*Untuk melihat semua artikel Sejarah Padang Lawas dalam blog ini Klik Disini
Padang
Lawas, sesungguhnya memiliki sejarah yang panjang. Sebuah wilayah di pedalaman
Tapanuli, Sumatra yang secara geografis berbeda dengan wilayah lainnya. Padang
Lawas menyimpan banyak hal, seperti sejarah percandian Hindu-Budha di Portibi,
migrasi penduduk Batak, ekspansi militer Belanda untuk meredam perlawanan
Tuanku Tambusai, pembentukan pemerintahan sipil, pembangunan ekonomi,
pergolakan social politik dan lain sebagainya. Serial artikel ini menyajikan
sebuah deskripsi secara kronologis berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe yang
selama ini belum tergali dan belum terungkap sepenuhnya ke permukaan.
Lanskap
Padang Lawas atau bahasa lokal juga disebut Padang Bolak, sejak awal sudah dipetakan
oleh Pemerintah Hindia Belanda sebagai bagian dari Residentie Tapanoeli, namun
persoalan pembentukan pemerintahan ternyata tidak mudah karena perlu
pertimbangan yang cermat sebagai syarat adanya pemerintahan sipil. Setelah pemerintahan
sipil di Mandheling en Natal sudah berjalan dengan baik, pemerintah colonial
Belanda bekerja meneruskan ekspansi ke Ankola en Sipirok, baru kemudian secara
paralel ke utara di Silindung dan Toba dan ke timur di Padang Lawas dan Padang
Bolak. Positioning Ankola dan Sipirok menjadi bagian penting dalam proses tugas
Militair Departement dan Civiel Departement dalam mengakuisisi lanskap Silindung
maupun lanskap Padang Lawas.
|
Kampung di Goenoengtoe, 1867 (KITLV) |
Lanskap
Padang Lawas bersinggungan langsung dengan lanskap Mandheling, Ankola dan
Sipirok. Ekspansi militer dilakukan lewat Ankola dan proses pembentukan
pemerintahan sipil dilakukan lewat Sipirok. Ini bermula dari sejarah awal militer
Belanda di Tapanuli. Pada tahun 1833 militer Belanda mendarat di Natal,
kemudian menduduki Mandheling dengan membangun benteng Eliot di Panyabungan
(1834). Selanjutnya dalam penguasaan Ankola en Sipirok, militer merangsek dari
dua arah: dari selatan di benteng Eliot dengan membangun pos militer di
Sayurmatinggi (1835) dan dari barat di pangkalan militer di Sibolga dengan
membangun pos militer di Tobing (sebuah pos di lereng Gunung Lubuk Raya).
Penguasaan
lanskap Silindung dan khususnya Toba tidak mudah dan ternyata cukup alot,
karena adanya perlawanan dari Si Singamangaraja terhadap misionaris dan militer
Belanda. Demikian juga di lanskap Padang Lawas, tidak juga mudah, bahkan
terjadi pertarungan di beberapa tempat antara pengikut Tuanku Tambusai dengan
pasukan Belanda. Para misionaris yang secara regular menulis secara terang
benderang situasi dan kondisi di Silindung dan Toba, memudahkan Belanda untuk
menyusun strategi penguasaan. Berbeda dengan di Padang Lawas, ‘gelap gulita’, penduduk
yang mayoritas sudah memeluk agama Islam dan ‘keunggulan’ pasukan Tuanku
Tambusai menguasai medan stepa. Dengan kata lain, tidak ada informasi yang
akurat dari jantung lanskap Padang Lawas ke luar. Ini yang membuat ekspansi
militer ke Padang lawas tanpa referensi dan sedikit ‘ngeri’.