Nama-nama jalan di Medan (Peta 1895) |
Jalan Huttenbach, 1915 |
Sejak 1900, usaha-usaha perdagangan eceran
hanya dikuasai oleh orang-orang Tionghoa, Jepang, Jerman dan Tapanuli. Namun
dalam perkembangannya, pengusaha Jerman muncul ke permukaan dan menjadin leader
untuk bisnis ritel yang mengambil segmen pasar orang-orang ETI (Eropa/Belanda).
Sebaliknya, pengusaha-pengusaha asal Tapanuli (yang umumnya dari Mandailing dan
Angkola) memfokuskan pada segmen pembeli orang-orang pribumi di Medan.
Perdagangan Eceran Bermula di Laboehan
Sebelum dimulai perkebunan di area Medan,
perdagangan eceran sudah berkembang di Laboehan. Perdagangan eceran ini
dilakukan oleh orang-orang Tionghoa yang datang dari pantai-pantai Timur
Sumatra atau Penang. Mereka ini juga melakukan perdagangan keliling ke berbagai
tempat di Deli. Saat itu daerah aliran sungai (DAS) Deli dibawah pengaruh Atjeh
dan Batak.
Menurut laporan Netscher ketika melakukan ekspedisi ke
Deli pada Februari 1863. Satu pemandangan yang aneh di9lihatnya di Laboean
(Deli), diantara beberapa ratus penduduk asli, tampak sejumlah pria Atjeh
dipersenjatai dengan belati dan pedang panjang Atjeh dengan gagang perak. The
House of sultan dikelilingi pagar. Juga terdapat empat rumah panggung rendah
yang dihuni oleh orang Batak. Bangunan rumah Batak ini ditutupi dengan serat
dari paku sawit dan rapi dengan dekorasi Batak seperti dicat. Rumah kepala
Batakscbe seperti cottage, yang mengakui supremasi Deli. The Mesdjid adalah
sebuah bangunan papan yang cukup terawat dengan baik ukuran rendah. Sementara
itu populasi (penduduk) Deli ada di pantai oleh orang Maleijers, di pedalaman
oleh orang Batak. Penduduk Melayu kecil jumlahnya; mereka tidak lebih dari
beberapa ribu jiwa. Mereka mendiami tanah pesisir rendah dan terutama kampung
Deli (seperti Laboehan). Sementara sekitar dua puluh Cina dan sekitar seratus
Hindu berdarah campuran. Sedangkan Batak dapat dikatakan sangat banyak. Daerah
yang dihuni oleh Batak terhitung mulai dari pantai dan terus memanjang hingga
atas pegunungan tinggi. Dikatakan bahwa penduduk Batak ini ada kepala suku yang
memerintahkan sekitar 40.000 jiwa. Diantara mereka Mohammedanism tampaknya
klaim telah dibuat.
Saat terjadi Perang Batak (Sisingamangardja)
dan perang Atjeh (Teoeku Oemar) tahun 1870an ekskalasi militer Belanda semakin
meningkat, juga termasuk di Deli untuk mendukung dua perang tersebut. Untuk memasok
kebutuhan militer Belanda ini ke Atjeh para pedagang Jerman di Singapoera
mendapat order.
Orang-orang Jerman sudah banyak yang membuka bisnis di Singapore.
Behn dan Meyer memulai bisnis di Singapore dan membentuk perusahan bernama
Behn, Meyer & Co tahun 1840. Perusahan-perusahaan bisnis Jerman terus
bertambah dan berkembang. Katz Brother yang didirikan di Singapoera 1860
membuka cabang di Penang 1870. Perusahan ini kemudian mendapat kontrak
pengadaan barang untuk militer Belanda dalam perang Atjeh. August Huttenbach
memfasilitasi pengangkutan barang Penang dan Atjeh (lihat Salma Nasution Khoo. Areca
Books, 2006).
Toko Huttenbach & Co di Laboehan, 1876 |
Hattenbach & Co Pindah ke Medan
Bisnis keluarga Huttenbach terus berkembang
di Laboehan. Dengan semangat kewirausahaan yang tinggi dan situasi dan kondisi
pertembuhan dan perkembangan perkebunan swasta di Deli yang ‘berpusat di Medan’
mendorong bisnis Huttenbach membuka cabang di Medan (yang mengambil lokasi di
tempat dimana kini disebut jalan Huttenbach). Bisnis Huttenbach semakin
terkenal di Medan yang bergerak dalam bidang grosir dan ritel. Dalam Peta 1895
lokasi tempat bisnis keluarga Huttenbach berada sudah disebut sebagai jalan
Huttenbach. Bisnis Huttenbach ini terus meroket (dan mencapai puncaknya pada
tahun 1915).
Salah satu manajer Huttenbach & Co adalah Mohamad
Yacoeb yang datang merantau dari Padang
Sidempuan tahun 1875 pada umur 15 tahun ke Deli. Pada tahun dia datang, pertama kali bekerja
sebagai krani di kantor kesultanan Serdang di Rantau Pandjang. Mohamad Yacoub
pada tahun 1880an pindah ke Medan dan bekerja sebagai manajer di toko
Huttenbach & Co, salah satu jaringan toko pertama Eropa di Medan. Mohamad
Yacoub kemudian membuka usaha dan melakukan haji ke Mekah. Sejak kepulangan Mohamad
Yacoub dari tanah suci namanya lebih dikenal sebagai Hadji Ibrahim.
NV. Sjarikat Tapanoeli Didirikan
Pada tahun 1905 Residentie Tapanoeli
dipisahkan dari Province Sumatra’s Westkust (Pantai Barat Sumatrra). Sejak itu,
sebagian pengusaha asal Mandailing dan Angkola yang sukses di Padang, Sibolga dan
Padang Sidempuan memindahkan investasinya dan mulai melirik Deli dan kota
Medan. Sejak itu, kehadiran pengusaha-pengusaha Tapanuli semakin terasa di
Medan, sementara penduduk dari Tapanuli khususnya dari Mandailing dan Angkola di
Laboehan dan Medan sudah semakin banyak sejak akhir 1870an.
Pada tahun 1907 untuk mengimbangi pedagang
Tionghoa, para pengusaha Mandailing dan Angkola membentuk Sjarikat Tapanoeli.
Sarikat ini pada tahun itu membentuk klub sepakbola yang diberi nama Tapanoeli
Voetbal Club dan mempelopori diadakannya kompetisi Deli Voetbal Bond. Pada
tahun 1907 klub dari Batavia, Docter Djawa Voetbal Club melawat ke Medan yang
menjadi tuan rumah Tapanoeli Voetbal Club. Salah satu pemain utama Docter Djawa
Voetbal Club adalah Radjamin Nasution yang berasal dari Padang Sidempuan.
Pada tahun 1909 Sarikat Tapanoeli mendirikan surat kabar
Pewarta Deli dengan ketuanya Hadji Dja Endar Moeda dan wakilnya Hadji Ibrahim.
Hadji Dja Endar Moeda, alumni Kweekschool Padang Sidempuan (1884), mantan guru,
pemilik sekolah di Padang dan pengusaha media dengan suratkabar yang terkenal
Pertja Barat (di Padang) dan Tapian Na Oeli (di Sibolga). Dja Endar Moeda
hijrah ke Medan tahun 1907.
Pada tahun 1909 ketika Medan ditingkatkan
menjadi kota (gemeete) Hadji Ibrahim diangkat menjadi penghoeloe (kamponghoofd)
Kampong Kesawan. Pusat pasar Medan berada di Kampung Kesawan, Hadji Ibrahim
juga dikenal sebagai Penghoeloe Pekan. Sjech Hadji Ibrahim adalah kepala kampong
pertama di Kota Medan.
Di sekitar tahun-tahun inilah kota Medan dipenuhi oleh
orang-orang terpelajar asal dari Padang Sidempuan baik sebagai pedagang,
pebisnis, guru, dokter, jaksa, mantri polisi dan ulama. Anak-anak mereka yang
lahir di Medan, antara lain Amir Sjarifoeddi Harahap (Perdana Menteri RI) dan
Abdul Abbas Siregar (anggota BPUPKI/PPKI).
Bangunan Ritel yang Tersisa Masa Kini
Huttenbach Warenhuis Medan, 1911 |
De Sumatra post, 03-04-1916 |
De Sumatra post, 13-02-1919 |
Warenhuis Medan masa kini |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar