*Sejarah Kota Medan artikel 1-56 Klik di Sini. (Artikel 57 selanjutnya Klik di Sana)
.
Tidak ada lagi nama jalan di era Belanda yang
masih eksis hingga ini hari di Kota Medan. Semua telah berganti. Nama-nama Belanda
telah diganti, nama-nama Tionghoa juga telah digeser bahkan nama-nama yang
terkait kesultanan juga telah diubah. Yang ada sekarang umumnya nama-nama pahlawan.
Pahlawan lokal diantaranya Abdullah Lubis (editor Pewarta Deli, anggota dewan kota Medan, salah satu pribumi pertama ke Jepang), Madong Lubis (guru, anggota dewan kota, senior ahli bahasa), Muhamad Nawi Harahap (dewan kota Medan, ketua front nasional di Sibolga pada masa agresi militer Belanda), Arif Lubis editor revolusioner di Sibolga, editor Mimbar Umum di Medan) dan lainnya. Pahlawan nasional seperti Sisingamangaraja (pemimpin perang Batak), Zainul Arifin Pohan (komandan Hisbullah di Jawa), Adam Malik Batubara (menteri luar negeri RI, wakil presiden), Abdul Haris Nasution (KASAD RI, Jenderal Besar RI), Masdulhak Nasution (Residen pertama Sumatra Tengah, tokoh pertama RI yang ditangkap di Jogjakarta pada agresi Militer Belanda dan ditembak mati) dan lainnya.
Kota Medan adalah sebuah kota metropolitan yang secara dejure pembangunannya dimulai ketika dibentuk onderfadeeling (kecamatan) Medan dengan menempatkan seorang controleur di kampong Medan pada tahun 1875. Sejak itu pembangunan di Medan tidak pernah berhenti hingga ini hari bagaikan deret ukur yang menjadikan kampong Medan terus tumbuh dan berkembang yang kini menjadi salah satu kota metropolitan di Indonesia. Kota Medan di awal pembangunannya sudah menjadi kota melting pot, para contributor orang-orang Eropa/Belanda, Tionghoa, Kling, keluarga kesultanan dan orang-orang Padang Sidempuan. Diantara ras/etnik di Kota Medan, hanya orang-orang Padang Sidempuan (sudah bermigrasi sejak 1883) yang tergolong berpendidikan dan bergelut di bidang pendidikan (guru), kesehatan (dokter), media (jurnalis), justitie (jaksa dan mantra polisi), dakwah (ulama) dan tentu saja di bidang niaga (pengusaha) dan bisnis (krani). Namun anehnya, hingga tahun 1928 tak satu pun nama-nama yang terkait dengan Padang Sidempuan yang ditabalkan sebagai nama jalan di Kota Medan. Nama-nama yang ditabalkan adalah nama-nama yang terkait dengan Eropa/Belanda, Tionghoa, Kling dan kesultanan. Di luar itu ada beberapa nama yang terkait dengan Pulau Jawa (gunung Sindoro, gunung Salak) dan nama-nama daerah (Bangka, Madura, Seram, Ambon dan lainnya). Tanpa mengurangi rasa hormat, nama Kartini ditabalkan sebagai nama jalan tetapi tidak ada nama Willem Iskander (guru, pribumi pertama studi ke Belanda, 1857). Nama gunung Lubuk Raya dan gunung Sorik Marapi di afdeeling Padang Sidempuan tidak kalah penting (sumber produksi kopi terbaik di pasar dunia) dari nama gunung yang lain. Nama daerah Sipirok, tidak hanya sumber kopi terbaik juga simbol adanya toleransi beragama yang dijadikan para misionaris sebagai tempat/kantor pengembangan misi di Bataklanden. Di afdeeling Padang Sidempuan, banyak yang layak, tapi tidak satu pun yang ditabalkan sebagai nama jalan di Medan. Singkat kata: ada diskriminasi.
Buka jalan baru di Medan, 1879
Ketika Medan masih kampung, Padang Sidempuan sudah ko |
Era Awal Kota Medan: Nama Jalan Sesuai Situs Setempat
Secara teknis lanskap Kota Medan mulai dibangun
tahun 1881. Ini terkait pindahnya ibukota afdeeling Deli dari Laboehan (di
onderafd. Laboehan) ke Medan (onderafd. Medan) tahun 1879. Pindahnya ibukota,
berarti Kantor Asisten Residen Deli juga pindah dari Laboehan ke Medan. Pada
tahun 1881 Esplanade (kini Lapangan Merdeka) dibangun sebagai alun-alun kota.
Dari alun-alun kota inilah Kota Medan berkembang ke segala arah. Dari alun-alun
kota ini pula arah sejumlah jalan yang baru diproyeksikan.
Alun-alun kota (Esplanade) di Medan (1881) |
Saat Medan sebelum menjadi ibukota onderafdeeling
(kecamatan) Medan tahun 1875 hanya ada dua jalan yang terpetakan (Peta 1973).
Jalan tersebut adalah jalan poros dan jalan Deli Mij. Jalan poros adalah jalan yang
dimulai dari Labuhan, Poelo Brajan, Medan, Kesawan hingga Soeka Radja. Sementara
jalan Deli Mij adalah jalan yang memotong jalan poros mulai dari kantor Deli
Mij (dekat sungai Deli) menuju ke timur menuju kebun-kebun tembakau Deli Mij.
Di sudut dua jalan inilah Esplanade dibangun.
Beberapa bangunan sebelum Esplanade dibangun,
parallel dengan pembangunan rel kereta api, sejumlah bangunan sudah dibangun
seperti kantor pos, gedung societeit, bangunan pemerintah dan bangunan kantor
perusahaan-perusahan perkebunan (maschappij).
Dalam tempo singkat, setelah Esplanade
dibangun sejumlah jalan telah dibangun dan beberapa jalan yang lain sudah
diproyeksikan. Ini sehubungan dengan kota Medan ditingkatkan menjadi ibukota
Residentie Sumatra’s Oostkust dari Bengkalis. Ibukota pindah tanggal 1 Maret 1887.
Nama-nama jalan di Medan (Peta 1895) |
Dalam Peta 1895 jalan-jalan yang dimaksud
sudah terpetakan dan beberapa jalan namanya sudah disebutkan. Penyebutan jalan terdiri
dari dua kategori: straat dan weg. Sebutan straat mengindikasikan jalan yang
yang sudah ramai yang dikedua sisi jalan bangunan sudah banyak, sedangkan weg
mengindikasikan jalan yang masih sepi dan disana sini kedua sisi jalan masih
banyak yang kosong. Karena kegunaannnya, kualitas jalan straat lebih baik dari
jalan weg.
Penamaan jalan pada waktu itu baik kategori
straat maupun kategori weg sesuai dengan identitas yang terkenal di sepanjang
jalan terebut. Misalnya Deli straat karena kantor Deli Mij berada, Spoor straat
(menuju rel kereta api), Kerk straat (lokasi gereja), Patersburg (kantor
Patersburg Mij). Demikian juga penamaan jalan Societeit weg karena terdapat
gedung Societeit, Stations weg (ada stasion), Hotel weg (ada Medan Hotel),
Hattanbeach (toko pusat perdagangan Hattanbach).
Era
Ibukota Medan: Nama-Nama Jalan Berdasarkan Warna Politik
Jalan Cremer (kini jalan Balai Kota), 1900 |
Nama-nama jalan baru juga mulai terpetakan,
seperti Djalan Soekamoelia dan Djalan Astana (depan Istana Sultan yang baru). Beberapa
nama jalan baru sedikit agak membingungkan, mungkin karena kurangnya informasi,
seperti Djalan Djawa, Djalan Kling dan sebagainya. Selain sebutan djalan juga
muncul sebutan gang (jalan yang lebih sempit), seperti Gang Mantri. Disamping
itu, penyebutan nama jalan sebagai straat/weg masih ditemukan, seperti Resident
weg. Beberapa nama jalan yang disebut sebelumnya tidak disebut lagi seperti
Hotel weg.
Jalan Medan Hotel/Nienhuys (kini jalan Kesenian), 1910 |
Yang duduk di dewan kota Medan adalah salah satu dari dua
pribumi yakni pangeran Deli plus Tjong A Fie (Kapten komunitas Tionghoa).
Selebihnya adalah orang-orang Belanda dari kalangan pejabat dan Deli Mij, Deli
Spoor serta lainnya. Kedua dewan ini secara resmi diangkat sejak 1 April 1909.
Nama-nama jalan di Medan (Peta 1915) |
Pada tahun 1915 Residentie Sumatra’s Oostkust
mengalami reorganisasi dimana afdeeling-afdeeling Atjeh dimasukkan ke
Residentie Atjeh seperti afd. Tamiang, sementara afdeeling-afdeeling Batak
dikukuhkan masuk menjadi Residentie Sumatra’s Oostkust atas dasar kesatuan
ekonomi perkebunan. Pada tahun dimana reorganisasi ini status Residentie
Sumatra’s Oostkust ditingkatkan menjadi province (yang dikepalai oleh seorang
Gubernur). Ini berarti pada tahun 1915 Kota Medan menjadi ibukota Province
Sumatra’s Ooskust.
Berdasarkan Peta 1915 jalan-jalan baru
semakin banyak, nama masing-masing jalan juga semakin beragam. Nama yang cukup dominan
adalah nama-nama keluarga atau terkait dengan Kerajaan Belanda, seperti
Wilhelmina straat, Oranje Nassau straat, Prins Hendrik straatm, Willem straat,
Emma straat dan sebagainya. Nama yang cukup dominan juga terkait dengan
Tionghoa seperti Hokkian weg, Hongkong weg, Kapiteint weg, Tjong Jong Hian straat, Tapekong
straat. Nama-nama yang dapat dibedakan adalah nama daerah, nama mantan pejabat
Belanda, nama terkait kesultanan dan sebagainya.
Peta Kota Medan (1945) |
Nama tokoh diantaranya Daendles (Gubernur
Jenderal saat pembangunan jalan dari Anyer ke Panarukan dan Idenburg (tokoh
politik). Nama tokoh fiksi karya Edward Doewes Dekker (mantan controleur di
Natal) dalam bukunya Max Havelaar dimana tokohnya Adinda, Saidjah dan Badoer.
Tokoh Kartini juga masuk dalam deretan nama tokoh. Tokoh lainnya adalah selain
Cramer juga Nienhuys. Nama jalan Hotel diganti menjadi Jalan Nienhuys.
Nama-nama jalan terkait Tionghoa dan Kling relatif
tidak banyak berubah dari tahun 1915 hingga tahun 1945, kecuali ada penambahan
seperti Tjong A Fie. Nama-nama flora muncul dan juga nama gunung. Gunung
Sindoro dan Gunung Salak termasuk nama yang disebut eksis sejak tahun 1915.
Nama daerah semakin bertambah, selain nama-nama lama. Nama daerah yang baru
antara lain, Celebes, Biliton, Lombok dan Ambon. Nama asing yang muncul
kemudian adalah Manila. Sulit dipahami asal nama ini karena satu-satunya yang
berasal dari Asia Tenggara, Namun boleh jadi karena nama ini muncul karena
sekitar tahun 1900 terdapat band terkenal di Medan yang disebut Manila Band.
Era Kemerdekaan
Praktis hingga berakhirnya Belanda di
Indonesia, hanya keluarga kesultanan Deli dan tokoh emansipasi Kartini yang
ditabalkan namanya menjadi nama jalan di Medan. Nama-nama keluarga kesultanan
yang ditabalkan adalah Sultan Mahmoed, Soesman, Tamiroe dan Ottoman. Nama-nama
tokoh pribumi tidak satu pun yang ditabalkan, padahal di era Belanda cukup
banyak nama-nama yang berdedikasi terutama di bidang pendidikan seperti Willem
Iskander, Sutan Parlindoengan, Dja Endar Moeda, Radja Goenoeng. Namun dari
sudut pandang pemerintah Belanda di Medan boleh jadi dianggap sebagai
orang-orang yang berhasil yang dapat menginspirasi banyak orang untuk melakukan
perlawanan terhadap pemerintahan kolonial Belanda.
Pada masa pendudukan Jepang yang singkat, sudah barang
tentu Jepang tidak terlalu peduli soal nama jalan. Pemerintahan militer Jepang masih
sangat sibuk dengan dirinya. Pendudukan Jepang di Indonesia hanya dianggap
sebagai satu kaki dalam konsep imperium Asia. Oleh karenanya peta kota tidak
tersedia dan tidak ada informasi mengenai nama jalan, apakah tetap menggunakan
nama jalan yang ada (lama) atau telah mengubahnya dengan nama lain. Kepedulian
nama jalan, sebagaimana juga di Kota Medan baru muncul lagi di era kemerdekaan,
khususnya setelah pasca perang dan pengakuan kedaulatan RI oleh Belanda.
Sebagaimana
diketahui, pemerintahan di Indonesia baru mulai berjalan normal setelah
pengakuan kedaulatan Indonesia yang dimulai
dengan pemerintahan RIS. Sebagaimana di kota-kota lain seperti di Djakarta,
Bandoeng dan Soerabaja, juga di kota Medan mulai nama jalan ditata sesuai
semangat Indonesia (lihat Het
nieuwsblad voor Sumatra, 06-06-1950). Nama-nama Belanda diubah dengan nama-nama Indonesia. Komite
pengubahan nama jalan terdiri dari tujuh orang yang diketuai oleh Mr. Mahadi.
Komite ini telah bekerja sealam tiga seteangah bulan. Daftar ini antara lain
Kerkstraat menjadi Jalan Gereja, Paleisstraat menjadi Jalan Istana dan Societeitsweg
menjadi Jalan Rumah Bola. Setelah dibubarkannya Negara Sumatra Timur dan RIS
revisi beberapa nama jalan dilakukan
Nama-nama jalan di Kota Medan terpetakan
baru diketahui paling tidak pada publikasi Peta Kota Medan tahun 1961. Dalam
peta ini nama Esplanade tidak muncul lagi, telah berubah menjadi Lapangan
Merdeka. Nama-nama jalan di sekitar Lapangan Merdeka ini yang berbau asing
(Eropa/Belanda) telah diganti dengan yang berbau Indonesia. Jalan Cremer
dipecah menjadi jalan Balaikota dan jalan Putri Hijau; Jalan Nienhuys menjadi
jalan Kesenian, jalan Demmeni menjadi jalan Raden Saleh, jalan Societeit
menjadi jalan Roemah Bola, jalan Hattenbach menjadi jalan Kebudayaan, Jalan Station
menjadi jalan Stasion dan jalan Spoor menjadi jalan Kereta Api.
Peta Kota Medan, 1961 |
Nama-nama yang terkait Kerajaan Belanda sudah
barang tentu diubah. Wilhelmina straat dipecah dan namanya diubah menjadi jalan
Sutomo dan jalan Karimun. Prons Hendrik straat menjadi jalan Bintang, Juliana
straat menjadi jalan Asia, Louise straat menjadi jalan Gandhi, Emma straat
menjadi jalan Jose Rizal, Frederik Hendrik straat menjadi jalan Tilax, Mauri
straat menjadi jalan Peladju, Adolf straat menjadi jalan China Town, Amalia
straat menjadi jalan Sun Yat Sen.
Di kawasan Pecinan, nama-nama jalan juga
diubah. Nama-nama Tionghoa seperti jalan Tapekong menjadi jalan Suwarna. Nama
yang sebelumnya jalan Markt menjadi jalan Perdagangan.dan jalan Kerk menjadi jalan
Gereja (alih bahasa saja), jalan Tjong A Fie menjadi jalan Tjakrawati, jalan
Peking menjadi jalan Palangkaraya, jalan Luitenant menjadi jalan Bandung, jalan
Tjong Jong Hian menjadi jalan Bogor, jalan Kapitent menjadi jalan Pandu, jalan
Hong Kong menjadi jalan Cirebon, jalan Hakka menjadi jalan Nusantara, jalan
Canton menjadi jalan Surabaya, jalan Shang Hai menjadi jalan Surakarta dan
sebagainya.
Di kawasan Kling, jalan Calcutta diubah
menjadi jalan Palang Merah, jalan Madras menjadi jalan Djenggala, jalan
Negapatam menjadi jalan Kediri, jalan Ceylon menjadi jalan Muaratakus, jalan
Colombo menjadi jalan Taruna, jalan Bomba menjadi jalan Pagaruyung. Masih di
kawasan Kling, jalan Kroesen menjadi jalan Teuku Umar, jalan Poedpad menjadi
jalan Candi Biara, jalan Ballot menjadi jalan Tumapel, jalan Rahder menjadi
jalan Airlangga, jalan van der Plaas menjadi jalan Kalingga dan Park straat
menjadi jalan Kebun Bunga. Jalan Hindu tetap dipertahankan. Moskee straat hanya
diterjemahkan saja menjadi jalan Masjid.
Nama-nama yang terkait kesultanan juga
diubah. Sultans weg menjadi jalan Slamet Riyadi, jalan Radja menjadi jalan
Sisingamangaradja, Soesman weg menjadi jalan Lubuk Raya, Tamiroe weg menjadi
jalan Martimbang, Ottoman weg menjadi jalan Singgalang, Sultans weg menjadi
jalan Masjid Raya, S. Mahmoed weg menjadi jalan Sorik Marapi. Untuk jalan
Mahkamah tetap dipertahankan tetapi Paleis weg diganti menjadi jalan Pemuda.
Tokoh-tokoh nasional muncul. Saat itu baru beberapa yang
dikategorikan sebagai pahlawan nasional, seperti Sisingamangaradja, Teuku Umar,
Tjokro Aminoto, Sudirman, Imam Bondjol dan sebagainya. Tokoh-tokoh nasional
yang sudah meninggal seperti Slamet Ryadi, Sutomo, A. Rivai, Tjut Nya’ Dien.
Amir Hamzah, A. Dahlan, Chairil Anwar, Madong Lubis, Saman Hudi, Suryo, Tjipto,
Masdulhak. Juga tokoh-tokoh masa lampau seperti Hayam Wuruk, Gajah Mada, Hang
Lekir, Hang Jebat, Hang Tuah dan Hang Kesturi. Tokoh-tokoh negara sahabat juga
diabadikan seperti jalan Gandhi, jalan Jose Rizal, jalan Sun Yat Sen.
Nama-nama jalan yang menggunakan nama yang
bernuansa kejuangan selain jalan Pemuda, jalan Pandu, jalan Palang Merah adalah
jalan Merdeka (sebelumnya De Ruyter laan). Jalan Kartini adalah satu-satunya
nama orang yang ditabalkan sejak awal.
Last but not least. Max Havelaar laan tidak
diganti tetapi digeser namanya dengan jalan Multatuli. Para tokoh dalam buku
Edward Doewes Dekker tersebut juga tetap dipertahankan: Saidjah, Badoer dan
Adinda. Masih di seputar kawasan ini nama-nama jalan yang diambil dari nama
bunga tetap dipertahankan: Kenanga, Melati, Melur, Teratai. Kedalam kategori
ini juga termasuk jalan Listrik (Electriciteit laan).
Mungkin kedengarannya aneh, Edward Doewes Dekker alias
Maz Havelaar alias Multatuli yang jelas-jelas berkebangsaan Belanda namanya
tetap ditabalkan bahkan namanya berada diantara kawasan nama-nama pahlawan dan
tokoh nasional. Edward Doewes Dekker meski dibenci orang Belanda tetapi bagi
penduduk di Mandailing dan Angkola (kini Tapanuli Bagian Selatan) adalah
seorang pahlawan. Edward Doewes Dekker adalah orang yang mengadvokasi dalam
perjuangan penduduk untuk bebas dari tanam paksa pada awal kolonialisme
Belanda. Akibat advokasi
tersebut Dekker dipecat dan dibuat terlunta-lunta di Padang tahun 1844.
Selain itu, juga terdapat nama-nama kayu dan
nama gunung tetap dipertahankan. Beberapa nama jalan yang tetap dipertahankan
adalah jalan Djaparis, jalan Antara, jalan Amaliun, jalan Utama dan jalan Puri.
Era Masa Kini, Era Otonomi
Nama-nama jalan di kota Medan terus mengalami
perbaikan. Nama-nama yang sudah dinyatakan terdahulu dapat mengalami perubahan.
Nama-nama jalan yang terpetakan pada Peta 1961 dapat digantikan yang lain yang
lebih pantas untuk nama jalan tersebut. Ini juga yang terjadi di Kota Medan.
Apa yang terjadi di kota Medan juga terjadi di kota-kota lain, bahkan di
Jakarta sendiri. Pemberian nama bukan soal suka atau tidak suka, tetapi lebih
pada layak atau tidak layak. Pada masa kini, setiap usulan nama jalan harus
diuji di parlemen secara terbuka.
Di Jakarta tidak ada nama jalan Sukarno, tidak ada nama
jalan Ali Sadikin, tidak ada nama jalan M. Hatta. Di Medan juga tidak ada nama
jalan T. Muhamad Hasan, tidak ada nama jalan Parada Harahap. Di Bandung tidak
ada nama jalan Gajah Mada dan jalan Hayam Wuruk, sebaliknya di Yogyakarta tidak
ada nama jalan Siliwangi dan Pajajaran. Tapi di Medan ada nama jalan Gajah
Mada, jalan dan nama jalan Hayam Wuruk. Lantas mengapa tidak ada di Medan jalan
Siliwangi dan jalan Pajajaran? Di Jakarta, jalan Merdeka Utara layak untuk nama
Sukarno dan jalan Merdeka Selatan layak untuk nama Muhamad Hatta. Akan tetapi
masih sangat diragukan nama Suharto untuk nama jalan Merdeka Timur dan nama Ali
Sadikin untuk nama jalan Merdeka Barat. Apakah nama Parada Harahap dan T.
Mohamad Hasan diragukan di Medan?
Peta Kota Medan, 1979 |
Nama jalan di
Kota Medan telah berubah sebagian. Berdasarkan Peta Kota Medan 1979,
nama jalan Roemah Bola telah diganti menjadi jalan Bukit Barisan. Ini berarti
untuk kedua kalinya jalan lama ini berubah nama dari Sicieteit weg menjadi
jalan Roemah Bola dan kini menjadi jalan Bukit Barisan. Juga terjadi reposisi
jalan Imam Bonjol yang tadinya jalan kecil menggatikan jalan Jakarta dan jalan
Samanhudi. Jalan Palang Merah dipecah menjadi dua ruas: jalan Palang Merah dan
jalan Zainul Arifin. Jalan Tun Sri Lanang menjadi jalan Cut Meutiah. Jalan Multatuli
tetap pada posisinya. Jalan Getah menjadi jalan Patimpus, jalan Serdang menjadi
jalan M. Yamin dan jalan Durian menjadi jalan MH. Thamrin.
Sudah barang tentu jalan Sisingamangaradja
tak tergantikan. Nama-nama jalan yang baru semakin banyak yang mengambil nama
pahlawan. Para pahlawan revolusi juga mulai ditabalkan. Jalan Slamet Riyadi
dipecah menjadi jalan Jend. Sudirman dan jalan Letjen Suprapto, jalan Jokja
menjadi jalan Diponegoro. Jalan Pemuda digeser ke posisi yang sekarang dan eks
jalan Pemuda menjadi jalan Brigjen Katamso. Juga nama jalan Kesawan diganti
menjadi jalan Jend. Ahmad Yani. Jalan DI Panjaitan menempati jalan yang
sekarang
Nama-nama pahlawan Kota Medan |
Nama-nama Gubernur Sumatera Utara |
Proses politik dalam penentuan nama jalan
sangat berbahaya, berganti pemerintah dan anggota dewan nama jalan dapat
berubah. Apa jadinya jika proses politik seperti ini jika terjadi pemekaran
kabupaten atau provinsi yang menyebabkan ibukota juga berubah. Inilah yang
terjadi: Hayam Wuruk dan Gajah Mada tidak ada di Bandung dan Pajajaran dan
Siliwangi tidak ada di Semarang. Padahal empat nama tersebut relevan dan layak
di masing-masing kota yang saling berdekatan.
Surat kabar Sinar Merdeka di Padang Sidempuan (1919) |
Penutup: Apalah Arti Sebuah Nama
Nama-nama jalan yang menggunakan nama terkait
Belanda, Tionghoa, Kling dan Kesultanan di Medan telah dihilangkan dan
digantikan dengan nama-nama yang dianggap telah memberikan kontribusi dalam
merebut kemerdekaan Republik Indonesia. Jika demikian halnya, berarti nama
begitu penting. Hingga ini hari, nama-nama jalan di Medan akan terus mengalami
perubahan karena penabalan nama pada nama jalan harus memberi makna, menjadi
inspirasi bagi semua untuk menularkan nilai-nilai kejuangan khususnya bagi
warga kota khususnya.
Setiap nama yang ditabalkan pada nama jalan
di era informasi berbasis data yang transparans masa ini, tidak mudah lagi
mengusulkan nama untuk dijadikan sebagai nama jalan. Demikian juga, nama-nama
yang ada, khususunya yang telah terlanjur dapat digugat tetapi tidak memiliki
relevansi dan nilai-nilai kejuangan. Daftar nama-nama yang paling layak untuk
menjadi nama jalan akan bermunculan untuk menggantikan nama-nama yang tidak
relevan, tidak layak dan tidak pantas untuk diteladani. Nama jalan adalah wujud
mendekatkan seseorang atau sesuatu hal yang di masa lampau yang dapat dijadikan
sebagai seorang atau sesuatu yang ditiru dan menjadi panutan.
Mungkin anda bertanya-tanya apa relevansi Multatuli tetap
diabadikan sebagai nama jalan meski Edward Doewes Dekker masih berkewargaan
Negara Belanda. Nilai kepahlawanan seseorang adalah universal. Edward alias
Multatuli adalah pahlawan dari Mandailing dan Angkola. Ini juga yang terjadi
dengan saudara sepupunya yang berubah nama menjadi Dr. Setiabudi. Daftar ini
masih banyak seperti Patrice Lumumba, Gandhi, Yose Rizal bahkan Sut Yan Sen.
Yang perlu dipertanyakan adalah justru nama-nama jalan yang tidak relevan dan
tidak memiliki nilai kejuangan bagi manusia. Nama jalan di Kota Medan banyak
yang tidak relevan dan rendah nilai atau kadar kejuangannya.
Peta satelit Kota Medan masa kini |
Sejarah perjalanan bangsa saja dapat direvisi
apalagi hanya sekadar nama seseorang. Kota sebagai milik public, maka nama-nama
jalan harus pula yang bersifat public. Oleh karenanya revisi nama-nama jalan
dapat dilakukan dan diuji kembali ke ruang public (parlemen kota). Sebuah kota,
republic nama-nama jalan ini tidak hanya untuk merecall sejarah yang
sebenarnya, juga karena ingin mengispirasi dan mewujudkan setiap warga kota
berguna untuk kota. Langkah-langkah yang telah dilakukan ketika terjadi perubahan
nama jalan di Kota Medan sebuah bukti kesadaran bahwa nama-nama jalan terdaulu
tidak relevan, tidak pantas lagi. Itulah arti sebuah nama dari sebuah jalan.
Ada artinya.
Belum lama ini nama Tjong Jong Hian melalui nama jalan direhabilitasi. Nama jalan Tjong Jong Hian yang telah ditabalkan sejak awal 1900an, pasca kemerdekaan (pengakuan kedaulatan RI oleh Belanda) dihapus dan digantikan dengan nama jalan Bogor. Yang tersisa hanya nama jalan Multatuli (Edward Douwes Dekker), pahlawan Mandailing dan Angkola yang berkewarganegaraan (Hindia) Belanda. Nama Multatuli dipertahankan sebagai nama jalan di Kota Medan tentu banyak pertimbangannya. Tjong Jong Hian tidak bisa dibandingkan dengan Multatuli, perbedaannya sangat jauh. Hanya satu persamaan antara Multatuli dengan Tjong Jong Hian yakni sama-sama pernah tidak disukai oleh pemerintah kolonial Belanda. Multatuli dibenci karena mengadvokasi penduduk pribumi baik langsung maupun tidak langsung melalui karya-karya sastranya untuk bebas dari penindasan. Sedangkan Tjong Jong Hian tidak disukai pemerintah kolonial Belanda karena diduga memiliki dua kewargaannegaraan (Hindia Belanda dan Tiongkok). Bantuannya yang sangat luar biasa kepada Tiongkok telah menyilaukan mata pemerintah kolonial Belanda.
Belum lama ini nama Tjong Jong Hian melalui nama jalan direhabilitasi. Nama jalan Tjong Jong Hian yang telah ditabalkan sejak awal 1900an, pasca kemerdekaan (pengakuan kedaulatan RI oleh Belanda) dihapus dan digantikan dengan nama jalan Bogor. Yang tersisa hanya nama jalan Multatuli (Edward Douwes Dekker), pahlawan Mandailing dan Angkola yang berkewarganegaraan (Hindia) Belanda. Nama Multatuli dipertahankan sebagai nama jalan di Kota Medan tentu banyak pertimbangannya. Tjong Jong Hian tidak bisa dibandingkan dengan Multatuli, perbedaannya sangat jauh. Hanya satu persamaan antara Multatuli dengan Tjong Jong Hian yakni sama-sama pernah tidak disukai oleh pemerintah kolonial Belanda. Multatuli dibenci karena mengadvokasi penduduk pribumi baik langsung maupun tidak langsung melalui karya-karya sastranya untuk bebas dari penindasan. Sedangkan Tjong Jong Hian tidak disukai pemerintah kolonial Belanda karena diduga memiliki dua kewargaannegaraan (Hindia Belanda dan Tiongkok). Bantuannya yang sangat luar biasa kepada Tiongkok telah menyilaukan mata pemerintah kolonial Belanda.
Tjong Jong Hian juga tidak bisa dibandingkan dengan Lian
Kosong, seorang Tionghoa Padang Sidempuan yang turut berperang memanggul
senjata melawan Belanda pada agresi militer Belanda di afdeeling Padang
Sidempuan. Atas patriotiseme Sersan Mayor Lian Kosong ditabalkan namanya
sebagai nama jalan di Padang Sidempuan. Tjong Jong Hian adalah tokoh yang
berada di atas angin, sebaliknya Lian Kosong seorang tokoh yang tetap berpijak
di atas bumi pertiwi untuk mewujudkan kemerdekaan bagi semua pihak.
Oleh karenanya, siapa yang berhak untuk
mendapatkan nama jalan bukan karena golongannya, kekayaannya, agama, pangkat
dan kedudukannya, ras dan etniknya tetapi yang lebih diutamakan adalah nilai-nilai
kejuangannya untuk yang lebih luas. Nilai-nilai yang ingin kita capture dari
riwayat mereka adalah nilai-nilai yang dapat dijadikan sebagai suri teladan
bagi generasi selanjutnya. Sebab nama jalan itu seharusnya abadi. Contohnya
Edward Douwes Dekker, Dr. Setiabudi dan Serma Lian Kosong.
Kekeliruan dalam mengusulkan tokoh yang tidak
bisa dijadikan suri teladan jelas telah mengingkari tujuan dari penabalan nama
seseorang menjadi nama jalan. Apa kurangnya Suharto dibandingkan dengan Tjong
Jong Hian, tetapi nyatanya tidak mudah nama Suharto untuk dijadikan nama jalan Medan
Merdeka Barat. Sebaliknya tidak ada keraguan masyarakat ketika nama Lian Kosong
ditabalkan sebagai nama jalan. Sersan Mayor Lian Kosong layak mendapatkannya.
Kota bukanlah kavling nama-nama jalan yang setiap golongan, kekayaan, agama,
pangkat dan kedudukan, ras dan etnik terwakili, tetapi nama-nama jalan di suatu
kota adalah daftar orang-orang yang dapat dijadikan sebagai teladan, inspirasi
dan rujukan warga kota jauh ke masa depan.
*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe.
Nama-nama jalan di Kota Medan
(Berdasarkan Peta 1915, 1945, 1961 dan 1979)
|
|||
1915
|
1945
|
1961
|
1979
|
Juliana
|
Juliana
|
Asia
|
Asia
|
Oranje Nassau
|
Oranje Nassau
|
Thamrin
|
Thamrin
|
Prins Hendrik
|
Prins Hendrik
|
Bintang
|
|
Amalia
|
Amalia
|
Sun Yat Sen
|
|
F. Hendrik
|
F. Hendrik
|
Tilax
|
|
Emma
|
Emma
|
Jose Rizal
|
|
Louise
|
Louise
|
Gandhi
|
|
Adolf
|
China Town
|
||
Mauri
|
Peladju
|
||
Beatrix
|
Merdeka
|
Merdeka
|
|
De Ruyter
|
Misbach
|
||
Patersburg
|
Patersburg
|
Gaharu
|
|
Parkhuis
|
Parkhuis
|
Gudang
|
|
Depot
|
Depot
|
Bantam
|
|
Hospital
|
Hospital
|
Sambu
|
Sambu
|
Electriciteit
|
Electriciteit
|
Listrik
|
Listrik
|
Spoor
|
Spoor
|
Kereta api
|
Kereta api
|
Cremer
|
Cremer
|
Balai Kota
|
Balai Kota
|
Cremer
|
Cremer
|
Putri Hijau
|
Putri Hijau
|
Station
|
Station
|
Stasion
|
Stasion
|
Deli Mij
|
Deli Mij
|
Serdang
|
M. Yamin
|
Societeit
|
Societeit
|
Roemah Bola
|
Bukit Barisan
|
Demmeni
|
Demmeni
|
Raden Saleh
|
Raden Saleh
|
Majoor
|
Mayor
|
||
Hattenbach
|
Hattenbach
|
Kebudayaan
|
Kebudayaan
|
Kerk
|
Kerk
|
Gereja
|
Gereja
|
Hotel
|
Nienhuys
|
Kesenian
|
Kesenian
|
Benteng
|
Benteng
|
Benteng
|
Maulana Lubis
|
Polonia
|
Polonia
|
Jakarta
|
Imam Bonjol
|
Kampament
|
Kampament
|
Pengadilan
|
Pengadilan
|
Kadaster
|
Kadaster
|
Prambanan
|
Prambanan
|
Paviloen
|
Kalasan
|
Kalasan
|
|
Vam Sandick
|
Candi Mendut
|
Candi Mendut
|
|
Soekamoelia
|
Soekamoelia
|
Soekamoelia
|
|
Rens
|
Rens
|
Bentara
|
|
Pacht
|
Pacht
|
Tumenggung
|
|
Smid
|
Pandu
|
||
Sport
|
Sport
|
Bulan
|
Bulan
|
Wilkel
|
Wilhelmina
|
Sutomo/ Karimun
|
Sutomo
|
Datoe
|
Datoe
|
Datoe
|
|
Moskee
|
Moskee
|
Masjid
|
|
Niew markr
|
Niew markr
|
Perniagaan
|
|
Nieuws
|
Nieuws
|
Mangkubumi
|
|
Voor
|
Voor
|
Wazir
|
|
Babura
|
Babura
|
T Tjik Ditiro
|
T Tjik Ditiro
|
Vleesmarkt
|
Pembelian
|
||
Oudmarkt
|
Perdana
|
||
Daendels
|
Daendels
|
||
Idenburg
|
De Kock
|
||
Max Havelaar
|
Multatuli
|
Multatuli
|
|
Saijah
|
Saijah
|
Saijah
|
|
Adinda
|
Adinda
|
Adinda
|
|
Badoer
|
Badoer
|
Badoer
|
|
Resident
|
Palang Merah
|
Palang Merah
|
|
Kanonnen
|
T. Daud
|
T. Daud
|
|
Jan Ligthart
|
Tan Sri Lanang
|
Cut Meutia
|
|
Kartini
|
Kartini
|
Kartini
|
Kartini
|
Tasman
|
Tasman
|
Tjut Nya’ Dien
|
Tjut Nya’ Dien
|
De Hotman
|
Ratulangi
|
||
Bontekoe
|
Bontekoe
|
Imam Bonjol
|
|
Hemskerk
|
Hemskerk
|
A.Rivai
|
|
Van Linschoten
|
Samanhudi
|
||
Van Gallen
|
Gerilla
|
||
Evertsen
|
Madong Lubis
|
||
Schuffner
|
A. Dahlan
|
||
PW Jansen
|
Sudirman
|
||
Tjipto
|
|||
Urip
|
|||
Walikota
|
|||
Suryo
|
|||
Linggarjati
|
|||
Masdoelhak
|
|||
Monginsidi
|
|||
Supeno
|
|||
Amir Hamzah
|
|||
Melchiortreub
|
Melchiortreub
|
Hang Tuah
|
|
Leeuwenhoek
|
Leeuwenhoek
|
Hang Djebat
|
|
Rumphius
|
Rumphius
|
Hang Kesturi
|
|
Linnaeus
|
Linnaeus
|
Hang Lekdjo
|
|
Hugo de Vries
|
Hugo de Vries
|
Tjokro Aminito
|
|
Kroesen
|
Teuku Umar
|
||
Voedpad
|
Candi Biara
|
||
Rahde
|
Airlangga
|
||
Van der plaas
|
Kalingga
|
||
Ballot
|
Tumapel
|
||
Westenenk
|
Borobudur
|
Borobudur
|
|
Both
|
Majapahit
|
||
Van Joens
|
Sriwijaya
|
||
Van Maasdam
|
Van Maasdam
|
Kun Ming
|
|
Honger
|
Kwarten
|
Irian Barat
|
Irian Barat
|
Kesawan
|
Kesawan
|
Kesawan
|
Ahmad Yani
|
Shang Hai
|
Shang Hai
|
Semarang
|
|
Swatow
|
Swatow
|
Surakarta
|
|
Tjong J. Hian
|
Tjong J. Hian
|
Bogor
|
Bogor
|
Hokkian
|
Hokian
|
Andalas
|
|
Hakka
|
Hakka
|
Nusantara
|
Haryono
|
Peking
|
Peking
|
Palangkaraya
|
|
Hongkong
|
Hongkong
|
Cirebon
|
|
Macau
|
Macau
|
Hong Po
|
|
Kapitein
|
Kapitein
|
Pandu
|
Pandu
|
Luitenant
|
Luitenant
|
Bandung
|
|
Tapekong
|
Tapekong
|
Suwarna
|
|
Hailai hong
|
Hailo Hong
|
Pandan
|
|
Nang Kin
|
Nang Kin
|
||
Tong Kin
|
Kapuas
|
||
Tien Tsin
|
Samarinda
|
||
Hankau
|
Sambas
|
||
Kiautstjau
|
Banjarmasin
|
||
Toetoepan
|
Toetoepan
|
Sawahlunto
|
|
Tjong A Fie
|
Tjong A Fie
|
Tjakrawati
|
|
Poetstjau
|
Kotanopan
|
||
Moy
|
Pakantan
|
||
Canton
|
Canton
|
Surabaya
|
|
Manila
|
Martapura
|
||
Darden
|
Selat Panjang
|
||
Hindoe
|
Hindoe
|
Hindoe
|
|
Madras
|
Madras
|
Djenggala
|
|
Ceylon
|
Ceylon
|
Muaratakus
|
|
Negapatams
|
Negapatams
|
Kediri
|
|
Colombo
|
Colombo
|
Taruna
|
|
Calcutta
|
Calcutta
|
Palang Merah
|
Palang Merah
|
Calcutta
|
Calcutta
|
Palang Merah
|
Zainul Arifin
|
Bombay
|
Bombay
|
Pagaruyung
|
|
Gajah Mada
|
|||
Japansch
|
Japansch
|
Chung King
|
|
Radja
|
Radja
|
Sisingamangaradja
|
Sisingamangaradja
|
Paleis
|
Paleis
|
Pemuda
|
Pemuda/Katamso
|
Mahkamah
|
Mahkamah
|
Mahkamah
|
|
S. Mahmoed
|
Sorik Marapi
|
||
S. Al Rasjid
|
S. Al Rasjid
|
Slamet Riyadi
|
Sudirman
|
S. Al Rasjid
|
S. Al Rasjid
|
Slamet Riyadi
|
Suprapto
|
S. Oesman
|
Lubuk Raya
|
||
T. Amiroe
|
Martimbang
|
||
T. Ottoman
|
Singgalang
|
||
Sultans
|
Masjid Raya
|
||
Padang Boelan
|
Padang Boelan
|
P. Lumumba
|
Pattimura
|
Serdang
|
Serdang
|
M. Yamin
|
M. Yamin
|
Djawa
|
Java
|
Jawa
|
|
Sei Kerah
|
Sei Kerah
|
Sei Kerah
|
Sei Kerah
|
Madoera
|
Madoera
|
Madura
|
|
Bali
|
Bali
|
Bali
|
Veteran
|
Malaka
|
Malaka
|
Malaka
|
|
Pertjut
|
Pertjut
|
Pertjut
|
Cokroaminoto
|
Deli
|
Deli
|
Deli
|
|
Ceram
|
Ceram
|
Seram
|
|
Riaou
|
Riaou
|
Riau
|
|
Bangka
|
Bangka
|
Bangka
|
|
Timor
|
Timor
|
Timor
|
|
Celebes
|
Celebes
|
||
Biliton
|
Biliton
|
||
Lombok
|
Lombok
|
||
Langkat
|
Langkat
|
||
Tamiang
|
Tamiang
|
||
Maleisches
|
Maleisches
|
||
Ambon
|
Ambon
|
||
Flores
|
Flores
|
||
Soemba
|
Soemba
|
||
Asahan
|
Asahan
|
||
Siak
|
Siak
|
||
Talaud
|
Talaud
|
||
Mangga
|
Mangga
|
Jokja
|
Diponegoro
|
Doerian
|
Doerian
|
Durian
|
MH. Thamrin
|
Teratei
|
Teratei
|
||
Meloer
|
Meloer
|
||
Melati
|
Melati
|
||
Kenanga
|
Kenanga
|
||
Getah
|
Patimpus
|
Patimpus
|
|
Djati
|
Djati
|
Jati
|
Jati
|
Poerwo
|
Poerwo
|
Poerwo
|
|
Sindoro
|
Sindoro
|
Sindoro
|
|
Merapi
|
Merapi
|
||
Salak
|
Salak
|
Salak
|
|
Goentoer
|
Goentoer
|
||
Slamat
|
Slamat
|
||
Gedeh
|
Gedeh
|
||
Mantri (gang)
|
Mantri laan
|
Mantri
|
Mantri
|
Antara
|
Antara
|
Antara
|
Sutrisno
|
Amalioen
|
Amalioen
|
Amalioen
|
Amalioen
|
Oetama
|
Oetama
|
Oetama
|
Oetama
|
Poeri
|
Poeri
|
Poeri
|
Poeri
|
Djaparis
|
Djaparis
|
Djaparis
|
Djaparis
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar