|
Peta Medan 1873 |
Esplanade, alun-alun kota Medan adalah milestone
terbentuknya Kota Medan. Esplanade ini bermula dari suatu ruang terbuka yang
cukup luas yang di empat sisi sebelum dan sesudahnya berdiri berbagai bangunan
kota. Esplanade sendiri dibangun pada tahun 1880, setahun setelah Medan dijadikan sebagai
ibukota afdeeling Deli, tempat dimana Asisten Residen berkedudukan (sebelumnya di Laboehan). Pada tahun 1895 di lapangan Esplanade ini diadakan pertandingan sepakbola antara kesebelasan dari Penang melawan kesebelasan Medan, suatu pertandingkan yang kali pertama dilaporkan di Hindia Belanda (baca: Indonesia). Antara tahun 1900 hingga 1907, Esplanade merupakan homebase klub pertama kota Medan bernama Medan sport Club (oleh pemerintah kota klub pribumi dilarang menggunakannya). Esplanade ini
pada masa kini disebut Lapangan Merdeka, yang namanya muncul ketika diadakan perayaan Hari Kemerdekaan RI yang pertama tahun 1950. Sebagai ketua panitia adalah GB Josua (pemilik Josua Instituut/Perguruan Josua).
Kronologi
Sebelum ada Esplanade, aktvitas hanya ada di sekitar
kantor Deli Mij (seberang Kampoeng Medan Poetri). Aktivitas Deli Mij ini
dimulai tahun 1870 (yang kini menjadi jalan Jalan Tembakau). Adapun bangunan
yang ada adalah kantor, gudang, bangunan fermentasi. Kemudian dibangun sebuah
klinik kesehatan (kelak menjadi RS Tembakau).
|
Garnisun militer Medan, 1876 |
Pada tahun 1873 militer membangun garnisun
di arah hulu (di ujung Jalan Bukit Barisan yang sekarang). Awal munculnya
garnisun ini, dimulai ketika terjadi kerusuhan di sebuah perkebunan di Pertjoet
yang dilakukan oleh para kuli asal Tiongkok yang membunuh para majikannya.
Untuk mengantisipasi dampak yang lebih luas, satu datasemen militer didatangkan
dari Riau yang ditempatkan di dekat Deli Mij (perusahaan Belanda). Saat itu
ibukota Sumatra’s Oostkust masih di Bengkalis. Namun dalam perkembangannya,
kampament detasemen militer ini ditingkatkan menjadi sebuah garnisun militer
(yang seiring dengan meningkatnya eskalasi perang di Bataklanden dan Atjeh.
Pada tahun 1875 kantor/rumah Controleur Medan
dibangun di Sukamulia. Penempatan kantor/rumah Controleur ini agar lebih dekat
dengan penduduk di Kampong Polonia dan Kampong Kesawan. Di sekitar kantor/rumah
controleur ini kemudian dibangun rumah administrator Deli Mij (kelak dihibahkan
menjadi kantor Residen, saat ibukota Residentie Sumatra’s Oostkust dipindahkan
dari Bengkalis).
|
Pembangunan stasion Medan, 1878 |
Antara
tahun 1875 dan 1879 di sekitar kawasan yang kelak disebut Esplanade berdiri
sejumlah bangunan pemerintah dan rumah-rumah pegawai dan komandan-komandan militer Belanda. Di
sebelah kiri garnisun militer, jalan utama kota terdapat tiga bangunan, yakni bangunan Deli Mij,
bangunan Surveyor Rink dan bangunan klub social (De Witte Societeit). Pada
tahun 1878 Deli Mij mulai membangun kereta api yang menghubungkan Laboehan dengan
Medan. Pembangunan rel/stasion kereta api ini dilakukan swasta (Deli Mij yang mendapat konsesi pengoperasian dari Kerajaan Belanda) Dengan kata lain kereta api Medan murni dilakukan swasta, yang berbeda dengan di Jawa yang dilakukan oleh pemerintah.
|
Hotel Vink lama, 1884 (menjadi Medan Hotel, 1887) |
Pada tahun 1880 dibentuk lapangan terbuka (yang
kelak disebut Esplanade). Lapangan terbuka ini berada diantara jalan utama
(garnisun dan De Witte Societeit) dengan rel/stasion kereta api. Antara rel
dengan jalan raya dihubungkan dengan jalan (yang kini disebut Jalan
Kebudayaan). Di dekat stasion dibangun Hotel Deli (cabang dari Hotel Deli di
Laboehan). Hotel ini merupakan hotel pertama di Medan.
Di jalan
penghubung ini yang pertama didirikan adalah Hotel Vink. Hotel ini terlihat
lebih baik dan lebih besar jika dibandingkan dengan Deli Hotel. Hotel Deli
hanya satu lantai sedangkan Hotel Vink dua lantai. Pada tahun 1884 Hotel Vink dilaporkan
terbakar (lihat De locomotief : Samarangsch handels- en advertentie-blad, 12-01-1884).
Sebaliknya, sebagaimana dilaporkan Bataviaasch handelsblad, 09-08-1886 Hotel
Deli mengalami renovasi yang menyebabkan kualitasnya lebih baik jika
dibandingkan dengan Hotel Vink.
|
Hotel Vink yang baru (kelak bernama Hotel Granada) |
Dalam perkembangannya (1886), di dekat stasion
dibangun Hotel Vink yang baru (kelak dikenal sebagai Hotel Granada). Sementara
itu di sebelah timur stasion dibangun jalan sejajar dengan rel yang kemudian
disebut jalan Parallel. Selanjutnya berbagai bangunan tumbuh dan berkembang di
sekitar lapangan alun-alun ini. Selain kantor-kantor perkebunan, juga muncul
toko-toko. Toko yang terkenal adalah toko yang dikelola oleh Huttenbach &
Co yang kelak nama jalan itu disebut Huttenbach straat (kini jalan Kebudayaan). Salah satu peninggalan Huttenbach & Co adalah bangunan Warenhuis yang menjadi pusat perbelanjaan orang-orang Eropa/Belanda kala itu. Bangunan Warenhuis ini masih berdiri kokoh hingga ini hari.
|
Ketika Medan masih kampung, Padang Sidempuan sudah kota |
Sebagaimana
diketahui, orang-orang dari afdeeling Padang Sidempuan (sebelumnya afd.
Mandailing dan Angkola) sudah banyak yang bermigrasi ke Deli, khususnya di Kota
Medan (via laut melalui Sibolga, Kotaradja dan ke Medan). Pada waktu layanan telegraaf tersambung antara Medan dan Padang
Sidempuan melalui Rantau Prapat dan Gunung Tua, kantor Telegraf Padang
Sidempuan dan kantor telegraf Medan sama-sama ditingkatkan statusnya dari
kelas-4 menjadi kantor kelas-3 (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 28-12-1886). Pada
tahun inilah dari sudut fasilitas kota Medan dan kota Padang Sidempuan setara.
Setelah itu kota Medan tumbuh dan berkembang melejit bagaikan deret geometric sementara
Padang Sidempuan hanya bagaikan deret aritmatika. Satu hal yang tak terduga, jalur kabel telegraaf Padang Sidempuan ke Medan dimanfaatkan para migran dari Padang Sidempuan menuju Medan sebagai penunjuk arah ketika mereka melakukan jalan kaki dari Padang Sidempuan, Gunung Tua, Rantau Prapat dan lalu ke Medan (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 15-06-1887). Boleh jadi orang-orang di Sumatra Timur tercengang dan bertanya-tanya 'ngapain' orang-orang Padang Sidempuan berbondong-bondong ke Medan, jalan kaki pula. Hal ini juga terjadi pada awal tahun 1900 (setelah perlawanan Sisingamangaradja berakhir) orang-orang Padang Sidempuan membuat rute baru ke Medan yang boleh jadi penduduk di Silindoeng dan Toba bertanya-tanya 'ngapain' rame-rame ke Medan. Semua itu karena penduduk di sepanjang perjalanan masih awam, tetapi bagi orang-orang Padang Sidempuan sudah paham sejak doeloe bahwa di Medan dan sekitarnya kehidupan ekonomi tumbuh dan berkembang sangat pesat. Semua itu karena orang-orang Padang Sidempuan sudah sangat banyak yang terpelajar. Pada tahun 1870 dari 10 sekolah negeri di Tapanoeli, delapan di Mandailing dan Angkola, tiga sekolah negeri berada di kota Padang Sidempuan. Para lulusan inilah yang banyak merantau ke Deli an Medan bekerja sebagai krani di perkebunan. Pada tahun 1879 di Padang Sidempuan dibangun sekolah guru
|
Medan Hotel (ex Hotel Vink yang lama) |
Hotel Vink yang berada di jalan penghubung yang
pernah terbakar beralih pemilik. Hotel ini kemudian dirombak dan direnovasi
dengan arsitektur yang baru. Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad
voor Nederlandsch-Indie, 26-03-1887 melaporkan bahwa Medan Hotel Maschappij hari
Senin telah melakukan pertemuan pemegang saham dimana direktur terpilih Mr. C.
Riegler dan Matthes dan Wiget menjadi komisaris. Manajemen harian dipercayakan
kepada Mr. Sarkies. Renovasi hotel akan ditandatangani untuk memastikan segera
dimulai. Mr. Sarkies sendiri adalah seorang manajer hotel yang berpengalaman di Penang. Pada tahun 1900 awal,Medan Hotel kerap dijadikan sebagai tempat menginap klub yang berkunjung ke Medan untuk melawan Medan sport Club, klub kebanggaan warga Medan.
|
Javasch Bank dan Raadhuis, 1890 |
Di sisi yang berseberangan dengan Hotel Vink yang
lama (alias Medan Hotel) dibuka jalan baru untuk menyiapkan pembangunan kantor
pos yang baru. Sementara itu tahun 1887 De Witte Societeit dipindahkan ke dekat
Kantor Pos, lalu kemudian bangunan Surveyor Rink dibongkar dan diatasnya
dibangun Javasche Bank. Pada nantinya bangunan Deli Mij dekat Surveyor Rink
digantikan dengan bangunan Raadhuis. Gedung Raadhuis digunakan sebagai tempat sidang parlemen. Parlemen pada awal pembangunan gedung ini bernama Medan Fonds, lalu berubah menjadi nagoriraad dan kemudian menjadi gemeenteraad. Pada tahun 1909 Medan dijadikan sebagai kotamadya (Gemeente). Pada tahun 1918 untuk kali pertama wakil pribumi di parlemen kota (gemeenteraad) bernama Radja Goenoeng (yang dipilih melalui pemilihan umum).
|
Jembatan Babura 1880 (antara garnisun lama dan baru) |
Garnisun
sendiri sudah lebih dahulu mengalami perkembangan yang awalnya aktvitas utama
dekat jalan raya lalu digeser ke Belakang menyerberangi sungai Deli yang lokasi garnisun baru berada diantara sungai Babura dan sungai Deli. Antara bangunan militer yang
lama (jalan raya) dengan bangunan militer yang baru (semenanjung Babura/Deli)
dihubungkan dengan jembatan kayu beratap. Jembatan ini dibuat pada tahun 1883. Pada waktu yang sama di Tapanuli dibangun jembatan Batangtoru, suatu jembatan yang panjangnya 120 meter yang saat itu dianggap sebagai jembatan terpanjang di Hindia Belanda. Jembatan Batangtoru menhubungkan kota Sibolga dan kota Padang Sidempuan..
|
Esplanade, 1890 |
Pada tahun 1890 Esplanade sudah tampak semakin asri,
hijau dan sejuk. Pohon-pohon yang dulu baru ditanam kini sudah besar. Lapangan
pada tahun 1895 digunakan sebagai lapangan untuk pertandingan sepakbola antara
klub dari Penang melawan kesebelasan di Medan. Pertandingan sepakbola ini
adalah pertandingan sepakbola kali pertama dilakukan di seluruh wilayah Hindia
Belanda. Oleh karenanya, lapangan Esplanade adalah situs yang pertama sepakbola
di Indonesia pertama dilangsungkan. Di dalam lapangan ini juga merupakan tempat warga untuk melakukan olahraga sepeda.
|
Peta Medan, 1895 |
Pada tahun 1895 terbit peta kota Medan yang pertama.
Peta ini sudah menggambarkan suatu planologi kota yang berisi peta jalan, rel
kereta api, lokasi infrastruktur dan bagian-bagian kota yang lain baik yang tengah dikerjakan maupun yang
diproyeksikan. Peta 1895. Di dalam peta tersebut, nama lapangan yang kelak
disebut Esplanade, saat itu baru disebut sebagai Lapangan Stsion (Stations Plein). Empat
jalan yang mengapit Stations Plein adalah Cremer straat, Station weg, Hotel weg
dan Societeits weg. Nama-nama jalan lainnya adalah Demmeni weg,
Huttenbach weg, Deli straat, Laboehan weg, Parallel weg, Lang straat, Kerk
straat, Soekamoelia straat dan Heeren straat. Nama-nama jalan tersebut yang sudah ada di dalam peta. Nama-nama jalan tersebut diambil dari nama orang dan situs yang selama dua puluh tahun terakhr banyak memberi kontribusi dalam pengembangan kota Medan.
|
Stasion dan Esplanade di Medan, 1890 |
Nama jalan Cremer straat diambil dari Direktur Deli
Mij yang mengawali pembukaan kebun Deli Mij di Medan. Sedangkan tiga nama jalan
yang lain diambil dari situs utama yang ada sepanjang jalan terbut yakni
stasion kereta api, Medan Hotel dan gedung klub social De Witte Societeit. Nama
Demmeni weg diambil dari nama mayor jenderal, komandan Medan yang juga pernah
sebagai ketua De Witte Societeit. Huttenbach weg diambil nama jaringan
pertokoan Huttenbacn & Co di sepanjang jalan tersebut. Laboehan weg jalan ke
arah Laboehan, Parallel weg adalah jalan yang mengindikasikan jalan yang
sejajar dengan rel kereta api, Kerk weg karena di jalan tersebut terdapat
gereja. Soekamoelia straat merupakan nama area tempat dimana bangunan-bangunan
pemerintah berada. Lang straat diambil dari nama seorang controleur onderfadeeling Medan yang berhasil membuat Medan dan sekitarnya aman ketika banyak terjadi kerusuhan para kuli di perkebunan. Satu lagi nama jalan Heeren straat, Nama ini tidak diketahui diambil dari nama apa apakah nama seorang tokoh atau hanya sekadar arti dari Tuan (heer/en).
Kota Medan yang dimulai tahun 1875 dan dalam tempo
singkat (20 tahun) di tahun 1895 telah menunjukkan ciri-ciri kota modern.
Sebagaimana di tempat lain, ciri-ciri sebuah kota selalu dibuat alun-alun kota
seperti di Jawa. Di kalangan orang-orang Eropa juga dikenal alun-alun kota yang
disebut Esplanade. Hal serupa ini juga ditemukan di Singapoera, kota yang
terbilang cukup dekat dengan Kota Medan.
Nama Esplanade
untuk menamai lapangan tersebut baru muncul pada tahun 1900. Nama ini terus
dipakai selama era kolonialisme Belanda di Medan. Pada masa pendudukan Jepang
namanya diganti dengan naa Fukuraido. Pada pasca pengakuan kedaulatan RI oleh
Belanda, lapangan yang dulunya bernama Espalanade diganti menjadi Lapangan
Merdeka. Nama ini
terus dipakai hingga ini hari.
|
Perayaan pertama HUT RI di Lapangan Merdeka, 1950 |
Nama Lapangan
Merdeka muncul pertama kali pada tahun 19450 setelah pengakuan kedaulatan RI
oleh Belanda. Het nieuwsblad voor Sumatra, 23-11-1949: ‘GB Josua beserta empat
lainnya, menjadi pimpinan komite penyerahan kedaulatan dari Negara Sumatera
Timur (NST) ke Republik Indonesia. Untuk merayakan ulang tahun hari proklamasi
kelima telah dibentuk panitia yang mana ketua komite adalah GB Josua
sebagaimana dilaporkan Het nieuwsblad voor Sumatra, 03-08-1950: ‘Di Medan telah
dibentuk untuk perayaan 17 Agustus 1945. Komite ini diketuai oleh GB Josua’.
Selanjutnya Het nieuwsblad voor Sumatra, 16-08-1950 memberitahukan kronoligis
acara perayaan hari 17 Agustus sebagai berikut: ‘Pagi pada pukul setengah enam,
warga Medan dikumpulkan di Lapangan Merdeka nama yang sebelumnya disebut Esplanade…’. Pada peringatan Hari Kemerdekaan RI ini pidato Soekarno diperdengarkan secara langsung dari Istana Merdeka di Jakarta. Selama persiapan perayaan kemerdekaan RI di Medan belum ada pemerintah baik di Medan maupun Suatra Utara. GB Josua sendiri selama perang (agresi militer Belanda) bertindak sebagai Ketua Front Nasional Medan. Setelah perayaan kemerdekaan RI yang pertama ini baru ditunjuk Pjs Gubernur Sumatra Utara, Sarimin R yang ditugaskan dari Kemneterian Dalam Negeri. Tugas utama Sarimin adalah menyiapkan dewan dan mengangkat bupati/walikota di seluruh Sumatra Utara. Satimin R. dibantu oleh Residen Tapanoeli Binanga Siregar dan Residen Sumatra Timur, Muda Siregar. Setelah tugasnya berakhir barulah diangkat Gubernur Sumatra Utara yang pertama secara definitif yakni Abdul Hakim Harahap (mantan Residen Tapanoeli). Abdul Hakim Harahap menjabat gubernur Sumatra Utara sejak 25 Januari 1951. Pada peringatan Hari Kemerdekaan RI 17 Agustus 1952 yang menjadi pemimpin upacara di Lapangan Merdeka bukan lagi Sukarno (via radio) tetapi oleh Gubernur Sumatra Utara, Abdul Hakim Harahap. Yang menjadi panitia tetap GB Josua (Haji Gading Batubara).
*Dikompilasi
oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar