Menara
air kota Medan baru setahun (1909) selesai rampung dibangun. Tiba-tiba pada
Februari 1910 reservoir Waterleiding-Mij.
Ajer Beresih di Roemah Soemboel di Sibolangit jebol, akibat batu besar jatuh. Ini
terjadi Februari 1910. Di Medan sempat dikhawatirkan akan terjadi banjir akibat
kecelakaan tersebut. Namun segera dapat ditanggulangi: banjir tidak terjadi dan
aliran air bersih segera dapat tersambung kembali (lihat De Sumatra post,
17-02-1910).
Sungai Belawan, 1878 |
Berita
jebolnya reservoir Ajer Beresih di Sibolangit, warga yang sempat cemas boleh
jadi karena Medan sudah sejak lama rawan banjir. Sudah beberapa kali terjadi
banjir sejak kota Medan didirikan tahun 1875. Meski kerap banjir tetapi banjir
yang ada selama ini masih dapat ditanggulangi dan air menyusut segera.
Ibukota Deli
pindah ke Medan dari Laboehan karena alasan banjir. Pada tahun 1873 terjadi
banjir besar di Laboehan. Detasemen militer yang bermarkas di Laboehan pindah
ke Medan sekaligus untuk melindungi Deli Mij. Pada tahun 1875 dibentuk
kecamatan (onderafdeeling) Medan dan menempatkan seorang controleur di Medan.
Rupanya, pemerintah juga tidak nyaman di Laboehan karena sering banbjir lalu
merencanakan akan pindah ke Medan. Pada tahun 1879, ibukota Deli dipindahkan
dari Laboehan ke Medan. Ini berarti Asisten Residen Deli berkedudukan di Medan
dan di Laboehan hanya ditempatkan seorang controleur (tukar tempat).
Laboehan
tetap menjadi langganan banjir, sementara Medan adakalanya kota mengalami
banjir tetapi tidak sampai mengkhawatirkan seperti di Laboehan. Dengan semakin
tingginya aktivitas di Medan tindakan preventif banjir terus ditingkatkan. Kota
Medan pada tahun 1887 ditingkatkan menjadi ibukota Residentie Sumatra’s
Oostkust (menggantikan ibukota Bengkalis). Upaya-upaya penanggulangan banjir
terus ditingkatkan seperti perencanaan drainase, pembuatan gorong-gorong, dan
sebagainya seiring dengan penataan kota dalam bidang pembangunan jalan dan
jembatan.
Banjir Besar 1910
di Medan
Sistem
drainase kota Medan hingga tahun 1910 terbilang cukup baik untuk mencegah
munculnya banjir. Oleh karenanya, berita banjir di Medan sudah agak lama tidak
terdengar dan nyaris tidak ada surat kabar yang memberitakan. Pembangunan kota
terus berlangsung cepat: pembangunan gedong-gedong pemerintah dan swasta serta
fasilitas umum lainnya. Juga pembangunan pemukiman juga terjadi seiring dengan
terjadinya urbanisasi: para kuli Cina dan kuli Jawa tidak kembali dan menetap
di Medan. Demikian juga urbanisasi semakin kencang dengan semakin banyaknya
para migran dari Tapanoeli khususnya dari Afdeeling Padang Sidempuan yang
memilih Medan sebagai tujuan akhir.
Haagsche
courant, 02-04-1906: ‘Suatu peraturan diadopsi oleh Afdeelingsraad Deli untuk
pembangunan dengan mengalokasi uang tunai dari kas umum untuk bagian tersebut.
Peraturan ini mulai berlaku pada tanggal 1 April. Disebutkan dialokasikan
sebesar f 20.000 untuk meningkatkan jalan antara Medan dan Laboean’.
Het nieuws van
den dag voor Nederlandsch-Indie, 31-12-1907: ‘Dalam Deli Courant, pesan
mengenai lengkungan air di Pang kalan Brandan terjadi banjir. Ini adalah
munculnya air yang tinggi lebih dari satu meter selama hujan lebat. Pangkalan
Brandan dan sekitarnya benar-benar banjir. Kantor pos dan stasiun tidak dapat
dicapai dengan berjalan kaki. Air terus meningkat; salah satu ketakutan
terburuk bagi penduduk kampung lalu melarikan diri dengan barang-barang rumah
tangga dan ternak. Rel antara Medan dan Tandjoengpoera sejak Minggu pagi
tanggal 22 rusak. Tandjong Poera dan Pangkalan Brandan di luar jangkauan.
Banyak jembatan hanyut’.
Ketika
semua warga Medan tidak memikirkan
banjir lagi, namun tiba-tiba pada tahun 1910 terjadi banjir besar. Banjir ini
tidak hanya mengagetkan pemerintah kota tetapi banjir ini telah menyebabkan
pemukiman penduduk banyak yang tergenang, jalan-jalan kota terendam,
bangunan-bangunan beton swasta dan pemerintah juga mengalaminya. Semua warga
kota larut dalam kesedihan, korban manusia, kehilangan barang-barang, kualitas
lingkungan kota drastic menurun. Semua pihak menanggung akibat banjir. Suatu
banjir yang sungguh sangat besar untuk ukuran kota Medan.
Pada tahun 1909
kota Medan dibentuk menjadi kotamadya (gemeente). Kini yang menjadi pemimpin
kota adalah seorang walikota, Baron D Mackay. Saat walikota Medan pertama
inilah banjir besar di Kota Medan terjadi.
Banjir
kota Medan tersebut dilaporkan oleh berbagai surat kabar. Banjir kemudian
muncul lagi di Medan tahun 1913 (lihat De Sumatra post, 20-12-1913). Banjir
kali ini, yang paling parah terjadi di Kampung Kling. Seorang peternak babi
berduka karena semua ternaknya hanyut di bawah banjir. Perkampungan terendam
banjir karena banyak selokan tidak memadai. Kantor Landraad bahkan terkena
banjir delapan hingga 15 cm. Warga Kampung Kling meminta kepada pemerintah kota
untuk memperhatikan perbaikan drainase. Banjir tidak hanya di Medan tetapi juga
di kota-kota lain di Jawa.
De
Preanger-bode, 25-01-1916: ‘Banjir besar di Batavia dan tinggi air lebih dari
satu meter. Sejauh mata memandang rata hanya kelihatan air. Banyak tanggul yang
jebol. Daerah kering yang tersisa hanya di Tanah Tlnggi dan Kampoerg Boengoer.
Semua orang menyelematkan diri kea rah itu, baik Eropa maupun pribumi. Orang
pribumi datang membawa barang-barang mereka di atas kepala berjalan di dalam
air setinggi dada. Rumah Mr Van Hal di Goenoeng Sahari, di halaman bangunan
luar seluruhnya dihuni oleh pengungsi. Itu adalah pemandangan menyedihkan, kita
melihat seorang wanita kemarin melahirkan dalam kesengsaraan…’.
Bajir
telah menjadi momok di mana-mana. Warga kota Medan selalu waspada karena
termasuk kota langganan banjir. Pemerintah kota terus membenahi kota, drainase,
selokan dan sebagainya. Di dewan kota bekerja terus untuk merumuskan berbagai
peraturan terkait atau yang dapat dikaitkan dengan banjir. Banjir juga terjadi
di Noord Holland. Juga di Amsterdam dan kota lainnya. Persoalan banjir adalah
persoalan yang sangat luas.
De Sumatra post,
28-04-1916 (iklan): ‘Sabtu 29 April 1916 di Medan akan diputar di bioskop oleh
kami, Banjir di Belanda Utara pada 13 dan 14 Januari 1916’.
Di
Medan, banjir sudah merasuk di semua jiwa warga kota. Tidak hanya warga dan
pemerintah. Perusahaan Ajer Beresih juga selalu waspada, apalagi dengan
kejadian tahun 1910 yang mana reservoir jebol karena kaecakaan batu jatuh.
Kini, Ajer Beresih mengantisipasi dengan menanam pohon penguat di setiap sisi baik
reservoir maupun saluran yang dipandang rentan terhadap genangan air atau
gerusan air yang terjadi akibat seringnya hujan yang lebat yang menimbulkan
banjir. Air bersih harus selalu aman dan tersedia meski kerap banjir di dalam
linngkungan kota (lihat De Sumatra post, 01-02-1918).
Tunggu
deskripsi lengkapnya
*Dikompilasi
oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan
sumber tempo doeloe.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar