lalu diikuti musik akordion, biola dan tamborin. Lalu kemudian dilanjutkan dengan hidangan. Acara yang dimulai pukul 8.30 malam berakhir tidak lama setelah pukul 9.30. Para tamu pulang dengan puas. Lantas pada tanggal 31 Maret, koeriahoofd Batoe-naDoewa, Pertoewan Soripada mengundang Dja Endar Moeda dengan horja dengan margondang dengan Gondang Batak. Banyak pejabat pemerintah yang diundang. Di sela-sela acara itu, Dja Endar Moeda diajak oleh kepala koera berburu rusa ke arah Sipirok. Hari berikutnya April, Dja Endar Moeda dilakukan cara pesta rakyat oleh kepala koeria dengan 'manyambol horbo' untuk menyambut kedatangan Dja Endar Moeda di Padang Sidempuan dengan karangan bunga, acara manortor, lalu pukul satu siang dihidangkan makanan dan minuman yang melimpah. Terakhir pada tanggal 7 April sebelum pulang, Dja Endar Moeda ditraktir oleh Mr. Marczak di Cafe miliknya'.
***
Kembali ke Padang, Dja Endar Moeda beraktivitas lagi seperti biasanya. Koran
De locomotief: Samarangsch handels-en advertentie-blad, 02-05-1901 mengutip
lagi pernyataan Dja Endar Moeda (yang disebut koran ini Dja Endar Moeda sudah
memiliki beberapa koran: Pertja Barat, Insulinde dan Tapian Noeli—memiliki
banyak karyawan) di Insulinde yang terbit edisi pertama bahwa diperlukan banyak
media bagi bangsa pribumi untuk memberikan atau pengetahuan pembacanya ide yang
lebih baik untuk berkenalan dengan isu-isu yang berbeda, tidak melulu dalam hal
yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari semata. Dja Endar Moeda memang
pendidik yang baik, meski dilakukan dengan pendekatan yang berbeda (sekolah dan
media sama pentingnya).
Koran
De Sumatra post, 27-01-1903 mengutip pendapat Dja Endar Moeda bahwa pendidikan
dasar anak pribumi harus diperluas, kurikulumnya disesuaikan dengan
sekolah-sekolah Belanda/Eropa. Anak-anak pribumi juga memerlukan kemahiran
berbahasa Inggris, Aritmetika. Usul Dja Endar Moeda ini sudah pernah diutarakan
kepada C.A. van Ophuysen (mantan gurunya) yang sudah menjadi Inspektur
Pendidikan Pribumi Pantai Barat yang diteruskan ke Directeur voornoemd
aangeboden lalu ke Gubernur Jenderal di Padang dan ke Menteri Koloni di
Batavia. Namun menurut Direktur ‘proposal’ Dja Endar Moeda itu diabaikan pusat
dan kemungkinan hanya dapat direalisasikan di empat tempat di Jawa saja.
Menurut Direktur, Jawa masih pusat perhatian pada bagian dari Pemerintah, dan
wilayah kita (pantai barat) hanya dianggap sebagai bagian luar saja. Bahkan
menurut Direktur pusat masih keberatan meski pelaksanaannya dilakukan satu di
luar Jawa. Dja Endar Moeda, guru, jurnalis penuh ide—tetapi gagasannya hanya
dilaksanakan bukan ditempat yang ia inginkan.
Algemeen
Handelsblad, 16-07-1903 memuat tulisan Dr A. A. Fokker dari Amsterdam yang
baru-baru ini berkunjung ke Sumatra berjudul: Perjalanan ke (pantai) Barat.
Fokker mengatakan bahwa masih dalam bulan ini ada tiga pemuda dari Padang (di
antaranya adalah seorang guru) datang ke Amsterdam. Yang dimaksud Fokker dan
diluruskan oleh koran ini, guru tersebut adalah Dja Endar Moeda (rupanya,
predikat baru Dja Endar Moeda, tidak menghilangkan profesinya sebagai guru di
mata orang Belanda). Koran ini
menyebutkan bahwa anak Batak di Padang ini terkenal dan terampil, adalah
editor dua bilah koran (berbahasa) Melayu dan (satu buah) majalah Batak, akan
berkesempatan untuk mengunjungi negara kita. Pria ini akrab dengan bahasa kita
dan teman baik peradaban kita. Kita sudah lihat--dalam imajinasi kita--sudah
ada koloni Melayu di Amsterdam dan pusat kehidupan Indo-Belanda di Batavia, di
mana ruang besar (di Belanda) akan mampu memancarkan peradaban jauh ke tanah
musim panas abadi di Asia Tenggara. Fokker dalam tulisan ini juga menyebuat
saat ini tujuh belas Melayu dari Straits (mungkin maksudnya koloni
Inggris—Malaya dan Singapura) telah berada di London. Apakah anak yatim kita,
akan segera seperti England? Kami tidak percaya (Dr A. A. Fokker: Amsterdam, 6
Juli 1903). Koran Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 26-04-1904 memuat iklan Bintang Hindia, dimana
disebutkan Dja Endar Moeda menjadi koresponden di Padang, sedangkan Dr A. A.
Fokker sebagai Advisor.
Koran
Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië,
30-11-1905 memberitakan delik pers di Pengadilan Padang dimana dua orang
redaktur dijatuhkan hukuman pada 24 Juli tahun ini. Koran ini menulis bahwa Si
Saleh galar Dja Endar Moeda, alias Hadji Mohd. Saleh, (menyebut nama Dja Endar
Moeda sebagai demikian) editor koran berbahasa Melayu ‘Pertja Barat’ dan
mendapat hukuman cambuk dan mengakibatkan cedera. Sementara, K. Baumer, editor
dan penerbit ‘Sumatraasch Nieuwsblad’ (berbangsa Belanda) hanya didenda f15.
Dja Endar Moeda, guru, dan pejuang keadilan pendidikan, justru dihukum penguasa
secara tidak adil—sejak itu dia mempelajari secara mandiri soal hukum.
Koran
De Tijd: godsdienstig-staatkundig dagblad, 02-08-1909 memberitakan bahwa Dja
Endar Moeda, editor koran ‘Pembrita Atjeh’ membantu seorang terdakwa secara
hukum dan bebas. Atas memberikan keterangan (saksi ahli) yang mewakili terdakwa
dan sikap adil, Dja Endar Moeda ditawari pemerintah f5000, melalui pengacara,
tetapi Dja Endar Moeda menolaknya. Dja Endar Moeda di Aceh berfungsi ganda:
mencerdaskan bangsa (Pembrita Atjeh) juga sekaligus membantu para terdakwa
(pribumi maupun asing) secara berkeadilan di muka hukum (saksi ahli).
*Dikompilasi
oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan
sumber tempoe doloe.
_______________
Riwayat
Hidup: Dja Endar Moeda,
nama kecilnya Si Saleh, marga Harahap, memiliki gelar adat Mangara(Dja) Endar
Moeda dan setelah pulang dari Mekkah bernama Haji Muhammad Saleh, lahir di
Padang Sidempoean tahun 1861. Setelah lulus sekolah dasar, melanjutkan
pendidikan ke sekolah guru (kweekschool) di Padang Sidempoean dan dinyatakan
lulus 1885 (Kweekschool Padang Sidempoean, dibuka 1879). Setelah lulus sekolah
guru, Dja Endar Moeda merantau ke Air Bangis kemudian pindah ke Batahan,
Singkil, Mekkah dan Padang. Di Air Bangis, Dja Endah Moeda menjadi guru, dan
sambil mengajar juga menjadi editor majalah pendidikan Soeloeh Pengadjar yang
terbit di Probolinggo. Di Padang, Dja Endar Moeda beralih profesi menjadi
jurnalis. Dalam bidang jurnalis, Dja Endar Moeda muda bertindak sebagai editor
di surat kabar Pertja Barat yang terbit di Padang, 1897, kemudian Tapian Na
Oeli (terbit di Sibolga, 1900) dan Insulinde (terbit di Padang, 1901) serta
Pembrita Atjeh (1909).Buku-buku Dja Endar Moeda:
Dja Endar Moeda. ‘Hikajat
tjinta kasih sajang’. Otto Bäumer, 1895
Dja Endar Moeda. ‘Hikajat
dendam ta' soedah: kalau soedah merewan hati’. 1897.
Dja Endar Moeda. ‘Kitab
sariboe pantoen: ibarat dan taliboen, Volumes 1-2’. Insulinde, 1900.
Dja Endar Moeda, L.J.W.
Stritzko. ‘Tapian na Oeli na pinararat ni Dja Endar Moeda ni haroearkon ni
toean’. 1900.
Dja Endar Moeda. ‘Kitab
boenga mawar: pembatjaan bagi anak2’. Insulinde, 1902.
Dja Endar Moeda. ‘Kitab
peladjaran bahasa Wolanda oentoek anak anak baharoe moelai beladjar’. 1902.
Dja Endar Moeda. ‘Hikajat
sajang taq sajang: riwajat Nona Geneveuva ...’ 1902
Dja Endar Moeda. ‘Riwajat
Poelau Sumatra’. 1903.
Dja Endar Moeda. ‘Kitab edja
dan pembatjaan oentoek anak anak jang baharoe beladjar’. 1903.
Dja Endar Moeda, dan Djamaloedin (Baginda). ‘Kitab kesajangan: bergoena
oentoek anak-anak jang baharoe beladjar membatja hoeroef Belanda’. 1904.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar