Persentase etnik di Kota Medan, 1930 dan 2010 (diolah sendiri) |
Era
Deli
Kota Medan belum ada ketika di Laboehan dilaporkan
terdapat adanya komposisi penduduk. Menurut laporan Netscher (Resident Riaou)
yang kali pertama pemerintah datang ke Deli di Laboehan hanya terdapat beberapa
ratus penduduk.
Warga Medan pertama: Nienhuys dan asistenya (1865) |
Dari laporan ini paling tidak sudah terdeteksi,
selain Batak ada Melayu, Tionghoa, India dan Atjeh. Jika dibandingkan dengan
laporan Anderson (1823) yang hanya menyebut Batak dan Melayu, maka kehadiran
Tionghoa, India dan Atjeh adalah suatu yang baru. Komposisi penduduk di Deli
semakin bertambah ketika 1864 Nienhuys (pionir perkebunan tembakau di Deli)
mendatangkan kuli dari Penang. Kuli pertama yang didatangkan Nienhuys adalah
kuli Jawa yang diperoleh di Penang. Kemudian Nienhuys mendatangkan kuli Cina
dari Singapore. Kuli lainnya didatangkan dari Siam dan India (Kling). Diantara
kuli yang menyusul yang paling banyak didatangkan dari Cina dan kemudian
disusul dari Jawa.
Ketika
Controleur de Caet 1866 ingin melakukan ekspedisi ke Bataklanden, lebih dahulu
berkeliling di sekitar Medan untuk menemukan para pemimpin Batak yang bersedia
diajak ke Bataklanden sebagai pemandu. Tidak mudah menemukan karena para
pemimpin Batak yang ada di Medan dan sekitarnya (Sukapiring) dan Senembah tidak
begitu mengenal para pemimpin Batak di Karo atas. Setelah berkeliling lama de
Caet menemukan pemimpin Batak yang sudah lama merantau ke Karo bawah tetapi
masih kerap pulang kampung. Dialah yang menjadi pemandu de Caet dan rombongan
ke Bataklanden (lihat laporan de Caet, 1875).
Praktis, pada tahun 1870 ketika area di sekitar
Medan perkebunan telah berkembang meluas ke Timbang Langkat sudah ada sekitar
6.000-7.000 kuli asal Tiongkok. Ini dengan sendirinya kuli Cina di Deli telah
melampaui jumlah populasi Melayu. Pada tahun 1872 kuli Cina di sekitar Pertjoet
melakukan pemberontakan yang bahkan membunuh para majikannya. Sementara di
Sunggal tahun 1876 para penduduk Batak yang dipimpin oleh para datu melakukan
perlawan terhadap kehadiran perkebunan Eropa/Belanda. Salah satu datu Sunggal
harus dibuang ke Tjiamis, Djawa.
Para
penduduk Batak yang berada di sepanjang DAS Deli yang telah berhasil ditekan
Sultan dan Controleur, tergiur untuk menganeksasi wilayah pemukiman Batak di
Sunggal. Militer Belanda mendapat dukungan penuh dari Sultan untuk memerangi
penduduk Batak. Hasil aneksasi ini Sultan mendapat konpensasi atas hak konsesi
tanah yang diberikan kepada para planter. Pola ini dipakai terus dimana para planter
menginginkan lahan-lahan subur yang dijaga militer dan didukung dari belakang
oleh Sultan. Lambat laun penduduk Batak seakan terusir sendiri ke luar Deli.
Sementara di dalam kantong-kantong perkebunan kuli Cina dan dari Jawa semakin
banyak. Perlawanan penduduk Batak ini terus berlangsung hingga akhir 1880an,
seperti yang terjadi di area Arhemnia di dekat Padang Boelan.
Penduduk Batak yang berada di Kampung Poetri Hidjaoe
(Medan Poetri), Kampung Kesawan, Kampung Tebing Tinggi, Kampung Baru bahkan
Kampung Deli Toea tidak bisa berbuat banyak. Tanah-tanah ulayat mereka sudah
menjadi konsesi perkebunan asing di luar sepengetahuan mereka. Penduduk yang
tinggal di kampong-kampung tersebut hanya mengusahakan lahan-lahan kecil secara
subsisten. Kebun-kebun tembakau, lada hitam dan tanam-tanaman lainnya yang dulu
sangat luas dan banyak hasilnya yang diturunkan dari orang tua dan kakek hilang
lenyap berganti dengan perkebunan tembakau oleh Eropa.Belanda.
Penduduk asli Kampung Medan Poetri dan Kampung
Kesawan lambat laun juga terpinggirkan dan terdesak dengan semakin banyaknya
para pedagang Tionghoa yang berdatangan dari pantai dan eks para kuli yang
tidak kembali ke Tiongkok yang berdiam di Kesawan. Sejak 1887 wilayah kota
Medan sudah terbagi dua: di sekitar Deli Mij (cikal bakal kota Medan) bermukim
orang-orang Eropa/Belanda dan di sekitar Keswan bermukim orang-orang Tionghoa.
Tidak lama kemudian, sebelum tahun 1900, Kampong Poetri Hidjaoe juga lambat
laun dikokupasi oleh orang-orang Kling (yang dikenal kemudian sebagai Kampong
Petisah). Para kuli India, seperti sebagian kuli Cina tidak kembali ke kampong
halaman mereka.
Gemeente
Medan
Kampoeng Medan Poetri yang menjadi pusat perkebunan
Nienhyus sejak 1870 dan menjadi ibukota onderafdeeling Medan tahun 1875, secara
cepat telah berubah menjadi kota. Perubahan ini semakin cepat ketika ibukota
afdeeling Deli dipindahkan dari Laboehan ke Medan tahun 1879 dan pada tahun
1887 kota Medan menjadi ibukota Residentie Sumatra’s Oostkust (sebelumnya di
Bengkalis).
Sejak awal
1870an penduduk afdeeling Padang Sidempuan (sebelumnya bernama afdeeling
Mandailing dan Angkola) sudah banyak yang merantau ke Deli khususnya Laboehan
dan Medan. Mereka datang umumnya sudah berpendidikan sebagai pedagang dan juga
untuk bekerja di perkebunan sebagai krani. Pada tahun 1870 dari 10 sekolah
negeri yang ada di Residentie Tapanoeli, delapan diantaranya di afdeeling Padang
Sidempuan. Kemudian disusul kedatangan gelombang penjabat. Pertama, pejabat
yang dipindahkan dari Residentie Tapanoeli untuk membantu Residentie Sumatra’s
Osskust di Labuhan dan Medan. Mereka ini datang melalui jalur laut: Sibolga,
Singkel, Kotaradja, Tangjoengpoera, Laboehan dan Medan.Kedua, pejabat yang
datang dari Bengkalis. Sebagaimana diketahui para pejabat pribumi di Bengkalis
umumnya adalah orang-orang Padang Sidempuan. Rute mereka adalah Padang
Sidempuan-Bengkalis via darat (sangat dekat) dan dari Bengkalis ke Deli via
laut. Rute lain adalah langsung dari Padang Sidempuan ke Medan dengan system
navigasi alamiah yang mengikuti kabel telegraf yang baru tersambung (1887)
antara Medan dan Padang Sidempuan via Gunung Tua dan Rantau Prapat. Dapat ditambahkan,
gelombang ketiga, dari Batavia yang merupakan para migrant Padang Sidempuan
yang sudah lama di Batavia sebagai pegawai yang diantara mereka ini beberapa
dokter asal Padang Sidempuan lulusan docter djawa school. Gelombang ketiga ini
yang datang dari Tapaneoeli ke Deli adalah para guru-guru alumni Padang
Sidempuan (sekolah guru di Padang Sidempuan didirikan tahun 1879).
Praktis, pada awal 1900 orang-orang Padang Sidempuan
dari Residentie Tapanoeli di Kota Medan sudah sangat banyak. Migran Padang Sidempuan
ini semakin banyak sejak 1905 ketika Residentie Tapanoeli dipisahkan dari
Province Sumatra’s Westkust. Gelombang keempat ini sangat diwarnai oleh para
pengusaha-pengusaha besar yang selama ini berbasis di Padang, Sibolga dan
Padang Sidempuan. Rute yang diambil tetap masih via laut melalui Kotaradja.
Pada tahun 1905 di Medan didirikan Sjarikat
Tapanoeli yang dipelopori oleh Hadji Dja Endar Moeda dan Haji Ibrahim. Sarikat
ini pada puncaknya tahun 1907 mulai mengimbangi pedagang Tionghoa. Para
pengusaha Afdeeling Padang Sidempuan (Mandailing dan Ankola) membentuk Sjarikat
Tapanoeli. Sarikat ini pada tahun itu membentuk klub sepakbola yang diberi nama
Tapanoeli Voetbal Club dan mempelopori diadakannya kompetisi Deli Voetbal Bond.
Sukses orang-orang Padang Sidempuan ini membuat tertarik orang-orang
Minangkabau merantau ke Medan.
Perdana Menteri RI: Amir (ke-3), Burhanuddin (ke-8) |
Pada tahun 1909 Sarikat Tapanoeli mendirikan surat
kabar Pewarta Deli dengan editor Hadji Dja Endar Moeda. Hadji Dja Endar Moeda,
alumni Kweekschool Padang Sidempuan (1884), mantan guru, pemilik sekolah di
Padang dan pengusaha media dengan suratkabar yang terkenal Pertja Barat (di
Padang) dan Tapian Na Oeli (di Sibolga). Dja Endar Moeda hijrah ke Medan tahun
1907. Hadji Dja Endar Moeda juga membuka bisnis media dan percetakan di
Kotaradja.
Sebagaimana diketahui pada tahun 1909 Kota Medan
dijadikan sebagai kotamadya (Gemeente). Walikota pertama adalah Baron Mackay.
Sejak saat itu Kota Medan menjadi sebuah daerah otonom hingga sekarang. Kepala
kampong (Kampoenghoofd) yang pertama diangkat adalah Hadji Ibrahim sebagai
penghoeloe Kampung Kesawan atau Kampong Pekan. Hadji Ibrahim juga merangkap
sebagai kepala kampong Sungai Kerah. Ini dengan sendirinya, Hadji Ibrahim van
Padang Sidempuan adalah kelapa kampong (kini Lurah) pertama di Kota Medan.
Mohamad
Yacoub gelar Soetan Kinajan atau Sjech Ibrahim datang ke Deli pada tahun 1875
sebagai krani Kantor Sultan Serdang (Serdangsche Sultanaatskantoor) di Rantaoe
Pandjang. Mohamad Yacoub berasal dari afdeeling Mandheling en Ankola. Pada saat
itu umur Mohamad Yacoub baru 15 tahun (tamat sekolah dasar). Mohamad Yacoub
pada tahun 1880an pindah ke Medan dan bekerja di toko Huttenbach & Co,
salah satu toko pertama Eropa di Medan. Mohamad Yacoub kemudian membuka usaha
dan melakukan haji ke Mekah. Sejak kepulangan
Mohamad Yacoub dari tanah suci namanya lebih dikenal sebagai Hadji
Ibrahim. Pada tahun 1909 ketika Medan ditingkatkan menjadi kota (gemeete) Hadji
Ibrahim diangkat menjadi penghoeloe (kamponghoofd) Kampong Kesawan. Pusat pasar
Medan berada di Kampung Kesawan, Hadji Ibrahim juga dikenal sebagai Penghoeloe
Pekan.
Kota Medan terus tumbuh dan berkembang. Pada tahun
1915 Kota Medan menjadi ibukota Provinsi Sumatra’s Oostkust. Namun sejauh ini
tidak pernah diketahui berapa penduduk Kota Medan dan bagaimana komposisinya.
Yang jelas, orang-orang Padang Sidempuan mewakili etnik Batak yang merantau
tentu saja sudah terbilang signifikan jumlahnya.
Berdasarkan
pendataan jumlah penduduk tahun 1915 di kota Medan terdapat sebanyak 43 ribu
orang yang terdiri dari Eropa 409 orang, pribumi 35 ribu orang, Tionghoa 8.269
orang dan Asia lainnya 139 orang. Jumlah penduduk pribumi ini umumnya Jawa,
Batak, Melayu dan Minangkabau.
Untuk memperkirakan ini hanya tersedia data para
pemilih pribumi di Kota Medan sebagai proksi perkiraan besarnya etnik Batak.
Data pemilih baru tersedia pada tahun 1918. Jumlah pemilih pribumi ada sebanyak
26 orang plus satu orang Tionghoa. Dari beberapa kandidat yang terpilih tiga
orang diantaranya Radja Goenoeng.
Di Hindia
Belanda (baca: Indonesia) pada tahun 1921 hanya terdapat 53 dewan
kota/kabupaten (lihat De Preanger-bode, 01-02-1921). Di Province Sumatra’s
Oostkut terdapat lima dewan kota (gemeenteraad) yakni selain Medan adalah
Pematang Siantar, Tebing Tinggi, Tandjongbalai dan Bindjei dan satu dewan
provinsi yakni.Sumatra’s Oostkust. Sedangkan di Residentie Tapanoeli hanya satu
buah dewan yakni di Padang Sidempuan. Uniknya dewan ini tidak pada level
kota/kabupaten tetapi justru pada level kecamatan (onderafdeeling Angkola en
Sipirok). Jumlah anggota dewan non-Eropa/Belanda sebanyak 23 orang lebih banyak
jika dibandingkan dengan dewan provinsi Sumatra’s Oostkust yang hanya 21 orang.
Untuk anggota dewan non Eropa/Belanda di Medan bertambah menjadi 10 orang.
Radja Goenoeng asal Padang Sidempuan mengindikasikan
jumlah pemilih asal Padang Sidempuan sudah banyak. Catatan: para pemilih adalah
individu yang secara tingkat pendapatan memiliki pendapatan tertentu (tidak
semua penduduk dewasa seperti sekarang). Selain itu, orang-orang Padang
Sidempuan tidak hanya menjadi anggota dewan di Medan, tetapi juga Pematang
Siantar, Tandjongbalai dan Tebingtinggi. Tentu saja orang-orang Padang
Sidempuan menjadi dominan di dewan Angkola en Sipirok.
Jumlah pemilih anggota Dewan Kota Medan, 1912-1826 |
Singkat kata, sejauh ini belum pernah dilakukan
pendataan di Kota Medan. Oleh karena itu gambaran kependudukan dan komposisi
etnik di Kota Medan juga tidak diketahui secara pasti. Ketiadaan data penduduk
ini di Hindia Belanda, khususnya di Deli dan Kota Medan semakin memperburuk
keadaan ketika muncul krisis ekonomi yang dimulai awal tahun 1920an.
Masa
Kini
Sensus penduduk secara keseluruhan di Hindia Belanda
baru dilaksanakan pada tahun 1930. Hal ini diselenggarakan boleh jadi terkait
dengan krisis ekonomi yang sudah berlalu. Sensus penduduk pernah dilakukan
sebelumnya tahun 1920 namun hanya terbatas pada wilayah-wilayah tertentu.
Jumlah penduduk Kota Medan berdasarkan Sensus
Penduduk (SP) 1930 sekitar 75 ribu orang. Jumlah ini telah jauh meningkat jika
dibandingkan hasil pendataan tahun 1915 dan SP 1920. Batas-batas kota Medan
tidak diketahui secara jelas dan oleh karena penduduk etnik Tionghoa dan Kling
cenderung berada di pusat kota, maka penduduk pribumi terkesan jauh lebih
sedikit jika dibandingkan etnik Tionghoa. Penduduk etnik Tionghoa merupakan
persentase yang tertinggi (35.6 persen), kemudian disusul lumlah penduduk etnik
Jawa yang merupakan penduduk terbanyak dari pribumi (24.9 persen). Ini
menunjukkan saat itu Kota Medan (terutama di tengah kota) didominasi oleh etnik
Tionghoa dan etnik Jawa.
Persentase etnik di Kota Medan, 1930 dan 2010 (diolah sendiri) |
Penduduk Batak sendiri terbagi dua yakni penduduk
yang tetap berafiliasi sebagai etnik Batak dan yang berafiliasi sebagai etnik
Melayu. Mereka yang berafiliasi sebagai etnik Melayu ini adalah penduduk asli
Medan (Karo bawah) yang sudah sejak doeloe menjadi penghuni kawasan Medan. Karo
atas sampai pada tahun 1930 diduga belum tertarik untuk menetap di Medan,
selain factor kedekatan, juga factor surplus pertanian yang masih baik di Karo
atas. Memang sebagian penduduk Karo atas telah merantau, namun mereka masih
berada di Karo bawah tetapi belum termasuk bagian dari wilayah kota Medan.
Etnik Batak selain yang berasal dari afdeeling
Padang Sidempuan (Mandailing dan Angkola) yang datang menyusul kemudian adalah
etnik Batak yang datang dari Silindoeng, Toba dan Simaloengoen. Namun demikian,
meski lebih dekat ke kota Medan (dibandingkan Padang Sidempuan) jumlah mereka
belum terlalu banyak. Sebagaimana etnik Batak yang berasal dari Karo atas,
mereka juga bermukim di luar kota Medan. Oleh karenanya penduduk etnik Batak di
Medan sejauh ini didominasi oleh penduduk yang berasal dari Padang Sidempuan.
Jumlah penduduk Kota Medan, 1961-2010 |
Penduduk kota Medan yang terus bertambah setelah
kemerdekaan tercatat sudah mendekati 500 ribu pada tahun 1960. Jumlah penduduk
kota semakin berlipat ganda ketika kota Medan diperluas hingga ke Belawan. Pada
tahun 1980 penduduk kota Medan sudah lebih dari 1.3 juta orang. Pada sensus
penduduk yang terakhir (2010) jumlah penduduk kota Medan sudah mencapai 2.1
juta orang.
Pada SP
2010 pendataan penduduk menurut etnik dilakukan kembali. Pendataan pertama
serupa ini pernah dilakukan pada sensus penduduk yang pertama setelah
kemerdekaan pada tahun 1961.
Persentase penduduk menurut etnik di Kota Medan pada
tahun 2010 merupakan yang tertinggi yakni sebanyak 34.6 persen. Kemudian
disusul etnik Jawa sebanyak 33.2 persen. Sementara etnik Tionghoa hanya 9.5
persen (sedikit di atas Melayu 7.0 persen dan Minangkabau 7.8 peren). Proporsi
etnik Jawa tahun 2010 dibanding tahun 1930 terkesan relatif tidak berubah.
Migran dari pulau Jawa kemungkinan tidak bertambah lagi, tetapi etnik Jawa
masuk ke Medan sebagai migrant local yang datang dari kantong-kantong
perkebunan di Sumatra Timur dan Tapanuli.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar