Orang-orang Jepang di Medan sesungguhnya
sudah ada sejak doeloe. Mereka ini jauh lebih awal datang ke Medan dibandingkan
para serdadu Jepang yang datang kemudian (semasa pendudukan Jepang).
Orang-orang Jepang generasi pertama ini bahkan telah menyebar ke berbagai kota
di Sumatra Timur dan Tapanuli jauh sebelum masa pendudukan Jepang. Orang-orang
Jepang generasi pertama ini datang dari Singapura (suatu pelabuhan yang sangat popular
bagi pelaut-pelaut Jepang ketika berlayar ke Asia Tenggara).
De Sumatra post, 21-01-1903 |
Orang Jepang Semakin Banyak di Medan
Orang-orang Jepang datang ke Medan mengikuti
orang-orang Tionghoa. Kedua bangsa dari timur Asia ini menganggap Singapura
adalah pelabuhan transit terpenting di Asia Tenggara, khususnya yang menuju ke
Sumatra Timur. Kala itu, daya tarik Sumatra Timur khususnya kota Medan bahkan
telah melampaui daya tarik Singapura sendiri.
RS Prostitusi di Medan (Peta 1895) |
Setali tiga uang, prostitusi di kalangan
Tionghoa di Sumatra Timur dan khususnya di Medan, lambat laun juga diikuti oleh
para germo di Singapura untuk mengikuti orang-orang Jepang yang telah lebih
awal ada di Medan. Pelacur-pelacur asal Tiongkok kalah kelas jika dibandingkan
pelacur-pelacur yang didatangkan dari Jepang. Pelacur-pelacur asal Jepang lebih
berkelas, lebih mampu menghias diri jika dibandingkan pelacur-pelacur asal
Tiongkok. Jika pelacur asal Tiongkok pelanggannya adalah para kuli, maka
pelacur-pelacur Jepang pelanggannya orang-orang Eropa/Belanda. Jika pelacur
asal Tiongkok banyak terdapat di sepanjang jalan dari Laboehan hingga ke Medan,
maka pelacur-pelacur asal Jepang lebih terkonsentrasi di café dan hotel yang
ada di Laboehan dan Medan.
Sebagaimana orang-orang
Tionghoa, orang-orang Jepang datang ke Deli dan Medan sebagai pedagang yang
kemudian disusul para pelacur dan germo, lambat laun populasi orang-orang
Jepang semakin banyak. Orang-orang Jepang juga piawai mengelola hotel, sesuatu kegiatan
yang tidak dimiliki oleh orang-orang Tionghoa. Begitu kuatnya pengaruh Jepang
di Medan, sehingga pada awal tahun 1900 nama Jepang ditabalkan sebagai nama
jalan yakni Japansch straat (Peta 1906). Bahkan ketika Medan diubah statusnya
menjadi ibukota Province Sumatra’s Oostkust (1915) juga konsul Jepang
ditempatkan di Medan.
Permasalahan prostitusi asal Jepang di Medan semakin merebak. Persoalan juga sudah mulai terkait dengan perdagangan anak. Persoalan serupa ini menjadi ranah hukum. Itulah yang terjadi di tahun 1918 ketika polisi menemukan gadis Jepang yang masih 18 tahun berada di dalam sebuah kamar hotel di Medan.
Parada Harahap, editor Benih Mardeka semakin gelisah
dengan semakin mewabahnya bisnis asusila ini di Medan. Parada Harahap secara
terbuka menyoal prostitusi yang terus marak di hotel-hotel yang dianggapnya
kebal hukum meski kerap terjadi pelanggaran. Hotel Jepang dianggapnya lebih
pada tempat prostitusi daripada tempat penginapan. Parada Harahap merasa perlu
menyuarakan ini agar orang-orang muda terhindar dampak buruk prostitusi yang
sudah sejak lama ada di Medan.
Nama jalan Jepang di Medan (Peta 1915) |
Permasalahan prostitusi asal Jepang di Medan semakin merebak. Persoalan juga sudah mulai terkait dengan perdagangan anak. Persoalan serupa ini menjadi ranah hukum. Itulah yang terjadi di tahun 1918 ketika polisi menemukan gadis Jepang yang masih 18 tahun berada di dalam sebuah kamar hotel di Medan.
De Sumatra post, 06-04-1918: ‘Pelanggaran prostitusi.
Sebelumnya datang HT, gadis Jepang. Dia
berusia 19 tahun tinggal dengan sepupu lain di rumah mereka. Dia datang dari
Pontianak dan melakukan perjalanan melalui Singapura ke Medan. Di Singapura dia
sendirian lalu bibinya membawanya… Tidak ada profesi.. Untuk apa wafat tujuan
kamu datang dengan pengunjung di lantai atas? -Saya Tidak tahu apa yang ia
inginkan… di kamarnya di lantai atas sudah telanjang… setelah intervensi oleh
adat Jepang telah diberikan sehubungan penyediaan usia, kekayaan get usia. ini
sekitar 18 tahun. kata ini kemudian sampai ke jaksa untuk menahan… dilaporkan
ke polisi bahwa Takegawa, coate. Ini Suami, telah tiba dengan dua gadis muda.
Berpikir dari kasus trafficking dan pemantauan ketentuan perjanjian pada
perdagangan perempuan…Tapi gadis itu menggelengkan kepala dan berkata bahwa dia
sesuai dengan orangtuanya dari Nagasaki telah melakukan perjalanan ke Hindia
Belanda untuk melacurkan diri di sini, berharap untuk mendapatkan banyak uang
sampai mendukung orangtuanya sangat miskin… apakah pamannya, yang bertindak
sebagai panduan, telah memberikan orangtuanya eenig muka. Dia sendiri belum
bisa mengirim uang ke Jepang…Kami menerima sekitar f 300 sebulan, tetapi harus
membayar untuk melawan biaya yang dikeluarkan segala sesuatu paman. Selain itu,
salah satu gadis menjadi sakit dan meninggal menuntut Paman banyak pengorbanan
berupa uang…’.
De Sumatra post, 25-07-1919: ‘Harahap (maksudnya Parada
Harahap) dari Benih Merdeka menyoroti soal prostitusi di Medan: ‘Harahap
memberikan protes keras terhadap bahaya besar prostitusi, seperti yang saat ini
berlaku di Medan. Dia menunjukkan bahwa hukum pidana mengancam untuk menghukum
mereka yang enzoovoort, objek publik terhadap moralitas, tetapi dalam hal ini
di Medan tampaknya tidak mengganggu mereka di sana. Hotel Jepang disebut hanya
kesempatan untuk prostitusi dan baboes dari pemilik pelacur. Ini adalah
berlimpah di jalan-jalan dan dengan kelimpahan mereka menyebabkan bahaya besar,
pertama untuk penyakit, dua sarang sebagai godaan untuk anak muda, karena
wanita layak melalui tergoda untuk tersesat, empat sarang karena wanita layak
keliru untuk pelacur dan mengalami perlakuan yang tidak menyenangkan. Penulis
berpendapat bahwa diinginkan agar intelijen menginvestigasi izin untuk hotel
dan menuduh menyelidiki pejabat yang terlibat, investigasi serius harus dapat
mengungkapkan apa yang sebenarnya yang terjadi. Harahap juga meuntut dewan
untuk menyatukan semua pelacur dan kemudian memberikan pembinaan terhadap
perilakunya
De Sumatra post, 03-06-1930 |
Orang Jepang sendiri yang ada di Medan adalah
bagian dari orang-orang Jepang yang ada di Hindia Belanda. Pada tahun 1920
jumlah orang Jepang di Jawa sebanyak 1,266 laki-laki dan 468 perempuan,
sementara di luar Jawa terdapat sebanyak 1.359 laki-laki dan 1.055 perempuan.
Di luar Jawa terkonsentrasi di Sumatra Timur, Atjeh dan Bangka. Jumlah
perempuan terkesan relative lebih banyak dibandingkan di Jawa. Hal ini terkait
dengan eksploitasi wanita. Di Sumatra Timur terdiri dari 373 laki-laki dan 416 perempuan
Jepang, di Atjeh sebanyak 78 orang lakiu-laki dan 90 perempuan dan Banka sebanyak
18 laki-laki dan 45 perempuan. Menurut Departemen Koloni dan Emigrasi Hindia
Belanda pada tahun 1929 orang Jepang yang masuk di kantoor imigrasi untuk
Tandjoengpriok sebanyak 21 orang Jepang sementara sebanyak 4.900 Dutchman, 950 orang
yang bukan Belanda, 9.900 Chineezen dan 1.200 orang Arab. Jika dibandingkan
tahun sebelumnya, orang Arab yang masuk mengalami peningkatan sebesar 13 persen
sedangkan orang Jepang yang masuk meningkat sebesar 30 persen, mungkin karena
kemakmuran orang-orang Jepang di Hindia Belanda telah meningkat (lihat De
Sumatra post, 03-06-1930).
Orang Jepang di Padang Sidempuan
Tsukimoto, bukan seorang Tionghoa tetapi
seorang Jepang yang telah lama bermukim di Padang Sidempuan. Tsukimoto pemilik
perusahaan J. Tsukimoto & Co. Tsukimoto sangat terkenal di Padang Sidempuan
dengan nama tokonya ‘Toko Japan’ (Bataviaasch
nieuwsblad, 04-01-1934)...
Pada tahun 1931, Tsukimoto dan Tjioe Tjeng Liong termasuk
anggota komisi dalam membantu korban bencana di Pakantan (De Sumatra post, 16-07-1931). J. Tsukimoto
kemungkinan hijrah tahun 1935 ke Batavia di Pasar Besar (Pasar Baru?).
Tsukimoto kemungkinan adalah salah satu keluarga Jepang di Padang Sidempuan sebelum terjadinya pendudukan Jepang di
Indonesia. Tsukimoto kemungkinan besar datang (migrasi) dari Medan. Sejak akhir
abad kesembilan belas sudah banyak orang-orang Jepang di Medan (yang waktu itu
konsentrasi mereka banyak di Singapoera).
Pada tahun 1971 ketika saya masuk sekolah dasar di Padang Sidempuan ada beberapa murid Tionghoa di sekolah tersebut. Dari murid-murid yang satu kelas dengan saya terdapat satu murid yang merupakan keturunan Jepang. Namanya tidak lagi berbau Jepang, tetapi parasnya masih Jepang (yang bisa dibedakan dengan paras keturunan Tionghoa).
Orang-orang
Tionghoa di Padang Sidempuan sudah ada sejak doeloe
Awal orang-orang Tionghoa di Padang Sidempuan
bukan dari Medan, tetapi dari Singapura. Pada tanggal 19 Maret seorang pembaca
(mungkin seorang Tionghoa) menulis di Sumatra-courant: nieuws- en
advertentieblad, 08-04-1884 bahwa telah terjadi perselisihan antara sesama
orang Tionghoa. Surat ini pada intinya mengungkapkan suatu keluhan terhadap
putusan yang dibuat pengadilan yang memberatkan salah satu pihak dan dianggap
tidak adil. Atas hukuman yang dijatuhkan agar perlu ditinjau kembali demi
keadilan.
Sumatra-courant: 08-04-1884 |
Surat pembaca ini mengindikasikan banyak hal.
Pertama populasi orang-orang Tionghoa di Padang Sidempuan bukanlah sedikit
sehingga diantara mereka telah terjadi persaingan yang ketat dalam bidang
perdagangan dan bisnis. Kedua, orang-orang Tionghoa tampaknya sudah cukup
terpelajar dan memiliki kemandirian yang baik yang ditunjukkan dengan
komunikasi tulisan di dalam surat kabar berbahasa Belanda yang terbit di Padang
(Onder adfeing Angkola, Afdeeling Mandheling en Ankola, Residentie Tapanoeli,
Province Sumatra’s Westkust beribukota di Padang, tempat dimana Sumatra Courant
diterbitkan). Ketiga, tingkat kesadaran hukum yang tinggi. Tingkat kesadaran
hokum yang bersifat public terkait erat dengan dunia intelektual (tulis
menulis).
Ibukota afdeeling Mandheling en Ankola pindah ke Padang
Sidempuan dari Panyabungan tahun 1870. Pada tahun 1879 dibuka sekolah guru
(kweekschool) di Padang Sidempuan. Terdapat tiga sekolah dasar negeri: di
Batunadua, di Hutaimbaru dan di Padang Sidempuan. Sekolah negeri yang berada di
Padang Sidempuan ini letaknya di jalan Sutomo (SD N 2 dan SD N 10 yang
sekarang, seberang pabrik es). Sedangkan Kweekschool Padang Sidempuan terletak
di jalam Merdeka yang menjadi gedung SMA N 1.
Keempat, Padang Sidempuan saat ini adalah
kota kecil tetapi di masa itu, Padang Sidempuan adalah kota besar dan masih
lebih besar daripada Kota Medan. Kota Medan menjadi ibukota afdeeling Deli pada
tahun 1879, sedangkan Padang Sidempuan sudah sejak 1870. Hal lain keutamaan
kota Padang Sidempuan saat itu adalah Kota Padang Sidempuan sudah memiliki
sekolah guru dan sekolah dasar negeri sudah ada sejak 1950 (sementara Kota Medan
pada tahun 1879 belum ada sekolah dasar).
Ini menunjukkan bahwa warga kota Padang Sidempuan antara
1870-1890 secara sosial lebih terpelajar dibandingkan warga kota Medan. Dengan
kata lain, orang-orang Tionghoa di Padang Sidempuan lebih terpelajar jika
dibandingkan orang-orang Tionghoa di Medan. Tokoh penting Tionghoa di Medan,
yakni Tjong Yong Hian dan Tjong A Fie tentu saja belum ada apa-apanya jika
dibandingkan tokoh-tokoh Tionghoa yang sudah sejak lama ada di Padang
Sidempuan.
Surat-surat pembaca ini (di luar orang-orang
Eropa/Belanda) sangat banyak antara tahun 1882-1884 yang berasal dari Padang
Sidempuan di Sumatra Courant yang terbit di Padang. Bahkan surat-surat pembaca
dari Padang Sidempuan ini jauh lebih banyak jika dibandingkan yang berasal dari
daerah Minangkabau. Ini suatu indikasi bahwa warga Padang Sidempuan sudah sejak
lama pula terlibat secara intens dalam dunia pers. Pada kala itu kota Padang
Sidempuan adalah kota special Sumatra Courant dalam pemasaran (oplah).
Parada Harahap, Memimpin Orang Indonesia Pertama ke Jepang 1933
Parada Harahap, Memimpin Orang Indonesia Pertama ke Jepang 1933
Parada Harahap hijrah dari Padang Sidempuan
ke Batavia tahun 1923. Dalam tempo singkat bisnis media Parada Harahap sukses
sejak surat kabar Bintang Timoer didirikan tahun 1926. Parada Harahap tidak
hanya sukses di media, juga di bidang percetakan dan perdagangan. Pada tahun
1927, Parada Harahap yang telah mendirikan asosiasi pengusaha pribumi (semacam
KADIN) menggagas didirikan PPPKI (Permoefakatan Perhimpoenan-Perhimpoenan
Kebangsaan Indonesia). Parada Harahap duduk sebagai sekretaris dam sebagai
ketua MH Thamrin. Parada Harahap juga menjadi penggagas diadakannnya Kongres
Pemuda yang mana sebagai bendahara adalah anak Medan bernama Amir Sarifoeddin
Harahap.
Surat kabar di P. Sidempuan, 1919-1923 |
Parada Harahap memulai karir di bidang media pada tahun
1918 sebagai editor surat kabar Benih Mardeka di Medan. Kisahnya dimulai ketika
tahun 1917 Parada Harahap membongkar kasus poenale sanctie yang banyak jadi
korban kuli asal Tiongkok. Atas upayanya membongkor kasus kekejaman kuli di
perkebunan di Simatra Timur, Parada Harahap lalu dipecat sebagai krani dan
kemudian bergabung dengan Benih Mardeka. Oleh karena Benih Mardeka dibreidel,
Parada Harahap pulang kampong di Padang Sidempuan dan mendirikan surat kabar
Sinar Merdeka tahun 1919. Di Padang Sidempuan, Parada Harahap juga mengasuh
surat kabar Poestaha.
Pada tahun 1929 jumlah media Parada Harahap di
Batavia sudah mencapai tujuh buah. Saat ini Parada Harahap adalah pemegang
portofolio tertinggi dari kalangan pribumi di Batavia. Parada Harahap tidak
hanya piawai berbisnis, tetapi juga berorganisasi dan membangkitkan ruang
politik bagi pribumi. Bahkan Parada Harahap adalah mentor politik Sukarno (kerap
datang dari Bandung ke kantor PPPKI di gang Kenari). Parada Harahap dan Sukarno
adalah dua penulis yang handal kala itu, keduanya sangat cerdas berpolemik
melalui tulisan.
Parada Harahap sudah sejak di Medan mengenal
orang-orang Jepang. Ketika Parada Harahap pulang kampong di Padang Sidempuan
sudah juga kerap bertemu dengan keluarga-keluarga Jepang yang tinggal di Padang
Sidempuan. Kini, di Batavia Parada Harahap juga semakin intens berinteraksi
dengan orang-orang Jepang.
Pada awal tahun 1933 tertarik untuk memenuhi
undangan konsul Jepang di Batavia untuk mengunjungi Jepang. Lantas Parada
Harahap membentuk grup radikal untuk berkunjung ke Jepang. Pers dan pemerintah
Belanda tidak percaya. Namun pers Belanda keliru, bahwa Parada Harahap tidak
omong kosong. Parada Harahap yang tidak memiliki ‘utang’ terhadap Belanda
merealisasikan keinginannya. Lawatan Parada Harahap membuat Hindia Beladna
bergetar,
Abdullah Lubis dari Medan ke Jepang (pimp. Parada Harahap) |
Parada Harahap berhasil membentuk tujuh orang pertama ke
Jepang (The Magnificient Seven). Grup ini terdiri dari wartawan, akademisi,
pengusaha perdagangan, pengusaha manufaktur, guru dan pelukis. Salah satu wartawan
yang direkrut adalah Abdullah Lubis, pemimpin Pewarta Deli di Medan dan Mohamad
Hatta yang baru pulang ke tanah air setelah selesai kuliah di Belanda.
Di Jepang, pers setempat menjuluki Parada
Harahap sebagai The King of Java Press. Parada Harahap dan kawan-kawan diterima
oleh para pemimpin Jepang, diajak mengunjungi berbagai tempat yang berguna seperti
pabrik-pabrik, area-area pertanian, akademi-akademi. Sementara pers Belanda
melihat sambutan yang hangat kepada Parada Harahap dan kawan di Jepang menjadi
cemburu dan bercampur sinis dan mulai memprovokasi yang dianggap memusuhi negara
(Belanda). Parada Harahap tidak peduli, malah sepulang dari Jepang menulis buku
berjudul ‘Menuju Matahari’.
Parada Harahap, The King |
Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 28-12-1933: ‘Unsur-unsur eksentrik revolusioner Indonesia ke Jepang dengan dalih kunjungan komersial, tidak hanya perhatian
pemerintah! Juga menjadi hal-hal baru yang dipantau oleh bidang politik. Di
tempat lain, di belakang nama-nama otoritas perdagangan Indonesia kualitas
mereka, dan mereka seharusnya telah terlihat. Aneh di Jepang dua wartawan
[salah satu Parada Harahap], seorang pedagang batik,‘master sekolah’ [M. Hatta]
dan mahasiswa adalah penamaan orang sebuah ‘commissionnall’. Apakah Anda punya
jawaban yang memuaskan untuk apa Mr Parada Harahap dari Bintang Timur di Jepang
menyatakan baik di meja sebuah ‘sukiyaki dinner’ di Kikusui, hasil wawancara
(ini tidak dikonfirmasi) Namun dia [Parada Harahap] mengatakan.; Kami ingin
membantu membangun hubugan antara masyarakat Jepang dan Jawa, dan tujuan lain
maka kita ingin (adat) masyarakat di Jawa di negara Anda dapat terhubung.
Selanjutnya, berbicara tentang jutaan Java bahwa Jepang ingin tahu apa yang
harus Parada Harahap dapat dilakukan. Terbaik melalui pers Melayu Karena
Pemerintah Nederiandsche juga Hindia Belanda dan untuk kepentingan mereka
mewakili Pemerintah Jepang melalui duta besar untuk Tokyo, Parada Harahap
memberikan jaminan pada penciptaan hubungan harmonis antara bangsa-bangsa (sic)
dari Jawa dan Jepang meskipun penting untuk melakukan, namun maksud terselubung
dari seluruh disebut bandelsgedoe ini. Ini komite perdagangan tidak ada
pejabat, adalah murni pribadi, agak transparan, hobi. Dan bahkan jika beberapa
‘acara resmi’ memiliki, maka itu bukan di jalan misi dagang untuk membuat
hubungan ramah antara masyarakat’
Sepulang dari Jepang, Parada Harahap
ditangkap lalu diadili. Ketika konsul Jepang di Batavia dijadikan saksi, Parada
Harahap terbukti tidak melanggar hukum (Belanda). Parada Harahap dibebaskan.
Pers Belanda semakin gerah. Inilah bukti Parada Harahap sebagai seorang patriot
bangsa, seorang revolusioner yang dimulai dari Medan.
Itulah kisah nyata bangsa Indonesia, kisah nyata
repebliken di Medan dan kisah nyata warga dan tentara Jepang di Medan. Para
warga dan tentara Jepang ini kemudian lebih memilih menjadi warga Negara Indonesia
dari pada tanah leluhurnya Jepang. Jumlah mereka tidak sedikit. Inilah bukti
Jepang juga memiliki pepatah ‘dimana bumi dipijak di situ langit dijunjung’.
Orang-orang Jepang dan orang-orang Tapanuli dalam hal ini benar-benar
mebuktikannya. Gozaimasu!
Pendudukan Jepang dan Kemerdekaan Indonesia
Selama pendudukan Jepang, orang Jepang yang
sudah sejak lama ada di Medan tentu saja mendapat angin dan menjadi ada teman
duduk. Mereka merasa lebih dekat dengan pribumi, selain sesama Asia, juga
memiliki musuh yang sama: Belanda. Serdadu-serdadu Jepang juga mungkin merasa
at home, banyak orang-orang Jepang. Anehnya ketika dikabarkan tentara Jepang
terlibat banyak kasus wanita budak seks di berbagai tempat di Asia, termasuk
Indonesia, ternyata kasus serupa ini belum pernah ditemukan di Medan.
Pendudukan Jepang di Indonesia tidak lama,
meski demikian, korban diantara pribumi tidak sedikit. Pribumi banyak yang mati
kerja paksa romusa. Para pemimpin Indonesia ada yang terlibat dalam kasus ini
tetapi ada juga yang keras menentangnya seperti anak Medan, Amir Sjarifoeddin
Harahap. Akibatnya Amir dibui.
Untuk mendapatkan dukungan dari rakyat Indonesia,
pemerintah Jepang memfasilitasi untuk menuju kemerdekaan dengan membentuk Badan
Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Salah satu
anggotanya adalah Parada Harahap. Badan ini dibubarkan tanggal 7 Agustus 1945
karena dianggap telah selesai menyusun dasar Negara dan undang-undang dasar
(UUD). Selanjutnya dibentuk Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI)
untuk melanjutkan tugas-tugas BPUPKI dan mengatur proses pemindahan kekuasaan
dari Jepang ke Indonesia. Salah satu anggota PPKI adalah Mr. Abdul Abbas Siregar.
Jepang lalu takluk kepada sekutu setelah
Nagasaki dan Hirosima hancur. Situasi ini dimanfaatkan pribumi untuk memperoleh
kemerdekaan. Soekarno dan Hatta ke Saigon menemui pimpinan militer Jepang di
Asia Tenggara, sementara Amir tetap di dalam penjara.
Akhirnya atas desakan para pemuda revolusioner seperti
Adam Malik memaksa Sukarno dan Hatta memproklamirkan kemerdekaan Indonesia pada
tanggal 17 Agustus 1945. Inilah hari-hari yang sudah sejak lama diimpikan oleh
rakyat Indonesia dan para pemimpinnya. Para pemimpin itu diantaranya Parada
Harahap, Amir Sjarifoeddin Harahap, Abdul Abbas Siregar dan Adam Malik
Batubara. Keempat tokoh ini adalah anak-anak Medan sejati.
Namun kemerdekaan itu tidak diterima oleh Kerajaan
Belanda sementara Kerajaan Jepang tidak mengiyakan juga tidak melarang. Hanya
para pemimpin dan takyat Indonesia yang betul-betul menginnginkannya. Apa boleh
buat, ketika Belanda membonceng sekutu ke Indonesia termasuk di Medan, tidak
ada pilihan dan perang adalah jawabannya.
Akan tetapi seperti di banyak tempat, juga di
Medan tidak semua pemimpin dan rakyat menolak kerjasama dengan Belanda malahan
diam-diam melakukan kolaborasi dengan Belanda untuk menghacurkan perlawanan republic.
Belanda semakin kuat di Medan, Negara Sumatera Timur juga muncul. Para
penghianat bangsa di Medan bersukaria. Kehidupan yang hampir satu abad glamour
di Medan seakan sudah di depan mata kembali. Bangsa Indonesia di Medan dan
Sumatera Timur terbelah oleh Belanda.
Wanita Belanda di Kamp Jepang di Singapura (1945) |
Para pendudukung RI menyingkir ke luar kota sambil
melakukan perlawanan. Tentara-tentara Jepang yang dalam posisi mati langkah ada
juga yang melihat sisi patriotism bangsa Indonesia dan sangat membenci terhadap
para penghianat di Medan. Sejumlah tentara Jepang ikut melakukan perlawanan
terhadap Belanda dan juga turut membantu para republiken sejati untuk mengusir
penjajah. Semakin tidak mudah, karena Belanda semakin kuat karena penghianat
bangsa ikut menjadi mata-mata. Boleh jadi Tionghoa dan Kling di Medan abstain,
tetapi Belanda yang di atas angin didukung para penghianat bangsa, lantas
tentara Jepang terharu dan ikut mendukung republic. Situasi menjadi berimbang:
Belanda dan penghianat bangsa vs Republiken dan patriot Jepang.
Kemenagangan RI akhirnya datang setelah
pengakuan kedaulatan RI oleh Belanda. Para penghianat bangsa yang tetap berada
di Medan dan Sumatera Timur menjadi mati langkah. Para penghianat ini lantas
diabaikan. Sementara itu, patriot Jepang yang ikut mendukung republiken dan
yang gugur dalam perlawanan terhadap Belanda dihargai republiken sebagai
manusia yang lebih berguna jika dibandingkan para penghianat yang jumlahnya
sangat banyak.
Ketika Medan masih kampung, Padang Sidempuan sudah kota |
Para republiken yang terus berjuang di Medan diantaranya
Mr. GB Josua Batubara lewat lembaga pendidikannya (Josua Institute) mendidik
anak-anak republic ketika militer Belanda terus mendesak tentara RI hingga ke
Padang Sidempuan. Republiken berikutnya adalah Dr. Djabangoen Harahap, Ketua
Front Nasional di Medan yang berkeliling setiap hari di Medan dan Sumatera
Timur untuk mengobati anak-anak republic yang kurang gizi dan yang sakit. Di
Tapanuli ketua Front Nasional Indonesia adalah M. Nawi Harahap berperang
melawan Belanda yang terus membabi buta. Masih di Tapanuli, Mr. Abdul Abbas
Siregar (anggota PPKI) terus mengkonsolidasi para republiken di pengungsian termasuk
di hutan-hutan dekat kampong Sipirok (kampong halaman GB Josua dan Abdul Abbas
Siregar), kampong Pasar Matanggor (kampong halaman Amir Sjarifoeddin), kampong Pargarutan
(kampong halaman Parada Harahap) dan kampong Batunadua (kampong halaman
Djabangoen Harahap).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar