Selasa, Juni 28, 2016

Sejarah Kota Medan (26): Sutan Parlindungan; Tokoh Terkenal di Medan; Murid Willem Iskander yang Menjadi Editor Pewarta Deli



Surat kabar Pewarta Deli di Medan  (1909-1946)
Sutan Parlindungan adalah ‘mata rantai’ yang menjadi penghubung antara Willem Iskander dengan Kota Medan. Sutan Parlindungan juga adalah ‘mata rantai’ yang menjadi penghubung antara sekolah guru (kweekschool) di Tanobato dengan Kweekschool Padang Sidempuan. Sutan Parlindungan adalah murid Willem Iskander. Sutan Parlindungan adalah guru bahasa Batak di Kweekschool Padang Sidempuan. Setelah pension menjadi guru, Sutan Parlindungan pernah menjadi jaksa sebelum menjadi editor Pewarta Deli. Sutan Parlindungan, tokoh terkenal di Medan meninggal dunia setelah sakit singkat pada usia tua, 86 tahun (De Sumatra post, 13-06-1934).

Sutan Parlindungan murid Willem Iskander

Sutan Parlindungan adalah boleh jadi satu-satunya murid Willem Iskander yang jauh merantau ke Medan. Sutan Parlindungan bersekolah di sekolah guru (kweekschool) yang didirikan oleh Willem Iskander di huta Tanbobato, afdeeling Mandheling en Ankola.  Di sekolah guru ini, Willem Iskander adalah satu-satunya guru yang juga merangkap sebagai kepala sekolah (direktur). Sekolah guru ini dibuka tahun 1862 dan kemudian ditutup tahun 1874. Sutan Parlindungan mengikuti sekolah guru asuhan Willem Iskander antara tahun-tahun tersebut.

Sabtu, Juni 25, 2016

Sejarah Kota Medan (25): Istana Maimun dari Rumah Biasa di Labuhan Deli Menjadi Istana Megah di Medan; Dibangun dari Hasil Sewa Tanah Penduduk Batak



Istana Maimun pada masa kini hanya dipandang tidak lebih dari hanya sekadar sebuah ‘rumah besar’ yang tidak terawat. Istana Maimun sejak 1946 telah ‘jatuh’ fungsinya sebagai keraton. Bangunan terbesar di masa lalu (era kolonial Belanda) itu, kini sudah beralih fungsi menjadi tempat tinggal para ahli warisnya. Tidak terurus dan tidak pernah mendapat renovasi.

Istana Maimun di Medan adalah istana kerajaan termegah di seluruh Indonesia. Bangunan istana Sultan Deli ini nyaris mengimbangi istana Negara dan istana Bogor. Oleh karenanya, Istana Maimun menjadi salah satu istana yang banyak dikunjungi. Para pengunjung berdecak kagum. Arsitentur yang indah dengan biaya pembangunannya yang sangat besar.

Namun pada latarbelakang keberadaan Istana Maimun ini banyak yang tidak diketahui publik. Masyarakat hanya mengetahui bahwa istana itu pembangunannya dimulai 1888 dan selesai 1891. Masyarakat hanya terbius oleh kemegahannya semata. Di dalam istana, dulu Sultan dan para pangeran hidup dengan mewah, sementara penduduk di sekitarnya hidup susah dan terjajah. Penggalan kisah dibelakang keberadaan istana tidak pernah diungkapkan. Mungkin anda bertanya: Bagaimana istana semegah ini muncul di Medan? Mengapa istana Sultan Deli begitu wah diantara keraton-keraton yang ada pada jamannya? Apakah ada yang diuntungkan dan apakah ada yang dirugikan? Mari kita lacak!

Labuhan Deli dan Aneksasi Belanda

Pada tahun 1863 Residen Riau, Netscher datang dengan kapal perang ke Deli dan berlabuh di Labuhan Deli. Netscher, mantan Residen Tapanoeli adalah juga anggota Bataviasch Genooschap (perkumpulan akademik di Batavia). Netscher terbilang pejabat pemerintah kolonial yang mampu menulis dengan baik. Dalam laporan kunjungannya ke Labuhan Deli, Netscher mendeskripsikan dengan baik apa yang perlu ditulisnya sebagai memory. Laporan ke Deli itu juga disarikannnya dalam bentuk serial artikel di surat kabar yang terbit di Batavia.

Senin, Juni 20, 2016

Sejarah Kota Medan (24): Pewarta Deli, Surat Kabar Legendaris di Medan (1909-1946); Didirikan oleh Dja Endar Moeda (1861-1926)



Surat kabar Pewarta Deli terbit di Medan pada bulan Desember 1909. Surat kabar Pewarta Deli didirikan oleh Sjarikat Tapanoeli dibawah pimpinan redaksi Saleh Harahap gelar Dja Endar Moeda. Surat kabar Pewarta Deli, surat kabar pribumi terbesar di Medan dan telah melahirkan banyak tokoh pejuang, seperti Soetan Parlindoengan, Soetan Koemala Boelan, Abdulah Lubis, Mangaradja Ihoetan, Hasanoel Arifin, Adinegoro. M. Arif Lubis dan Mohamad Said. Surat kabar Pewarta Deli hidupnya cukup lama, surat kabar legendaris yang harus dikenang sebagai surat kabar Kota Medan yang telah berjuang habis-habisan untuk  menegakkan keadilan dan mempelopori pencapaian kemerdekaan Indonesia.Setelah Pewarta Deli berhenti beroperasi (dilarang), redaktur-redakturnya kemudian menjadi pelopor pendirian surat kabar, seperti Mimbar Umum dan Waspada.
Menurut Mr. Stokvis (anggota parlemen Belanda, spesialis Negara jajahan) yang berkunjung ke Hindia Belanda (1934) menyebut empat surat kabar terkumuka pribumi: Soera Oemoem pimpinan Dr. Soetomo (Surabaya), Pemandangan dan Bintang Timoer (Batavia) serta Pewarta Deli (Medan). Diantara surat kabar yang ada, Pewarta Deli merupakan surat kabar yang diedit paling baik. Pimpinan Pewarta Deli adalah Abdulah Lubis, pimpinan Bintang Timoer adalah Parada Harahap.
Pewarta Deli, Didirikan oleh Seorang Guru

De Sumatra post, 30-12-1909
Surat kabar Pewarta Deli didirikan oleh Radja Persuratkabaran Sumatera, Dja Endar Moeda di Medan pada tahun 1909. Dja Endar Moeda sebelumnya telah memiliki surat kabar Pertja Barat di Padang (1899), menerbitkan surat kabar berbahasa Melayu, Tapian Na Oeli di Sibolga (1900) dan menerbitkan majalah Insulinde di Padang (1901). Sebelum mendirikan Pewarta Deli, Dja Endar Moeda telah menerbitkan surat kabar berbahasa Belanda di Padang, Sumatra Nieuwsblad (1904) dan surat kabar Pembrita Atjeh di Kota Radja (1907). Surat kabar berikutnya yang diterbitkan oleh Dja Endar Moeda yang terbilang sukses dan bertahan hidup lama adalah Pewarta Deli yang diterbitkan oleh NV. Sjarikat Tapanoeli (pendiri:: Dja Endar Moeda).

Rabu, Juni 15, 2016

Sejarah Kota Medan (23): Radja Goenoeng, Gemeenteraad Medan Pertama; Mangaradja Soangkoepon, Volksraad Seumur Hidup dari Sumatera Timur



Cikal bakal institusi dewan (raad) di Medan adalah Gemeentefond. Dewan pertama yang dibentuk adalah Afdeelingraad Deli berkedudukan di Medan. Jumlah anggota sebanyak 21 orang yang mulai bersidang secara resmi 1 April 1906 yang diketuai oleh Asisten Residen. Kemudian di dalam kota Medan dibentuk gemeeteraad tahun 1912 yang dalam perkembangannya diketuai oleh walikota (burgermeester) tahun 1918 sehubungan dengan berubahnya status kota Medan menjadi sebuah kota (gemeente).

Kota-kota lain di Sumatra’s Oostkust yang memiliki gemeeteraad adalah Pematang Siantar, Bindjei, Tebing Tinggi dan Tandjong Balei. Sedangkan di Residentie Tapanoeli, belum ada gemeenteraad. Yang ada adalah afdeelingraad seperti Afdeelingraad Deli. Uniknya, dewan di Tapanoeli ini hanya satu-satunya dan wilayah konstituenya hanya sebatas onderafdeeling. Dewan yang ada di Residentie Tapanoeli itu terdapat di Onderfadeeling Angkola en Sipirok (yang berpusat di Padang Sidempuan). Jumlah anggota dewan sebanyak 23 orang (lebih banyak dari Afdeelingraad Deli yang hanya berjumlah 21 orang).

Pada pemilihan umum untuk anggota dewan pusat (Volksraad) di Batavia, pada tahun 1927 Sumatera dibagi menjadi empat dapil. Selain dapil Province Sumatra’s Oostkust, Province Sumatra’s Westkust dan dapil Zuid Sumatra, juga dibentuk dapil Noord Sumatra. Inilah awal pertama kali nama Sumatera Utara (Noord Sumatra) muncul. Dapil Noord Sumatra terdiri dari Residentie Tapanoeli plus Residentie Atjeh. Dalam perkembangan lebih lanjut (pasca kemerdekaan RI), Noord Sumatra terdiri dari Tapanoeli, Atjeh dan Sumatera Timur. Selanjutnya  Atjeh dibentuk menjadi satu provinsi sendiri, sementara Tapanoeli dan Sumatera Timur digabung menjadi satu provinsi yang diberi nama Sumatera Utara—nama yang telah lama melekat pada Tapanoeli (sejak 1927).

Senin, Juni 13, 2016

Sejarah Kota Medan (22): Madong Lubis, Guru van Ophuijsen dari Padang Sidempuan; Peletak Dasar Tatabahasa dan Ejaan Indonesia




Het nieuwsblad voor Sumatra, 03-11-1954
Berbicara tentang tatabahasa dan ejaan Melayu, sesungguhnya membicarakan dua pionir, guru terkenal: Charles Adrian van Ophuijsen dan Madong Lubis. Kedua guru ini hidup dan berkarya di era yang berbeda. Charles Adrian van Ophuijsen mulai belajar dan menekuni tatabahasa dan sastra Melayu di Padang Sidempuan (1876-1893). Sedangkan Madong Lubis meneruskan hasil kerja keras van Ophuijsen di Medan dengan tatabahasa dan sastra Indonesia (1918-?). Charles Adrian van Ophuijsen adalah peletak dasar tatabahasa dan ejaan Indonesia, sedangkan Madong Lubis adalah penerusnya.

Siapa Madong Lubis?

Madong Lubis adalah guru di Sabang. Pada tahun 1911 Madong Lubis pindah ke Langsa (De Sumatra post, 11-11-1911). Pada tahun 1918 guru Madong Lubis mengikuti ujian akta guru Belanda di Medan. Madong Lubis termasuk diantaranya yang lulus dan mendapat akta mengajar, akta Belanda. Sebelumnya, untuk mendapat akta serupa ini harus melanjutkan studi perguruan tinggi ke Belanda, seperti Radjioen Harahap gelar Soetan Casajangan (1905), Todoeng Harahap gelar Soetan Goenoeng Moelia (1911), GB Josua (1930). Dalam perkembangannya untuk mendapat akta serupa itu dapat dilakukan di Nederlandch Indie, tetapi harus guru yang berpengalaman dengan syarat dan ketentuan serta lulus ujian di depan komisi.

Minggu, Juni 12, 2016

Sejarah Kota Medan (21): Abdul Hamid Lubis, Mentor Adam Malik; Pemuda Paling Revolusioner yang Mendahului Soekarno



Di Medan, jangan membicarakan yang lain dulu sebelum menyebut nama Abdul Hamid Lubis. Setelah itu baru membicarakan Adam Malik. Abdul Hamid Lubis adalah mentor dari Adam Malik. Hanya dua pemuda belia ini di Medan yang benar-benar dapat disebut pemuda paling revolusioner di Medan. Kedua pemuda ini memulai aktivitas politik pada usia 15 tahun.

Abdul Hamid Lubis dan Parada Harahap tidak pernah bertemu di Medan. Parada Harahap sudah hengkang dari Medan tahun 1919. Parada Harahap pulang kampong di Padang Sidempuan mendirikan surat kabar Sinar Merdeka. Sepeninggal Parada Harahap, Medan hanya biasa-biasa saja. Tiba-tiba pada tahun 1928 kota Medan heboh. Abdul Hamid Lubis ditangkap!

Abdul Hamid Lubis memulai karir sebagai wartawan di Medan. Uniknya, Abdul Hamid Lubis tidak hanya seorang jurnalis tetapi juga penulis opini berbakat. Topik yang dipilih selalu perihal yang terlarang, yakni: perlawanan terhadap pemerintah kolonial. Ini yang terjadi pada pertengahan tahun 1928. Namanya kemudian  menjadi terkenal, tidak hanya di Medan tetapi juga di Batavia. Parada Harahap yang sudah sejak tahun 1923 berada di Batavia mendengar dan membaca berita tentang Abdul Hamid Lubis tersebut.

De Sumatra post, 28-03-1928
De Sumatra post, 28-03-1928: ‘Hari ini, Abdul Hamid Lubis, editor Pewarta Deli ditahan karena menulis sebuah artikel di surat kabar berbahasa Melayu, Pertja Timoer. Untuk tindakan pencegahan, diperoleh kabar dari pemerintah di Batavia agar secepat mungkin Abdul Hamid Lubis ditangkap untuk segera diadili. Sejumlah pihak protes, seperti Inlandsche Journalistenbond di Batavia (pimpinan Parada Harahap), Sembilan anggota Volksraad: Middendorp, Soangkoepon, Soetadi, Soeroso, dan Thamrin, memprotes skema preventif tersebut’.

Berita itu tentu saja mengagetkan seluruh insan pers dan pentolan pergerakan politik di Nederlandsch Indie (baca: Indonesia). Partai politik pertama baru didirikan baru beberapa bulan sebelumnya (4 Juli 1927), yakni partai yang didirikan di Bandung oleh para tokoh nasional seperti Dr. Tjipto Mangunkusumo dan Mr. Sartono. Ke dalam partai baru ini, kemudian para pelajar yang tergabung dalam Algemeene Studie Club yang diketuai oleh Ir. Soekarno ikut bergabung. Dengan kata lain: Abdul Hamid Lubis berteriak lebih dahulu dibandingkan dengan kandidat Soekarno. Pada tahun dimana Abdul Hamid Lubis ditangkap (1928), partai Indonesia pertama ini diubah namanya menjadi Partai Nasional Indonesia (PNI). Organisasi politik PNI dan orang-orangnya baru dianggap pemerintah Belanda berbahaya pada tahun 1929.

Sabtu, Juni 11, 2016

Sejarah Kota Medan (20): M. Arif Lubis, Editor Mimbar Umum; Pejuang Pers, Surat Kabar yang Masih Eksis Hingga Ini Hari



Hanya beberapa surat kabar lama (tempo doeloe) yang masih bisa bertahan hingga ini hari. Dua diantaranya: Mimbar Umum di Medan dan Pikiran Rakyat di Bandung. Editor terkenal Mimbar Umum adalah M. Arif Lubis dan editor terkenal Pikiran Rakyat adalah Sakti Alamsyah Siregar. Surat kabar Mimbar Umum didirikan pada tangga 6 November 1945. Ini berarti surat kabar (harian) Mimbar Umum merupakan koran tertua di Sumatera pada masa kini.

Siapa Muhamad Arif Lubis?

Padang Sidempuan adalah asal M.Arif Lubis. Di kota ini pada tahun 1919 diterbitkan surat kabar nasional yang bersifat revolusioner, Sinar Merdeka. Surat kabar ini dipimpin oleh editor Parada Harahap. Sejak itu, nama Padang Sidempuan terkenal sebagai pusat pergerakan politik. Salah satu tokoh politik di Padang Sidempuan adalah Abdul Karim (alumni Docter Djawa School, sekelas dengan Dr. Tjipto).

Surat kabar mingguan Soeara Sini terbit di Padang Sidempuan. Surat kabar ini terdeteksi tahun 1929 ketika wartawannya bernama Sahoeroem ditingkap di Padang karena menulis dan menyebarkan pamphlet berjudul Semangat Nasional Indonesia di Fort de Kock, dimana di dalam tulisan itu terdapat kata-kata yang menghina orang-orang ETI (Eropa). Tahanan ini kemudian dibawa ke Fort de Kock (De Sumatra post, 04-12-1929).

Nama M. Arif  Lubis muncul ke permukaan pada tahun 1931. Surat kabar berbahasa Melayu yang terbit di Sibolga, Pertjatoeran mengalami delik pers di bawah editor M. Arif Lubis (De Sumatra post, 16-09-1931). Pangkal perkara diajukannya ke meajau hijau M. Arif Lubis karena melaporkan seorang kepala polisi Belanda melakukan tindakan kekerasan terjadap penduduk.

Kamis, Juni 09, 2016

Sejarah Kota Medan (19): Dr. Muhammad Ildrem, Republiken yang Terjebak di Medan; Berperan Penting Normalisasi Antara Republik Indonesia dan Negara Sumatera Timur

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Kota Medan dalam blog ini Klik Disin


Trio Pimpinan PPI Belanda (1939): Sidhartawan, Lubis dan Ildrem
Orang Medan hanya mengenal Mohamad Ildrem (Muhammad Ildrem) sebagai salah satu pendiri Fakultas Kedokteran, Universitas Sumatera Utara (1952). Kisah Mohamad Ildrem sangat berliku. Di Medan, dalam proses penyerahaan kedaulatan RI, Mohamad Ildrem termasuk panitia (1949). Peran Mohamad Ildrem sangat sentral dalam upaya normalisasi hubungan antara pihak-pihak dari Negara Sumatera Timur dengan pihak-pihak dari Republik Indonesia. 
Di Belanda 1939, trio pimpinan Perhimpunan Pelajar Indonesia melakukan perlawanan terhadap fasis untuk mencapai kemerdekaan Indonesia (Parlindungan Lubis, sebagai ketua, Sidhartawan, sebagai sekretaris dan Mohamad Ildrem sebagai bendahara). Parlindungan ditahan lima tahun di kamp NAZI di Jerman, Mohammed Ildrem mengalami penganiayaan yang mengerikan dan biadab oleh orang-orang Yahudi di Jerman dan Sidhartawan meninggal selama di tahanan (Algemeen Handelsblad, 08-12-1942).
Sekembalinya ke tanah air, Parlindungan Lubis bergabung dengan Republik di Jogjakarta. Sedangkan Mohamad Ildrem yang beristri orang Belanda terhambat masuk ke wilayah republik dan membuka dokter praktek di Jakarta, kemudian pindah membuka dokter praktek di Medan (wilayah yang sama-sama dikuasai oleh Belanda). Di Medan Mohamad Ildrem bagaikan buah Simalakama, Secara defacto Mohamad Ildrem adalah republic tetapi secara dejure adalah BFO di Medan (Sumatera Timur berada di negara federal buatan Belanda). Sementara teman-temannya dari Tapanoeli, meski berada di wilayah BFO, tetapi hampir semuanya tetap republiken, seperti Dr. Djabangoen Harahap dan Gading Batoebara Josua (GB Josua).

Namun ketika terjadi perubahan yakni dengan pengakuan kedaulatan Republik Indonesia, Mohamad Ildrem menjadi perekat antara orang-orang Republiken dan Federalis yang pada akhirnya Negara Sumatera Timur menjadi bagian dari NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia). Dr. Mohamad Ildrem (alumni sekolah kedokteran di Belanda bersama Dr. Palindungan Lubis) menjadi penghubung dua seteru secara politik di Medan yang sama-sama alumni STOVIA yakni antara Dr. Djabangoen Harahap, Ketua Front Nasional Medan dengan Dr. Tengkoe Mansoer, Wali Negara Sumatera Timur. Pada pasca pengakuan kedaulatan RI, ketika Abdul Hakim Harahap diangkat menjadi Gubernur Sumatera Utara (1951) normalisasi hubungan dua kelompok anak bangsa di Medan lebih cepat kondusif dibanding dengan daerah lain di Indonesia. Dalam hal ini Dr. Mohamad Ildrem menjadi faktor penting.

Siapa Mohamad Ildrem?

Muhammad Ildrem Siregar terdeteksi pertama kali namanya di Batavia sebagai salah satu siswa yang naik dari kelas dua ke kelas tiga sekolah MULO di Gang Mendjangan (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 18-05-1926). Setelah lulus pulang ke Medan (Bataviaasch nieuwsblad, 17-05-1927). Setahun berikutnya Mohamad Ildrem naik ke kelas lima di sekolah AMS Salemba di Weltevreden (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 04-05-1928). Pada tahun 1930 Mohamad Ildrem naik dari kelas lima ke kelas enam di sekolah HBS (AMS afd. B) di Medan (De Sumatra post, 02-05-1930). Tahun 1931 Mohamad Ildrem lulus ujian akhir VHO (afd. B AMS) di Medan (De Sumatra post, 07-05-1931)..

Rabu, Juni 08, 2016

Sejarah Kota Medan (18): Kweekschool Padang Sidempuan, Sekolah Guru Terbaik; Inspirasi Pendirian Perguruan Tinggi Pendidikan Guru di Sumatera Utara (UNIMED)



Universitas Negeri Medan (UNIMED) pada masa kini merupakan  ‘sekolah guru’ terbaik di Sumatera Utara. Universitas ini sebelumnya bernama IKIP (Institut Keguruan Ilmu Pendidikan). Institut ini awalnya sebuah fakultas di Universitas Sumatera Utara (Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan atau FKIP). Fakultas ini sebelumnya adalah Perguruan Tinggi Pendidikan Guru (PTPG). Jauh sebelumnya, guru-guru di Sumatera Utara dihasilkan oleh Normaal School di Pematang Siantar. Sekolah guru ini adalah suksesi sekolah guru (kweekschool) Padang Sidempuan.

Kweekschool menjadi HIS dan kini SMA N 1 Padang Sidempuan
Kweekschool Padang Sidempuan dibuka pada tahun 1879. Guru terkenal dari sekolah guru di Padang Sidempuan ini adalah Charles Adrian van Ophuijsen. Dari delapan tahun menjadi guru di sekolah guru terbaik di Nederlandsch Indie (Hindia Belanda) ini, Ophuijsen lima tahun terakhir sebagai direktur sekolah. Salah satu alumni Kweekschool Padang Sidempuan (1884) bernama Dja Endar Moeda adalah editor pribumi pertama, surat kabar Pertja Barat di Padang (1897) dan pada tahun 1910 mendirikan surat kabar Pewarta Deli di Medan. Alumni lainnya adalah Soetan Casajangan (1887) adalah mahasiswa pertama kuliah di Belanda (1905) yang pada tahun 1908 mendirikan Indisch Vereeniging (Perhimpunan Pelajar Hindia Belanda) di Leiden. Satu lagi alumni terkenal dari sekolah guru ini adalah Mangaradja Salamboewe, setelah berhenti menjadi jaksa beralih profesi menjadi editor pribumi kedua tahun 1902 (surat kabar Pertja Timor di Medan). Charles Adrian van Ophuijsen—guru dari Saleh Harahap gelar Dja Endar Moeda, Radjioen Harahap gelar Soetan Casajangan, dan Abdul Hasan Nasoetion gelar Mangaradja Salamboewe— adalah penyusun tatabahasa Melayu yang ejaannya dikenal sebagai ejaan Ophuijsen. Di akhir karirnya, Charles Adrian van Ophuijsen diangkat menjadi guru gesar dalam bidang tatabahasa dan sastra Melayu di Universiteit Leiden (Soetan Casajangan diangkat menjadi asisten Prof. vn Ophuijsen).  

Pada tahun 1893 Kweekschool Padang Sidempuan menyelenggarakan ujian akhir (eindexamen) dari tanggal 21 hingga 24 Maret. Dari tujuh kandidat semuanya lulus (lihat Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 17-06-1893). Ketujuh siswa yang lulus tersebut adalah (1) Si Loehoet gelar Radja Enda Boemi dari Baringin, (2) Si Julius gelar Soetan Martoewa Radja dari Sipirok, (3) Si Tohir gelar Marah Talang dari Baroes, (4) Si Goenoeng gelar Radja Paloon Sotidijon, dari Pakantan Lombang, (5) Si Djaman gelar Marah Alam dari Goenoeng Sitoli,  (Nias) (Tapanoeli), (6) Si Dangjjang gelar Radja Siregar Indo Mora dari Sijala Goendi, dan (7) Si Tirem gelar Dja Ali Saman dari Sipirok.

Minggu, Juni 05, 2016

Sejarah Kota Medan (17): Simpang Siur Sejarah Pendirian Fakultas Kedokteran, Universitas Sumatera Utara (USU); Ini Faktanya



Gubernur Sumatera Utara, Abdul Hakim mengambil inisiatif untuk mendirikan sebuah universitas di Medan. Untuk mewujudkan itu, didirikan Jajasan Universitas Sumatera Utara yang mana Dewan Pimpinan terdiri dari: Gubernur Abdul Hakim, Presiden, Tengku Dr Mansur, Wakil Presiden, Dr Sumarsono, Sekretaris bendahara dan anggota Walikota Djaidin Poerba, Ir. RS. Danunagoro, Sahar, Oh Tjie Lien, Anwar Abubakar, Madong Lubis dan perwakilan dari Ikatan Dokter Indonesia, Persatuan Dokter Gigi Indonesia dan Dewan Ekonomi Indonesia.

Abdul Hakim Harahap, 1953
Java-bode:nieuws,handels-en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 09-06-1952: ‘Gubernur Abdul Hakim telah mengambil inisiatif untuk mendirikan sebuah universitas di Medan, dana yang terkumpul sebesar Rp. 1,127,808.07 yang disimpan dalam dana perguruan tinggi Jajasan Universitet Sumatera Utara, yang didirikan dengan akta notaris. Hal ini dimaksudkan untuk membuka sekolah kedokteran pada tanggal 17 Agustus. Tujuan dari Jajasan Universitet Sumatera Utara adalah, selain memberikan pendidikan yang lebih tinggi, untuk mempromosikan kepentingan siswa dalam arti luas. Akan terkait dengan tujuan terakhir ini juga menyediakan perumahan bagi para siswa. Manajemen Jajasan Universitet Sumatera Utara, Dewan Pimpinan terdiri dari: Gubernur Abdul Hakim, Presiden, Tengku Dr Mansur, Wakil Presiden, Dr Sumarsono, Sekretaris bendahara dan anggota Pak Walikota Djaidin Poerba, Ir RS Danunagoro, Sahar, Oh Tjie Lien, Anwar Abubakar, Madong Lubis dan perwakilan dari Ikatan Dokter Indonesia, Persatuan Dokter Gigi Indonesia dan Dewan Ekonomi Indonesia’

Abdul Hakim mengambil inisiatif, yang berarti Abdul Hakim memiliki kemampuan untuk memulai atau meneruskan suatu perbuatan dengan penuh energi tanpa petunjuk dari yang lain; atau atas kehendak sendiri (the power or ability to begin or to follow through energetically without prompting or direction from others; on one’s own). Abdul Hakim yang menjabat gubernur Sumatera Utara yang ketiga (25-01-1951 sd 23-10-1953) bukanlah orang baru di Medan maupun di Sumatera Utara. Oleh karena itu Abdul Hakim sangat paham apa yang menjadi kebutuhan provinsi Sumatera Utara.

Jumat, Juni 03, 2016

Sejarah Kota Medan (16): Abdullah Lubis, Tokoh Pers, Pejuang Kemerdekaan, Orang Indonesia Pertama ke Jepang Membuat Belanda Gerah (1933)



Siapa Abdullah Lubis? Abdullah Lubis memiliki sejarah yang panjang dan lengkap di Medan. Nama Abdullah Lubis muncul kali pertama sebagai redaktur Benih Mardeka (1916). Abdullah Lubis kemudian menjadi bagian dari Pewarta Deli, mulai dari redaktur hingga menjadi pemimpin perusahaan. Ketika popularitasnya meningkat, Abdullah Lubis terpilih dalam ‘pilkada’ untuk menjadi anggota dewan (gementeeraad) Medan (1920).

Abdullah Loebis ke Jepang (1933)
Abdullah Lubis, seorang mantan guru ini, kerap menyuarakan soal permasalahan pendidikan dan pers di kota Medan. Ketika mulai sangat sibuk untuk urusan pro kemerdekaan (dan kehilangan editornya, Mangaradja Ihoetan dan Hasanoel Arifin karena delik pers). Abdullah Lubis meminta kepada koleganya Parada Harahap (pemimpin surat kabar Bintang Timoer di Batavia) agar Adinegoro pindah tempat dari ‘desk’ editor Bintang Timoer menjadi editor Pewarta Deli (1930). Parada Harahap, mantan editor Benih Mardeka dan Pewarta Deli ini setuju dan Adinegoro kemudian hijrah ke Medan. Pertemanan Abdullah Lubis dan Parada Harahap sangatlah dekat.

Dalam pilkada 1931, Abdullah Lubis kalah bersaing dengan rekannya Dr. Ma’moer Al Rasjid di putaran akhir pemilihan. Abdullah Lubis yang sudah satu dasawarsa di dewan memerlukan tenaga baru. Dr. Ma’moer Al Rasjid Nasution menjadi prioritas penduduk karena kala itu tingkat kesehatan masyarakat lagi memburuk. Yang sudah lebih dahulu terpilih adalah Abdul Hakim dan GB Josua

Parada Harahap di Batavia telah menjadi tokoh sentral dalam perjuangan mendapatkan kemerdekaan. Pada tahun 1927 Parada Harahap telah berhasil menyatukan semua organisasi-organisasi pribumi (ketua M. Husni Thamrin dan sekretaris Parada Harahap) dan menggagas diadakannya Kongres Pemuda tahun 1928 dimana Parada Harahap sebagai pembina. Dengan mulai besatunya pribumi, Parada Harahap yang telah memiliki tujuh surat kabar di Jawa  mencoba memprovokasi pemerintahan kolonial Belanda untuk berkunjung ke Jepang.

Pada tahun 1932 Parada Harahap berinisiatif ‘merekrut’ sejumlah tokoh revolusioner muda Indonesia. Awalnya Parada Harahap mengajak Soekarno, namun berhalangan karena masih sibuk mempersiapkan diri (teori politik) di Club Studi di Bandung. Untuk menggantikan posisi akademisi Parada Harahap berhasil mengajak Mohamad Hatta (yang tengah mempersiapkan kepulangan ke tanah air setelah selesai studi di Belanda). Untuk posisi wartawan, Parada Harahap sudah memiliki nominator kuat yakni Abdullah Lubis. Lalu pada Desember 1933 tujuh orang pertama Indonesia berangkat ke Jepang yang dipimpin Parada Harahap (termasuk di dalamnya Abdullah Lubis dan Mohamad Hatta). Di Jepang, pers setempat menjuluki Parada Harahap sebagai The King of Java Press.

Nama ‘Butet’ Bukan Berasal dari Batak: Editor Surat Kabar ‘Perempuan Bergerak’ (1918) Berasal dari Batak



Sebelum nama ‘butet’ dikenal di Tanah Batak, nama butet sudah sejak lama digunakan oleh orang Eropa sebagai nama seseorang. Misalnya Boetet Schoppe (Leydse courant, 28-11-1725); Gerrit Boetet (Amsterdamse courant, 09-04-1774); Butet & Co (Algemeen Handelsblad, 05-01-1912); H.L. Boetet (Leeuwarder courant, 30-05-1913); notaries LA Butet (Algemeen Handelsblad, 13-12-1917). Butet juga menjadi nama marga di Eropa.

De Preanger-bode, 19-06-1919
Pada tahun 1919 di Medan ada seorang perempuan bernama Boetet Satidjah. Perempuan ini bukan sembarang orang. Boetet Satidjah adalah editor suratkabar bulanan Perempuan Bergerak yang terbit di Medan tahun 1919 (De Preanger-bode, 19-06-1919). Motto surat kabar kaum wanita ini adalah ‘De beste stuurlui staan aan wal’ (sahabat terbaik mampu melindungi). Tujuan dari majalah ini memajukan tindakan wanita, sesuai untuk mendukung keinginannya saat ini, dan juga membantu aksi pria. Selanjutnya, surat kabar ini akan mencakup semua hal terkait minat wanita seperti masalah anak, pendidikan, kehidupan wanita itu sendiri dan urusan rumah tangga.

Nama surat kabar Perempuan Bergerak ini terkesan lebih revolusioner dibandingkan dengan surat kabar perempuan yang pernah terbit di Padang, Sunting Melayu (1912). Dari nama mengandung makna yang jelas dan bersifat nasionalis. Perempuan bergerak mendorong perempuan untuk tidak bermalas-malasan dan sudah waktunya bergerak lebih maju. Sedangkan Sunting Melayu dari namanya hanya mengandung makna hiasan (sunting) bagi etnik Melayu saja (seperti halnya Boedi Oetomo, Jawa). Kehadiran Parada Harahap, sang revolusioner di belakang surat kabar Perempuan Bergerak menunjukkan misi nasionalis yang ingin diterabas: dobrak! Dobrak daerah/etnik sentris dan dobrak imperialisme Eropa. Pada saat itu, di Medan adalah pusat kemajuan Eropa di Nederlandsch Indie. Dari westkust berpindah ke Oostkust. Media Eropa telah pindah dari Sumatra Courant di Padang menjadi Sumatra Post di Medan. Juga media nasional: dari Pertja Barat di Padang menjadi Pewarta Deli di Medan. Kebetulan pemiliknya sama: Hadji Dja Endar Moeda dan slogan kedua surat kabar ini tentu sama pula: 'Oentoek Segala Bangsa' (Batak, Minangkabau, Melayu, Atjeh, Jawa dan semuanya). Pada situasi dan kondisi inilah surat kabar Perempuan Bergerak hadir: Revolusiner dan trans nasional.

Boetet Satidjah, wartawati pertama yang merupakan pendiri dan sekaligus editor dimana dibelakangnya berdiri Parada Harahap. Ini klop dengan slogan yang diambil Perempuan Bergerak: ‘De beste stuurlui staan aan wal’. Boetet Satidjah adalah wartawati Pewarta Deli. Dengan  berpartner dengan Parada Harahap, yang masih menjabat sebagai editor Pewarta Deli, sosok Boetet Satidjah menjadi lebih kuat. Ini dengan sendirinya, Boetet Satidjah ditempatkan jauh ke masa depan, melampaui peran yang dilakukan tokoh-tokoh wanita sejaman, seperti RA Kartini (yang tulisan korespondensi dengan teman-temannya dibukukan) dan Rohana Kudus (surat kabar Sunting Melayu). Boetet Satidjah kelak dikenal sebagai istri dari Parada Harahap, wartawan paling revolusioner di Indonesia. Boetet Satidjah dan Satiaman adalah orang yang sama: istri Parada Harahap. Dengan menyimak slogan surat kabar Perempuan Bergerak yakni ‘De beste stuurlui staan aan wal’ diartikan sebagai pasangan yang terbaik adalah yang bisa juga berdiri di depan.

Rabu, Juni 01, 2016

Sejarah Batak Kuno di Sumatera Utara: Mengapa Melayu Tidak Dikenal? Ada Benarnya Medan Disebut Batak



Sumatera Utara (Noord Sumatra) adalah wilayah yang berada diantara Atjeh dan Minangkabau. Di wilayah ini sudah sejak lama berdiam bangsa Batak. Pada era kolonial Belanda daerah-daerah di perbatasan mengalami penyesuaian secara administrasi sehingga terbentuk wilayah Sumatera Utara yang sekarang. Dalam laporan-laporan awal (sebelum 1800), di wilayah yang kini disebut Sumatera Utara tidak terdeteksi adanya populasi Melayu. Populasi Melayu masih terkonsentrasi di semenanjung Malaka, kepulauan Riau dan Indragiri.

Eksistensi populasi Melayu baru muncul setelah tahun 1800, Populasi Melayu semakin banyak dan menyebar ketika pelabuhan-pelabuhan komoditi dari Tanah Batak ke pantai timur berada di bawah pengaruh (pedagang) Riaou. Hal sebaliknya terjadi di pantai barat, semakin melayu ketika pelabuhan-pelabuhan komoditi dari Tanah Batak berada di bawah pengaruh (pedagang) Atjeh. Pedagang-pedagang yang lalu lalang di pelabuhan-pelabuhan pantai barat dan pantai timur di Noord Sumatra sebelumnya diperankan oleh pedagang-pedagang Tionghoa/Inggris (di Penang).

Populasi penduduk yang berada di pantai-pantai awalnya adalah mix population. Untuk menarik perbedaan dengan penduduk asli (yang berbahasa asli Batak), lambat laun populasi campuran ini lebih mengidentifikasi diri sebagai Melayu. Afiliasi ini juga karena atas dasar penggunaan bahasa yang sama, bahasa Melayu. Para pedagang (Arab, Tionghoa, Riaou, Atjeh) jauh sebelumnya dalam berinteraksi (exhange) dengan penduduk Batak menggunakan bahasa pengantar bahasa Melayu.

Nama Batak sudah dicatat sejak era Tiongkok dan Portugis

Catatan tertua tentang nama Batak terdapat dalam laporan(-laporan) Tiongkok pada abad ke-14. Nama Batak dicatat sebagai Bata. Dalam laporan Tiongkok disebutkan lokasi Kerajaan Aru ini berada di muara sungai air tawar (fresh water estuary). Para petinggi dari Kerajaan Batak (Aru) kerap berkunjung ke Tiongkok..