Grup musik instrumen alat tiup di Sipirok, 1890 |
Sejarah
musik Batak, sejarah yang belum pernah ditulis. Musik Batak modern haruslah
dibedakan dengan musik tradisi Batak. Akar musik modern Batak adalah musik
tradisi Batak. Oleh karena itu, memahami sejarah musik modern Batak haruslah
memulai memahaminya dari musik tradisi Batak. Namun apa itu musik tradisi Batak
terdapat kesalahan pemahaman. Kesalahan mendasar adalah melihat musik tradisi
Batak dari sudut pandang masa kini. Akibatnya, musik modern Batak dianggap
sebagai musik tradisi Batak. Untuk memahami secara tepat musik tradisi Batak haruslah
dilihat dari sudut pandang masa lampau. Dengan cara begitu dimungkinkan untuk menjelaskan
bagaimana proses evolusi musik tradisi Batak bertransformasi menjadi musik
modern Batak. Proses kontiniu inilah sejarah musik Batak.
Untuk memahami sejarah musik
Batak sejumlah pertanyaan akan membawa kita ke masa lampau. Kapan musik tradisi
itu ada? Apa yang menyebabkan musik tradisi Batak terbentuk? Siapa yang
memainkan atau menggunakan musik tradisi tersebut? Bagaimana asal-usul (instrumen)
musik tradisi Batak itu? Dimana musik tradisi Batak itu bermula? Sejak kapan musik
tradisi Batak mulai dicatat? Kapan musik tradisi Batak itu dikenal secara luas?
Mengapa musik tradisi Batak bertransformasi menjadi musik modern Batak. Semua
pertanyaan itu memerlukan jawaban dan penjelasan. Mari kita lacak!
Keutamaan
musik tradisi Batak, karena memiliki sejarah yang panjang. Musik tradisi Batak mengikuti
religi Batak kuno, suatu religi yang terkonstruksi karena adanya pengaruh Budha
dan Hindu (yang dimulai di sekitar percandian Budha/Hindu di Angkola, Mandailing dan Padang Lawas). Gondang dan ogung adalah musik dalam berkomunikasi dengan sang Pencipta.
Alat gondang yang dikreasi sendiri dikombinasikan dengan ogung (gong) yang diimpor kemudian dari Tiongkok. Cikal bakal musik tradisi Batak yang berakar pada pengaruh
India dan Tiongkok ini berkembang sedemikian rupa dengan masuknya elemen alat musik
lainnya dari luar.
Musik tradisi Batak bermula di
Mandailing dan Angkola. Suatu situs kuno dimana terdapat pengaruh India dan
Tiongkok. Musik tradisi Batak kali pertama dicatat di Mandailing dan Angkola. Dalam
perkembangannya, musik tradisi Batak di Mandailing dan Angkola mengalami hambatan
dengan masuknya pengaruh Islam, namun indiferensi pemerintah kolonial Belanda
musik tradisi Batak terus eksis. Orang Belanda terheran-heran, ketika mereka
datang tidak menyangka di Mandailing dan Angkola menemukan ensambel-ensambel
musik (gondang dan ogung yang dikombinasikan dengan instrumen lain) yang mirip
orchest atau band di Eropa--sesuatu yang tidak ditemukan di tempat lain di nusantara
(lihat TJ Willer, 1845).. Sementara di tempat lain, di Silindoeng dan Toba para
misionaris melarang musik tradisi Batak, tetapi pengikut Sisingamangaradja
tetap melestarikannya. Oleh karenanya, musik tradisi Batak dalam kenyataannya
tetap eksis di Tanah Batak. Para perantau Batak kemudian membawa musik tradisi Batak
ke Batavia (kini Jakarta). Di perantauan, oleh orang-orang Sipirok musik tradisi Batak mengalami transformasi
menjadi musik modern Batak. Pada tahun 1937, Karl Halusa, doktor (PhD) dalam
bidang musik dari Universitas Wina mengunjungi Tanah Batak unruk mempelajari
musik tradisi Batak. Dr. Halusa menemukan sedikitnya ada 40 jenis instrumen
musik Batak, baik yang dimainkan laki-laki maupun perempuan (lihat Het nieuws
van den dag voor Nederlandsch-Indie, 23-03-1938). Meski musik modern Batak
semakin berkembang di perantauan (Batavia), musik tradisi Batak juga tetap dilestarikan. Grup musik modern Batak pertama di Batavia adalah Sinondang, suatu grup musik orang-orang Sipirok, dimana kemudian Gordon Tobing ikut bergabung.
Bagainmana
proses evolusi musik tradisi Batak dan bagaimana musik tradisi Batak
bertransformasi menjadi musik modern Batak adalah bagian tidak terpisahkan dari
sejarah panjang musik Batak. Bagaiman proses-proses itu berlangsung akan dideskripsikan
dalam artikel ini. Mari kita telusuri sumber-sumber pada masa lampau.
Sumber utama yang digunakan lebih
pada ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman. Sumber buku hanya digunakan
sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil
kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam setiap penulisan artikel
tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang
lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah
disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih
menekankan saja.
Catatan
terawal adanya musik tradisi Batak dilaporkan oleh TJ Willer, Asisten Residen
pertama Mandheling en Ankola (1840-1845). TJ Willer dalam bukunya yang terbit
tahun 1846 (kata Pengantar TJ Willer, Panjaboengan, Agustus 1845) menceritakan
pertama kali melihat musik tradisi Batak dihadirkan ketika ada satu keluarga
mengalami musibah yang mana sesepuh mereka meninggal dunia (tidak disebutnya
dimana apakah di Mandheling, Angkola atau Pertibie). Kehadiran musik ini disebutnya
untuk mengusir begu. Selanjutnya TJ Willer mendeskripsikan musik tradisi
tersebut sebagai berikut:
Inskripsi candi Sitopayan di Padang Lawas: Tortor sudah dikenal? |
Orang
asing pertama yang sesungguhnya melihat pertunjukan dan mendengar sendiri musik
tradisi Batak dipentaskan dan telah mencatatnya adalah Ida Pheiffer. Kesempatan
ini tidak terduga, ketika dalam suatu perjalanan ekspedisi dari Padang ke
Sibolga tahun 1852, Ida Pheiffer di Padang Sidempuan (tempat terakhir adanya orang
Eropa) berubah pikiran dan ingin melihat danau Toba setelah menyimak
orang-orang di sekitarnya memberitahu ada danau besar di pegunungan. Hammers yang
kala itu menjabat sebagai Controleur Angkola, sempat mencegah karena perjalanan
ke danau Toba sangat berbahaya dan kerap terjadi perang antar huta (Hammers
sendiri belum pernah ke danau Toba). Namun nona Ida Pheiffer asal Austria yang
masih lajang ini bersikeras ingin membuktikan adanya danau besar itu.
Pada
tanggal 5 September 1852 Ida Pheiffer yang dipandu oleh Dja Pangkat asal
Saroematinggi (mantan pemandu terbaik Jung Huhn) berangkat melalui Pargarutan
menuju Sipirok. Di sekitar Sipirok, Ida Pheiffer dicegat satu pasukan
bersenjata dan lalu membawa Ida Pheiffer kepada Radja. Setelah dilakukan
interogasi oleh sang Radja (kebetulan Ida membawa surat dari Hammers untuk
ditujukan kepada Radja), Ida Pheiffer dianggap orang baik, lalu radja langsung memerintahkan
untuk menyembelih seekor kerbau dan dilakukan pesta penyambutan. Malamnya, Ida
Pheiffer dihibur dengan musik tradisi yang diselingi dengan pertunjukan tari
(tortor) dan (permainan) pantomin. Kisah Ida Pheiffer yang ditulisnya sendiri pada
tanggal 12 Oktober 1852 dimuat pada koran Algemeen Handelsblad, 09-05-1853 di
Bataviatelah menambah informasi bahwa musik tradisi Batak terdapat di banyak
tempat. Meski Ida Pheiffer tidak mendeskripsikan bagaimana musik tradisi itu
dimainkan, deskripsi dari TJ Willer telah dengan sendirinya menjelaskan bagaimana
musik tradisi itu dipertujukkan di hadapan Ida Pheiffer.
Deskripsi
tentang musik tradisi Batak (instrumen) juga dilaporkan oleh controleur
Angkola, Mr. Hennij tahun 1866. Di dalam tulisannya yang dimuat di surat kabar Sumatra-courant:
nieuws- en advertentieblad, 14-03-1868, Mr. Hennij cukup jelas mendeskripsikan
instrumen tradisi Batak, dia sendiri tampaknya pernah menyaksikannya dan
deskripsinya bisa dibandingkan dengan sekarang. Deskripsi instrument musik
tradisi Batak menurut Mr Hennij adalah sebagai berikut:
Musik disajikan dengan
instrumen dalam bentuk orchest dimana penduduk duduk di tikar. Orkest ini terdiri
dari instrumen berikut: taroeni, yang dalam bentuk dan nada yang sesuai banyak
dengan hobo; tala ganing, lima drum atau silinder berongga, dari berbagai
ukuran, yang terbuat dari kayu dengan membentang kulit kerbau, tetapi sebaiknya
dari kulit rusa membentang. Kelima instrumen didirikan di sepanjang kayu, sebuah
gendang besar, dua yang lebih kecil kaki panjang gordang dan odap. Selain itu, hasar-hasar,
gong yang terletak horizontal di tanah digantung dengan rotan; yang disebut ogoeng
oloan, toko drum dan gong dengan
tongkat, tapi yang logam, dipukuli oleh idjoek yang dibungkus menghasilkan
berongga suara yang bergetar cukup panjang dan setiap 8 atau 10 detik terdengar;
instrumen ini ditangguhkan oleh tali tipis, untuk getarannya sebanyak mungkin
agak harus melakukannya tanpa lagi sendiri; yang gunanya ‘panongahi’, sedikit lebih kecil dari sebelumnya
dengan banachtig sebuah; terdengar; yang doal dan yang pangora banyak ukuran, yang
dikenakan di leher pemain mereka dan yang terdengar delusional bawah ini
terjadi pada pelaksanaan oleh penumpangan tangan rusak. Juga. instrumen lain di
Batak digunakan, yang bagaimanapun, tidak pernah dimasukkan dalam orchest sering
digunakan bahkan untuk mengungkapkan perasaan kekasih, seperti: tordam, suling panjang
bambu; toeliela suling bambu, ditiup seperti klarinet dan menghasilkan suara.
Namun hasapie untuk serenades cocok, menjadi gitar dengan dua senar, memberikan
lembut, suara manis dengan dipetik. Ada juga gong kecil manmongan (tjenangs),
yang digunakan dalam perang atau untuk mengumpulkan orang-orang. Perempuan
memainkan instrumen ini pernah; hanya diizinkan dirinya sendiri dengan saga
saga (kecapi Yahudi) instrumen sesuai
gingong baja Melayu. Tapi kami belok berlangsung kembali kepada kami
orchest yang reods, dan bergerak dalam kinerja sebuah overture. Melodi yang
monoton ditunjukkan dengan saroene, sedangkan instrumen lain ikut menyertai.
Jika pembukaan selalu memainkan somla melodi tomba pada kecepatan yang moderat.
Setiap roh memiliki melodi tetap, yang ia disebut. Pada kesempatan ini kami
selalu mendengar Gondang Batara, Gondang Soripada dan Gondang Jcngala Boelan.
Selain itu, ada beberapa kasus melodi untuk ‘api’ bagi prajurit dalam perang.
Musik tradisi
Batak digunakan untuk berbagai tujuan
Orang-orang
asing (Eropa / Belanda) jarang mendapat kesempatan untuk melihat pertunjukkan musik
tradisi Batak. Apakah karena pentas music tradisi jarang dilakukan (karena
dilangsungkan untuk upacara khusus?) atau memang orang-orang Eropa / Belanda
tidak terlalu memperhatikannya (karena musik tradisi Batak bukan untuk hiburan publik?).
Namun diantara orang asing (Eropa/Belanda) masih terdapat beberapa yang cukup
jeli untuk memperhatikannya. Meski hanya beberapa orang asing, tetapi
kenyataannya mereka telah dengan sendiri telah mengabadikan dan memberi bukti
otentik adanya musik tradisi di Tanah Batak sejak doeloe.
Alat musik tradisi Batak yang dicatat TJ Willer (1845) dan WA Hennij (1858) |
Namun
demikian, musik tradisi Batak juga dikompilasi menjadi satu ansembel music
(band atau orchest) untuk tujuan hiburan pada waktu tertentu seperti mensukuri
hasil panen dan kegiatan-kegiatan lainnya, seperti penyambutan tamu khusus
(orang asing) yang pernah dialami oleh Ida Pheiffer. Instrument-instrument musik
tradisi itu sendiri boleh jadi awalnya digunakan untuk berbagai tujuan
spesifik, seperti ogung untuk memanggil atau mengumpulkan masyarakat atau gong
kecil (tjenang) untuk menyemangati dalam perang (pada tahun 1970an ogung masih
digunakan sebagai penanda waktu untuk sholat zhuhur dan asyar di mesjid raya
lama Padang Sidempuan).
Kisah bagaimana
beberapa instrument digunakan dilaporkan oleh Charles Miller tahun 1772 saat berkunjung
ke Angkola. Orang Eropa pertama yang memasuki Tanah Batak ini di Hutarimbaru
Miller saat memasuki perkampungan dia diarak oleh pasukan bersenjata menuju
rumah (istana) Radja dengan tembakan ke udara dan dentuman ogung yang dipukul
(untuk menunjukkan adanya suatu peristiwa penting). Ini mengindikasikan bahwa
ogung (bagian instrument music tradisi) juga digunakan untuk situasi yang
genting atau penting sebagai peringatan bagi semua penduduk (Catatan Charles
Miller ini dikutip oleh William Marsden dalam bukunya The History of Sumatra,
1811).
Introduksi musik
barat di Tanah Batak
Pada
saat musik tradisi masih dipertunjukkan secara luas di Tanah Batak, musik yang
berasal dari Eropa mulai diperkenalkan. Pada tahun 1890 di Sipirok terdapat
satu grup musik yang instrumennya terdiri dari alat-alat musik tiup, seperti terompet,
trombone horn, tuba horn, mellopone, dan sebagainya. Berbagai alat musik tiup
ini dimainkan oleh anak-anak Sipirok. Tidak diketahui secara pasti siapa yang
menjadi sponsor pembentukan grup musik ini. Tetapi diduga ada kaitannya dengan tujuan
misi untuk mengeliminasi keberadaan musik tradisi Batak yang dari sudut pandang
gereja, musik tradisi Batak dianggap berasosiasi dengan pemujaaan dalam kepercayaan
lama.
Di
Padang Sidempuan, sudah sejak lama pula terdapat grup musik yang kerap manggung
di sebuah café milik orang Eropa. Café tersebut bernama cafe Biljart milik Marczak. Kehadiran grup musik ini lebih ditujukan untuk orang-orang
Eropa dan orang-orang terpandang di dalam kota. Sejak
ibukota afdeeling Mandheling en Ankola pindah ke Padang Sidempuan tahun 1870,
kota ini berkembang pesat dan semakin hidup. Orang-orang Eropa yang bertugas di
Sibolga, Sipirok, Mandailing dan Angkola pada waktu senggang datang berkunjung
ke Padang Sidempuan utamanya untuk mendapatkan hiburan. Kota Padang Sidempuan
menjadi satu-satunya kota buat orang-orang Eropa di Tapanoeli. Apalagi di kota
ini sudah ada pesanggrahan, post en telegraf, kweekschool (sekolah guru pribumi)
dan sekolah Eropa (sekolah untuk anak-anak orang Eropa).
Ketika Medan, masih kampung; Padang Sidempuan, sudah kota |
Meski demikian adanya, musik tradisi Batak masih digemari oleh penduduk. Dengan kata lain musik tradisi Batak hidup berdampingan dengan musik pop barat. Sementara itu, cafe Biljart di Padang Sidempuan menjadi semacam pusat interaksi anak-anak Batak memahami dan belajar musik pop barat. Pengaruh musik barat ke dalam musik tradisi Batak boleh jadi dimulai dari kota Padang Sidempuan. Keberadaan café Biljart dan grup musiknya menjadi terkenal ketika Dja Endar Moeda setelah sukses di rantau, teringat kampung halaman di Padang Sidempuan.
Tortor muda-mudi Padang Sidempuan di Medan, 5 Juni 1970 |
Kota
Padang Sidempuan dan kota Sipirok di pedalaman Tanah Batak merupakan dua kota
yang tercatat paling awal menerima musik barat sebagai bagian dari kehidupan
sosial. Meski demikian musik tradisi Batak masih terus dilestarikan pada
upacara-upacara khusus baik di Padang Sidempuan maupun di Sipirok. Satu kota
lagi di pedalaman Tanah Batak yang memiliki ruang untuk musik barat adalah kota
Batang Toru (pusat industri perkebunan di Tapanoeli). Disebut demikian, karena
pada tahun 1919 sebuah grup musik mancanegara tengah berkeliling Nederlandsch
Indie, termasuk tiga kota di Tapanoeli yang mendapat kesempatan dikunjungi,
yakni: Padang Sidempuan, Batang Toru dan Sibolga.
De Sumatra post,
13-11-1919: ‘Sykora-Podolsky melakukan tur Nederlandsch Indie (Nusantara). Konser
yang mereka lakukan selalu mendapat sambutan. Keutamaan grup musik ini adalah
kemampuan bermain indah dalam violin-cello dan vocal penyanyinya. Setiap usai
lagi dinyajikan tepuk tangan yang meriah dari semua penonton yang hadir. A
virtuoso piano dari grup ini juga sangat mengesankan. Para penonton menganggap
pianis yang sangat berbakat dan dengan teknik mengagumkan Madame Sykora dan
juga kerap menerima saweran dan kalungan bunga di atas panggung. Dalam kunjungan
ke Fort de Kock dan Sawahloento, grup ini menerima banyak pujian di dua tempat konser
lokal tersebut, karena grup ini memiliki akustik yang sangat baik. Setelah
konser pertama dalam tur lintas Sumatra tersebut akan dilanjutkan ke Padang
Sidempoean, Batang Toroe dan Sibolga. Diharapkan di kota-kota itu grup ini akan
mendapat sambutan karena terkenal dengan apresiasi musiknya. Grup musik bagus
dan penonton yang antusias akan dipertemukan’.
Untuk
sekadar diketahui, kota Batang Toru tidak hanya terkenal dengan pusat industri perkebunan
di Tapanoeli, tetapi juga suatu tempat yang menjembatani dua kota besar kala
itu yakni Padang Sidempuan dan Sibolga. Jembatan terkenal di Batang Toru
disebut Jembatan Batang Toru yang dibangun tahun 1879 (selesai 1883) yang
dikerjakan oleh Ir. Esseis. Jembatan Batang Toru kala itu adalah jembatan
terpanjang di Nederlansche Indie dan merupakan karya besar pemerintah dan
mendapat pujian dari Gubernur Jenderal di Batavia dan mendapat apresiasi di
Nederland. Anak-anak Batang Toru juga banyak yang berhasil.
Beberapa anak
Batang Toru yang terkenal, anatara lain adalah: (1) Lim Soen Hin, radja
persuratkabaran, kelahiran Batangtoru dan bersekolah di Padang Sidempuan. Memulai
karir tahun 1895 sebagai editor surat kabar di Padang. Dengan saudaranya dan
teman-temannya sesama Tionghoa asal Padang Sidempuan (antara lain Liem Boan
San) kemudian mendirikan perusahaan penerbitan surat kabar di Sibolga dengan
nama Tiong Hoa Ho Kiok Co. Ltd. Mereka
semua adalah alumni Padang Sidempuan. Uniknya, Lim Soen Hin tidak hanya fasih
berbahasa Melayu dan Belanda tetapi juga bahasa Batak. Karenanya, Lim Soen Hin
juga menjadi asisten editor surat kabar Binsar Sinondang di Sibolga (1920an),
(2) Alinoedin Siregar gelar Radja Enda Boemi, kelahiran Batang Toru, HIS di
Padang Sidempuan, Mulo di Padang dan Rechtschool di Batavia. Setelah bekerja di
Medan beberapa tahun mendapat beasiswa untuk melanjutkan tingkat doctoral di
Leiden. Radja Enda Boemi mendapat gelar doctor (PhD) tahun 1925. Radja Enda
Boemi adalah orang Indonesia keempat bergelar doctor. Radja Enda Boemi juga adalah ahli
hukum pertama orang Batak, kedua di Sumatra dan satu diantara delapan orang
Indonesia, dan (3) Parlindoengan Loebis kelahiran Batang Toru, HIS di Padang
Sidempuan, MULO di Medan, AMS Weltevreden, Batavia. Pada tahun 1931 sebagaimana
diberitakan Bataviaasch nieuwsblad (edisi 18-12-1931) Parlindoengan Loebis
lulus ujian kandidat bagian I sebagai asisten medis. Namun karena dianggap
memenuhi syarat, Parlindoengan Loebis direkomendasikan menjalani pendidikan
yang lebih tinggi di bidang kedokteran di Negeri Belanda. Di Belanda,
Parlindoengan Loebis diterima di Fakultas Kedokteran, Universitas Leiden. 1932.
Selama kuliah, waktunya banyak tersita untuk kegiatan organisasi kemahasiswaan
(pernah menjadi Ketua Perhimpunan Indonesia, 1938). Setelah lulus menjadi
dokter dan bekerja di Amsterdam. Saat terjadi invasi Jerman, Parlindoengan
Loebis ditangkap Nazi dan dimasukkan ke kamp. Parlindoengan Loebis akhirnya,
bisa pulang ke tanah air 1947 (menumpang kapal Weltevrede). Parlindoengan
Loebis selama ibukota RI di Yogyakarta diangkat menjadi kepala (dinas)
kesehatan.
Kisah Parada
Harahap dan Nahum Situmorang
Sejak
1890an sudah banyak anak-anak Padang Sidempoean yang berkarir di Medan dan
Pematang Siantar, baik di bidang pendidikan, kesehatan, ambtenaar, pers dan
pengusaha maupun sebagai pegawai di pemerintahan maupun di perkebunan. Pejabat pertama yang dipindahkan dari Padang Sidempuan ke Medan adalah Soetan Goenoeng Toea, seorang murid pertama Nomensen di Sipirok, mantan penulis di kantor Asisten Residen di Padang Sidempuan, adjunct djksa di Sipirok lalu tahun 1893 dipindahkan ke Medan menjadi djaksa (Sjarif Anwar gelar Soetan Goenoeng Toea adalah ompung dari Amir Sjarifoedin: ompung dan pahompoe ini sama-sama jago dalam musik). Satu lagi perantau Padang Sidempuan yang terbilang fenomenal di Medan adalah Parada Harahap. Oleh karena koran
Benih Mardika dibreidel posisinya sebagai editor menganggur, lalu Parada Harahap
pulang kampong dan mendirikan surat kabar Sinar Merdeka di Padang Sidempuan
(1919). Setelah sukses di kota kelahirannya, Parada Harahap hijrah ke Batavia
dan awalnya mendirikan surat kabar Bintang Hindia (1923) lalu kemudian
mendirikan kantor berita Alpena yang mana salah satu editornya WR Supratman.
Manortor, sambut Gub.Jenderal de Graef di P. Sidempuan, 1928 |
Nahoem
Sitoemorang tentu saja kecewa (lalu menulis dan menggubah lagu Batak yang
sangat harmoni..cek sendiri judul lagunya). Mungkin dialog kedua pemuda yang
kampungnya bertetangga ini di afdeeling Padang Sidempuan kira-kira begini:
Nahum: ‘Bang, kenapa lagu saya tidak jadi pemenang, cam mana ini ?’. Parada:
‘Ah, aku kan sendiri, tidak bisa menentukan sendiri. Tapi, kau malah lebih
bebas menciptakan seberapa banyak jumlah lagu yang kau suka!’. Nahum: ‘Jadima,
Bang. Horas be!’.
Piringan lagu 'Indonesia Raya' oleh WR Supratman |
Kilas balik evolusi perkembangan musik Batak,
suatu analisis retrospektif
Tanah
Batak di Angkola, Mandailing dan Padang Lawas meski berada di pedalaman tetapi
secara historis telah terhubung dengan dunia luar dan penduduknya telah
berinteraksi dengan orang asing. Interaksi terawal adalah ditemukannya per(candi)an
Simangambat pada abad ke-8 di Angkola/Mandailing dan per(candi)an Padang Lawas
pada abad ke-11. Motivasi kedatangan para pedagang dari Panai (di Ceilon) dan
pedagang dari Ankola (di India selatan) ke pedalaman Tanah Batak di Angkola,
Mandailing dan Padang Lawas adalah untuk mendekatkan diri dengan TKP dalam
pembelian produk alami khas (spesifik) Tanah Batak seperti emas, kamper dan
kemenyan serta kulit manis. Inilah dasar timbulnya koloni Budha/Hindu dan sisa
peninggalannya masih bisa disaksikan hingga ini hari. Ini dengan sendirinya
menjelaskan keberadaan penduduk Batak (jauh) sebelum datangnya orang-orang
asing. Penduduk Angkola, Mandailing dan Padang Lawas sejak doeloe mentransfer
komoditi ekspornya ke pelabuhan kuno di Barus.
Para
pendatang ini (Ceilon dan India) seperti ditunjukkan bukti arkeologis candi
adalah golongan (kasta) menengah (pedagang, petani dan militer) yang mengindikasikan
tingkat peradaban yang lebih tinggi (memiliki investasi besar dalam ekspedisi
lintas laut dan ditopang dengan tingkat kepandaian yang lebih maju) yang boleh
jadi sulit berbaur dengan penduduk lokal (yang boleh jadi masih bersahaja). Akibatnya,
di daerah pedalaman Tanah Batak terdapat dua komunitas yang (mungkin terpisah) saling
berinteraksi (saling menguntungkan) tetapi tidak berasilimilasi (tidak terjadi
akulturasi). Dalam relasi seperti ini besar kemungkinan yang muncul adalah
bahwa satu pihak memiliki kecenderungan mengeksploitasi dan satu pihak yang
lain memiliki kecenderungan untuk melakukan proses belajar (meniru dan learning
by doing).
Dalam proses
belajar bagi penduduk lokal yang disebut kemudian penduduk Tanah Batak besar
kemungkinan terbentuknya sistem kebudayaan sendiri yang lebih canggih (perbaikan
system budaya/habit lama) seperti aksara (aksara Batak), sistem sosial (dalihan
na tolu berbasis marga di dalam aristocrat), sistem religi (sipelebegu), sistem
budidaya (irigasi, penangkaran, meramu) dan sebagainya, yang juga meliputi sistem
manufaktur (pengolahan, tenun, persenjataan), arsitektur, astronomi, pengobatan, dan tentu saja seni
budaya seperti tarian (tortor), musik (instrumen dan nyanyian). Proses ini butuh
waktu lama (evolutif) setahap demi setahap, puluhan atau ratusan tahun. Semua
tahapan berproses, kearifan lokal, pengaruh asing (Budha, Hindu, Islam) dan
inovasi baru (gabungan kreativitas lokal dan imitasi dari luar). Dalam jangka
panjang, pengaruh asing memasuki sendi-sendi kebudayaan lama penduduk Batak
(Batak kuno). Proses ini juga terjadi dalam kebudayaan Jawa kuno dan Bali. Yang
membedakan kebudayaan Jawa (mewakili Jawa) dan Batak mewakili Sumatra (dari
sumber yang sama: asing, Budha/Hindu) adalah proses belajar (tingkat adopsi dan
proses difusi) dengan latar belakang lingkungan alam yang memang sangat berbeda
(kontras) dan akibatnya produk kreasi penduduk lokal terdiferensiasi seperti
aksara dan musik meski belajar dari sumber yang sama (masing-masing masih bisa
ditelusuri ke origin Budha/Hindu).
Proses
belajar penduduk Batak karena faktor-faktor yang berbeda melahirkan produk seni
budaya yang berbeda misalnya antara seni Batak dengan seni Jawa/Bali. Demikian
juga produk aksara, sebagaimana hasil analisis Uli Kozok, antara aksara Batak
dan aksara Jawa terdapat garis continuum (berbeda jauh tetapi dapat ditelusuri
ke origin yang sama, aksara Pallawa). Sumber origin adalah pengaruh asing yakni
koloni Budha/Hindu di Jawa dan koloni Budha/Hindu di Angkola dan Padang Lawas.
Kebetulan kedua kebudayaan ini (Batak dan Jawa) sama-sama hidup di pedalaman
dan sama-sama memiliki kecenderungan belajar yang kuat dan intens (karena hidup
tenang di lahan yang subur). Hanya saja proses adopsi di Tanah Batak terkesan
lebih selektif yang ini menunjukkan elemen kebudayaan (lama) Batak agak kaku
untuk dipertukarkan (substitusi) dengan elemen budaya asing seperti halnya
dalam proses kreasi terbentuknya musik. Kebudayaan Jawa cenderung Budha/Hindu,
sedangkan kebudayaan Batak hanya sekadar berbau Budha/Hindu.
Dua
elemen budaya yang penting, di luar bahasa adalah aksara dan musik. Sebagaimana
bahasa, alat berkomunikasi, aksara dan music juga adalah alat komunikasi yang
penting bagi penduduk Batak kuno. Dalam hal ini, musik tradisi Batak adalah
gabungan (kompilasi) antara instrument lokal dan instrument asing (bukan
ekspor). Instrumen-instrumen ini dibedakan dari bahan dasarnya: instrument lokal
dari bahan lokal seperti kayu dan bamboo (seperti gordang, taganing, odap, nung
neng, tulila, sordam, suling dan uyub-uyub); instrument asing dari bahan logam
dan gelas (ogung, doal dan botol atau kaleng). Diantara dua jenis instrument ini
terdapat hasil kreasi, paduan bahan lokal dan bahan dari luar (seperti asapi,
gitar dua senar khas Batak).
Gordang sambilan, alat komunikasi dengan Mulajadi Na Bolon |
Diluar
sistem religi satu per satu muncul kreasi penduduk dalam menghasilkan bunyi yang
digunakan pada saat sedih atau senang. Alat bunyi-bunyian ini seperti suling,
sordam, tulila, nung neng dan sebagainya lambat-laun dipadukan dengan instrument dasar
gondang dan gong besar (ogung) dan gong yang lebih kecil (pangora dan doal) dan
sebagainya. Hasil kombinasi ini boleh jadi terbentuknya musik tradisi Batak. Ensambel
musik Batak (perkusi dan gong) ini semakin diperkaya dengan kreasi (adopsi dan
inovasi baru) yakni asapi yang diduga berkembang setelah masuknya pengaruh
Tiongkok dari timur, ekspedisi Cheng Ho ke Baroemoen (terkait dengan kerajaan
Aroe di sungai B’aroe’moen). Asapi diciptakan dari kreasi kecapi (timur) daripada
gitar (barat). Gondang (karena berbagai ukuran menjadi wujud fungsi drum),
asapi (fungsi gitar untuk membawakan melodi) dan hasar-hasar (fungsi simbal) dan gong berbagai ukuran
sebagai bas. Memadukan dengan instuumen tiup dari bahan bambiu seperti suling, saroene, sordam (ole-ole, ujub-uyub) dan berbagai instrument lokal lainnya,
semakin membedakan musik tradisi Batak dengan musik-musik tradisi dari etnik
lainnya. Inilah yang membedakan musik tradisi Batak dengan musik tradisi Jawa
dan Bali.
Asisten
Residen Mandheling en Ankola, TJ Willer (1846) dan Controleur Ankola en
Sipirok, WA Hennij (1868) yang datang dari tradisi musik klasik (Eropa) tentu
saja mampu mendeskripsikan dengan baik musik tradisi Batak (karena banyak
persamaanya). Oleh karenanya upaya kedua pejabat ini mendokumentasi musik tradisi
Batak tidak hanya menjalankan tupoksinya tetapi juga keduanya telah berperilaku
bagaikan ilmuwan. penemu musik orchest di luar peradaban barat (Eropa) di
pedalaman Tanah Batak. Eureka! TJ Willer
dan Hennij di dalam berbagai tulisan dan pemikiran selama bertugas di Afdeeling
Mandheling en Ankola memang terkesan nalar akademiknya lebih menonjol
dibandingkan sebagai operator dalam tugas-tugas birokrasi yang bersifat
rutinitas. Tapi boleh jadi masukan ini berasal dari Jung Huhn (controleur di
Pertibie 1843) yang memang ilmuwan pertama yang memasuki Tanah Batak di era
Belanda yang berdarah Jerman (ilmuwan dan berjiwa seni). Ida Pheiffer, asal
Austria yang mendapat hiburan music tradisi Batak di Sipirok tahun 1852 yang
juga turut melaporkan keberadaan musik tradisi Batak memperkuat dugaan
tersebut.
Perkembangan
evolutif musik tradisi Batak saling mengisi dengan perkembangan sistem religi, sistem
sosial (aristokrasi Batak) dan pengembangan pengetahuan penduduk Batak. Pada
awalnya instrument music (khususnya gondang dan gong) untuk tujuan utama
religi, kemudian diperkaya dengan instrument lain dengan berkembangnya sistem sosial
dalihan na tolu dalam ritus kolektif horja di dalam sistem pemerintahan
aristokrasi. Seperti dicatat Willer (1846) alat musik utama (gondang alat
perkusi) dan gong (berbagai ukuran) adalah melik kekayaan radja. Mungkin
mkasudnya hanya Radja yang bisa memesan untuk membuat gondang dan hanya radja
yang mampu membeli gong impor dari luar. Oleh karenanya musik tradisi Batak
(dalam pengertian ensambel) penyelenggaranya adalah haradjaon (kerajaan).
Dengan kata lain, instrument musik ada yang berbasis penduduk dan ada yang
harus berbasis haradjaon. Tentu saja tidak setiap huta terbentuk haradjaon
meski setiap kepala huta adalah radja.
Kuda Batak dan bakul |
Oleh
karenanya temuan Uli Kozok dalam penyebaran aksara Batak yang dimulai dari
selatan ke utara sebenarnya tidak asing (mungkin banyak benarnya) untuk
pola-pola yang sama dalam penyebaran sistem pengetahuan, sistem sosial (musik,
tari tortor dan aristokrasi), sistem religi dan sistem arsitektur, sistem persenjataan.
Kebetulan sejak era Mesir kuno, Persia hingga era Budha/Hindu, Islam (Arab), Tiongkok,
Eropa (Inggris/Belanda/Jerman) Tanah Batak di selatan (khususnya Angkola,
Sipirok, Mandailing dan Padang Lawas) selalu lebih terbuka dan konsekuensinya lebih
awal menerima pengaruh dari luar. Pengaruh peradaban luar sangat memberi
signifikansi (kecepatan dan akselerasi) dalam perkembangan lebih lanjut
kebudayaan Batak tidak terkecuali musik tradisi Batak.
Di
era colonial, bahkan pionir-pionir dalam pembaruan di Tanah Batak seperti Jung
Huhn (geologi dan botani), TJ Willer (geografi sosial), FW Godin (introduksi budidaya
kopi), Alexander van der Hart (pertanian tanaman pangan), Godon (pendidikan dan
transportasi), Hennij (sistem budidaya kopi),van der Tuuk (linguistic), van
Asselt, Klammer dan Nommensen (agama Kristen), semuanya memulai kerjanya di
Tanah Batak selatan, tepatnya di Mandailing, Angkola dan Padang Lawas. Dampak plus
minusnya: penduduk Batak di selatan Tanah Batak lebih awal mengalami
penderitaan dan juga lebih awal yang merasakan arti kehidupan modern.
Ketika koffiecultuur diterapkan pemerintah kolonial Belanda di Mandailing (berbeda dengan apa yang disepakati oleh para pimpinan local) banyak penduduk menderita, sebagian melakukan perlawanan tetapi dibungkam dengan senjata. Penduduk banyak eksodus. Peristiwa ini direkam oleh Edward Douwes Dekker (controleur afd. Natal 1842-1843). Edward protes tapi malah dia dipecat dan ‘disiksa’ selama setahun. Inilah pemicu timbulnya gagasan untuk menulis ide Multatuli dan insulinde dan bukunya Max Havelaar. Setelah kejadian itu, pemerintah mulai berhati-hati dan harus berlandasakan kemanusian. Asisten Residen Godon (datang 1847), orangnya humanis dan mampu bekerjasama dengan pimpinan lokal. Godon di satu sisi memperkenalkan pendidikan barat (aksara Latin) dan di sisi yan lain bekerja sama dengan penduduk membangun jalur transportasi ke pelabuhan Natal. Tanaman kopi yang sudah menghasilkan berhasil diangkut ke Natal dan diekspor dari Padang. Keuntungan koffiestelsel disisihkan pemerintah untuk memberi dua orang siswa (Si Asta dan Si Angan) beasiswa untuk studi kedokteran ke docter djawa school di Batavia tahun 1854 (ternyata dua siswa ini merupakan siswa pertama yang diterima dari luar Djawa). Dr. Asta ditempatkan di Mandheling en Ankola dan Dr. Angan ditempatkan di Padangsche. Karena prestasi yang bagus, dua siswa lagi (1856) dikirim ke Batavia (Si Napang dari Angkola dan Si Dori dari Mandheling). Dr. Napang ditempatkan di Padangsche dan Dr. Dori ditempatkan di Ankola. Pemerintah colonial ternyata tertarik atas prestasi anak-anak Mandheling en Ankola dan sejak dua gelombang pertama, secara periodik hingga tahun 1902 anak-anak afd.Mandheling en Ankola menempuh studi di docter djawa school.
Pada tahun 1857 Godon menfasilitas Si Sati, seorang anak yang cerdas secara linguistik untuk studi ke Belanda untuk mendapatkan akte guru. Setelah selesai Si Sati yang berganti nama dengan Willem Iskander pulang kampong tahun 1861 dan mendirikan sekolah guru (kweekschool) tahun 1862 di Tanobato. Pada tahun ini (1862) G van Asselt menidirikan sekolah di Sipirok (gurunya adalah Nommensen). Willem Iskander meluluskan banyak guru-guru muda dan ditempatkan di seluruh residentie Tapanoeli. Pada tahun 1870 pemerintah membangun sekolah negeri di Res. Tapanoeli (delapan diantaranya berada di afd. Mandheling en Ankola, dua lagi di Sibolga dan Nias). Tahun ini juga ibukota afd. Mandheling en Ankola dipindahkan dari Panjaboengan ke Padang Sidempoean. Pada tahun 1854 Godon merekrut Si Sati sebagai penulis (pagawai local), pada tahun 1870 Asisten Residen Schermanek membawa staf penulisnya dari Panjaboengan ke Padang Sidempuan dan kemudian digantikan oleh Sjarif Anwar gelar Soetan Goenoeng Toea (siswa pertama Nommensen). Pada tahun 1879 didirikan kweekschool Padang Sidempuan (menggantikan kweekschool Tanobato) dan pada tahun ini pembangunan jembatan Batang Toru dimulai. Lulusan pertama Kweekschool Padang Sidempuan adalah Dja Endar Moeda (ditempatkan di Batahan dan Air Bangis).
Setelah pension menjadi guru, Dja Endar Moeda menjadi editor surat kabar Pertja Barat di Padang. Editor kedua adalah Mangaradja Salamboewe di Pertja Timor di Medan tahun 1902 (Tirto Adhi Soerjo, Bapak Pers Indoensia baru menjadi editor tahun 1903 di Batavia, Pembrita Betawi). Mangaradja Salamboewe sendiri adalah anak Dr. Asta, alumni terakhir Kweekschool Padang Sidempuan karena ditutup tahun 1892. Alumni tahun sebelumnya yang terkenal adalah Soetan Martoewa Radja (ayah MO Parlindungan, penulis buku controversial Tuanku Rao, 1964). Pada tahun 1905, seorang mantan guru dan alumni Kweekschool Padang Sidempuan, Si Radjioen gelar Soetan Casajangan berangkat studi ke Belanda (Soetan Casajangan adalah orang kedua pribumi kuliah di Belanda dan tahun 1908 mendirikan perhimpunan Indonesia, Indisch Vereeniging, sebagai respon atas pendirian Boedi Oetomo yang bersifat kedaerahan). Setelah Soetan Casajangan, menyusul dua anak Padang Sidempuan ke Belanda (Abdul Firman gelar Mangaradja Soangkoepon, 1910 dan Todoeng gelar Soetan Goenoeng Moelia, 1911). Antara tahun 1901 dan 1905 ada lima anak Padang Sidempoean lulus docter djawa school (yang tahun 1902 berganti nama menjadi STOVIA). Kelima lulusan itu adalah Dr. Mohamad Hamzah, Dr. Haroen Al Rasjid, Dr. Abdoel Karim dan Dr. Abdoel Hakim sama-sama lulus dengan Dr. Tjipto, dan Dr. Mohamad Daoelaj.
Pada tahun 1907 seorang anak Padang Sidempoean bernama Sorip Tagor tiba di Buitenzorg untuk mengikuti pendidikan di Inlandschen Veeartsen School (Sekolah Dokter Hewan dibuka 1907) kemudian disusul lagi Alimoesa tahun 1910. Pada tahun 1912 datang lagi anak Padang Sidempuan ke Buitenzorg untuk mengikuti pendidikan pertanian (Landbouw School). Setelah beberapa tahun menjadi asisten dosen, pada tahun 1915, Sorip Tagor (ompung dari Inez Tagor) melanjutkan studi di Utrecht, Belanda. Sekolah tinggi dokter hewan hanya ada di Utrecht, Sorip Tagor adalah mahasiswa pribumi pertama di sekolah dokter hewan di Belanda. Dengan kata lain, Sorip Tagor adalah pelopor pendidikan kedokteran di Hindia (Indonesia). Sorip Tagor mempelopori didirikannya Sumatranen Bond di Belanda. Pada tanggal 1 Januari 1917. Sumatranen Bond resmi didirikan dengan nama ‘Soematra Sepakat’. Dewan terdiri dari Sorip Tagor (sebagai ketua); Dahlan Abdoellah, sebagai sekretaris dan Soetan Goenoeng Moelia sebagai bendahara. (Salah satu) anggota (benama) Ibrahim Datoek Tan Malaka (yang kuliah di kampus Soetan Casajangan). Tujuan didirikan organisasi ini untuk meningkatkan tarap hidup penduduk di Sumatra, karena tampak ada kepincangan pembangunan antara Jawa dan Sumatra. Soetan Casajangan dan Sorip Tagor adalah dua mahasiswa beda generasi asal Padang Sidempuan yang mempelopori organisasi mahasiswa di Belanda. Pada fase ini, sesuatu yang tidak lazim, seorang remaja datang ke Belanda untuk melanjutkan sekolah menengah, namanya Amir Sjarifoedin (sepupu Todoeng Harahap gelar Soetan Goenong Moelia). Setelah lulus melanjutkan ke sekolah hukum di Belanda, tetapi baru naik tingkat dua, Amir tahun 1927 pulang kampong karena ayahnya, Djamin Harahap di Sibolga (di tahan opsir Belanda). Sejak itu Amir tidak kembali ke Belanda dan kemudian mengikuti Recht School di Batavia (aktivis pergerakan mahasiswa dan kelak menjadi Menteri Pertahanan dan Perdana Menteri RI).
Haroen Al Rasjid menjadi menantu Dja Endar Moeda di Padang. Boru panggoaran Haroen Al Rasjid (pahompu Dja Endar Moeda) bernama Ida Loemongga tahun 1918 berangkat studi kedokteran dan kemudian dilanjutkan studi doctoral di Leiden. Tahun 1925 Mr. Radja Enda Boemi berhasil meraih gelar doctor (PhD) di Leiden, kemudian disusul Ida Loemongga lulus PhD tahun 1931 dan kemudian Todoeng gelar Soetan Goenoeng Moelia setelah mengabdi jadi guru di tanah air kembali studi untuk tingkat doctoral (lulus PhD tahun 1933). Tiga peraih PhD asal Padang Sidempuan ini merupakan tiga dari tujuh orang Indonesia pertama yang bergelar doktor. Alinoedin Siregar gelar Radja Enda Boemi adalah ahli hukum pertama orang Batak adalah orang ketiga Indonesia bergelar doktor; dokter Ida Loemongga Nasoetion adalah perempuan Indonesia pertama bergelar PhD; Todoeng Harahap gelar Soetan Goenoeng Moelia adalah mantan anggota Volksraad (dewan pusat di Batavia) dan menjadi Menteri Pendidikan RI yang kedua.
Anggota Volksraad pertama orang Batak (1926) adalah Mangaradja Soangkoepon (dari dapil Sumatra’s Oostkust) dan Dr. Alimoesa Harahap dari dapil Tapanoeli. Satu lagi yang menjadi anggota Volksraad adalah Dr. Rasjid Siregar (adik Mangaradja Soengkoepon) dari dapil Tapanoeli menggantikan Alimoesa. Praktis, sejak diperbolehkannya pribumi menjadi anggota Volksraad 1924 (hingga kemerdekaan RI), yang mewakili Province Sumatra’s Oostkust dan Residentie Tapanoeli semuanya adalah anak-anak Padang Sidempoean. Tiga diantara anak-anak Padang Sidempoean yang menyusul kemudian studi ke Belanda yang cukup menonjol adalah Parlindoengan Loebis, Masdoelhak Nasoetion dan AFP Siregar gelar MO Parlindoengan. Dua anak muda yang pertama adalah aktivis mahasiswa selama kuliah. Parlindoengan Loebis ditawan oleh Nazi. Sedangkan Masdoelhak (saudara sepupu Ida Loemongga), setelah lulus PhD di bidang hukum dengan predikat cum laude tahun 1943 kemudian pulang ke tanah air.
Setelah Indonesia merdeka, Masdoelhak diangkat menjadi Resident Sumatra Tengah di Bukit Tinggi. Pada saat agresi militer Belanda, ibukota RI pindah ke Yogya, masdoelhak direkrut menjadi penasehat hukum Presiden Soekarno dan Wakil Presiden M. Hatta. Pada saat serangan pertama, Masdoelhak yang pertama diciduk dan ditembak mati (PBB marah besar karena telah membunuh intelektual muda Indonesia). Masdoelhak Nasoetion akhirnya dianugerahi menjadi Pahlawan Nasional tahun 2006. MO Parlindoengan dari Medan langsung berangkat studi ke Belanda tahun 1937. Di masa pendudukan Jepang MO Parlindoengan mendapat gelar insinyur teknik kimia. Pada masa agresi, MO Parlindungan satu-satunya orang Indonesia yang memahami teknik bom dan berjuang di Surabaya. Setelah pengakuan kedaulatan, Letkol MO Parlindungan pada tahun 1952 diangkat menjadi direktur pertama pribumi Perusahaan Senjata dan Mesiu (PSM) di Bandung (kemudian menjadi Pindad).
TJ
Willer, Asisten Residen pertama afd. Mandheling en Ankola (1840-1845) membuktikan
bahwa apa yang pernah dicatat Charles Miller (1772) dan ditulis William Marsden
dalam bukunya The History of Sumatra (1811) bahwa penduduk Angkola memiliki
angka literasi yang tinggi. Seperti yang ditulis Marsden bahwa lebih dari
separuh penduduk Ankola mampu membaca dan menulis (dalam aksara Batak) yang
melebihi semua bangsa-bangsa di Eropa. Pendapat Miller tersebut juga dicatat
oleh Willer bahwa angka literasi di Mandheling en Ankola sangat tinggi.
Boleh
jadi pada era pendidikan colonial dengan introduksi pendidikan modern (aksara
latin) di Mandheling en Ankola tahun 1849 besar kemungkinan bukanlah inisiatif dari
luar (Asisten Residen Godon), tetapi justru inisiatif dari dalam (atas dorongan
dari penduduk yang telah lama memiliki angka literasi tinggi). Penduduk Mandailing
dan Ankola yang baru belasan tahun di bawah pemerintahan colonial (dimulai
tahun 1840), pada tahun 1854 sudah ada dua siswa yang diterima di docter djawa
school di Batavia (orang luar Djawa pertama) dan pada tahun 1857 sudah ada yang
berangkat studi ke Belanda (orang Indonesia pertama).
Pada tahun 1877,
beberapa tahun setelah Kweekschool Tanobato ditutup karena gurunya Willem
Iskander berangkat lagi studi ke Belanda (1975 namun dikabarkan meninggal di
Belanda tahun 1876) seorang dokter muda lulusan Belanda ditempatkan di
Panjaboengan tetapi dengan tugas yang berbeda dengan keahliannya yakni sebagai
opziener (pengawas). Namun sang pegawai muda ini tampaknya tidak nyaman dengan
pekerjaannya, lalu lebih tertarik mendalami sastra Batak, karena dilihatnya
semua penduduk bisa tulis baca (aksara latin). Dia juga melihat para guru-guru
menulis buku-buku pelajaran dan buku-buku bacaan. Entah apa yang mempengaruhi
anak muda ini lalu meninggalkan pekerjaannya dan pergi ke Padang untuk meminta
direktur pendidikan Sumatra’s Westkust agar dirinya diuji dan ingin beralih
menjadi guru (saja). Direktur pendidikan merekomendasikan agar magang di
Kweekschool Probolinggo. Belum lama Kweekschool Padang Sidempuan dibuka tahun
1879 anak muda yang bernama Charles Adrian van Ophuijsen ini dipindahkan dari
Probolinggo menjadi guru di Kweekschool Padang Sidempuan. Charles Adrian van
Ophuijsen ternyata adalah guru yang cerdas. Mungkin gurulah yang jadi jalan
hidup van Ophuijsen sehingga berani mengubah haluan. Charles Adrian van
Ophuijsen menjadi guru di Padang Sidempoean selama delapan tahun dan lima tahun
terakhir menjadi direktur Kweekschool Padang Sidemp;uan. Charles diberhentikan
karena dipromosikan menjadi direktur pendidikan Province Sumatra’s Westkust.
Inisiatif
lainnya terjadi pada tahun 1905 ketika seorang guru (yang seharusnya sudah pension)
bernama Radjioen gelar Soetan Casajangan dengan biaya sendiri berangkat studi ke
Belanda (orang kedua Indonesia kuliah di luar negeri). Radjioen adalah siswa
terbaik dari Charles Adrian van Ophuijsen di Kweekschool Padang Sidempuan.
Ketika Charles diangkat menjadi guru besar bahasa dan sastra Melayu di
Universiteit Leiden yang menjadi asistennya adalah Soetan Casajangan yang kala
itu tengah menempuh pendidikan tinggi di Harlem. Pada
fase awal pendidikan tinggi anak-anak pribumi di Belanda, nama Soetan
Casajangan tidak hanya terkenal di Tanah Air tetapi juga di Negeri Belanda.
Soetan Casajangan adalah sosok yang berbeda (paling elegan dan percaya diri) diantara
mahasiswa-mahasiswa lainnya. Surat kabar Telegraaf mewawancara Soetan
Casajangan di Amsterdam yang dilansir Bataviaasch nieuwsblad, 02-07-1907 (hanya
mengutip beberapa saja di sini).
Prof. Charles Adrian van Ophuijsen adalah penyusun tata bahasa Melayu (mungkin ingin mengikuti jejak N. van der Tuuk yang telah lebih dahulu menyusun tata bahasa Batak dan menerjemahkan Injil ke dalam bahasa Batak. Anehnya, Mr. van der Tuuk dan Mr. van Ophuijsen sama-sama memulai pelajaran bahasanya (bahasa Batak dan bahasa Melayu) justru di afdeeling Mandheling en Ankola. Konon N. van der Tuuk sebelum memulai ekspedisinya di Silindoeng en Toba terlebih dahulu belajar kepada Asisten Residen Godon di Panjaboengan dan belajar bahasa dan musik tradisi dari penduduk Angkola dan Mandailing. Menurut Uli Kozok, sukses Nommensen melakukan misi di Silindoeng dan Toba karena mengadopsi rekomendasi dari Mr. van der Tuuk yang mana rekomendasi itu disusun van der Tuuk atas petunjuk AP Godon yang telah memahami lebih dahulu sosial budaya orang Batak (AP Godon sembilan tahun menjadi Asisten Residen Mandheling en Ankola, 1848-1857, asisten residen terlama di Nederlandsch Indie). Tentu saja tingkat penerimaan penduduk Batak di Silindoeng en Toba sangat tinggi kepada Mr. van der Tuuk karena sudah sangat piawai memainkan musik tradisi Batak.
‘…mengapa anda
mengambil risiko jauh studi kesini meninggal kesenangan di kampungmu, calon
koeria, yang seharusnya sudah pension jadi guru dan anda juga harus rela
meninggalkan anak istri yang setia menunggumu…anda tahu untuk masyarakat saya,
masih banyak yang perlu dilakukan, kami punya mimpi, kami diajarkan dengan baik
oleh guru Ophuijsen….tapi kini masyarakat kami sudah mulai menurun dan melemah
pada semua sendi kehidupan.. saya punya rencana
pembangunan dan pengembangan lebih lanjut dari penduduk asli di Nederlandsch
Indie (Hindia Belanda)..saya mengajak anak-anak muda untuk datang ke sini
(Belanda) agar bisa belajar banyak..di kampong saya kehidupan pemuda statis,
baik laki-laki dan perempuan..dari hari ke hari hanya bekerja di sawah (laki-laki)
dan menumbuk padi (perempuan)…mereka menghibur diri dengan menari (juga tortor)
yang diringi dengan musik, simbal, klarinet, gitar dan ensambel gong…(dansten zij
op de muziek van bekkens, klarinet, guitaar en gebarsten gong...)..anda tahu
dalam Filosofi Batak kuno, kami yakin bahwa jiwa itu berada di kepala, dan
karenanya kami harus tekun agar tetap intelek…’.
Prof. Charles Adrian van Ophuijsen adalah penyusun tata bahasa Melayu (mungkin ingin mengikuti jejak N. van der Tuuk yang telah lebih dahulu menyusun tata bahasa Batak dan menerjemahkan Injil ke dalam bahasa Batak. Anehnya, Mr. van der Tuuk dan Mr. van Ophuijsen sama-sama memulai pelajaran bahasanya (bahasa Batak dan bahasa Melayu) justru di afdeeling Mandheling en Ankola. Konon N. van der Tuuk sebelum memulai ekspedisinya di Silindoeng en Toba terlebih dahulu belajar kepada Asisten Residen Godon di Panjaboengan dan belajar bahasa dan musik tradisi dari penduduk Angkola dan Mandailing. Menurut Uli Kozok, sukses Nommensen melakukan misi di Silindoeng dan Toba karena mengadopsi rekomendasi dari Mr. van der Tuuk yang mana rekomendasi itu disusun van der Tuuk atas petunjuk AP Godon yang telah memahami lebih dahulu sosial budaya orang Batak (AP Godon sembilan tahun menjadi Asisten Residen Mandheling en Ankola, 1848-1857, asisten residen terlama di Nederlandsch Indie). Tentu saja tingkat penerimaan penduduk Batak di Silindoeng en Toba sangat tinggi kepada Mr. van der Tuuk karena sudah sangat piawai memainkan musik tradisi Batak.
Inilah hakikat adanya relasi tingkat pengetahuan dan tingkat perkembangan musik di dalam komunitas penduduk di Tanah Batak pada fase awal peradaban baru. Endehon ma: 'Sian Mandailing Godang do, asal mula ni ..'..Introduksi pendidikan modern (aksara Latin) di Silindoeng pada dasarnya baru dimulai pada tahun 1880an. Pendidikan dasar sudah diperkenalkan Nommensen akhir 1870an. Ketika Kweekschool Padang Sidempuan dibuka tahun 1879, pada tahun ketiga controleur di Silindoeng mengirim tiga siswa untuk mengikuti pendidikan guru (umum), namun program ini tidak berjalan lancar karena pesertanya sakit. Lantas inisiatif program pendidikan guru bagi siswa Silindoeng yang gagal ini, Nommensen memperkuat pendidikan guru (agama, guru zending). Pada akhir tahun 1890an, guru Soetan Martoewa Radja yang bertugas di sekolah negeri di Sipirok dipindahkan ke Taroetoeng sehubungan dengan dibukanya sekolah dasar negeri (umum). Lalu setelah cukup lama di Silindoeng, Soetan Martoewa Radja (alumni Kweekschool Padang Sidempuan, 1892) diangkat menjadi direktur Normaal School (sekolah guru) di Pematang Siantar (1920an). Pada tahun 1919 di Dolok Sanggul didirikan HIS (sekolah dasar untuk orang Eropa/Belanda dan penduduk local terpandang), guru yang diangkat men jadi kepala sekolah adalah Soetan Casajangan (alumni Kweekschool Padang Sidempuan, lulusan Harlem Belanda, pendiri Indisch Vereeniging 1908 dan pulang ke tanah air tahun 1914). Soetan Casajangan terakhir menjadi direktur Normaal School di Meester Cornelis, Batavia (meninggal tahun 1929). Satu lagi guru terkenal dari Padang Sidempuan adalah Radja Goenoeng. Setelah mengadjar di berbagai tempat di Residentie Tapanoeli, tahun 1915 diangkat menjadi penilik (pengawas) sekolah di Sumatra’s Oostkust yang berkedudukan di Medan. Pada tahun 1918 Radja Goenoeng terpilih menjadi anggota dewan kota (gementee raad) Medan (orang pribumi pertama yang diangkat melalui pemilihan umum di gementeeraad Medan). Last but not least: Juga tidak boleh melupakan guru GB Josua. Setelah lulus HIK Bandoeng pulang kampung dan mengajar di HIS Sipirok (1921). Anak Padang Sidempuan kelahiran Sipirok ini hijrah ke Medan. Baru beberapa tahun Gading Batoebara (GB) Josua di Medan, beberapa pengusaha asal Balige di Medan meminta GB Josua untuk meningkatkan mutu HIS yang sudah lama mutunya menurun (sepeninggal Soetan Casajangan).GB Josua sukses melakukan tugas swasta itu. Rupanya pemerintah kolonial mendengar berita itu, lalu GB Josua diberi beasiswa untuk melanjutkan studi ke Belanda. Pada tahun 1930 sepulang dari Belanda mendirikan perguruan swasta (HIS dan MULO) yang dikenal sebagai Joshua Instituut (kini Perguruan Josua). GB Josua pernah satu periode menjadi anggota Gementee Raad Kota Medan. Selama agresi militer Belanda di Medan, GB Josua bersama Dr. Djabangoen menangani anak-anak republik di dalam Negara Sumatra Timur. GB Josua menampung anak-anak didik dari warga republik sedangkan Dr. Djabangoen mengurusi kesehatan anak-anak republik yang tingkat kesehatan yang menurun karena sulitnya mendapatkan pangan di Deli. Djabangoen Harahap adalah anak Padang Sidempuan alumni STOVIA (kakak kelas Dr. Mansoer) yang saat sebelum perang bertugas di laboratorium TBC di Kabanjahe dan kemudian menjadi kepala divisi endemik TBC di RS Pirngadi Medan. Dr. Djabangoen adalah Ketua Front Medan dalam mempertahankan kemerdekaan RI. Hanya ada dua front di Indonesia, satu lagi di Surabaya. Ketua Front Surabaya adalah Doel Arnowo yang bahu membahu dengan Dr. Radjamin (walikota pribumi pertama Surabaya). Dr. Radjamin Nasoetion, anak Padang Siodempuan adalah kakak kelas Dr. Djabangoen di STOVIA. Alumni STOVIA lainnya adalah Dr. FL Tobing (seangkatan dengan Dr. Mansoer) yang berjuang selama agresi di Tapanoeli bersama Abdul Hakim (alumni sekolah ekonomi di Batavia). Kemudian Dr. FL Tobing diangkat menjadi Residen Tapanoeli dan wakilnya adalah Abdul Hakim, SE (menggantikan fungsi Gubernur (Militer) Sumatra Utara, Dr. Gindo Siregar, anak Sipirok alumni STOVIA). Kelak pada tahun 1952 Abdul Hakim Harahap diangkat menjadi Gubernur Sumatra Utara yang keempat (gubernur Sumatra Utara yang pertama, Mr. SM Nasoetion (alumni Recht School di Batavia), kelahiran Atjeh, anak seorang guru yang alumni Kweekschool Padang Sidempoean).
Guru menjadi wartawan, sastrawan, politikus dan musikus
Penciptaan aksara Batak menjadi dasar pembentukan peradaban penduduk Batak (kebudayaan Batak). Dua diantara elemen peradaban penduduk Batak dalam hal ini, yakni literasi dan seni. Tingkat pengetahuan yang tinggi (dalam hal ini angka literasi yang tinggi) memungkinkan penduduk Batak mudah menerima hal-hal baru untuk mengkreasi sendiri untuk kebutuhannya sendiri. Ketika pemerintah kolonial memperkenalkan pendidikan modern (aksara Latin), penduduk Batak dengan mudah dan cepat mengadopsinya. Guru-guru sekolahpun bermunculan dimana-mana.
Guru pertama yang lahir adalah Willem Iskander. Kemudian guru-guru berikutnya muncul dalam jumlah bilangan yang banyak. Pada awal tahun 1870an, pemerintah mendirikan 10 sekolah dasar negeri, delapan diantaranya berada di Afd. Mandheling en Ankola (sisanya satu di Sibolga dan Nias). Pada akhir 1880an dari 18 buah sekolah negeri di Tapanoeli, 15 diantaranya berada di Afd. Mandheling en Ankola (sisanya di Sibolga, Nias dan Singkel). Praktis sebelum berakhir abad ke-19, semua penduduk usia sekolah di Afd. Mandheling en Ankola sudah bisa baca tulis. Apa yang ditemukan Charles Miller tahun 1772: ‘lebih dari separuh penduduk bisa baca-tulis, suatu angka yang melebihi semua bangsa-bangsa di Eropa’, terbukti, tetapi tidak lagi dalam aksara Batak tetapi dalam aksara Latin.
Sejak awal 1890an, guru-guru yang berasal dari Afd. Mandheling en Ankola telah memenuhi semua sekolah-sekolah yang ada di Residentie Tapanoeli (Mandheling en Ankola, Padang Lawas, Sibolga en Ommelanden, Nias, Baros dan Singkel), dan sebagian telah mengisi sekolah-sekolah di Djambi, Riaou dan Sumatra’s Oostkust. Guru-guru ini telah menyebar dan banyak diantaranya yang terjun dalam dunia pers (Dja Endar Moeda, Mangaradja Salamboewe, Soetan Parlindoengan dan lainnya), menjadi politikus (Radja Goenoeng, Soetan Martoeawa Radja, Soetan Batang Taris dan lainnya). Diantara guru-guru tersebut juga banyak yang mengembangkan bakat-bakat menjadi sastrawan, seperti Dja Endar Moeda, Soetan Martoewa Radja, Soetan Hasoendoetan, Soetan Pangoerabaan dan lainnya.
Sastrawan-sastrawan generasi kedua seperti Muhamad Kasim, lahir di Muara Sipongi, pionir cerpen Indonesia; Suman Hs (Hasibuan), pionir cerpen mini Indonesia; Merari Siregar, penggagas pertama roman asli Indonesia; Sanusi Pane, sastrawan pemikir; Armijn Pane, kritikus sastra pertama Indonesia; Sutan Takdir Alisjahbana, Bapak Bahasa Indonesia Moderen, Ida Nasoetion, kritikus; Bahrum Rangkuti, sastrawan berpangkat kolonel yang menjadi ustadz; Bakri Siregar, sastrawan yang menjadi dosen Bahasa Indonesia di Universitas Warsawa dan Universitas Beijing; Mochtar Lubis, sastrawan dan budayawan yang berani dan jujur; Mansur Samin, penulis sajak Raja Sisingamangaraja; Ras Siregar, penulis sprint.
Anak-anak sekolah negeri di Sipirok, 1928 |
Sanusi Pane dan Nahum Situmorang ternyata kemudian tarikan bakat-bakat lama merka tidak tertahankan. Sanusi Pane berubah haluan menjadi sastrawan dan Nahum Situmorang berubah haluan menjadi musikus. Keduanya ternyata menemukan jalan hidup masing-masing: Sanusi Pane menjadi sastrawan besar dan terkenal dan Nahum Situmorang menjadi musikus besar dan terkenal. GB Josua juga ternyata selain terus menekuni profesinya sebagai guru juga menjadi politikus yang banyak memperjuangkan pendidikan rakyat di Medan. GB Josua mengikuti seniornya, guru Radja Goenoeng kelahiran Padang Sidempuan, yang telah lebih dahulu menjadi anggota dewan kota (gementeeraad) Medan. Kajamoedin Harahap gelar Radja Goenoeng menjadi anggota dewan kota sejak tahun 1918 (10 tahun). Pada tahun 1929 posisi Radja Goenoeng ini digantikan oleh Abdul Hakim (tujuh tahun). Pada tahun 1936 Abdul Hakim Harahap dan GB Josua keduanya terpilih menjadi anggota dewan kota Medan (Abdul Hakim kelak tahun 1952 menjadi gubernur Sumatra Utara yang keempat).
Anak-anak Afd. Padang Sidempuan (tahun 1905 diubah dari afd. Mandheling en Ankola) sejak1905 tidak hanya memainkan peran yang penting di Tapanoeli, tetapi juga di Sumatra’s Oostkut bahkan tanpa terkecuali di Jawa yang berbasis di Batavia. Tahun-tahun menjelang kemerdekaaan RI, anak-anak Padang Sidempuan besar kemungkinan sudah terkoneksi satu dengan yang lain di Jawa: seperti Batavia, Buitenzorg, Soekaboemi, Bandoeng, Soerabaija. Sanusi Pane editor majalah Pembangunan coba mengajak rekan-rekan dongan sahuta untuk sedikit memperhatikan kampong halaman (yang sudah lama ditinggalkan).
Sanusi Pane bersepakat dengan sejumlah tokoh penting di Batavia untuk menyusun sebuah Rencana Reformasi Pembangunan Tapanoeli (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 01-03-1938). Dewan yang dibentuk terdiri dari (diantaranya) Sanusi Pane sebagai Presiden. Anggota terdiri dari Parada Harahap (editor Tjaja Timoer), Abdoel Hakim Harahap (mantan anggota dewan kota Medan, kelak menjadi Gubernur Sumatra Utara), AL Tobing, H. Pane, T. Dalimoente dan Panangian Harahap (penilik sekolah di Bandung). Selain itu, sebagai pembina adalah Mangaraja Soangkoepon (anggota Volksraad dari dapil Sumatra Timur), Dr. Abdul Rasjid (anggota Volksraad dari dapil Tapanoeli), Mr. Soetan Goenoeng Moelia, PhD (anggota Volksraad dari utusan bidang pendidikan) dan Mr. Amir Sjarifoedin (Pimpinan Partai Politik). Mereka ini telah turut mempengaruhi kebijakan pusat (Gubernur Jenderal) dalam berbagai kebijakan/program yang dibuat di level residentie agar terjadi percepatan pembangunan di Tapanoeli (mengingat di Sumatra’s Oostkust sudah maju pesat).
Sipirok asal musik modern Batak: Nahum Situmorang dan Sakti Alamsyah
Nahum Situmorang adalah seorang guru dan juga memiliki jiwa seni musik yang kuat. Artinya, di dalam diri Nahum terdapat kemampuan akademik juga kepandaian seni. Kombinasi ini banyak terdapat pada anak-anak muda Batak pada fase awal seperti senior mereka Dja Endar Moeda (guru, wartawan dan sastrawan) dan Soetan Martoewa Radja (guru, sastrawan dan politikus). Seangkatan Nahum juga kombinasi ini juga banyak ditemukan, seperti Sanusi Pane (guru dan sastrawan), Amir Sjarifoedin (guru, praktisi hukum dan seniman); Parada Harahap (wartawan dan penulis scenario film). Mereka adalah tipikal pemuda di jamannya dan kebetulan Parada Harahap, Sanusi, Amir dan Nahum terlibat dalan Kongres Pemuda 1928. Amir Sjarifoedin adalah bendahara dan Parada Harahap adalah penasehat Kongres Pemuda (saat itu menjadi sekretaris himpunan organisasi-organisasi yang diketuai oleh M. Husni Thamrin).
Grup musik di Sipirok, 1928 (sudah lebih maju: kombinasi tradisi dan modern) |
Sipirok adalah tempat
dimana orang Eropa pertama tahun 1852 melihat suatu pertunjukkan musik tradisi
Batak dipentaskan (dengan sengaja). Sipirok adalah tempat dimana Gustav van
Asselt (1858) memulai menyelenggarakan pendidikan modern aksara Latin (1861) buat
anak-anak Sipirok. Guru terkenalnya bernama Nommensen. Sipirok adalah tempat
dimana Nommensen mempersiapkan diri untuk memulai misi penyiaran agama Kristen
di Silindoeng en Toba(1861). Sipirok adalah tempat dimana rapat (musyawarah)
antara misionaris Belanda dengan misionaris Jerman. Sipirok adalah tempat HKBP
ditabalkan sebagai tempat kelahirannya (1862). Sipirok adalah suatu tempat dimana
penduduknya mayoritas beragama Islam membuka ruang secara terbuka bagi
penyiaran agama Kristen. Sipirok adalah contoh terbaik dimana Islam dan Kristen
hidup berdampingan dan harmoni.
Itulah
gambaran sekilas tentang situasi dan kondisi ketika dimana Nahum Sitomorang
lahir, di Sipirok na oeli tahun 1908. Sipirok juga tempat lahir guru-guru yang hebat, dan
juga asal dari banyak sastrawan terkenal (lokal, regional maupun nasional).
Nahum Situmorang juga adalah seorang guru, anak seorang guru. Meski Nahum
Situmorang tidak memiliki bakat yang kuat dalam sastra, melainkan bakatnya
lebih pada musik, yakni musik yang berbasis musik tradisi Batak, tetapi dalam
lirik-lirik lagu yang dihasilkannya mengindikasikan Nahum Situmorang juga
memiliki kemampuan linguistik yang baik. Sebagaimana guru Dja Endar Moeda
pernah mengatakan (ketika memilih profesi baru sebagai wartawan) bahwa
pendidikan dan pers sama pentingnya, sama-sama alat untuk mencerdaskan bangsa (lihat
Sumatra-courant: nieuws-en advertentieblad, 25-03-1898), setali tiga uang,
mungkin Nahum berpikiran sama: pendidikan dan musik sama pentingnya, sama-sama
alat untuk mencerdaskan bangsa.
Pada tahun 1908 di Sipirok lahir Luat Siregar. Luat menyelesaikan HIS kemudian MULO dan selanjutnya AMS. Setelah lulus SMA, Luat Siregar melanjutkan studi ke Leiden Universiteit. Ia mendapatkan gelarnya (Mr) pada 20 Desember 1934. Padai tahun 1935 hingga pendudukan Jepang Luat Siregar sebagai pengacara di Medan. Kemudian militer Jepang merekrutnya menjadi sekretaris walikota di Medan. Posisi ini dipegangnya hingga pendudukan Jepang berakhir. Pada tahun 1945, Mr Luat Siregar berturut-turut menjadi Walikota.Medan (pertama) dan kemudian Resident Sumatera Timur. Pada tahun 1947 Luat Siregar menjadi anggota dari KNIP terpilih ke Yogyakarta; Pada tahun 1950 Luat Siregar menjadi anggota parlemen. Luat Siregar meninggal 18 Februari 1953.
Dja
Endar Moeda meski sudah menjadi wartawan terkenal di Padang (dan telah lama
pinsiun guru di Batahan), tetapi pers Belanda kerap menyebut dirinya guru Dja
Endar Moeda (lihat Sumatra-courant: nieuws-en advertentieblad, 28-02-1899). Bahkan
ketika masih menjadi siswa Kweekschool Padang Sidempuan, Dja Endar Moeda sudah melakukan
kebajikan mengumpulkan dana untuk disalurkan kepada orang-orang yang
membutuhkan (lihat Sumatra Courant: nieuws-en advertentieblad, 01-05-1884). Setali
tiga uang, Nahum Situmorang, meski berprofesi guru (di Sibolga dan Tarutung) tapi
dalam kesehariannya adalah seorang pemusik yang terus menciptakan lagu (musik)
dan nyanyian.
Grup musik alat tiup di Sipirok, sudah ada sejak 1890 |
Ketika
Jepang melakukan invasi ke Nederlandsch Indie (Hindia Belanda) tahun 1942,
Tapanoeli juga menjadi sasaran militer Jepang. Pusat militer Jepang di
Tapanoeli dipilih di Tarutung (era Belanda di Sibolga). Ketika militer Jepang
mulai membangun pemerintahan militernya di Indonesia, tokoh-tokoh lokal (pribumi)
terbaik dilibatkan (dan menyingkirkan tokoh-tokoh Tionghoa). Orang pribumi
pertama yangt direkrut militer Jepang adalah Abdul Hakim Harahap, SE (untuk
mempersiapkan dewan Tapanoeli). Di Surabaya, tokoh berpengaruh, Dr. Radjamin
Nasoetion (eks anggota gementeeraad Surabaya) diangkat menjadi walikota
Surabaya), di Medan, Mr. Luat Siregar (kelahiran Sipirok) diangkat menjadi
sekretaris walikota Medan.
Di
Tarutung (sebagaimana di tempat lain di Indonesia) sekolah-sekolah ditutup dan
dijadikan tangsi-tangsi militer. Nahum Situmorang tidak bisa mengajar lagi,
tetapi bakatnya di bidang musik direkrut oleh militer Jepang untuk mengelola café
dimana Nahum Situmorang menjadi penyanyi dan musisinya. Dua pemuda lulusan dari
Batavia, Abdul Hakim dan Nahum Situmorang meski dalam situasi pendudukan Jepang
keduanya masih mendapat kesempatan untuk mengembangkan bakatnya masing-masing:
Abdul Hakim di bidang birokrasi/politik, Nahum Situmorang di bidang seni (suara
dan musik). Abdul Hakim, kelahiran Sorolangun, Djambi pulang kampong dari
Makassar karena ayahnya yang sudah lama pension pegawai pemerintahan Belanda
dikabarkan meninggal dunia di Padang Sidempuan. Saat di Padang Sidempuan, Abdul
Hakim direkrut militer Jepang dan dipanggil ke Tarutung. Abdul Hakim (anak
Padang Sidempuan) dan Nahum Situmorang (anak Sipirok) yang sudah sejak lama di
Tarutung keduanya bahu membahu diibukota Residen Tapanoeli yang baru itu. Satu
lagi anak muda yang paling kampong adalah Kalisati, direkrut militer Jepang
untuk menjadi kepala dinas perdagangan di afd. Padang Sidempuan (nama Kalisati
kelak dikenal sebagai ayah dari Hariman Siregar, Ketua Dewan Mahasiswa UI, anti
produk Jepang dalam Malari, 1974).
Sementara
itu di Batavia, tiga anak muda asal Padang Sidempuan direkrut militer Jepang
untuk bekerja di stasion radio militer Jepang, yakni: Adam Malik (kelahiran
Pematang Siantar), Sakti Alamsyah (kelahiran Sungai Karang, Sumatra Timur) dan Mochtar
Lubis (kelahiran Sungai Penuh, Djambi). Ketiga anak muda ini sebelumnya
berprofesi sebagai jurnalistik di Batavia. Dua anak muda asal Padang Sidempuan
yakni Amir Sjarifoedin (kelahiran Medan) menolak direkrut (dan malahan
cenderung tidak kooperatif) dan Parada Harahap yang cenderung abstain dan
memilih pension dari segala aktivitas (baginya Jepang dan Belanda sama saja,
sama-sama imperialism).
Sesungguhnya Parada Harahap adalah orang Indonesia
pertama yang berkunjung ke Jepang. Kehadiran Parada dan rombongan besar
kemungkinan untuk tujuan propaganda Jepang buat orang-orang Indonesia yang
tidak senang dengan pemerintah kolonial Belanda. Agen Jepang di Indonesia
diduga memfasilitasi sebanyak tujuh orang Indonesia yang anti Belanda termasuk
diantara Abdullah Lubis dari Pewarta Deli, guru dari Bandung, pengusaha dari
Solo dan satu lagi sarjana baru lulusan Belanda yang bernama M. Hatta.
Rombongan ini dipimpin oleh Parada Harahap yang kala itu adalah ketua Kadin
pribumi (dan telah 101 kali dimejahijaukan dan belasan kali masuk penjara,
termasuk di penjara Padang Sidempuan antara tahun 1919-1922. Pers Jepang
menyeut Parada Harahap sebagai The King of Java Press. Besar dugaan Parada
Harahap sudah kenal baik dengan seorang Jepang bernama Tsukimoto di Padang
Sidempuan.
Tsukimoto, bukan seorang Tionghoa tetapi seorang Jepang
yang telah lama bermukim di Padang Sidempuan. Tsukimoto pemilik perusahaan J.
Tsukimoto & Co. Tsukimoto sangat terkenal di Padang Sidempuan dengan nama
tokonya ‘Toko Japan’. Pada tahun 1931, Tsukimoto dan Tjioe Tjeng Liong termasuk
anggota komisi dalam membantu korban bencana di Pakantan. Tsukimoto diduga
sering berkunjung ke Batavia, apakah urusan bisnis atau urusan keluarga. Tsukimoto
kemungkinan adalah satu-satunya (keluarga) Jepang di Padang Sidempuan sebelum
terjadinya pendudukan Jepang di Indonesia. Tsukimoto kemungkinan besar datang
(migrasi) dari Medan. Sejak akhir abad kesembilan belas sudah banyak
orang-orang Jepang di Medan (yang waktu itu konsentrasi mereka banyak di
Singapoera).
Anak sekolah di Sipirok 1936 (sudah terbiasa dengan instrumen drum) |
Jasa fenomenal
Sakti Alamsyah adalah ketika membacakan teks proklamasi yang dapat didengar
publik melalui Radio Bandung (cikal bakal RRI Bandung). Anehnya, ketika Sakti
Alamsyah memulai membaca teks proklamasi tersebut, beliau justru memulainya
dengan pengantar sebagai berikut: “Di sini Radio Bandung, siaran Radio Republik
Indonesia...". Padahal waktu itu belum lahir Radio Republik Indonesia
alias RRI. Pembacaan teks proklamasi oleh Sakti Alamsyah dilakukan tepat pada
tanggal 17 Agustus 1945 pukul tujuh malam. Teks proklamasi yang dibaca Sakti
Alamsyah tersebut kemungkinan besar
diperoleh dari Adam Malik yang boleh jadi diantarkan langsung oleh
Mochtar Lubis ke Bandung. Pertanyaannya: Mengapa justru Radio Bandung yang
dipilih dan berani pula menyiarkannya? Jawabnya: Adam Malik, Mochtar Lubis dan
Sakti Alamsyah tiga anak muda yang pernah di radio militer Jepang di Batavia
masih memiliki kedekatan yang tiada tergantikan oleh siapapun (apalagi saat
genting dan penting saat itu).
Selain itu, teks
yang dibacakan Sakti Alamsyah—yang pada waktu itu Sakti Alamsyah masih berumur
23 tahun—ada perbedaan kecil dalam teks proklamasi yang disiarkan Sakti dengan
teks sebagaimana dibacakan Soekarno di Pegangsaan Timur, Jakarta. Sakti Alamsyah
justru menutupnya dengan kalimat "Wakil-wakil Bangsa Indonesia,
Soekarno-Hatta". Padahal, Bung Karno membacakannya dengan kalimat yang
jelas terdengar "Atas Nama Bangsa Indonesia, Soekarno-Hatta". Tidak
ada yang mengetahui dengan pasti bagaimana asal muasal perbedaan teks dan yang
dibacakan Soekarno dengan apa yang disuarakan Sakti Alamsyah Siregar. Pengucapan
‘Radio Republik Indonesia’ untuk menamai diri dalam pengantar siaran, Sakti
Alamsyah justru mengabaikan nama yang selama ini diucapkan dengan ‘Radio
Bandung Hoshokyoku’. Sekalipun hari itu proklamasi sudah dikumandangkan, tetapi
kenyataannya bentuk negara belum disepakati. Para pemerhati, menganggap ucapan
Sakti Alamsyah sebagai pernyataan futuristik dari lubuk hati dirinya. Padahal
negara baru Indonesia justru setelahnya diputuskan berbentuk republik yang
notabene juga nama radio nasional baru ditetapkan kemudian persis seperti yang
diucapkan pertama kali oleh Sakti Alamsyah: “Di sini Radio Bandung, siaran
‘Radio Republik Indonesia’...". Kita harus akui bahwa inisiatif para
pekerja khususnya penyiar Radio Bandung Hoshokyoku, Sakti Alamsyah, untuk
menyuarakan teks proklamasi di udara yang dapat didengar semua publik
jelas-jelas seuatu keputusan yang berani.
Tidak hanya
sampai di situ para penyiar Radio Bandung Hoshokyoku tanpa rasa takut terus
berulang-ulang menyiarkan naskah proklamasi itu setiap kali ada kesempatan
untuk dibacakan kembali. Berkat siaran Radio Bandung itu yangdipancarkan dari
Jalan Malabar, Bandung kabar kemerdekaan sebuah negara baru bernama Indonesia
diketahui khalayak yang lebih luas, yang tak hanya dapat ditangkap di seluruh
pelosok nusantara, tetapi juga tetangkap di seluruh dunia. Keberanian Radio Bandung jaminannya
adalah Sakti Alamsyah (yang didukung oleh Adam Malik dan Mochtar Lubis).
Setelah
beberapa lama menjadi penyiar RRI Bandung, Sakti Alamsyah memulai karir baru
dan aktif sebagai wartawan di surat kabar Pikiran Rakyat yang terbit di
Bandung. Ketika di dalam organisasi penerbitan tersebut terjadi gejolak
internal akibat situasi politik saat itu, Sakti bersama sejumlah karyawan
lainnya memisahkan diri dan mendirikan surat kabar baru dengan tetap
menggunakan nama surat kabar tempat mereka sebelumnya bekerja yakni Pikiran
Rakyat. Sakti Alamsyah adalah pendiri surat kabar Pikiran Rakyat yang masih
eksis hingga ini hari (kini dipimpin oleh anaknya, Perdana Alamsyah).
Setelah
kemerdekaan dan pasca kedaulatan RI, Adam Malik berkiprah di politik, karena
sejak dari Siantar sebelum hijrah ke Batavia sudah berpolitik yang dibimbing
oleh Amir Sjarifoedin. Pada tahun 1931 aktvitas politik Adam Malik diketahui
dan ditangkap, diadili dan dipenjarakan di Penjara Padang Sidempuan. Sedangkan
dua rekannya sesame jurnalistik itu meneruskan profesinya di bidang
jurnalistik. Mochtar Lubis mendirikan koran Indonesia Raya di Jakarta (mungkin
terinspirasi dari guru jurnalistik mereka, Parada Harahap dan seniman musik Nahum
Situmorang, pencipta lagu (runner up Indonesia Raya). Sakti Alamsyah mendirikan
surat kabar Pikiran Rakyat di Bandung. Dua surat kabar besar ini memiliki motto
yang sama: ‘Dari Rakyat Oleh Rakyat dan Untuk Rakyat0’. Hal yang sama juga pernah terjadi antara
surat kabar milik Dja Endar Moeda, Pertja Barat di Padang dengan surat kabar
Pewarta Deli (yang terbit di Medan, 1910 yang dimiliki oleh anak-anak Padang
Sidempuan). Motto kedua surat kabar ini sama: ‘Ontoek Kemadjoean Bangsa’.
Persebaran dan intesitas musik tradisi di Tanah Batak
Pada tahun 1905, Residentie Tapanoeli
dipisahkan dari Province Sumatra’s Westkust. Boleh jadi terjadi karena industri
perkebunan sudah mulai tumbuh dan berkembang di Tapanoeli yang berpusat di
Batang Toru dan Angkola, antara Sibolga dan Padang Sidempuan. Akses dari
Sibolga maupun dari Medan ke Silindoeng en Toba sidah mulai dirintis.
Eksplorasi transportasi poros Silindoeng en Toba ini untuk memperpendek antara
pantai barat Sumatra (Sumatra’s Westkust) dan pantai timur Sumatra (Sumatra’s Oostkust)
yang selama ini harus melalui Batavia.
Gangguan keamanan selama ini dengan adanya
perlawanan Sisingamangaradja sudah mulai teratasi (Sisingamangaradja wafat
tahun 1907). Situasi dan kondusif ini dari sudut pandang pemerintah kolonial
telah memungkinkan dibuka akses dari Sibolga via Taroetoeng dan akses dari Medan
via Pematang Siantar. Program pemerintah dalam pembanguunan masyarakat (pendidikan
dan kesehatan) dan komersialisasi (perdagangan dan pariwisata) sudah waktunya.
Sementara itu tahun 1915 Residentie Sumatra’s Oostkust ditingkatkan menjadi
province (Afd. Bengkalis dikeluarkan dan dimasukkan kembali ke Residentie
Riaow). Inilah fase dimana antara Residentie Tapanoeli dan Residentie Sumatra’s
Oostkust terhubung secara geografi, ekonomi dan social.
Penduduk Mandailing, Angkola dan Sipirok sudah sejak lama
menyebar dan mengalami urbanisasi (migrasi). Tidak hanya di Padang dan Sibolga,
tetapi juga Batavia, Bandoeng, Soerabaija, Lampung, Bengkalis sebagaimana juga
menuju Atjeh, Bindjai dan Langkat, Medan dan Deli, Pematang Siantar, Tebing Tinggi
dan Tanjoeng Balai. Migrasi ini merupakan gelombang ketiga. Gelombang pertama
terjadi pada masa aneksasi kaum padri (1820-1833) yang menyebabkan eksodus ke
pantai timur Sumatra hingga semenanjung Malaya. Gelombang kedua, pada saat
pemerintah kolonial ketika diterapkan koffiestelsen di Mandheling en Ankola
(1840-1860) yang menyebabkan sebagian penduduk migrasi ke pantai barat Sumatra
dan ke afd. Padang Lawas dan Laboehan Batoe.
Pada saat pembukaan transportasi East-West
antara Medan dan Sibolga (1912-1920), terjadi migrasi besar-besaran yang
merupakan gelombang keempat penduduk Afd. Padang Sidempuan (nama baru
menggantikan nama lama afd. Mandheling en Ankola) menuju Sumatra Timur
(utamanya Medan dan Pematang Siantar dari sisi barat dan Rantau Prapat dan
Tanjung Balai dari sisi timur). Praktis, pada tahun 1920an putra-putri terbaik
dari Padang Sidempuan sudah mengisi berbagai posisi penting di Medan dan
Pematang Siantar serta area-area perkebunan. Profesi mereka antara lain, jaksa,
mantra polisi, pegawai pemerintah, anggota dewan, guru, dokter, ahli hukum,
pengusaha, krani dan sebagainya. Anak-anak mereka gelombang keempat ini juga
banyak yang migrasi ke Jawa dan memainkan peran penting pada fase antara
Kongres Pemuda (1928) dan Kemerdekaan RI (1945). Para penduduk migran ini juga
membawa kearifan lokal berupa musik tradisi Batak ke tempat-tempat perantauan.
Pemahaman orang Eropa/Belanda terhadap
penduduk Batak tidak sekaligus dan hanya sedikit-sedikit mulai dari Mandailing
dan Ankola. Bahkan penduduk Batak di dataran tinggi yang tidak jauh dari Medan (Karo)
malah belum banyak yang dipahami. Padahal jaraknya hanya sekitar tujuh jam
perjalanan dari Medan (ke danau Toba).
Di dataran tinggi Karo
Laporan-laporan tentang keberadaan musik
tradisi di Karo baru muncul pada tahun 1908. Seorang peneliti Belanda, Dr. Romer telah
memulai studi tentang Karo. Sebagaimana yang dilaporkan De Sumatra post, 21-02-1908
dari studi yang dilakukan oleh Dr Romer, penduduk Batak sangat terkait dengan
jiwa (tondi). Dalam setiap kematian penduduk melakukan aktivitas musik, karena
menurutnya setiap pikiran hidup melodi, ada menari dan benzoin dibakar,
semuanya dengan semangat. Musik juga dalam banyak kasus ekspresi Batak dikaitkan
pada saat sakit hati atau kesedihan. Ini dimaksudkan untuk mengurangi
kesedihan. Dr. Romer beranggapan bahwa introduksi bermain piano atau organ
(tradisi gereja) bahwa penderitaan penduduk mungkin dikurangi. Temuan-temuan
lebih lanjut Dr. Romer ini diberitakan pada tahun 1914.
Bataviaasch nieuwsblad, 22-05-1914: ‘Pemahaman kita
(orang Eropa/Belanda) terhadap Nederlandsch Indie terus meningkat. Salah
satunya, orang Batak, warga Batak di dataran tinggi, dapat turun dalam beberapa
jam ke Medan, di mana mereka kemudian dengan heran, mereka tiba-tiba
dikelilingi oleh orang-orang dan situasi yang mereka tidak bisa bermimpi.
Sampai beberapa tahun yang lalu mayoritas Eropa yang tinggal disini malah tidak
sedikit yang salah pengertian tentang apa yang terjadi di pedalaman, tetapi dengan
politik progresif pada tahun-tahun terakhir mata orang Barat mulai terbuka.
Baru-baru ini di Den Haag dalam menghadiri acara satu kuliah tentang Batak dari
seseorang yang telah tinggal selama belasan tahun, Dr. R. Romer. Dalam
pengantarnya menjelaskan bahwa bagian tengah Sumatera, yaitu bagian selatan
Sumatera Utara dan bagian yang dekat dengan Sumatera Tengah yang terletak dekat
khatulistiwa, dihuni oleh ras dengan nama umum Batak yang sudah kontak dengan
pengaruh Islam. Di sana-sini memiliki budidaya padi kering dan basah, sedangkan
Batak juga tidak kurang dalam kecerdasan, mereka memiliki hobi catur. Di Leiden
sudah dibentuk Batak Instituut untuk menaikkan taraf mereka. Misi yang telah
dilakukan sejauh ini adalah transportasi yang hanya tujuh jam ke danau Toba.
Kita bisa menemukan seni Batak, seseorang dapat menemukan jejak pengaruh dan
peradaban Hindu, sesuatu yang tidak ditemukan dalam Melayu. Lingkungannya masih
kotor, banyak babi dan pembangunan masih sedikit, Mereka mengkonsumsi beras,
juga menggunakan tembakau, kebiasaan tuak, opium, sirih, dll. Batak adalah
sepenuh hati penganut animisme dan percaya dalam segala jiwa (tendi). Penghormatan
kepada yang meninggal mencoba untuk memuaskan melalui musik dan tarian dan
membakar kemenyan. Batak telah dikenal sangat awal dalam pembuatan mesiu hitam.
Tombak dan pointer panah, satu diracuni dengan strugnine atau atropine. Gadis-gadis
sudah menikah 12-year-olds usia anak laki-laki berusia 14 tahun. Pada
tahun-tahun sebelumnya epidemic cacar secara teratur setiap 12 tahun kembali. Kusta
masih bertahan. Pada tahun-tahun sebelumnya, mereka yang terjangkit kusta di seluruh
kulit, mereka kemudian dibakar hidup-hidup. The Hague, April 1, 1914.
Orang Eropa pertama yang memasuki Tanah Karo
adalah Controleur Deli pada tahun 1865. Kemudian Controleur C. de Haan tahun 1872 kembali mengunjungi
Karo. Dalam laporan-laporan mereka tidak terindikasi adanya musik tradisi. Para
controleur ini hanya disambut secara biasa dan tidak dilakukan dalam bentuk
seremonial. Sebagaimana di tempat lain, kehadiran musik tradisi memang selalu
dikaitkan dengan hal kematian dan penyambutan orang penting dan upacara-upacara
tertentu.
Penyakit kusta yang dianggap penduduk sebagai penyakit
begu dan merupakan aib bagi keluarga hingga tahun 1914 masih belum teratasi
mungkin karena kurangnya perhatian pemerinatah. Ini dapat dipahami karena di
Medan dan Deli sendiri masih banyak ditemukan bahkan di tengah-tengah kota.
Oleh karena itu, pada tahun 1910 seorang dokter pribumi Dr. Mohamad Daoelaj
dipindahkan dari Jawa Timur ke Deli yang berbasis di Medan untuk memonitor,
merelokasi dan melakukan penanganan penyakit kusta yang diderita masyarakat.
Konon Tjong A Fie merasa bertanggungjawab untuk mengatasi kusta di perkotaan.
Tjong A Fie turut memberi kontribusi untuk pembangunan rumah sakit kusta di
Pulau Sitjanang. Dokter yang mengepalai rumah sakit kusta ini adalah Dr.
Muhamad Daoelaj, seorang anak Padang Sidempuan yang merupakan alumni terakhir
dari docter djawa school di Batavia dan lulus tahun 1905 (docter djawa school tahun
1902 berubah nama menjadi STOVIA).
Keterisolasian dataran tinggi Karo dari dunia
luar meski secara geografis sangat dekat Medan dan Laboehan Deli menyebabkan
penduduk Karo sangat jarang berinterasi secara intens dengan orang asing. Penduduk
Karo di dataran tinggi berinteraksi dengan penduduk Karo di dataran rendah di Deli
(Karo dusun) yang secara linguistic sudah berbicara dengan dialek Melayu. Namun
demikian, salah satu orang asing yang cukup dikenal di Tanah Karo adalah Dr.
Paneth. Ketika dilakukan perpisahan atas masa baktinya cukup lama di Karo,
penghormatan itu juga menghadirkan musik tradisi (namun tidak disebut secara
rinci)/
De Sumatra post, 01-03-1928 (Perpisahan Dr. O. Paneth): ‘Itu
hari Sabtu di Kaban Djahe terjadi keramaian.
Kantor-kantor ditutup, sekolah libur, semuanya dalam suasana hati yang meriah.
Tepat pukul 10 Controleur Karolanden, Dr. W Huender memimpin suatu pesta
perpisahan dengan mengatur dan dihiasi tenda untuk menghortmati yang fasih berbahasa
Batak Karo, Dr. Paneth dan ucapan terimakasih untuk semua yang telah
dilakukannya selama lima tahun di bidang medis untuk penduduk Karo; atas nama semua
penduduk dataran tinggi Bataksche memberikan kepada seorang Europeesche, Ms.
Paneth memberikan gong yang berharga dengan tulisan; sementara Dr. Paneth mendapat
hadiah, yang dibungkus dalam kotak dengan hiasan. Kemudian, berbicara Radja Sibajak
dan Radja Liugga memimpin musik Bataksche
yang ditempatkan dalam dua kereta yang dihiasi; representasi dari Poliklinik hospital
Dr. Paneth; Selanjutnya mobil besar penelitian paru; perlu dicontoh Ms Paneth yang
setia di rumah menggambarkan negara paling khas dari Karo’.
Dr. Paneth mengakhiri tugasnya memimpin sanatorium
penyakit TBC di Kabanjahe. Laboratorium ini sejak didirikan dipimpin oleh Dr.
Paneth. Pada tahun 1931 sanatorim ini dipimpin oleh Dr. Djabangoen. Alumni STOVIA
lulus tahun 1925 ini diangkat sebagai dokter pemerintah dan ditempatkan di
rumahsakit Malang, kemudian tahun 1929 dipindahkan ke Pandeglang (kampung
halaman Pirngadi) lalu kemudian dipindahkan lagi ke rumahsakit Padang Sidempuan
(kampung halaman Djabangoen sendiri) dan kemudian dipindahkan lagi tahun1931 ke
Kabandjahe untuk memimpin Sanatorium yang pernah dipimpin oleh dokter terkenal
Dr. O. Paneth (1931).
Dr. Pirngadi adalah alumni STOVIA, adik kelas dari Abdoel Moenir Nasoetion (abang dari SM Amin, gubernur Sumatra Utara yang pertama). Pirngadi lahir di Banten (Bantam)
lulus STOVIA tahun 1923. Pada tahun 1926, Raden Pirngadi dipindahkan dari
STOVIA di Welt. ke Medan dan pada saat yang sama, Maamoer Al Rasjid Nasoetion
dari Padang Sidempuan dipindahkan ke STOVIA di Welt.(lihat Bataviaasch nieuwsblad,
11-11-1926). Setelah cukup lama, Djabangoen Harahap (sepupu Soetan Casajangan)
dipindahkan tahun 1934 ke Medan dengan jabatan baru untuk menempati posisi yang
baru dibentuk di rumah sakit kota Medan yakni
Biro Konsultatif untuk Wabah TBC yang wilayah kerjanya semua wilayah Sumatra’s
Oostkust. Dalam tugas baru ini, Djabangoen bertindak sebagai Kepala Biro. Direktur
rumah sakit kota adalah Dr. Pirngadi (kelak rumah sakit ini bernama RS Pirngadi
dan Dr. Djabangoen sendiri di masa agresi militer (1945-1949) menjadi Ketua
Front Medan).
Pada
tahun dimana Dr. Djabangoen mulai memimpin sanatorium Kabandjahe tahun 1931, di
Batavia seorang anak Padang Sidempuan diangkat menjadi dokter pemerintah (baru
beberapa bulan lulus dari STOVIA), namanya Pamenan Harahap (Het nieuws van den
dag voor Nederlandsch-Indie, 29-08-1931) yang ditempatkan di Buitenzorg.
Kemudian dipindah ke Semarang dan pada tahun 1932 ditempatkan di Merauke (De
Indische courant, 24-10-1932). Kemudian pada tahun 1934 dari Merauke
dipindahkan ke Ruteng, residentie Timor en Onderhoorigheden (Bataviaasch
nieuwsblad, 07-04-1934). Kemudian dipindahkan lagi ke Soerabaja dan kemudian ke
Bontang (Bataviaasch nieuwsblad, 14-01-1937). Selanjutnya dari Bontang kembali
ke Batavia (Bataviaasch nieuwsblad, 28-03-1940). Lalu Pamenan Harahap mengambil
dokter spesialis dan lulus dari Geneeskundige Hoogeschool (Soerabaijasch
handelsblad, 21-05-1941). Kemudian Dr. Pamenan Harahap ditunjuk menjadi
pimpinan di DVG Batavia yang kemudian menjadi RS, Cipto (Bataviaasch nieuwsblad,
03-12-1941).
Di dataran tinggi Silindoeng dan Toba
Sumber pemahaman tentang musik tradisi di
Silndoeng en Toba seharusnya datang dari Nommensen. Seorang pendeta asal Jerman
yang mengawali persiapan misinya di Sipirok. Nommensen sudah lebih awal (dan
lebih banyak mengetahui seluk beluk di Silindoeng) sebelum pemerintah kolonial
membentuk pemerintahan di Silindoeng en Toba (Bataklanden). Sebelum Nommensen
masuk ke Silindoeng, Mr. van der Tuuk sudah lebih duluan ke Silindoeng dan misi
van der Tuuk untuk menerjemahkan Injil ke dalam bahasa Batak. Misi dan karya
terjemahan Mr. van der Tuuk ini bukan dibiayai dan diperuntukkan bagi
misionaris Jerman, tetapi untuk misionaris Belanda sendiri.
Herman Neubronner van der Tuuk seorang sarjana linguistic
dikirim suatu organisasi yang berafiliasi dengan kegiatan misi (NBG) di Batavia
untuk menerjemahkan Injil ke dalam bahasa Batak tahun 1851. Mr. van der Tuuk
melakukan ekspedisinya ke seluruh Tanah Batak hingga tahun 1857 termasuk ke
Ankola dan Mandheling. Di dalam surat-suratnya ke Batavia terindikasi bahwa van
der Tuuk melakukan interpretasi salah tentang pendidikan di Mandheling yang
dianggapnya sudah memiliki sekolah dasar negeri (biaya Negara). Mr. van der
Tuuk tanpa konfirmasi menganggap sekolah ala Godon itu sebagai sekolah dasar
negeri yang guru-gurunya berasal dari Residentie Bovenlanden. Boleh jadi atas
penglihatan sekilas di Mandheling, van der Tuuk mengirim rekomendasi untuk
pengiriman pendeta ke Tanah Batak yang terdiri dari 13 item, antara lain: harus
total, bersuami istri, mendirikan sekolah dan pendeta berbaur (dekat) dengan
penduduk, jangan mempertentangkan dengan muslim. Rekomendasi ini boleh jadi
tepat tetapi dasar membuat rekomendasi ternyata terdapat kesalahan dalam
analisis dan interpretasi yang tampaknya analog dengan yang terkesan (selintas)
terjadi di Mandailing. Rekomendasi ini mungkin dipertimbangkan sebagai bahan
NBG dalam proses mempengaruhi pemerintah di Batavia.
Gustav van Asselt diangkat pemerintah sebagai opziener
der derde klasse di Sipirok, onderafdeeling Ankola, Afdeeling Mandheling en
Ankola pada tahun 1858. Sebelum kedatangan van Asselt, sebagian besar penduduk
Sipirok sudah beragama Islam. Gustav van Asselt diduga memainkan peran sebagai
misionaris. Di Boengabondar sudah ada pendeta Belanda lainnya bernama Betz.
Pada tahun 1861 misionaris Jerman (RMG) datang ke Sipirok lalu meninjau ke
Silindoeng. Pendeta Jerman ini adalah Klammer, Heine dan Nommensen yang
kemudian kembali ke Sipirok September 1861. Pada bulan Oktober, Betz dan van
Asselt dari pihak Belanda dan Klammer dan Heine dari pihak Jerman mengadakan
pertemuan pertama para misionaris. Masa jabatan van Asselt sebagai opziener
berakhir pada tahun 1862 (lihat Almanak Belanda edisi 1856 sd 1862).
Rekomendasi yang sudah lama diusulkan van der Tuuk
tampaknya sulit bagi petinggi di NBG terutama beberapa item yang memang sulit
dilaksanakan. Tampaknya NBG lebih memilih cara pendekatan birokrasi (top down)
dari pada pendekatan penduduk yang diajukan van der Tuuk (bottom up). Boleh
jadi pembebanan tugas birokrasi Gustav van Asselt yang secara dejure adalah
pegawai pemerintah untuk urusan pengawasan di bidang perekonomian (kopi) di
Sipirok tiba-tiba dipersepsikan memiliki tugas rangkap untuk urusan privat
(NGO). Rangkap jabatan ini di sisi pemerintah adalah melanggar kode etik, namun
upaya memengaruhi pemerintah terus dilancarkan. Polemik ini sempat
berlarut-larut di koran-koran. Pemerintah tetap pada pendiriannya bahwa ada
pemisahan yang jelas antara pemerintah dan badan-badan keagamaan. Pemerintah
berpendapat, apapun agamanya, pagan, muslim atau Kristen, asal penduduknya mau
dan bersemangat untuk pembangunan jalan dan jembatan dan budidaya pertanian.
Permasalahan yang pelik ini dilihat jeli oleh RMG.
Sebagaimana misi dari pihak Belanda yang banyak gagalnya daripada berhasilnya,
juga dialami oleh misi dari pihak Jerman. Boleh jadi para pakar RMG diam-diam
mencermati rekomendasi van der Tuuk dan menyusun strategi baru. Beberapa
pendeta Jerman yang gagal dalam misi, seperti Klammer, Heinje dan
Nommensen di Kalimantan dialihkan ke
Sumatra di Tanah Batak. Klammer dan kawan-kawan di kirim ke Sipirok. Tim Jerman
ini cepat bergerak, tidak lama setiba di Sipirok mereka langsung melakukan
ekspedisi ke Silindoeng. Lalu setelah sekian bulan di Silindoeng, tim Jerman
ini balik lagi ke Sipirok yang kemudian melakukan pertemuan para pendeta dari
tim misi yang berbeda. Setelah rapat di Sipirok itu (antara pihak Belanda dan
pihak Jerman), nama van Asselt mulai menghilang. Boleh jadi butir keputusan
rapat itu untuk membicarakan pembagian wilayah. Untuk wilayah yang di bawah
pemerintahan sipil Belanda yakni Ankola dan Sipirok menjadi wilayah kerja
Belanda sedangkan wilayah yang ‘tidak bertuan’ yang bahkan militer Belanda
belum sekalipun ke Silindoeng akan menjadi wilayah kerja Jerman. Butir hasil
rapat lainnya yang juga penting kemungkinan soal kolaborasi dalam pendirian
institusi pendidikan di Sipirok.
Pendirian sekolah yang tampaknya mengikuti rekomendasi
van der Tuuk didirikan tahun 1863 di Sipirok yang merupakan kolaborasi
Belanda-Jerman yang mana investasi awalnya dari Belanda (van Asselt) sedangkan
gurunya dari Jerman yang dalam hal ini adalah Nommensen. Aksara yang digunakan
adalah aksara Latin dengan bahasa pengantar campuran bahasa Melayu dan bahasa
Belanda. Sekolah ini diduga awalnya bersifat non keagamaan. Beberapa anak-anak
Sipirok direkrut untuk mengikuti pelajaran di sekolah ini. Boleh jadi strategi
ini digunakan mengikuti rekomendasi Mr. van der Tuuk karena seringnya para
pendeta yang melakukan misi dengan kegagalan di tempat lain. Dua murid yang
terkenal dari sekolah ini adalah Muhammad Yunus yang berganti nama menjadi
Thomas dan Sarif Anwar yang berganti nama menjadi Ephraim. Dalam perkembangan
lebih lanjut sekolah ini menjadi sekolah zending
Seperti diutarakan sebelumnya, Mr. van der
Tuuk sangat diterima penduduk Silindoeng karena kemampuannya berbahasa Batak
dan memainkan musik tradisi Batak yang dipelajarinya di afdeeling Mandheling en
Ankola. Pemahaman musik tradisi Batak di Mandheling
en Ankola menjadi mudah bagi van der Tuuk ketika berada di Toba. Di dalam
laporannya ke Batavia, van der Tuuk menyinggung sedikit tentang musik tradisi
Batak sebagai bagian yang penting dalam suatu penyambutan dirinya di salah satu
huta di Toba dan perlu dilaporkan. Laporan van der Tuuk tentang keberadaan music
tradisi Batak ini dirilis oleh Pleyte (lihat CM Pleyte di dalam Tijdschrift
voor Indische Taal-, Land-, en Volkenkunde, 1904).
‘…Keesokan harinya pukul 8:30 upacara dimulai, dimana di halaman terdapat rak, dua tongkat bercabang (tiang) untuk menyangga alu beras secara melintang tempat dimana digantung rendah di atas tanah empat ogoeng (gong, simbal logam) yang berbeda suara yang diselaraskan oleh poeli. Selain rak itu, terdapat rak, satu papan besar tempat odap (drum) yang mana salah satu dari empat pemain untuk memainkannya. Di sisi lain dari rak digelar tikar untuk para tamu dan pemain dari saroene (jenis oboe)…lalu kerbau dipersiapkan yang sudah terikat..Tuan rumah dengan jubah (ulos?) di pundaknya berdiri di tengah-tengah dan sambil menari melakukan persembahan ditangannya sebuah santi santi (beras korban), yang dia kirimkan ke sombaom mortoea ((beschermgeest) ditahbiskan. Dia memohon berkat dari Tuhan tentang dirinya, keluarganya dan tamunya, anak-anaknya, lalu datang untuk menawarkan kita sirih. Dia juga meminta saya untuk menari (manortor) bersamanya, tetapi saya menjelaskan kepadanya saya tidak memiliki keahlian untuk itu diwakii ole pemandu saya. Ketika tarian (tortor) usai, kerbau disembelih, disiapkan dan makan bersama. Setelah makan tuan rumah sesuai dengan adat Batak melakukan permintaanmaafnya…kemudian sebagai balasan, saya dan pemandu saya memberikannya dua paket hadiah tembakau...Pada tengah hari kami meninggalkan acara..’.Nommensen yang sudah lancar berbahasa Batak (Sipirok) tetapi kurang memikirkan apa itu musik tradisi Batak ketika memulai tugasnya di Silindoeng. Nommensen tampaknya tidak punya waktu untuk memperhatikan muziek, dan memang harus fokus dan intens untuk pengembangan misi di Silindoeng. Begitu beratnya tugas Nemmensen, dan sering mengalami sakit. Bahkan ketika teman seperjuangannya misionaris Weber meninggal di Panabasan, Angkola, Nommensen tidak bisa hadir karena sakit. Yang hadir hanya Beth, Dammerboer (Loeboek Raja, Angkola) dan van Dalen (Sipirok) serta Dr. A. Schreiber (Parau Sorat), kemudian menyusul datang Klammer (Boenga Bondar), Leipoldt dan Schutz (Sigompoelon) (lihat Bataviaasch handelsblad, 07-12-1871).
Perjuangan Nommensen semakin sulit karena
Sisingamangaradja sudah mulai melancarkan perang…(tunggu deskripsi lebih lanjut).
Secara resmi baru beberapa orang yang pernah melihat
danau Toba, antara lain: dua misionaris Amerika di Hoeta Tinggi, controleur Brans,
Cleerens, Trenité, Kroesen (mantan controleur Ankola), De Haan (mantan
controleur Deli) dan van Hengst, Mr. Reinier Verbeek dan Snackey, (Gubernur)
Arriens, seorang fotgrafer Inggris, Mr. Henny (controleur Ankola) yang saat ini
direktur O,E en N dan etimologis yang dikenal sebagai Dr. HN van der Tuuk, para
misionaris seperti Van Asselt, Heine, Nommensen, Johansen dan beberapa orang
lainnya (lihat Het nieuws van den dag : kleine courant, 14-03-1877).
Sisingamangaradja tahun 1907 sudah tewas
dalam pertarungannya melawan militer Belanda. Itu juga membuat Nommensen lebih
nyaman untuk memperluas dan mengintensifkan kegiatan misi. Implikasinya, di
satu tahap akan mempersempit ruang bagi pengikut Sisingamangaradja dan pada
tahap berikutnya akan menghalangi pendukung musik tradisi untuk lebih
berkembang. Secara sosiologis pendukung musik tradisi mungkin tidak berkurang
tetapi dari lingkungan gereja akan menjauhkan diri dari tempat-tempat musik
tradisi diselenggarakan. Sebaliknya, meninggalnya Sisingamangaradja justru memperkuat sodalitas diantara pengikut
yang terus setia. Sodalitas yang meninggi ini tampak dengan munculnya sekte
baru dari Parmalim yang disebut Paroedamdam, suatu kelompok pengikut Parmalim
yang mengkultuskan Sisingamangaradja sebagai nabi.
De Sumatra post, 25-03-1918: ‘kita membaca di tempat lain
sudah mengumumkan, brosur Mr. M. Joustra: Sudah dari tahun 1893 di sana muncul sekte
Parmalim. Pengikut dan juga ‘datoe’ dari Sisingamangaradja yang dikenal sebagai
Parsitèngka (diucapkan Parsitekke) yang menyebut dirinya sebagai kepala dari Parhoedamdam
(yang benar adalah Paroedamdam) dan kini memiliki pendukung yang dianggap
sebagai sekte baru muncul di awal tahun 1916. Pendukung ‘agama pemutihan’ ini
yang tersebar di berbagai tempat telah datang bersama-sama untuk berkumpul untuk
merayakan upacara keagamaan dengan gondang muziek. Dalam hal ini orang-orang
Eropa sedikit lebih bijaksana tentang doktrin-doktrin yang nyata dan motif dari agama ajaran yang fanatik bukan untuk
kita sebagaimana yang ditemukan dalam ajaran dan tindakan Parmalim. Ini adalah
melawan politeisme, memuliakan Sisingamangaradja sebagai nabi mereka, melarang
penggunaan daging babi dan menjual jimat. Kami bisa mendiamkan tentang hal ini
tetapi di sisi lain dari pembangunan mental, membutuhkan penjelasan lebih
lanjut. Bagaimanapun Batak terbagi dalam perbedaan, masing-masing kelompok
sering bermusuhan, namun kelompok ini tidak terlihat kea rah pembentukan persatuan
nasional dan lebih pada spiritual. Para pengikut ini tampaknya, apalagi sejak
tahun 1907 setelah kematian radja mereka, tahu betul bahwa pemerintah kita
mengambil sikap netral dalam masalah agama..(tunggu dekripsi lebih lanjut)
Sebagaimana agama, dan pendidikan yang
terbilang relatif baru di Silindoeng dan Toba, juga sistem pemerintahan juga
terbilang baru. Fungsi pemerintahan dalam hal ini selain memimpin penduduk juga
untuk berfungsi untuk mengarahkan pengembangan social seperti pendidikan,
hiburan dan adat istiadat. Dalam system pemerintahan tradisi di Tanah Batak,
unit terkecil adalah huta dimana radja berasal dari turunan asli. Ketika
huta-huta disatukan dalam federasi pemerintahan, Belanda memperkenalkan kepala
negeri yang dilakukan proses pemilihan. Di Zuid Tapanoeli kepala negeri ini
disebut kepala koeria.
Soerabaijasch handelsblad, 21-01-1929: ‘Unit dasar di
Batakinaatschappij adalah hoeta. . Pada kepala hoeta adalah Raja nihocta,
pendiri asli. Ketika orang Eropa memperkenalkan pemerintahan.. Ini kepala negeri merupakan indikator status social. Huta
lain (non asli) juga bisa bersatu menjadi federasi hoeta yang disebut kepala
djaihoetan. Dia (radja asli) memiliki seseorang di sampingnya, disebut radjapadoea,
kepala kedua. semacam raja muda atau wazir agung (di Melayu). Desa-desa ini
direformasi dengan membentuk Negeri (federasi huta) yang dipimpin oleh kepala
Negri. Dalam pemilihan kepala Negeri ini sering djaihoetan tua disertakan. Tapi
agen dari pemerintah kita (kepala negeri) juga ditunjuk melalui pemilu, dan
tidak selalu kepala keluarga asli yang pemenang atau yang ditunjuk. Ketika saya
masih di Balige, saya melihat pemilu tidak hanya terlambat, juga selalu membawa
banyak keributan antara orang-orang yang terkait dengan itu. Bagi penduduk,
pemilu ini adalah hajat besar, dan tidak selalu menggembirakan, dengan banyak
sudah menjadi tradisi presentasi simbolis candidatcn tersebut. Dari daftar,
saya melihat bahwa ada 52 pemilih mewakili huta yang mana tidak kurang dari
tujuh kandidat (untuk kepala negeri). Setengah dari jumlah kandidat tidak bisa
membaca dan menulis. Mereka yang telah di tindak lanjut dari hak kepala
sebelumnya (di negeri lain di Silindoeng en Toba), diberi untuk itu keuntungan,
bahwa ada jumlah, suara untuk mereka, keempat ditambahkan. Ini untuk kepala
keluarga untuk menjaga satu hal penting, martabat kepala dalam keluarga.
Pertarungan itu adakalanya memerlukan pengorban besar. Di Sipirok aku mendengar
kasus berikut, yang disebut khas. Suatu keluarga yang populasinya kecil
berhasil secara signifikan meski harus berhadapan dengan mayoritas untuk
memenangkan jabatan dalam pemungutan
suara itu..Ketika ada keluarga khawatir bahwa ia dan calon asli akan
memenangkan pertempuran untuk kedua kalinya. Jadi dia meminta salah satu
anggota intelektual yang memiliki pekerjaan yang baik di (perantauan), di mana
satu akan merindukannya sebagai calon keluarga untuk bertindak. Pria itu merasa
memiliki hak, demi kehormatan keluarga, tidak menolak. Dengan berat hati ia
meninggalkan jabatannya setelah ia terpilih (kepala koeria), dan dia kembali ke
desa. Dia memiliki menurutnya tidak ada pilihan.. Di
Selatan disebut federasi koeria sebagaimana federasi negeri di utara. Mereka
sangat tidak setara dalam ukuran. Sebagai contoh di Sipirok ada sekitar 3.000
orang sementara koeria yang lain hanya 100 atau 200 orang (pemilih)’
Gambaran ni mengindikasikan bahwa musik tradisi Batak di satu sisi sebagian penduduk dilarang (karena musik tradisi dianggap terkait dengan kepercayaan lama) di sisi yang lain pengikut kepercayaan lama dan pengikut setia (Paroedamdam) justru menghadirkan music tradisi sebagai bagian yang tidak terpisahkan. Sistem sosial, ekonomi dan politik juga besar kemungkinan mempengaruhi perkembangan musik. Interaksi penduduk dengan para perantau juga turut dalam mempengaruhi perkembangan musik sebagai mana dapat dilihat di Zuid Tapanuli khususnya di Angkola dan Sipirok.
Di lembah Angkola dan dolok Sipirok
Sejak
1905, ketika Residentie Tapanoeli dipisahkan dari province Sumatra’s Westkust
(pantai barat Sumatra), Residtentie Tapanoeli terdiri dari tiga afdeeling: Afd.
Sibolga, Afd. Padang Sidempuan dan Afd. Tarutung. Afdeling Padang Sidempuan
terbagi empat onderafdeeling: Mandailing, Angkola, Padang Lawas dan Natal.
Onderafdeeling Ankola terdiri dari distrik-distrik Angkola Djae, Angkola
Djoeloe, Batang Toru dan Sipirok. Angkola adalah suatu lembah dan Sipirok
adalah suatu dolok (pegunungan).
Dalam
konteks musik, dua distrik ini merupakan dua tempat di pedalaman Tanah Batak
yang terbilang awal dalam pekermbangan musik modern. Pada sekitar tahun 1900,
kehadiran café Biljart milik Marczak di Padang Sidempuan adalah semacam ‘kawah
candradimuka’ bagin anak-anak Padang Sidempuan berinteraksi dengan music modern
dan instrument music modern. Sementara itu di Sipirok, sudah sejak lama (plaing
tidak sejak 1890) dintroduksi alat-alat musik modern (awalnya musik tiup) untuk
kebutuhan anak-anak sekolah di Sipirok. Namun meski demikian, music modern tidak
dengan sendirinya mengganti musik tradisi yang konon music tradisi ini sudah
ada sejak era Budha/Hindu di Angkola (abad ke delapan). Sebuah koran di sudut
negeri Belanda menulis tentang keberadaan music di Angkola.
Nieuwsblad van het Noorden, 09-03-1922 (Literatuur en
kunst. De muziek der Bataks): ‘Sastra dan seni musik dari Batak. Sebuah
orkestra Batak terdiri dari 5 taganning, sebuah odap, sebuah gondang. Ini
adalah drum kayu besar dan kecil, yang dipukul dengan dua tongkat yang
dimainkan pada satu sisi; sedangkan odap juga dipukuli pada saat yang sama
dengan tangan di sisi yang lain; 5 simbal kuningan; hasar-hasar, lalu alat yang
dipukuli dengan tongkat tebal yang disebut ogoeng oloan, ogoeng panonggahi, ogung
yang lebih kecil disebut doal, dan ogung yang lain yang disebut panggara, dan kemudian
ditambah alat yang lainnya yang disebut saroene semacam clarinet. Peralatan dan
orchest ini berada di Angkola dengan lagu yang dinyanyikan berupa sajak. Band ini
dimainkan pada acara-acara meriah dan selalu dikorbankan kepada roh-roh nenek
moyang dengan melakukan tarian (tortor) bertujuan untuk mengenang leluhur di
pemakaman dan mengkalibrasi pikiran untuk menerima prediksi untuk masa depan,
dengan demikian andoeng (ratapan bagi leluhur untuk memperkuat). Di luar
hari-hari raya persembahan tersebut juga membuat musik untuk acara kehormatan
tinggi (upacara adat dab menerima tamu besar). Marga yang berbeda juga memiliki
musik yang berbeda, tapi orang Eropa sulit membedakan itu. Bagi muda-mudi untuk
hiburan malam mereka juga terdapat instrumen yang lain, yaitu hasapi, gitar dua
senar, rabab, biola dua senar, sordam dan toelila, seruling terbuat dari bambu
(melodi)’.
Artikel yang terbit di luar negeri itu
mengingatkan bahwa musik tradisi di Angkola masih eksis. Deskripsi tahun 1922
tersebut kurang lebih sama dengan apa yang telah dideskripsikan oleh TJ Miller
tahun 1845. Tampaknya instrument musik tradisi tidak berubah walaupun kehidupan
secara social-ekonomi di Mandailing dan Ankola telah berubah total (dari
primitive ke modern). Pada saat Miller menjadi Asisten Residen afd. Mandheling
en Ankola (1840-1845) kota Padang Sidempuan baru dibentuk dan dibangun dimana
baru ada rumah controleur Godin, barak-barak militer dan beberapa bangunan
untuk pegawai pemnerintah dan komandan-komandan militer. Kampung Sidempuan yang
terletak di utara pusat Belanda ini lalu
kemudian dalam perkembanganya kota baru ini diberi nama menjadi Padang
Sidempuan. Kini kota kecil (town) di tahun 1845 kini (1922) telah menjadi ‘kota
besar’ (city), ibukota dari afd. Padang Sidempuan (gabungan dari tiga
afdeeling: afd. Natal, afd. Mandheling en Ankola dan afd. Padang Lawas).
Di kota Padang Sidempuan, yang secara teknis
lebih besar dari Sibolga (ibukota residentie) tentu saja banyak aktivitas yang
tidak ada di Sibolga tetapi ada di Padang Sidempuan. Namun belakangan ini
(sejak 1909-1922) populasi orang Eropa sudah lebih banyak di Sibolga daripada
di Padang Sidempuan, bahkan populasi orang Eropa/Belanda sudah lebih banyak di
Batang Toru. Pada periode 1909-1922) distrik Batang Toru telah berkembang
menjadi pusat industry perkebunan di Tapanoeli, paling tidak sudah ada satu
perusahaan besar yang beroperasi di Batang Toru, sementara di Padang Sidempuan
hanya satu perusahaan. Oleh karenanya, suasana Eropa di Padang Sidempuan di
masa dulu (1880-1910) sudah bergeser ke Sibolga dan Batang Toru. Namun
demikian, Padang Sidempuan masih tetap kota yang penting, utamanya bagi
pribumi. Pada tahun 1922 kota Sipirok mendapat kesempatan untuk menjadi tuan
rumah pameran dari seluru Residentie Tapanoeli.
De Sumatra post, 24-06-1922: ‘Pameran pertama diadakan di
Residentie Tapanoeli, 31 Agustus, 1 September dan 2 September, Manajemen pusat
dari Batak telah melakukan studi waktu cukup panjang, yang dimaksud untuk
mengadakan pameran di Residentie Tapanoeli. Tempat yang dipilih dari rencana tersebut
adalah Sipirok, tempat dimana banyak tokoh penting berasal dan merupakan
inisiatif dan dukungan kerjasama penuh dari penduduk yang diusulkan oleh Dr.
Abdul Rasjid. Pemerintah di Sibolga telah berkonsultasi dengan Dr. Abdul Rasjid dan
telah diizinkan dan pemerintah akan datang dan mendukung program ini apalagi
pameran ini berskala besar, tidak hanya penduduk Sipirok tetapi seluruh
penduduk Tapanoeli, dimana daerah ini sudah sejak lama terasa kelesuan di semua
suku Batak, sementara Resident melakukan segala hal dan berupaya memberi dukungannya
agar memberikan keberhasilan. Pameran ini juga dimaksud untuk tujuan
mempromosikan perkembangan penduduk dalam arti yang luas dari semua suku dimana
telah muncul keprihatinan. Pameran ini terdiri dari 1. pertanian, 2. hasil
hutan yang berbeda, 3. ternak, unggas dan budidaya perikanan, 4. usaha atau bisnis
untuk semua perusahaan, 5. urusan teknis untuk kerajinan rakyat, 6. industri tenun
dan kerajian rumah tangga, senjata dan alat-alat, 7. instrumen untuk musik
Inlandsch, 8. tarian dan hiburan dari penduduk, 9. Pendidikan dan sejarah penduduk.
Untuk tujuan di atas, setiap negara (daerah) akan membentuk sebuah komite dan
jika perlu juga di wilayah komite lainnya untuk kerjasama dan dukungan
terbentuk. Hasil pameran kemudian akan disumbangkan sebesar 50 persen untuk pembangunan
sekolah di Sipirok dan 50 persen untuk penduduk Batak lainnya, seperti beasiswa,
boarding H1S Kotanopan, poliklinik di Panjaboengan, serta kemiskinan, penderita
kusta dan semua instansi berguna dan
membantu di Residentie Tapanoeli’.
De Sumatra post, 27-09-1922 (Pasar Derma di Sipirok): ‘Sebagai
pembaca kami tahu, adalah Dana Beasiswa Batak atas inisiatif Dr. Abdul Rasjid
dan dokter hewan Dr. Tarip, pameran pertama yang diselenggarakan di Sipirok,
Residentie Tapanoeli, sementara manfaat yang diperoleh dari pameran ini akan
digunakan untuk mendukung HIS sekolah swasta di Sipirok. Pameran ini telah
berlangsung tanggal 31 Agustus yang dibuka oleh Resident Tapanoeli di hadapan Asisten
Residen, para controleur dan semua pemimpin pribumi dan berlangsung sampai 6 September
dan bisa disebut sukses, Untuk setiap pengunjung masuk dipungut 10 sen dan penerimaan
telah datang setiap hari sebesar f1600. Pameran ini sangat besar dan mencakup
area seluas sekitar 20 bangunan konstruksi, dibagi menjadi beberapa bagian yang
berbeda, seperti 1. pertanian, 2. untuk produk kayu, 3. untuk ternak, unggas
dan budidaya ikan, 4. untuk menjahit, menenun, dll, 5. untuk kerajinan tangan
dan alat-alat lain, 6. untuk barang antik dan buku dari pengetahuan tentang
sejarah Batak, 7. instrumen, 8. untuk menari, pidato dan musik. Di situs ini
juga dihadirkan opera Melayu ‘bangsawan’ dan bioskop, sementara itu hadir juga musik
dari Silindoeng en Toba. Pameran produk dari seni Batak menjadi sangat sukses
yang juga pertunjukan opera semacam wayang legendaris yang besar dari sejarah
Batak kuno, yang sangat menarik. Setiap hari pertunjukan yang diselingi dengan pacuan
kuda, kerbau dan lomba tradisi lainnya. Untuk juara baik bagi peserta pameran
dan pemenang lomba juga disediak hadiah yang terbuat dari perak dan piagam.
Dalam acara balapan juga dipungut tiket f10 dewasa dan dan f5 anak-anak. Balapan ini sangat meriah
karena didukung oleh semua para kepala dari Mandailing, Angkola, Sipirok,
Padang Lawas, Toba dan semua area lain dari Bataklanden. Untuk tahun depan agar
adil bisa digelar di tempat lainnya seperti misalnya Toba, Balige, Mandailing
atau Sibolga, sebagai ibukota’.
Gambaran yang sedikit
di atas telah mengindikasikan bahwa Sipirok adalah kota yang penting di
Tapanoeli, kota yang memiliki kedekatan dengan semua sub etnik di Residentie
Tapanoeli. Kesiapan penduduk Sipirok menerima tamu dan antusiasnya para
pemimpin dari berbagai wilayah di Residentie Tapanoeli merupakan gambaran yang
sebenarnya tentang Sipirok sebagai kota yang lebih adaptif (dalam arti sekarang
lebih kosmopolitan). Yang juga menarik dalam acara pameran ini adalah kehadiran opera Melayu 'bangsawan', suatu grup opera keliling yang berbasis di Penang. Pada saat Dja Endar Moeda pabagaskon boru panggoaran di Padang tahun 1903, opera ini juga dihadirkan untuk mendampingi musik tradisi Batak. Dinamika
politik pada era itu juga sudah berjalan dalam koridor demokratis.
De Indische courant, 24-10-1929 (Volksraadslid voor Tapanoeli): ‘Menurut Oetoesan Sumatra, anggota dari dewan lokal untuk Angkola Sipirok dan tidak akan puas dengan representasi saat ini daerah-daerah di Volksraad. Hal ini diyakini bahwa Dr. Alimoesa (Harahap) adalah wakil dari Koeriabond (negorijhoofden), tetapi tidak memenuhi sebagai perwakilan di dalam dewan negara. Oetoesan Sumatera sementara ini tengah mepertimbangkan beberapa kandidat sebagai calon yang akan mewakili dari orang-orang Tapanoelische: 1. Dr. Abdul Rasjid (Siregar), dokter swasta di Sipirok, 2. M. Soangkoepon (Abdoel Firman Siregar), anggota Volksraad (yang sekarang mewakili Sumatra Timur). Berturut-turut, kemudian disebut 3. Abdul Aziz (Nasoetion), direktur Sekolah Pertanian Swasta di Fort de Kock. 4. Mr. Alinoedin (Siregar) Enda Boemi, PhD di Buitenzorg (kepala pengadilan Bogor). Orang-orang ini akan berdiri membangun kualitas dan delegasinya ke Dewan Rakyat (sebagai calon favorit) yang akan berarti Djempol (terampil) mewakili Tapanoeli di Pedjambon’.
Deskripsi dan
perbandingan musik Batak: Joustra dan Encyclopaedie
van Nederlandsch-Indie
Dalam
bukunya Batak Spiegel (diterbitkan 1926), M. Josutra mendeskripsikan musik Batak.
Menurut Joustra orkest musik Batak pada dasarnya sama untuk semua sub etnik
Batak. Namun demikian di Zuid Tapanoeli dan Padang Lawas orkest Batak adalah
paling lengkap. Orkest dimainkan dalam dua kesempatan, yakni untuk hiburan dan
untuk upacara-upacara. Orkest sendiri sangat jarang ditampilkan. Orkest Karo
terdiri dari tiga gendang, drum ukuran yang berbeda; gong besar (goeng), sebuah
gong kecil atau penganak (yang juga digunakan untuk mengumpulkan penduduk), dan
sejenis clarinet (saroene). Alat musik lainnya adalah kecapi logam (genggong);
kecapi Yahudi (saga saga) dari batang daun kelapa (kedeng); berbagai seruling
dan plute yang terbuat dari bambu (baloeat), dan soerdam; alat musik petik (jenis
biola) dan koeltjapi (jenis mandolin). Mainan yang digunakan musik adalah plute
(oli-oli) dari batang padi yang kadang-kadang suarnya diperkuat dengan memperpanjang
berbentuk corong dari daun kelapa yang digulung. Mainan lain adalah
keteng-keteng, bersama bambu, yang satu telah terpisah sepotong kecil kulit dan
dikencangkan dengan menggeser bawah dua gulungan. Tidak digunakan dalam musik orchestra.
Di
Simaloengoen bahwa instrumen yang sama seperti di Toba. Di Dairi orkest tidak
selalu terdiri dari jumlah yang sama. Yang paling lengkap diantara kedua daerah
ini adalah di Si Lindoeng dan Toba karena terdiri dari lima cekungan logam yang
lebih besar dan lebih kecil (ogoeng), tujuh drum yang mengidentifikasi lima
tataganing, yang sebenarnya adalah timpani; dua lainnya disebut odap, yang besar
disebut gordang dan drum kcil dan satu klarinet, saroenë. Dari lima cekungan
logam ada robek, dan karena itu memberikan nada snerpenden; Cekungan ini
disebut hësëk-hësëk atau hasar-hasar. Band ini tampil di festival besar dan
upacara keagamaan, dan berfungsi untuk mengiringi tarian. Sebagai alat untuk latihan
adalah garantoeng, semacam piano, yang terdiri dari lima batang kayu, yang
mencerminkan skala sebagaimana dalam bermainan drum, dan lainnya, alat ini di
dalam sebuah wadah terbuat dari rotan. Alat lainnya, djënggong (logam
mondharpje), saga saga (organ mulut tangkai daun kelapa), berbagai seruling
bambu: salohat, sejenis seruling, dan seruling lurus sordam (toelila),
singkadoe dan toenggam; dan akhirnya instrumen yang menggunakan senar, hasapi
atau hapetan, semacam mandolin. Dalam beberapa tahun terakhir, mungkin awalnya seruling tergeser oleh
soelëng, seruling lebih atau kurang untuk sistem Eropa, tanpa katup.
Di
Zuid Tapanoeli (Mandailing dan Angkola) alat musik disebut: tabu rarangan, drum
besar (bedug) yang digunakan untuk mengumumkan peristiwa penting; yang
membentuk instrumen orkestra, agak berbeda dari Silindoeng en Toba. Di Zuid
Tapanoeli terdiri dari sembilan drum atau timpani (gordang) dan juga gondang boeloe
yang disebut noengnëng, doal (setara dengan penganakdi Karo), tjënang yaitu
tali sasajak (simbal logam) dan saroenë. Instrumen lain seperti toelila, sordam dan oejoep-oejoep, salempong, alang lio
(Mand.) atau ole-ole (Angkola), dan hoesapi. Untuk gordang semua memiliki nama
sendiri dan bermain pada beberapa kesempatan,
Di
Padang Lawas sebuah orkestra lengkap harus terdiri dari: sembilan timpani silinder (panggorak, djondjong), dua atau
empat cekungan besi cor (ogoeng), lima timpani
besar (ondas-ondas), gong besar (ogoan), delapan kerucut berbentuk drum (gordang),
gong robek (hasar-hasar), klarinet (saroene), dua berbentuk baskom (tati sajak)
dan cekungan lainnya sebagai saraban) momongan, oening-oeningan dan garantoeng
(yang terakhir menjadi sebuah instrumen dalam gambang Java), dua timpani kecil
(odap) dan biola (hapëtan). Untuk orkestra lengkap hadir dalam hal yang penting
dan sangat jarang. Alat music lain yang bukan band adalah sangka dan sordam
(seruling), saga saga (mondharpje). Dari tempat lain diimpor salëmpong (satu
set simbal kuningan), goetjapi atau sakalipak (sejenis alat musik gesek), dan
tawak-tawak, sejenis baskom tembaga.
Sumber
lain, soal deskripsi dan perbandingan musik Batak ini juga ditemukan dalam Encyclopaedie
van Nederlandsch-Indie, 1917-1939 pada seksi Musik dan Musikal. Disebutkan
bahwa Atjeh memiliki orchest dengan berbagai instrument namun bakat musik di
Atjeh kurang berkembang akibatnya melodi di dalam pertunjukan musik mereka juga
nyaris tidak ada. Tampaknya seolah-olah setiap orang bermain sendiri-sendiri, tidak
mendengar apa yang dilakukan oleh tetangganya. Orchest Atjeh akibatnya menjadi
kerdil.
Di
Tanah Batak band tampak besar: empat gong dan enam, tujuh
atau sembilan drum (gondang) yang distel dengan nada yang berbeda, yang
dipukuli oleh dua orang dengan tongkat yang dilakukan dengan kecepatan dan
stabilitas dimensi yang diperlukan. Juga terdapat odap dan tamborin yang
dipukul dengan tangan satu orang, saroenè atau sordam, flute dan hasar-hasar, gong
yang dimainkan oleh satu orang. Delapan pemain yang diperlukan dalam band ini,
Sehubungan
dengan persebaran music tradisi Batak, kita dapat melihat adanya beberapa
perbedaan yang spesifik yang dapat dibuat gradasinya. Di Karolanden, orchestra
terdiri dari tiga gëndangs (drum ukuran yang berbeda), gong besar (goeng),
kecil (pënganak), semacam klarinet (saroene), suatu instrumen yang terpisah
dimainkan meliputi mondharpje logam (genggoeng), daun kelapa tangkai (saga
saga), seruling tipis (baloewat), tebal (soerdam), biola (moerdap), mandolin
(koetjapi) dan sitar bambu (keteng-keteng).
Di
Silindoeng dan Toba orchestra terdiri dari lima logam cekungan (ogoeng), tujuh drum,
yang benar-benar digunakan enam yang disebut timpani (tataganing, odap dan gordang
retak), klarinet (saroene) dan keyboard terbuat dari kayu dengan 5 bar
(gërantoeng), menunjukkan skala Batak. Logam yang dimainkan secara terpisah disebut
kecapi Yahudi (djenggang), sebuah ‘organ mulut’ dari tangkai daun kelapa (saga-saga),
seruling (salohat), seruling lurus (soerdam, singkadoe dan toenggan) dan
instruments dua string (hasapi, hapetan).
Gondang Sambilan (internet) |
Keyboard
kayu sebagaimana dijelaskan sebelumnya, merupakan gambang kayu Jawa yang dibuat
dalam bentuk yang lebih sederhan, terdiri dari enam bar. Sitar bambu sebagaimana
ditempatlain (Kepulauan Melayu, Jawa, Sumatera, Nias, Maluku dan Timor, dan di
tempat lain) berbeda dengan gendang boeloe yang mungkin asli dari Batak. Piano
kayu (gerantoeng) dan mandoling dari kecapi jika dimainkan bersama-sama, itu
terdengar seperti music. Simbal pada drum dimaksudkan untuk memperkuat suara
atau gong pada gondang. Gong diduga dibeli dari Tiongkok. Musik ini selain
untuk mengirik tarian (tortor) adalah untuk memanggil roh, dimana setiap panggilan
yang dipikirkan memiliki melodi sendiri-sendiri. Diantara daerah-daerah Batak, musik
tradisi dianggap sebagai pelanggaran oleh pihak misionaris dan sebagai
alternatifnya memperkenalkan instrument yang terbuat dari kuningan (alat musik tiup).
Dari deskripsi dari
dua sember di atas baik yang terdapat dalam eksiklopedia maupun yang
dideskripsikan oleh Joustra pada dasarnya sama dan sebangun. Dalam hal ini kedua
sumber tersebut tidak terindikasi apakah merupakan hasil pencatatan sendiri
atau mengacu pada sumber-sumber sebelumnya. Sementara itu secara parsial untuk
musik tradisi Batak di Zuid Tapanoeli (Mandailing dan Ankola) sebagaimana
dideskripsikan oleh WA Hennij (1866) tidak berbeda jauh dengan yang pernah
dideskripsikan oleh TJ Willer (1845). Hasil pencatatan TJ Willer dan WA Hennij
boleh jadi menjadi sumber dari Joustra dan sumber dari ensiklopedia.Bagaimana gong yang berasal dari Tiongkok masuk ke Tanah Batak besar kemungkinan karena peranan pedagang Tionghoa yang telah lama memasuki Angkola. Dalam laporan Kastil Batavia 1701 terdapat catatan seorang pedagang Tionghoa yang baru datang dari Ankola. Dia sudah selama 10 tahun berdagang di Angkola dimana dia membeli kamper, emas dan kemenyan dan memnukarkannya dengan garam, besi dan kain. Pedagang Tionghoa ini menikah dengan putri Angkola dan memiliki satu putri. Pedagang Tionghoa ini berdagang antara Angkola dengan Panai di pantio timur Sumatra sepanjang sungai Baroemoen. Jika ditarik lagi ke belakang, bahwa menurut laporan Pinto (1536) bahwa di pedalaman terdapat Batak Kingdom (Aroe Kingdom) yang telah memiliki hubungan dagang dengan Malaka. Juga dari laporan-laporan Tingkok juga ditemukan bahwa Kerajaan Aroe (mereka menyebut Alu) sudah memiliki hubungan dagang pada abad ke empat belas. Jika benar bahwa hipotesis bahwa Kerajaan Aroe berada di hulu sungai Baroemoen, maka instrumen gong dalam musik tradisi Batak sudah ada sejak abad ke empat belas. .
Penelitian musik Batak oleh Dr. Karl Halusa dan penyiaran musik tradisi Batak di Jawa
Musik tradisi Batak sudah sejak lama
diidentifikasi (1845 oleh TJ Willer). Meski musik tradisi secara langsung atau
tidak langsung perkembangannya telah dihambat oleh pemerintah, pemuka agama
Islam (Mandheling, Ankola dan Padang
Lawas), dan bahkan oleh gereja (Silindoeng en Toba) namun eksisrensi masih
terus berlanjut. Di Toba, instrument musik tradisi menjadi bagian dari
ritual-ritual yang dilakukan pengikut Parmalim. Di Angkola dan Mandailing musik
tradisi hanya dihadirkan pada saat upacara-upacara adat baik untuk perkawinan
maupun dalam penyambutan tamu. Namun demikian, musik di kalangan muda-muda
masih menjadi habit.
Anak-anak
Afd. Padang Sidempuan di Jawa, khususnya di Batavia dan sekitarnya sejak 1910
(terutama anak-anak yang kuliah di berbagai perguruan tinggi) dan sejak 1928
populasinya sudah semakin sangat banyak. Para pemuda dan pemudinya (baik yang
lahir di bonabulu maupun di perantauan) telah dengan sendirinya mendapat
bimbingan dan arahan dari para senior (hatobangon). Tokoh-tokoh bidang pendidikan
Todoeng Soetan Goenoeng Moelia dan Panangian Harahap; bidang pers seperti
Parada Harahap dan Abdoelaj Loebis (yang
membimbing Adam Malik, Sakti Alamsyah dan Mochtar Lubis); bidang politik
seperti Amir Sjarifoedin (yang membimbing Adam Malik dan Abdoel Hakim); bidang
seni dan sastra Sanusi Pane dan Sorip Tagor (yang membimbing Ida Nasoetion dan
lainnya). Rasa persaudaraan ini ini terjadi sepanjang sejarah (estafet)
anak-anak Padang Sidempuan mulai dari Padang, Sibolga, Medan, Batavia dan
Buitenzorg (karena pada setiap era sejak 1900 hingga 1941) jumlah mereka belum
sebanyak yang sekarang. Namun demikian, proporsi mereka dibanding dengan etnik
lainnya, penduduk Batak yang umumnya berasal dari afd. Padang Sidempuan
terbilang cukup tinggi.
Mereka
inilah basis pendukung dari kehadiran dan pengembangan musik tradisi Batak di
Batavia (di perantauan). Di dalam acara-acara tertentu seperti horja
(perkawinan). Mereka yang menyelenggarakan ini umumnya adalah keluarga mampu
(pejabat atau yang memiliki kedudukan tinggi secara social dan ekonomi) Namun
demikian pada hari-hari besar musik gondang juga dihadirkan, seperti halal bi
halal. Para muda-mudi (naposo nauli bulung) termasuk mahasiswa-mahasiswa ikut mempersiapkannya.
Musik tradisi menjadi semacam magnet dalam mempertemukan dan mempersatukan
anak-anak mereka di perantauan, tidak hanya untuk menyambung rasa bahwa mereka
memiliki kerabat di kampong halaman tetapi juga untuk mengembangkan music
tradisi warisan dari nenek moyang.
Kehadiran
musik tradisi Batak ini dari tahun ke tahun semakin meningkat intensitasnya dan
secara tidak langsung telah menjadi pemahaman umum bahwa musik tradisi Batak
sebagai bagian dari musik tradisi pribumi yang patut diperhatikan dan layak
mendapat tempat di ruang publik.
Akhirnya seorang kurator musik yang bekerja untuk Art Society di Batavia pada tahun 1936 bernama
Dr. Karl Halusa tergoda untuk langsung mendatangi Tanah Batak. Halusa, seorang
musicology, sebagaimana dilaporkan Soerabaijasch handelsblad ingin mempelajari
musik tradisi Batak. Menariknya, kunjungan ahli musik ini ke Tanah Batak juga
akan melakukan perekaman langsung. Ini terkait dengan adanya anggaran dari
pemerintah untuk melakukan studi musik tradisi (termasuk musik Batak).
Soerabaijasch
handelsblad,06-07-1937: ‘Dr. Halusa ke Batak. Pada pertengahan Agustus ini, Dr.
Halusa, kurator musicological di Afdeeling Museum Kon. Masyarakat Batavia. Beberapa waktu lalu dimulai
dari Medan lalu penelitian di Batak, dan kemudian ke Padang, khususnya untuk mengobservasi
musik Mentaweilanden. Penelitian ini diperkirakan 10 dan 12 minggu. Penelitian
ini dimaksudkan untuk mengambil dan membuat studi khusus tentang ekspresi musik
dan membuat rekaman di daerah-daerah di mana budaya Eropa belum terlalu kuat utamanya
dari budaya Batak. Sejak dimulainya penelitian musik pribumi tahun 1932, budaya
Batak belum masuk dalam daftar penelitian musikologis, tapi sekarang anggaran O
en E telah disediakan, namun penelitian ini akan dilakukan secara bertahap.
Setelah melakukan tugas ke Tanah Batak, Dr Halusa akan ke Dajaklanden tahun
depan dalam program, yang bertujuan untuk mencakup seluruhnya secara sistematis.
Perjalanan mendatang Dr. Halusa ke Battaklanden dapat dianggap sebagai studi
pendahuluan. Selain untuk mengoleksi alat musik tradisi, juga akan dilakukan perekaman
dari muziek orchestra (gondang) dan vocal (nyanyian rakyat). Untuk tujuan ini,
seorang pejabat dari Laboratorium
Radio di Bandung, akan dibangun komposisi instrumen (aransemen) yang
juga akan dilakukan rekaman untuk bisa dibedakan antara rekaman listrik (dengan
rekaman langsung di lapangan). Saat ini museum di Batavia adalah satu-satunya
di dunia yang memiliki perangkat yang juga dapat dilakukan oleh apa yang
disebut ‘fieldwork’ independen arus listrik yakni dua baterai dengan sebuah
motor listrik dan dinamo yang dihubungkan dengan alat lain gramofon sebagai penguat
suara ke mikrofon. Sebelumnya fungsi ini sudah lama dilakukan tetapi hasil rekaman
music serupa itu tidak dapat menangkap ‘nuansa’ dan karenanya fungsi ini akan
memiliki akurasi dan kealamiahan. Fungsi ini juga untuk mengatasi problem
dimana penyanyi harus mempersiapkan sangat dekat dengan corong microfon yang dapat
mengganggu ekspresi dirinya dalam beraksi. The Bataksche Gondang orkestra
terdiri dari lima gong, lima drum suara berbeda dan oboe bentuk sedikit berbeda.
Pada prinsipnya komposisi yang sama dengan instrumen yang akan digunakan sebagaimana
dalam orkestra Eropa. Dalam music tradisi Batak secara umum juga terdapat satu
intrumen yang dimainkan yang disebeu ‘koetjapi’.
Keinginan Dr. Halusa untuk mempelajari dan mengajarkan dengan menyediakan
peralatan modern agar terdengar akurat, membuat kesan yang dapat diperoleh lebih
baik sebagai sebuah kontrubusi peralatan ilmiah’.
Dr. Halusa bukan PhD orang sembarangan.
Halusa adalah seorang doktor (PhD) di bidang musik dari Universitas Vienna
(Wina) yang bekerja sama dengan Bataviaasch Genootschap voor Kunsten en
Wetenschappen (Art and Science Society) yang dipimpin oleh Mr. J. Kunst. Kedatangan
Mr. Halusa ini mengingatkan kita 85 tahun lalu (1852) seorang wanita Austria
Ms. Ida Pheiffer berkunjung ke Tanah Batak, yang merupakan orang Eropa pertama yang
melihat langsung pertunjukan musik tradisi Batak dipertontonkan dihadapannya.
Kini, menariknya, sebelum ke Tanah Batak,, Dr. Halusa singgah di Medan dan
memberikan kuliah umum di De Witte Societie. Isi kuliahnya dilaporkan De
Sumatra post, 24-06-1936 (dikutip hal yang relevan saja):
Dr. Karl Halusa memberikan kuliah musik di Medan, 1936 |
Dr. Halusa memberikan kuliah musik di Medan, 1936 |
Grup musik Toba, gondang kontras taganing (1928) |
Orchest musik Karo, 1932 |
Orchest di Simaloengoean, 1934 |
Grup musik Sipirok sambut Gub, Jenderal de Graef 1928 (tampak lebih modern) |
Halusa merekam musik di Karo, Bataklanden dan Zuid Tapanoeli |
Bataviaasch nieuwsblad, 20-09-1939 |
Tampaknya kehadiran Dr. Karl Halusa ke Tanah Batak telah memicu anak-anak Batak di Batavia yang tergabung dalam Jong Batak turut ambil bagian dalam promosi musik tradisi Batak di rantau. Tidak jelas inisiatif siapa yang memasukkan dalam acara siaran radio (apakah Jong Java atau Radio Djakarta sendiri).
De Sumatra post, 15-11-1919 |
Di seputar jelang (Kongres Pemuda) tahun 1928
besar kemungkinan tokoh-tokoh musik tradisi Batak adalah Sanusi Pane, Nahum
Situmorang dan tentu saja Parada Harahap. Jangan lupa masih ada seorang pemuda
yang berbakat musik: Amir Sjarifoedin dan Todoeng Soetan Goenoeng Moelia. Mereka
inilah yang memperkenalkan musik tradisi Batak di Batavia. Di Medan, sejak 1907
besar kemungkinan diperkenalkan oleh anak-anak Padang Sidempuan yang tergabug
dalam sarikat Tapanuli yang memiliki koran terkenal Pewarta Deli (terbit
pertama kali 1910).
Tarian Minangkabau dengan hanya tiga alat tiup (1900) |
Karl Halusa lahir 14 Juli 1906 di Brunn dan meninggal 21. Desember 1959 di Wien. Dr. Halusa, seorang Austria adalah orang pertama yang meneliti musik Batak. Penelitiannya tidak hanya mendeskripsikan musik Batak baik dalam hubungannya yang bersifat internal (Karo, Silindung dan Toba, Simalungun dan Angkola dan Mandailing) maupun yang bersifat eksternal (Jawa, dan Bali). Musik Batak telah dimulai pencatatannya di Mandailing dan Angkola tahun 1840-1845 dan ini berarti pada purna kerja Dr. Karl Halusa 1940 berarti sudah satu abad musik tradisi Batak dikenal. Secara kebetulan pula, orang pertama yang melihat pertunjukkan musik Batak adalah orang Austria bernama Ida Pheiffer tahun 1852 di sekitar Sipirok. Satu hal yang tidak terlaporkan dalam studi Halusa tentang musik Batak ini adalah lagu-lagu rakyat yang berhasil direkamnya tidak diketahui nama lagu-lagu apa saja.Musik tradisi Batak menurut Dr. Karl Halusa lebih melodis dibanding musik Jawa dan musik. Bali. Semua elemen musik Barat (melodi, harmoni, irama, dan lainnya) dapat ditemukan dalam musik tradisi Batak. Musik Jawa menurut Halusa hanya memiliki lima nada utama dan untuk memainkan melodi Barat, maka hal ini tidak mungkin. Musik Jawa (dan Bali) Jawa benar-benar berbeda dari musik Barat (dan juga music Batak). Musik Jawa bukanlah seni yang kita piirkan melain kegunaan dalam arti terbatas. Musik bagi orang Jawa yang penuh dengan suasana mystische adalah baginya manifestasi dari alam semesta (lihat De Indische courant, 11-08-1938). Sedangkan musik Bali yang seakar dengan musik Jawa pada dasarnya telah banyak yang hilang ditelan jaman dan tidak diketahui lagi. Yang ada sekarang menurut Halusa, memang masih mempertahankan bentuk struktur dan artefak, tapi tidak lagi hidup (Het Vaderland: staat- en letterkundig nieuwsblad, 09-10-1938). Jika dibandingkan dengan kreasi yang sekarang, musik Batak lebih awal dan lebih maju dari sudut pandang musicological.
Musik Jawa juga sudah diperkenalkan di Batavia, 1870
Gordon Tobing penerus Nahum Situmorang: Musik tradisi Batak mulai punah.
Salah satu anak Batak yang lahir sebagai
musisi dari Jong Batak adalah bermarga
Tobing. Dialah yang kerap mengaransemen musik tradisi Batak di lingkungan Jong
Batak. Masih muda dan sangat berbakat. Nama grup musik tradisi merupakan bagian
dari organisasi Jong Batak dan namanya pun ‘Jong Batak’ di bawah pimpinan Mr. Tobing.
Pementasan pertama grup ini direkam, dan disiarkan pada tanggal 27 Agustus 1937
pukul 19.15 dibawah tajuk Bataksche muziek oleh tiga radio bersamaan: Bandoeng II gel. 103,
Batavia II gel. 190 dan PMH 1,5 (lihat
Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 27-08-1937).
Mr. R. Tobing pimpinan
musik tradisi Batak bernama Jong Batak ini bukanlah Gordon Tobing. Sebab Gordon
Tobing (yang kelak menjadi musisi Batak terkenal) baru berumur 12 tahun dan
masih tinggal bersama orang tuanya di Medan.
Sejak
musik tradisi berkumandang di udara di Jawa oleh grup musik Jong Batak, lalu
mulai bermunculan grup musik tradisi (Batak Orchest) yang dibawakan oleh grup
lain. Pada tahun 1938 muncul nama grup bernama ‘Andalas’ dan mendapat tempat di
radio pertamakali awal tahun 1938 (De Indische courant, 28-01-1938). Grup baru ini
(yang mungkin telah menggantikan Jong Batak) pernah mengudara di Radio PMN gel 29
M yang juga direlay di Solo, Semarang, Yogya dan Surabaya (lihat De Indische
courant, 01-06-1938). Grup ini diduga masih bertahan hingga akhir tahun 1939; .Liedern uit Sipirok (Bataviaasch nieuwsblad, 20-09-1939); Liedern uit Sipirok (Bataviaasch nieuwsblad, 29-09-1939).
Pada tahun 1938 untuk kali pertama terdeteksi kegiatan musik
yang dilakukan oleh pegiat musik dari Silindoeng en Toba di Medan, sebagaimana
dilaporkan De Sumatra post, 13-05-1938 (Musik Batak dan paduan suara
‘oening-oeningan): ‘Sejak beberapa waktu yang lalu disini (di Medan) di bawah
pimpinan Bapak HF Sitompoel mendirikan sebuah sarikat musik dan sarikat bernyanyi
(vikal grup) yang menyandang nama ‘Oening-Oeningan’. Tujuan dari asosiasi ini adalah
untuk mempromosikan praktek musik dan vocal grup di kalangan mereka sendiri.
Batak terkenal sebagai penyanyi. Sabtu, 14 Mei pukul 08:30 di Auditorium
Sekolah Methodist di Hakkastraat sarikat ini akan melakukan pertunjukan musik
pertama, yang juga akan hadir sarikat Medansch Orchestra yang dipimpin oleh W.
Simandjoentak. Disamping itu, akan hadir juga grup vocal ‘Kampong Madras’
asuhan J. Tampoebolon, juga grup ‘Tanda’ asuhan J. Sitompoel serta serikat
vokal ‘Purba’ asuhan W. Hoetasoit’.
Het
nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 06-10-1939
|
Selama
pendudukan Jepang, semua radio disita dan diokupasi oleh militer Jepang dan
menjadi radio propaganda pemeritahan militer Jepang. Seperti diketahui ada tiga
anak muda Batak yang direkrut menjadi pegawai radio militer Jepang: Adam Malik,
Sakti Alamsyah dan Mochtar Lubis. Siaran musik tradisi Batak selama agresi
militer Belanda juga tidak diketahui kabar beritanya.
Ketika
pasca pengakuan kedaulatan RI (Desember 1949) musik tradisi Batak masih tidak
terdengardan tidak diketahui kabar beritanya. Boleh jadi selama pendudukan
Jepang dan selama agresi militer ruang untuk musik tradisi Batak sudah hilang.
Yang muncul barang kali musik-musik pop Batak seperti lagu-lagu ciptaan Nahum
Situmorang atau lagu-lagi rakyat yang sejak dulu ada dan tidak diketahui siapa
penciptanya. Lagu-lagu pop Indonesia juga semakin menjamur dan semakin kerap
dikumandangkan di radio-radio. Pengaturan hak cipta untuk lagu-lagu baru belum
ada. Melihat banyak pelanggaran hak cipta, pada tahun 1950 seorang komponis
Batak bernama R. Tobing merasa kesal dan meminta perhatian agar para composer mendapat
perlindungan atas ciptaan mereka.
Algemeen Indisch
dagblad: de Preangerbode,16-08-1950: ‘Untuk melindungi komposer Indonesia
diperlukan pendirian lembaga tersendiri agar karya musik terlindungi. Sejumlah composer
berkumpul di Bandung. Seorang pianis
terkenal di Singapura dan komposer dari lagu Indonesia modern, telah tiba di
Jakarta dan telah menghubungi berbagai pihak berwenang untuk mendirikan
sebuah perusahaan penerbitan karya musik Indonesia di Bandung. Menurut Mr
Tobing penerbit ini akan muziek kontemporer Indonesia akan menjamin hak cipta
dari komposer. Menurut Tobing, bahwa komposisi yang dibuat sang pencipta karena
kebanyakan dari mereka tidak pernah menulis di atas kertas, sering dimainkan
secara sewenang-wenang tanpa persetujuan dari komposer yang bersangkuta. Bahkan
sering terjadi, kata Mr Tobing yang karya musik yang dimainkan (siaran radio dan
film) tanpa menyebutkan nama penulis. Terlepas dari isu karya-karya ini akan
mendirikan studio musik di Bandung, yang tugasnya adalah untuk memberikan
komposisi dari pengaturan yang diperlukan. Ini adalah niat untuk melakukan
musik modern berbasis teknologi barat, sehingga dapat dimainkan oleh orkestra
di luar negeri, kata Mr Tobing. Pelaksanaan rencana ini akan segera menjadi
konferensi di Bandung oleh komposer Indonesia, yang membahas masalah di atas.
Komponis berbagai genre musik akan diundang ke konferensi ini’.
Siapa
Mr. R Tobing belum diketahui secara jelas. Apakah R Tobing adalah pimpinan grup
musik tradisi Jong Batak atau R. Tobing adalah seorang anak Medan yang selama
penduduk Jepang hingga agresi militer Belanda merantau dan menetap di
Singapora? Juga belum jelas. Namun melihat posisinya dalam pertemuan musik di
Bandung dan gagasannya soal hak cipta bukanlah pemusik biasa. Lantas
pertanyaannya, apakah R. Tobing ayah dari Gordon Tobing, penyanyi yang mulai
kesohor dari grup musik ‘Sinondang Tapanoeli’. Gordon Tobing yang lahir di Medan, 25
Agustus 1925 besar kemungkinan adalah anggota grup musik Sinondang Tapanoeli, yang secara defacto adalah sanggar musik dan vokal grup yang umumnya terdiri dari anak-anak Sipirok.
Pada
tanggal 31 Mei 1952 Radio Jakarta (RRI Jakarta) pukul 22.10 mengumandangkan
suara Gordon Tobing di bawah label Sinondang Tapanoeli (lihat Algemeen Indisch
dagblad: de Preangerbode, 31-05-1952). Kemudian nama Gordon Tobing terdeteksi
lagi di Radio Jakarta I dan Radio Jakarta II tanggal 1 November 1952 siaran
pukul 21.15. Gordon Tobing kembali dengan grup Sinondang Tapanoeli (lihat Het
nieuwsblad voor Sumatra, 01-11-1952). Lalu tanggal 3 November Gordon Tobing
kembali muncul, di Radio Jakarta III siaran pukul 22.15 (lihat De locomotief:
Samarangsch handels- en advertentie-blad, 03-11-1952). Suara Gordon Tobing
hingga tahun 1954 masih kerap diudarakan dengan grupnya Sinondang Tapanoeli.
Meski
musik pop Batak sudah menggantikan musik tradisi, namun warga Batak masih menghadirkan
musik tradisi pada acara-cara tertentu. Ini yang terjadi di Bandung pada acara
tahun baru dimana naposo nauli bulung menyelenggarakan acara ‘kumpul-kumpul’
yang diadakan di gedung Concordia Bandung.
Algemeen Indisch
dagblad: de Preangerbode, 02-01-1953: ‘kemarin warga Batak berkumpul di
Concordia untuk merayakan tahun baru. Lebih dari dua ribu pengunjung yang
hampir semuanya warga Batak di Bandung. Menurut adat, na.poso-bulung (laki-laki
dan perempuan muda yang belum menikah) bertugas untuk menyiapkan kelancaran
acara. Acara ini diselingi dengan nyanyian para muda-mudi. Mr. P. Harahap,
ketua Komite Persiapan, dalam sambutannya mengatakan: Pertemuan ini adalah
salah satu faktor dimana warga Batak untuk terus mengikat ke unit kohesif. Kami
memiliki tradisi kuno dan budaya kuno Batak: termasuk aksara sendiri, bahasa
sendiri, musik sendiri, tarian sendiri. Kami sudah berbaur dengan pengaruh asing,
tetapi kami juga masih perlu untuk sekali-sekali untuk bisa kembali ke tanah
air kami (kampong halaman).
Ketua
komite persiapan dalam kegiatan ini adalah Ponpon Harahap, mahasiswa Institut
Teknologi Bandung. Ponpon Harahap adalah saudara sepupu dari Soetan Casajangan,
pendiri himpunan Indonesia di Belanda (Indisch Vereeniging) tahun 1908.
De nieuwsgier, 21-07-1954
|
Nama
Gordon Tobing semakin dikenal luas, semakin heboh dan juga semakin produktif
sebagai musisi dan penyanyi berkelas pada masa itu. Beberapa nama penyanyi
Indonesia yang menonjol saat itu selain Gordon Tobing adalah Mien Sondakh, Ade
Ticoalu, Rose Sumabrata dan Dien Jacobus. Gordon Tobing pun akhirnya masuk
istana.
De locomotief :
Samarangsch handels- en advertentie-blad, 15-09-1954 (Presiden menerima bintang
radio): ‘Senin pagi, Presiden dan Nyonya Sukarno, menerima peserta dalam
pemilihan bintang radio 1954 di istana. Pada pertemuan ini atas permintaan Mrs.
Soekarno untuk menyanyikan lagu berjudul ‘Alam Desa’ yang dinyanyikan oleh Gordon
Tobing dan kemudian bersama-sama. Mien Sondakh dan Ade Ticoalu menyanyikan lagu
berjudul ‘Njiur Melambai’.
Gordon
Tobing semakin kerap tampil secara solo di radio. Ini yang terjadi sebagaimana
dilaporkan De nieuwsgier, 21-09-1954 bahwa Gordon Tobing di Radio Jakarta III mebawakan lagu-lagu yang diiringi
oleh piano Sudharnoto. Adakalanya Gordon Tobing berduet dengan penyanyi lain. Java-bode:
nieuws, handels-en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 25-11-1954 21:00 memberitakan Rose Sumabrata
dan Gordon Tobing berduet. Gordon Tobing kembali ke
istana dalam suatu pesta yang dihadiri oleh Presiden Soekarno. Artis utama tadi
malam adalah Gordon Tobing dan Bing Slamet (lihat De nieuwsgier, 08-12-1954).
Pada
tahun 1955 di Medan muncul kali pertama majalah olah raga dan musik (dan boleh
jadi merupakan yang pertama ‘majalah musik ‘di Indonesia). Mingguan ini
dipimpin oleh Emir Sipirok dan diterbitkan oleh Syarikat Tapanuli. Majalah ini
berisi publikasi olahraga dan music serta film (Het nieuwsblad voor Sumatra, 10-08-1955).
Emir Sipirok adalah ketua PWI Medan. Berprofesi sebagai wartawan dan fotografer. Pada tahun 1956 Emir Sipirok diundang oleh Pemerintah Amerika Serikat untuk berkunjung ke Amerika Serikat dalam kaitan orientasi pengembangan pers, Emir berangkat dari Batavia via Australia. Kemudian pulangnya melalui Belanda (juga diterima selama sepuluh hari oleh pers Belanda) Emir Sipirok, ketua klub Medan Press (Java-bode : nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 18-02-1956). Sebagai tambahan: pemilik koran Java Bode adalah Parada Harahap yang kali kedua pabagaskon boru pada tahun 1957 (lihat iklan Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 14-08-1957).
Berita keluarga Java Bode 11-08-1957
Sementara
Gordon Tobing terus berkibar pada tahun 1955 dan 1956, musik tradisi Batak
kembali muncul di udara Jakarta dalam program acara Radio Jakarta. Selama tahun
1955 diantaranya: Sinondang Sipirok (De nieuwsgier 28-01-1955); Sinonadang Sipirok (De nieuwsgier 05-03-1955); Sinonadang Sipirok (De nieuwsgier 05-05-1955); ‘Oening-oeningan Batak’ (De nieuwsgier 09-04-1955); ‘Tumba
Batak’ (De nieuwsgier, 08-08-1955) 19.20 Tumba Batak; ‘Kesenian Batak: Nauli
Bulung’ (De nieuwsgier, 18-08-1955); ‘Orkes Jajasan Kebudajaan Batak’ (De
nieuwsgier, 27-10-1955); ‘Tumba Batak’ (De nieuwsgier, 15-02-1956); ‘Ketjapi
Batak’ (De nieuwsgier, 25-04-1956); Sinondang Sipirok (Java-bode:
nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 28-07-1956).
Namun di tahun 1957 musik tradisi Batak kembali sunyi, tetapi Gordon Tobing masih terus eksis di radio. Gordon Tobing juga tampil di Malam Seni Budaya (Art Evening of Cultural) di Medan (lihat Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 05-01-1957). Gordon Tobing, Cs kembali tampil di Medan (lihat Het nieuwsblad voor Sumatra, 11-06-1957).
Namun di tahun 1957 musik tradisi Batak kembali sunyi, tetapi Gordon Tobing masih terus eksis di radio. Gordon Tobing juga tampil di Malam Seni Budaya (Art Evening of Cultural) di Medan (lihat Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 05-01-1957). Gordon Tobing, Cs kembali tampil di Medan (lihat Het nieuwsblad voor Sumatra, 11-06-1957).
Java Bode adalah
surat kabar legendaris. Surat kabar yang terbit di Semarang. Surat kabar
berbahasa Belanda ini terbit pertama kali tahun 1852. Surat kabar ini terbilang
yang tinggi tirasnya di jamannya. Pada tahun 1924 Parada Harahap menulis di koran
ini untuk menanggapi perseteruannya dengan editor Soerabaja Handelsbald, Karel
Wijbrand dalam polemik kebangsaan. Surat kabar ini pernah diakuisi oleh
pengusaha koran berdarah Tionghoa tahun 1920an dan kemudian diakuisisi lagi oleh
investor Belanda. Saat pendudukan Jepang Koran ini berhenti (ditutup) tetapi di
masa agresi terbit kembali bahkan hingga pasca pengakuan kedaulatan. Oleh
karena adanya nasionalisasi pada awal tahun 1950an, Koran ini tetap terbit tapi
sahanya dibeli oleh investor pribumi yakni Parada Harahap pada tahun 1952. Dengan
kata lain setelah satu abad terbit, Parada Harahap baru bisa memiliki koran legendaries
ini. Pada tahun 1931 Parada Harahap memiliki dua edisi Belanda dari tujuh koran
yang dimiliknya.
Surat kabar Het
nieuwsblad voor Sumatra terbit di Medan. Surat kabar ini setelah agresi militer
muncul yang merupakan surat kabar baru yang merupakan hasil fusi dua koran yang
pernah terbit di Medan yakni Sumatra Post (terbit pertama 1899) dan Deli
Courant (terbit pertama 1885). Pada tahun 1902 editor koran ini adalah Karel Wijbrand
yang menjadi seteru Parada Harahap tahun 1920an.
Rekaman Gordong Tobing oleh Media Record, 1970 |
Gordon
Tobing terus meroket dan tidak tertandingi oleh grup vocal manapun di
Indonesia. Gordon Tobing memang berada di jalur pop, tetapi bukan berarti tidak
pernah terlibat dalam musik tradisi Batak. Sebagaimana Nahum Situmorang, di
jalur pop tetapi juga masih menyukai musik tradisi Batak. Musik tradisi Batak pada
dasarnya adalah suatu band yang berbasis ensambel gondang dan ensambel gong.
Dua instrumen musik ini pada awalnya di jaman kuno menjadi alat komunikasi
dalam religi yang dalam perkembangannya disandingkan dengan istrumen tradisi
lainnya sehingga terbentuk band (musik tradisi Batak). Di dalam tradisi band
inilah Nahum Situmorang dan Gordon Tobing mencuat ke permukaan sebagai musisi
dan penyanyi pop.
Salah
satu hasil rekaman suara Gordon Tobing dengan grup baru Impola (lagu-lagu
rakyat) beredar secara luas pada tahun 1970an. Rekaman dan distribusinya
dilakukan oleh Media Record. Lagu-lagu rakyat dalam rekaman ini oleh Gordon
Tobing dengan suara Impola terdiri dari: (1) Soleram, (2) Mardalan ahu
marsada-sade, (3) Mariam tomong, (4) Sajang dilale, (5) Terkenang tanah airku,
(6) Sigulempong, (7) Inang sarge, (8) Kaparinjo, (9) Butet, dan (10) Tao na tio.
Disamping itu, tentu saja lahir juga penyanyi-penyanyi Batak yang tidak menyanyikan lagu Batak lagi tetapi lagu-lagu (pop) Indonesia dan lagu pop daerah lainnya. Musisi-musisi juga bermunculan baik secara mandiri (bergabung dengan grup band lain) seperti AKA Groep dan Gang Pegangsaan maupun secara grup (band) yang terdiri dari anak-anak Tapanoeli, sebut saja misalnya The Mercy’s, Panber’s dan lain sebagainya.
Sebelum adanya
Mulo, anak-anak afd. Padang Sidempuan yang telah lulus HIS biasanya melanjutkan
sekolah ke Mulo yang terdapat di Padang dan Medan. Mereka itu antara lain:
Parlindoengan Lubis. Pada tahun 1931, sepulang dari Belanda GB Josua mendirikan perguruan swasta (HIS dan Mulo) di
Medan. GB Josua memulai karirnya mengajar di HIS Sipirok tahun 1922. Pada waktu
yang relatif bersamaan di awal tahun 1930an pemerintah kolonial membangun sekolah
Mulo di Tarutung dan Padang Sidempuan (tidak ada Mulo yang dibangun di
Sibolga). Siswa yang diterima di Mulo adalah lulusan HIS (sekolah berbahasa
Belanda untuk anak orang Eropa dan elit lokal). Yang pernah menjadi guru HIS di
Tarutung terdapat dua guru terkenal yakni Soetan Martoewa Radja (ayah MO
Parlindungan) dan Nahum Situmorang. Alumni Mulo Padang Sidempuan antara lain:
Kalisati Siregar, Ismail Harahap dan James Harahap. Sedangkan alumni Mulo
Tarutung antara lain: Tahi Bonar Simatupang dan Daglan Harahap. Keduanya lulus Mulo
Tarutung tahun 1937. Setelah lulus, keduanya merantau ke Batavia: TB Simatupang
masuk tentara, Daglan Harahap masuk polisi. Riwayat TB Simatupang sudah banyak
ditulis, sedangkan Daglan Harahap setelah lulus sekolah polisi di Lido awalnya
ditempatkan sebagai kepala polisi di Padang lalu dipindahkan ke Medan dengan
pangkat yang lebih tinggi (tidak lama kemudian pendudukan Jepang).
Kalisati
Siregar mengambil sekolah perdagangan. Setelah lulus bekerja di Kantor
Statistik Batavia. Pada masa pendudukan Jepang Kalisati pulang kampong dan
bekerja di Kantor Bupati Padang Sidempuan (Kalisati Siregar adalah ayah dari
Hariman Siregar). Sementara, Ismail Harahap setelah lulus sekolah apoteker
ditempatkan di Surabaya. Pada masa pendudukan Jepang tetap berada di Surabaya
(Ismail Harahap adalah ayah dari Ucok AKA). Sedangkan James Harahap mengambil
sekolah perdagangan namun setelah lulus bekerja di Batavia dan selama
pendudukan Jepang tetap di Batavia. James Harahap adalah ayah dari Rinto
Harahap dan Erwin Parlindungan Harahap.
Sjarif Anwar gear Soetan Goenoeng Toea adalah murid
pertama Nommensen di Sipirok. Dari namanya tentu beragama Islam. Namun ketika
memulai karir di kantor residen Padang Sidempuan (tahun 1870an) sebagai penulis
namanya adalah Ephraim (menggantikan penulis sebelumnya: Abdoel Azis Nasution).
Boleh jadi selama sekolah di bawah asuhan Nommensen, Sjarif Anwar beralih agama
dari Islam ke agama baru Kristen. Jadi, Ephraim adalah nama baptis yang
digunakannya untuk selanjutnya dan adakalanya dengan nama gelar Soetan Goenoeng
Moelia. Ephraim memiliki dua anak: Djamin dan Hamonangan. Setelah menikah,
Djamin masuk Islam dan Hamonangan tetap Kristen. Salah satu anak Djamin yang
terkenal adalah Amir Sjarifoedin gelar Soetan Soaloon (lahir di Medan),
sedangkan anak Hamonangan adalah Todoeng gelar Soetan Goenoeng Moelia (lahir di
Padang Sidempuan). Pada awal kemerdekaan Amir Sjarifoedin menjadi Perdana
Menteri dan Todoeng menjadi Menteri Pendidikan.
Di afd. Padang Sidempuan sejak doeloe, untuk urusan agama,
setiap orang memiliki kebebasan (karena pemerintah kolonial tidak mempersoalkan
agama). Penduduk juga tidak terlalu mempersoalkan orang berpindah agama dari
pagan ke Kristen, dari Kristen ke Islam atau dari Islam ke Kristen. Yang
terjadi adalah harmoni. Bahkan di Sipirok, masjid dan gereja bangunannya
berhadapan yang hanya dipisahkan oleh jalan raya (satu abad mendahului masjid
Istiqlal deng gereja Katheral di Jakarta. Semua itu dimulai dari awal. Ketika
Belanda masuk ke Tanah Batak dimulai dari Mandailing dan di Pakantan
diperkenalkan agama Kristen (1833) di tengah penduduk Mandailing yang beragama
Islam. Pada tahun-tahun antara 1850-1857, Mr. van der Tuuk diutus ke Tanah
Batak untuk menerjemahkan Injil ke dalam bahasa Batak. Mr. van der Tuuk belajar
tatabahasa dan sistem sosial orang Batak di Mandailing dan Angkola. Pada tahun
1857 Gustav van Asselt dikirim ke Sipirok untuk pengembangan misi agama.
Kemudian menyusul Nommensen (1861) ke Sipirok ketika van Asselt dkk (misinaris
Belanda) dan Klammer dkk (misionaris Jerman). Pada tahun 1862 diadakan rapat di
Prausorat (kampong Sakti Alamsyah) antara misionaris Belanda dan Jerman.
Kesepakatannya antara lain, wilayah misi Belanda di Angkola, wilayah misi
Jerman di Silindoeng dan di Sipirok sendiri adalah wilayah misi bersama. Pada
tahun 1862 misi Belanda dan misi Jerman awalnya mendirikan sekolah umum, tetapi
karena pemerintah juga membangun sekolah umum, maka lambat laun sekolah publik yang
didirikan misi ini kemudian menjadi sekolah zending. Ephraim besar kemungkinan bersekolah
masih di era sekolah publik.
Di Angkola para misionaris yang terkenal (pasca G. van
Asselt) adalah Dammerboer dan van Dalen. Wilayah misi di Angkola diutamakan di
sekitar lereng gunung Lubuk Raya, di wilayah marga Harahap. Meski penduduknya
sudah beragama Islam, sebagaimana di Sipirok (di Silindoeng masih pagan), para
misionaris terus bekerja keras. Anehnya penduduk yang beragama Islam (seperti
juga di Sipirok) tidak menghalangi kehadiran para misionaris. Inilah kearifan
penduduk Angkola dan Sipirok (yang hidup hingga ini hari). Akhirnya beberapa
keluarga di Angkola menjadi angama Kristen sementara di Sipirok jumlahnya jauh
lebih banyak. Kepala koeria Hutarimbaroe di Angkola dan kepala koeria Baringin
di Sipirok pernah menganut agama Kristen tetapi kemudian kepala koerianya
beragama Islam. Ompung James Harahap dari Angkola di lereng gunung Lubuk Raya
termasuk dari bagian penduduk Angkola yang masuk agama Kristen (semasa misionaris
Dammerboer). Misionaris terkenal di Silindoeng (en Toba) adalah Nommensen
(mantan guru di Sipirok), sedangkan misionaris terkenal di Angkola adalah guru
Dammerboer (mantan guru di Kweekschool Padang Sidempuan, sama-sama masuk
dengan Charles Adrian van Ophuijsen tahun 1881 yang mana Dammerboer hanya dua
tahun sementara Ophuijsen selama delapan tahun).
.
Pada
era emas Gordon Tobing ini (suksesi Nahum Situmorang) di seputar tahun 1970
sudah banyak penyanyi-penyanyi Batak yang menonjol. Musik Batak juga semakin
popular dan lagu-lagu (pop) Batak juga semakin banyak direkam, tidak hanya dinyanyikan
oleh penyanyi Batak tetapi juga penyanyi lainnya, dengan album sebagai berikut:
- · Burju ma ho butet / Trio Friendship; [teks]: Erick S.; pimp.: Erick S.; arr. musik: Bartje van Houten (1970);· Pop Tapanuli / Ade Manuhutu bersama Andarinyo V.G.; musik: Bartje van Houten; Jungge / pencipta: Daulat Hutagaol ... [et al.];· Trio The King's; musik: Bartje van Houten (1970);· Margambangkon: (pop Tapanuli) / [penyanyi]: Ade Manuhutu; musik: The Bee-Ronk's; penata musik: Armen M.; koordinator: Pieter Gonzales (1970);· Ade Manuhutu in latin beat: Special Pop Tapanuli / musik: Les Gonzales Combo; pimpinan: Pieter Gonzales; arranger: Ferry Berhitoe (1970);· Pop Tapanuli / Nur Afni Octavia; music: Bartje van Houten (1970);· Pop Batak / Emilia Contessa (1970);· Songs from Tapanuli in the krontjong beat / arr. & dir. by R. Pirngadie (1970);· Rondang ni boelan di Silindoeng / ternjanjih oleh Boerhanoedin L. Tobing & Mangasa Siregar dengan orkest;· Magodang do ho borungku / Charles Hutagalung ; [teks]: Yohannes Sitompul;· Pop Tapanuli / [penyanyi]: Herlin Widhaswara ; musik: New Big Band; arranger: Timbul Napitupulu, Luncai Simajuntak; [teks]: Freddy Tambunan (1977);· Gomgomi ahu / Nourma Yunita ; [teks]: Varlin E. Hutagaol,· Helly Gaos dengan Band Aulia dkk (1980);· Pop Tapanuli / Diana Nasution; musik: Barce van Houten (1980);· Aneka hits VII / [penyanyi:] Alex & Jacob (1980);· Tano Batak nauli / [penyanyi]: Trio Friendship; [teks]: Erick Silitonga ; iringan: The Heart; pimpinan: Is Haryanto; dan lainnya.
Disamping itu, tentu saja lahir juga penyanyi-penyanyi Batak yang tidak menyanyikan lagu Batak lagi tetapi lagu-lagu (pop) Indonesia dan lagu pop daerah lainnya. Musisi-musisi juga bermunculan baik secara mandiri (bergabung dengan grup band lain) seperti AKA Groep dan Gang Pegangsaan maupun secara grup (band) yang terdiri dari anak-anak Tapanoeli, sebut saja misalnya The Mercy’s, Panber’s dan lain sebagainya.
Andalas Harahap
gelar Datoe Oloan alias Ucok AKA
Ucok
AKA adalah penyanyi dan musisi yang terkenal dengan hitnya yang popular
berjudul: ‘Badai di Bulan Desember’.
Ismail Harahap adalah generasi berikut asal Mandheling en
Ankola (afdeeling Padang Sidempuan) setelah Radjamin Nasution. Pada era Radjamin
Nasution sekolah yang ada hanya terbatas pada STOVIA, Rechtschool dan Pertanian
dan Kedokteran Hewan di Buitenzorg. Pada era Ismail Harahap, berbagai jenis
sekolah dibuka di Batavia seperti sekolah ekonomi, sekolah bea dan cukai,
sekolah perdagangan dan sebagainya. Ketika sekolah apoteker
(artsenubereidkunst) dibuka pertama kali tahun 1938. Pada tahun 1940 dari 51
siswa yang mengikuti ujian akhir, hanya 17 siswa yang lulus dua diantaranya
berasal dari Mandheling en Ankola yang bernama Pandapotan Siregar dan Ismail
Harahap. Ismail Harahap dan kawan-kawan yang lulus diakui sebagai asisten
apoteker (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 12-08-1940).[yang
satu kloter dari Ismail Harahap, dari Padang Sidempuan berangkat studi ke
Batavia adalah Kalisati Siregar, mengambil studi perdagangan--Kalisati Siregar
kelak dikenal sebagai ayah dari Hariman Siregar (tokoh penting Malari 1974 di
Jakarta).
Ismail Harahap
setelah bekerja di Batavia beberapa lama, tahun 1941 Ismail Harahap ditempatkan
pemerintah di Surabaya. Ismail Harahap tampaknya sumringah di kota ini, karena
di Surabaya sudah banyak anak-anak Padang Sidempuan, apalagi tokoh senior
Radjamin Nasution sudah sejak lama terkenal di Surabaya. Lalu, ketika, tahun
1942 terjadi pendudukan Jepang di Surabaya, Ismail Harahap tetap berada di
Surabaya, malahan ketika Radjamin Nasution diangkat menjadi walikota oleh
militer Jepang, Ismail Harahap justru direkrut untuk menjadi kepala apoteker
kota yang sedang kosong yang ditinggalkan oleh orang-orang Belanda (saat itu
jumlah apoteker di Indonesia masih sangat sedikit, dan Ismail Harahap
satu-satunya apoteker pribumi yang berada di Surabaya).
Ismail Harahap
yang lahir di Padang Sidempuan, beristri seorang wanita cantik yang berdarah
Prancis adalah ayah dari Andalas Harahap gelar Datoe Oloan atau lebih dikenal
sebagai Ucok AKA.Andalas Harahap lahir
di Surabaya, 25 Mei 1943.
Pada waktu
Belanda kembali membonceng sekutu (1945-1949), Ismail Harahap termasuk yang
ikut mengungsi ke luar kota (Mojokerto dan Tulungagng), dibawah pimpinan
Radjamin Nasution (walikota Surabaya). Selama perang, Ismail Harahap menjadi
kepala logistik obat-obataan dari pihak pemerintahan di pengungsian. Sementara
Dr. Irsan (anak Dr. Radjamin Nasution) menjadi kepala kesehatan militer (TNI)
dengan pangkat terakhir Letkol. Setelah perang usai (pengakuan kedaulatan RI),
Ismail Harahap kembali ke Surabaya, tidak menjadi pejabat tetapi lebih memilih
untuk membuka usaha apotik yang diberi nama Apotik Kali Asin. Namun karena republik Indonesia ingin membuka
sekolah farmasi di Surabaya, maka Ismail Harahap diminta untuk menjadi pengajar
di sekolah tersebut. Kepala sekolah yang ditunjuk adalah Dr. GP Parijs
(Belanda), Drs. Gouw Soen Hok, Yap Tjiong Ing dan Tjoa Siok Tjong. Sekolah
farmasi Surabaya tersebut, wisuda pertama pada tanggal 27 Juni 1954 (lihat De
vrije pers ochtendbulletin, 29-06-1954).
Andalas
Harahap, setelah remaja sangat menyukai musik. Karena itu Ismail Harahap
membelikan perangkat alat musik kepada Andalas alias Ucok. Ketika Ucok dan
kawan-kawan mendirikan grup musik (1967), nama pop Andalas menjadi Ucok AKA (Apotik
Kali Asin). Andalas Harahap gelar Datoe Oloan yang nama popnya Ucok AKA dan
grup musiknya, AKA Group adalah pionir musik rock di Indonesia. Album pertama AKA
adalah Do What You Like (1970) yang berisi lima lagu berbahasa Indonesia dan
tiga lagu berbahasa Inggris (diantaranya Do What You Like). AKA tampil pertama
kali di Stadion Teladan Medan tanggal 3 dan 9 Agustus 1974. Pada tahun ini AKA menciptakan
lagu berjudul Badai di Bulan Desember, lagu yang melegenda hingga ini hari.
Beberapa tahun
sebelumnya (1965) di Medan dibentuk grup band yang diberi nama The Mercy’s.
Anggota tetap adalah Erwin Harahap, Rinto Harahap dan Reynold Panggabean.
Kemudian masuk Charles Hutagalung untuk menggantikan Rizal Arsyad. Pada tahun
1972 The Mercy’s pindah ke Jakarta dan lalu bergabung Albert Sumlang. Album
pertama The Mercy’s antara lain berisi lagu-lagu: Tiada Lagi, Hidupku Sunyi, dan
Baju Baru. Album perdana ini langsung meledak dan The Mercy’s menjadi terkenal
dengan lagu hit Tiada lagi.
Erwin
Harahap dan Rinto Harahap membangun grup band The Mercy’s
Akhir
tahun 1930an anak-anak Afd. Padang Sidempoean cukup banyak yang melanjutkan
sekolah ke Medan dan Batavia. Umumnya untuk meneruskan pendidikan ke tingkat
AMS (karena hanya di dua tempat itu adanya AMS terdekat). Di Padang Sidempuan
sudah ada MULO sejak tahun 1932. Anak-anak Afd. Padang Sidempuan ke Batavia
selain mendaftar di AMS juga banyak yang mengambil sekolah-sekolah lainnya,
seperti sekolah ekonomi (Middlebare Handels.); sekolah bea dan cukai, dan
sekolah apoteker. Dari sejumlah siswa-siswa tersebut diantaranya: Kalisati
Siregar, Ismail Harahap dan James Harahap.
MULO Padang Sidempuan, 1936 (kini SMPN 1) |
Pesanggrahan Padang Sidempuan, 1936 (kini kantor bupati lama) |
Anak-anak afd.
Padang Sidempuan (gabungan dari tiga afd. Sebelumnya: afd. Mandheling en
Ankola, afd. Natal dan afd. Padang Lawas) yang berpendidikan, sebelum
kemerdekaan RI (1945) sudah ratusan (bahkan ribuan) terpencar di berbagai
penjuru: Sibolga, Padang, Medan dan Siantar, Palembang, Tanjung Karang,
Batavia, Buitenzorg, Soekabumi, Semarang dan Surabaija en Malang serta di
negeri Belanda. Jumlah yang sangat besar ini (bahkan melebihi daerah lain di
luar Residentie Tapanoeli) karena pendidikan di afd, Padang Sidempuan sudah
berlangsung hampir satu abad. Siswa yang pertama yang merantau bersekolah
adalah dokter Asta dam dokter Angan (masuk docter djawa school di Batavia tahun
1854, orang pertama luar Jawa yang diterima, kemudian, guru Willem Iskander
yang sekolah guru ke Belanda tahun 1857, orang Indonsesia pertama studi ke luar
negeri dan Soetan Casajangan pergi kuliah ke Belanda tahun 1905, mahasiswa
kedua Indonesia studi di luar negeri.
Belum
lama Indonesia merdeka, militer Belanda melakukan aksi militer (agresi
militer). Pada saat genting ini, satu lembaga perbankan dibentuk pemrintah RI
yakni Bank Negara Indonesia pada tahun 1946. Ketika pemerintah Indonesia
tertekan lalu ibukota dipindahkan ke Yogyakarta. Sementara itu James Harahap dipindahkan ke Resinden
Tapanoeli di Sibolga untuk memimpin Bank Negara Indonesia.
Di Tapanuli kedatangan
pasukan Belanda baru terjadi pada akhir tahun 1948 (fase agresi Militer kedua).
Militer Belanda melakukan serangan ke Sibolga baik dari laut, darat dan maupun
udara. Akhirnya kota Sibolga jatuh ke tangan pasukan Belanda pada tanggal 20
Desember 1948. Semua penduduk mengungsi.
Saat
pengungsian ini, James Harahap sudah memiliki dua anak (Ratna Dewi dan Erwin
Parlindoengan). Di pengungsian, anak ketiga James Harahap lahir pada tanggal 10 Maret 1949. Anak ketiga ini diberi nama
Rinto. Agresi militer Belanda lalu kemudian mengalami gencatan senjata yang
kemudian dilakukan proses politik (di Den Haag) dan pada tanggal 27 Desember
1949 Belanda melakukan penyerahan kekuasaan dan pengakuan terhadap NKRI. Di
Sibolga kehidupan berjalan normal kembali. James Harahap lalu kembali bekerja
di kantornya di Bank Negara Indonesia cabang Sibolga.
Pada tahun 1952
Residen Tapanoeli Abdoel Hakim Harahap diangkat menjadi Gubernur Sumatra Utara
yang ketiga. Abdoel Hakim adalah alumni sekolah bea dan cukai di Batavia awal
tahun 1930an dan kemudian ditempatkan di Medan. Setelah diangkat menjadi
anggota dewan kota Medan selama tujuh tahun (dari 10 tahun di Medan) dipindah
ke Departemen Ekonomi di Batavia lalu kemudian dipindahkan ke Makassar untuk
mengepalai Kantor Ekonomi wilayah timur. Pada bulan masa pendudukan Jepang
Abdoel Hakim pulang kampong karena ayahnya menbinggal di Padang Sidempuan.
Ketika berada di Padang Sidempuan, Abdoel Hakim diminta militer Jepang untuk mempersiapkan
dewan Tapanoeli yang berkedudukan di Taroetoeng. Pada masa agresi militer
Belanda Abdoel Hakim menjadi wakil residen lalu kemudian diangkat menjadi
residen dan kemudian diangkat menjadi gubernur.
Semasa
pemerintahan Gubernur Abdoel Hakim (1952-1954), Kalisati Siregar dan James
Harahap dipindahkan ke Medan. Dua nama pejabat ini (James Harahap kepala BNI
Sibolga dan Kalisati Siregar Kadis Perdagangan Padang Sidempuan) sudah dikenal
Abdoel Hakim semasa pendudukan Jepang dan semasa agresi militer Belanda. Di
Medan, sudah terlebih dahulu Kapten Marah Halim Harahap pulang kandang dari
pertempuran semasa agresi di Indragiri, Riau (kelak Marah Halim menjadi
Gubernur Sumatra Utara. 1967-1978). Satu lagi anak Padang Sidempuan di Medan
yang memiliki kedudukan baik adalah Muslim Harahap yang menjabat sebagai
Direktur Bank Dagang Indonesia Medan (kelak menjadi Ketua Umum PSMS pada periode
1959-1960). Yang menjadi Kadis PU
adalah Ginagan Harahap seorang arsitek lulusan Faculteit van Technische
Wetenschap (kini ITB Bandung). Di Jakarta masih ada lagi yakni Presiden
Komisaris Garuda Indonesia Airways (GIA), Ir Harahap (lulusan Faculteit van
Technische Wetenschap).
Ketika
Abdoel Hakim Harahap selesai masa tugasnya sebagai Gubernur lalu dipindahkan ke
Jakarta untuk menduduki jabatan di Departemen Ekonomi. Sementara, Kalisati
Siregar dipindahkan ke Palembang baru kemudian dipindah ke Jakarta di
Departemen Perdagangan. Marah Halim Harahap di Medan karirnya terus meroket.
Sedangkan James Harahap tetap sebagai pejabat di Bank Negara Indonesia di
Medan. Pada tahun 1955, seorang anak Padang Sidempuan yang sudah lama berkiprah
di Medan diangkat menjadi Perdana Menteri yang bernama Boerhanoeddin Harahap.
Satu lagi anak Padang Sidempuan kelahiran Sibolga bernama Arifin Harahap
diangkat menjadi Menteri Perdagangan (adik dari Amir Sjarifoedin, anak Padang
Sidempuan kelahiran Medan yang pernah menjadi Perdana Menteri, 1947).
Pada
tahun 1955 James Harahap dilaporkan mendapat teror (melalui surat pembaca di surat kabar), namun James Harahap segera
mengklarifikasi bahwa yang diteror bukan dirinya sebagai pejabat Bank
Negara Indonesia di Medan tetapi seseorang yang mungkin memiliki nama yang
sama.
Het nieuwsblad voor Sumatra, 11-05-1955 |
Het nieuwsblad
voor Sumatra, 11-05-1955 (Pengumuman): ‘Berhubung dengan surat dari Tjaberawit
Trottorial Harangan Gandjang tertanggal Bindjei, 1 May 1955 jang ditanda
tangani oleh Lts. S. Ginting dan ditudjukan kepada: Messrs. J. Sibarani (Dew.
Ekonomi Ind. S.U.) James Harahap (BNI. tjab. Medan) jang isinja bersifat
antjaman, maka dengan ini didjelaskan bahwa Sdr. JAMES HARAHAP sebagai employe
Bank Negara Indonesia Tjabang Medan, maupun Bank Negara Indonesia sendiri, tidak
ada hubungan sedikitpun dengan soal-soal screening-importir2 di Sum. Utara,
seperti dimaksud dalam surat tersebut diatas, soal-soal mana adalah urusan
Djawatan Perdagangan semata-mata. Oleh sebab itu surat tersebut tidaklah
seharusnja ditudjukan kepada Sdr. James Harahap akan tetapi mungkin kepada jg
lain jang mempunjai nama-ketjil jang sama. Demikianlah supaja dimaklumi oleh
Sdr. jang mengirimkan surat tersebut diatas. Medan, 9 Mei 1955. JAMES HARAHAP /
BANK NEGARA INDONESIA MEDAN’.
James Harahap menetap di Medan. Pada awal
tahun 1950an (pasca pengakuan kedaulatan RI), jumlah penduduk asal afd. Padang
Sidempuan di Medan sudah sangat banyak dan bahkan sudah lebih banyak dari semua
penduduk Kota Padang Sidempuan (ibukota afd. Padang Sidempuan). Mereka ini
sudah ada sejak awal tahun 1880an ketika Medan yang tumbuh dan berkembang
menjadi kota besar membutuhkan guru, dokter, jaksa, mantri polisi dan pekerja
pers (wartawan). Tokoh terkenal pada waktu itu adalah Sjarif Anwar gelar Soetan
Goenoeng Toea, seorang mantan penulis di kantor residen Padang Sidempuan,
mantan jaksa di Sipirok yang kemudian dipindahkan menjadi jaksa di Medan tahun
1893 (Soetan Goenoeng Toea adalah ompung atau kakek dari Amir Sjarifoedin).
Mesjid dan gereja di Sipirok, 1900 (hanya dipisahkan jalan) |
Mesjid Raya Sipirok, 1936 |
Gereja Angkola (GKPA) di Padang Sidempuan, 1936 |
The Mercy's (1970): Reynold, Rinto, Charles dan Erwin (pimp.) |
Pada tahun 1965 dua anak James
Harahap di Medan, Erwin dan Rinto
membentuk band dengan kawan-kawan mereka yang disebut The Mercy’s. Musisi,
penyanyi, grup band yang ada saat itu sangat bervariasi. Pada tahun 1970, boleh
dikatakan puncak prestasi dari sejarah music Indonesia dan menjadi dasar
lahirnya musisi, penyanyi, grup band pada masa kini. Berikut piringan yang
terbit dari tahun 1928 hingga 1970 (tidak semua disajikan disini):
Indonesia Raja / di mainken oleh Populair Orchest; gecomponeerd door W.R. Soepratman (1928).Nona-nona djaman sekarang (rumba) : Malay krontjong vocal / [penyanyi:] S. Abdullah ; dengan "His Master's Voice" Soerabaia Orkest (1930)Rindoe sore : serenade / [penyanyi:] Sahib Radja ; M. Sagi en zyn Oriental Krontjong Orkest, Batavia (1940)Rangkaian lagu2 seriosa / ork. Saptanada ; dbp. Soedharnoto (1950)Pattie bersaudara / [penyanyi: Silvy Pattie, Nina Pattie] ; di-iringi orkes Pantja Nada ; pimpinan Enteng Tanamal (1960)Lidya / Muchsin Alatas ; O.M. Rajawali ; pim.: A. Effendy ; [teks]: A. Effendy (1960)The best of Bob Tutupoly / Bob Tutupoly ; The comets conducted by Enteng Tanamal (1960)Varia malam Eka Sapta vol. 1 / diiringi Band Eka Sapta ; pimp.: Sapta Tunggal . Artist Kadi, Tetty, Surjani, Lilis, Harris, Ellya M., Sardi, Idris, Bersaudara, Yanti, Kasim, Elly, Slamet, Bing, Munif B (1960)Tanti Josepha dan Onny Surjono dengan Band Eka Sapta (1960)Disisimu djua / [penyanyi]: Diah Iskandar ; diiringi: Band Pantja Nada ; pp.: Ferry Berhitu (1960)Kaparak tingga / [penyanyi]: Yetty Daulay ; Empat Sekawan, pimp. Sariman (1960)Hati rindu / [penyanyi]: Rachmat Kartolo ; [teks]: E. Maulana ; Orkes Gaja Remadja, dbp.: E. Maulana (1960)Dini dan Didi / [penyanyi]: Joke Simatupang ; [teks]: Bachrum Andria ; Ork. Simanalagi, dbp.: Jules Fioole (1960)Walang kekek / [penyanyi]: Titik Sandhora ; band: 4 Nada ; pim. Jadin, A. Rijanto; [teks: Gesang] (1960)Titiek Sandhora : Mimpi diraju / Band 4 Nada ; pim. Jadin, A. Rijanto (1960)Bentoel hits / Band Bentoel ; dpp.: Harry S. Artist Kadi, Tetty, Benjamin S., Kusumawati, Inneke, Kardianto, Eddy, Benjamin S., Mathovani, Anna, Contessa, Emilia (1960)Salahkah / Broery Pesulima ; diiringi: The Eternals (1962)Ellya Khadam Membawakan Boneka Dari India (1962)Antosan / [penyanyi]: Lilis Surjani ; Orkes: Idris Sardi ; di bawah pimpinan: Idris Sardi (1964)Angin Laut. Artist Koes Plus, Koeswoyo, Nomo, Koeswoyo, Tonny, Koeswoyo, Yon, Koeswoyo, Yok (1964)Teluk Bajur . Artist Djohan, Ernie, Arifin, Zaenal, Zaenal Combo (1967)Endenaria / orkes: Pantja Nada ; dbp.: S.G.P. Nainggolan (1970)Pop kroncong nostalgia / Hetty Koes Endang ; music: Pius & Co (1970)Aku dan asmara / Andi Meriem Matalatta ; [teks]: Ancha V.M. Haraz ... [et al.] ; music: Ireng Maulana (1970)Swari Arizona : pop Indonesia (1970)Muchsin / diiringi Band D'Strangers ; pim. Bob Tutupoly (1970)Lalu lintas / [penyanyi]: Melky Goeslaw (1970)The Mercy's / pimp.: Erwin Harahap (1970)
Kenaan Nasution dan Gank Pegangsaan:
Zulham Nasution, Gaun Nasution, Oding Nasution dan Debby Nasution
Keenan
Nasution adalah penabuh drum yang handal di jamannya. Seperti di kampong ayahnya
di Afd. Padang Sidempuan (Mandailing, Angkola dan Sipirok) banyak penabuh
gordang sambilan yang handal. Keenan Nasution muncul kepermukaan ketika
membentuk band bernama Sabda Nada pada tahun 1966 di Jakarta. Kemudian Sabda
Nada bertransformasi menjadi band Gipsy dimana salah satu vokalisnya bernama
Atut Harahap. Kenaan Nasution bersama dua adiknya pernah menjadi bagian dari
band God Bless (dimana di dalamnya terdapat Soman Lubis).
Sabda Nada
sebagai nama suatu band adalah unik dan belum diketahui asal muasalnya. Tidak
seperti grup band dari Andalas alias Ucok yang diberi nama AKA (singkatan dari
Apotik Kali Asin, apotik milik ayahnya di Surabaya) dan juga tidak seperti The
Mercy’s yang mengambil nama dari mobil merek Mercy (cita-cita keluarga Erwin
dan Rinto karena ibu mereka memiliki mobil merek Ford di Medan (lihat Java-bode:
nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 01-07-1953). Kenaan
Nasution bersama saudaranya Odink dan Debby memberi nama Sabda Nada boleh jadi
karena di Mandailing, Angkola dan Sipirok (serta Padang Lawas) dari sembilan
ensambel drum (yang berbeda ukuran) dari gordang sambilan memiliki nada-nada
yang berbeda. Di jaman kuno, gordang dikaitkan dengan religi, Ensambel gondang
ini adalah alat berkomunikasi penduduk dengan Mulajadi na Bolon (tuhan). Setiap
drum atau setiap gondang yang dipukul memiliki nada yang berbeda karena memberi
pesan yang berbeda ketika Radja member perintah kepada pemukul drum dalam
berkomunikasi dengan Tuhan (dalam religi kuno).
Rada
Krishnan yang kemudian popular dengan nama Keenan Nasution lahir di Djakarta
pada tanggal 5 Juni 1952. Ayahnya adalah seorang pemusik bernama Saidi Hasjim
Nasution. Dengan kata lain Kenaan Nasution bersaudara adalah keluarga pemusik.
Saidi Hasjim
Nasution memiliki anak enam orang, satu perempuan dan lima laki-laki. Keenan
anak laki-laki Saidi Hasjim ini menyukai musik dan berkarir di musik. Mereka
itu adalah Zulham, Gauri, Rada, Oding dan Debby. Inilah record dalam dunia musik,
jumlah bersaudara (satu ayah dan satu ibu) dalam komunitas musik yang melebihi jumlah
bersaudara di band The Mercy’s (dua orang), Panber’s (empat orang) dan Koes
Bersaudara (tiga orang). Dalam tradisi musik Batak, jumlah gordang dalam satu
ensambel terbanyak adalah gordang sambilan (hanya terdapat di Angkola dan
Mandailing; di Toba hanya enam gondang dan di Karo hanya tiga gondang).
Siapa
Saidi Hasjim Nasoetion? Pada tahun 1937, musik tradisi Batak sudah mulai
diperdengarkan di radio Batavia, Bandoeng, Solo dan Soerabaja. Orkes musik tradisi
Batak yang terkenal waktu itu adalah Orchest Andalas. Oskest ini masih bertahan
hingga datangnya Jepang. Selama penduduk Jepang dan selama masa agresi militer
Belanda musik dan nyanyian dari Tanah Batak tidak pernah terdengar lagi. Baru
pasca pengakuan kedaulatan RI, musik dan nyanyian dari Tanah Batak muncul
kembali di radio. Radio RRI Jakarta kerap memperdengarkan musik Tapanoeli dibawah
label grup musik Sinondang yang mana salah satu penyanyinya adalah Gordon
Tobing.
Saidi
Hasjim adalah bagian dari musik tradisi Batak apakah lewat grup musik Orkest
Andalas atau grup musik Sinondang Tapanoeli atau grup musik Sinondang Sipirok.
Saidi Hasjim adalah para pemuda-pemudi yang direkrut di Sipirok (dan Angkola) untuk
membangun grup musik di Batavia dari Sipirok (sebagaimana diketahui populasi marga
Nasution juga banyak di Sipirok). Seangkatan dengan mereka ini adalah Hasjim
Rachman dan Sakti Alamsyah dari Parau Sorat, Sipirok yang kemudian beralih profesi menjadi jurnalisti (Hasjim Rachman adalah
adik dari Sakti Alamsyah, pendiri koran Pikiran Rakyat Bandung).
Saidi
Hasjim Nasution, sejak dari grup Sinondang terus menekuni musik dan berkarir di
bidang musik, tetapi tidak lagi musik tradisi tetapi musik pop dan musik barat. Keahlian
musik Saidi Hasjim adalah dalam piano dan biola. Boleh jadi Saidi Hasjim di grup Sinondang adalah pemain alat petik Batak (hasapi) dan alat musik gesek Batak (hapetan). Di Sipirok sendiri, instrumen musik
modern sudah dikenal sejak tahun 1890an. Sipirok adalah tempat dimana kemampuan
musik Nahum Situmorang dimulai dan Saidi Hasjim adalah generasi penerus setelah
maestro Nahum Situmorang.
Saidi Hasjim di
Batavia tinggal di Pegangsaan. Pada saat proklamasi kemerdekaan, daerah Pegangsaan
sangat terkenal karena di Jalan Pegangsaan Timur proklamasi kemerdekaan dibacakan
oleh Soekarno-Hatta. Dibelakang cerita Pegangsaan ini terdapat kisah Adam
Malik, seorang tokoh pemuda radikal yang bersama teman-temannya mendesak proklamasi
kemerdekaan RI segera dilakukan, ketika sang mentor (Amir Sjarifoedin) tidak bisa
berbuat apa-apa karena dibui oleh Jepang. Kebetulan para perantau dari afd.
Padang Sidempuan banyak yang tinggal di sekitar perkampungan Pegangsaan ini.
Dari kisah inilah anak-anak Saidi Hasjim, seperti Kenaan Nasution kelak membentuk
band baru yang dikenal dengan nama Gank Pegangsaan. Makna Pegangsaan dalam nama
band Kenaan Nasution dkk sesungguhnya lebih menceritakan kehadiran gank (pemuda
revolusioner) asal Padang Sidempuan di sekitar Pegangsaan jelang kemerdekaan
RI.
Diana Nasution:
Diorbitkan oleh Rinto Harahap
Diana dan Rita Nasution sudah menyanyi dari kanak-kanak |
Diana
Nasution lahir di Medan 5 April 1958. Sejak kecil sudah ikut lomba nyanyi dan
masuk TVRI. Pada tahun 1971 berduet dengan kakaknya Rita Henny Nasution (lahir
di Jakarta 23 November, 1956) dan membentuk Nasution Sister (Nassist). Diana
dan Rita adalah dua dari delapan bersaudara. Diana anak keempat dan Rita anak
ketiga dari Mr. Nasution, seorang tentara yang menjadi editor surat kabar
Angkatan Bersenjata.
Marga Nasution
dari Tapanuli Selatan merupakan salah satu marga yang memiliki populasi yang
besar. Nasution tidak hanya di Mandailing tetapi juga di Angkola, Sipirok dan
Padang Lawas. Jika keluarga Kenaan Nasution berasal dari Sipirok, maka keluarga
Rita Nasution berasal dari Padang Lawas. Nasution yang berasal dari Mandailing
tidak hanya populasinya besar tetapi juga lahir para pionir. Yang pertama
adalah Dr. Asta dan Dr. Angan dua bermarga Nasution yang merupakan dokter
pertama yang berasal dari luar Jawa (1856). Kemudian Sati Nasution adalah
pribumi pertama yang studi ke luar negeri di Belanda (1857) yang kemudian
berganti nama menjadi Willem Iskander. Di kampungnya di Madailing, Willem Iskander
mendirikan sekolah guru tahu 1862, peribumi pertama yang mendirikan sekolah
guru. Willem Iskander juga penulis buku pelajaran yang pertama yang diterbitkan
di Batavia tahun 1862. Buku terkenal Willem Iskander adalah Sibulus-bulus
Sirumbuk-rumbuk yang diterbitkan tahun 1874 dan masih dibaca hingga ini hari.
Anak Dr. Asta bernama Mangaradja Salamboewe (mantan jaksa) adalah editor kedua yang
berasal dari pribumi yang memulai karir sebagai editor di koran Pertja Timor
tahun 1902. Ahli hukum lainnya yang terkenal penulis adalah advocate Adnan
Buyung Nasution. Nasution yang berkarir di militer juga jago menulis, seperti
jenderal besar Abdul Haris Nasution. Tentu saja ayah Diana Nasution, meski
militer tetapi juga menjadi editor dari surat kabar Angkatan Bersenjata. Dari
kalangan perguruan tinggi, sudah tentu jago menulis seperti Andi Hakim Nasution
(rector IPB 1978-1987).
Diana Nasution, Volume III |
Grup
bersaudara ini tidak lama, lalu bubar. Pada pertengahan tahun 1970an, Rinto
Harahap coba mengangkat kembali talenta Diana untuk berkarir terus sebagai
penyanyi. Ternyata, Rinto Harahap melalui Lolypop berhasil, dimana Diana
Nasution menemukan dirinya sebagai figur penyanyi yang sebenarnya. Inilah awal
kembali Diana Nasution masuk ke dunia music dan menjadi penyanyi hebat yang
tiada duanya. Album pertama Diana Nasution adalah ‘Jangan Biarkan’. Kemudian
album Diana Nasution dengan album berlabel lagu ‘Benci Tapi Rindu’ lalu disusul
album ketiga berlabel lagu ‘Biarkanlah’. Semua itu dibawah asuhan Rinto Harahap
di bawah naungan studionya sendiri Lolypop Record.
Tahun 1977, Diana
Nasution berduet dengan Melky Goeslaw dan berlaga di Festival Penyanyi Nasional
dengan lagu ‘Bila Cengkeh Berbunga’ dan ‘Malam Yang Dingin’ (keduanya ciptaan
Minggus Tahitoe). Sayangnya, duet tersebut harus mengakui keunggulan penyanyi
Hetty Koes Endang yang tampil sebagai juara pertama, sedangkan mereka menjadi
runner-up.
Selama
karir Diana Nasution di bidang musik, sudah banyak album yang dihasilkan. Tidak
terbilang banyaknya, sebagaimana seniornya Rinto Harahap, tidak terbilang juga
banyaknya lagu yang diciptakan.Sejauh ini, Rinto Harahap dan Diana Nasution
adalah dua pegiat music di Indonesia yang melegenda. Diana Nasution dengan
suaranya yang khas, Rinto Harahap dengan kemampuannya yang khas dalam
membimbing banyak penyanyi. Tidak hanya Diana Nasution, juga Eddy Silitonga dan
Crhristine Panjaitan. Ke dalam daftar ini termasuk Nia Daniati, Betharia
Sonata, Iis Sugianto, Maya Rumantir dan lainnya. Tentu saja boru panggoaran
Cindy Claudia Harahap.
Asal-Usul dan Tarombo
Musik Batak: Nahum Situmorang, Gordon Tobing, Ucok AKA Harahap, Kenaan Nasution
dan Rinto Harahap serta Diana Nasution
Seorang
peneliti Belanda (dalam laporan tahun 1930) menyimpulkan bahwa fondasi dari
masyarakat Batak secara substansial sama dimana-mana (Mandailing, Angkola,
Sipirok, Padang Lawas, Silindu, Toba, Simalungun, Karo, dan Dairi, termasuk
Gayo dan Alas) yang pada prinsipnya terdiri dari tiga hal: (1) Tiga kelompok sosial
yang dibedakan (kahanggi, mora dan anak boru) yang membentuk kesatuan sosial ‘dalihan
na tolu’, (2) Komunitas hukum adat tertinggi yang bersifat otoritas monarki
(federasi huta (desa) yang bertumpu pada huta induk dan huta-huta turunannya;
dan (3) Setiap anggota masyarakat memiliki silsilah genealogis (stambuk).
Fondasi
inilah yang menjadi dasar struktur
kebudayaan Batak yang kemudian diatasnya dikonstruksi (secara alamiah)
elemen kebudayaan lainnya seperti: religi, aksa, sastra dan ilmu pengetahuan,
arsitektur bangunan, manufaktur tenun, budidaya pertanian, adat istiadat
lainnya, instrumen (gondang dan disusul penggunaan ogung), hiburan (musik,
tortor dan pantomin). Penduduk Batak yang merupakan orisinalitas penduduk
Sumatra (menurut Marsden, 1780) membentuk kebudayaannya sendiri yang dapat
dibedakan dengan penduduk pendatang (yang juga menjadi tetangganya: Melayu). Dengan
demikian, kebudayaan Batak bersifat unik (khas), oleh karenanya musik tradisi
Batak juga menjadi khas (berbeda dengan tetangganya Melayu seperti di Atjeh,
Sumatra Timur dan Sumatra Barat).
Elemen-elemen
kebudayaan Batak (termasuk di dalamnya musik/ gondang dan tarian/tortor)
dibangun dari proses belajar (kreasi dan imitasi). Sumber ide imitasi bagi
penduduk Batak di pedalaman adalah penduduk asing yang merupakan mitra
komunikasi dalam basis perdagangan awal. Proses belajar dari sumber asing (yang
memiliki kebudayaan yang relatif lebih maju/tinggi) haruslah ditempat yang
kondusif dimana elemen-elemen kebudayaan itu dapat dipelajari secara intens.
Tempat yang kondusif bukanlah di pelabuhan Barus (kota pantai), karena tempat
itu adalah kota melting pot sejak Mesir kuno (penduduk campuran: Mesir, Arab,
Persia dan India). Tempat yang kondusif haruslah berada di pedalaman dimana para
pedagang-pedagang dari India selatan dan Ceilon mendekatkan diri ke TKP dan beriteraksi
dengan penduduk lokal (untuk transaksi dagang: kemenyan, kamper dan emas) yang
kemudian (dalam jangka panjang) terbentuk koloni asing. Kota-kota (koloni-koloni
asing ini) di pedalaman Tanah Batak yang sejauh ini hanya terdapat di lembah Angkola
dan di prairie Padang Bolak. Situs peninggalan koloni asing ini (India selatan,
Hindoe dan Ceilon, Budha) antara lain candi Simangambat (abad kedelapan) di
Angkola dan candi Padang Lawas (abad kesebelas) di Padang Bolak.
Secara umum, bahasa
sebagai elemen dasar kebudayaan Batak adalah eksklusif milik bangsa Batak
sendiri. Terminologi unsur-unsur domestication (flora dan fauna serta tanaman
pangan) sangat spesifik. TJ Willer (1846) menyebut istilah-istilah pangan tidak
ada yang berasal dari bahasa Melayu, dan semua istilah itu seusia dengan bahasa
Batak. Ini menunjukkan bahwa bangsa Batak sudah hidup mandiri dan lebih awal
dari bangsa Melayu (yang menyusul kemudian).
Penduduk
lokal (Batak) dan penduduk asing (India dan Ceilon atau Hindu dan Budha)
berinteraksi tetapi tidak terjadi pembauran (karena dalam agama HIndoe ada
pembagian kasta, para pedagang dari India besar kemungkinan adalah kasta Waisya).
Dari interaksi ini timbul proses belajar (kreasi dan imitasi) yang memungkinkan
unsur-unsur Hindu/Budha menjadi tidak terpisahkan dari elemen kebudayaan Batak
yang lebih baru (lebih maju) seperti dalam religi (prosedur dan ketentuan), gerak
tarian (cara menyembah) dan instrumen (alat bekomunikasi dengan Tuhan, utamanya
gondang). Gondang adalah pangkal perkara dalam pengembangan lebih lanjut kreasi
musik tradisi Batak.
Dalam
perkembangannya, penduduk lokal (Batak) menggantikan penduduk asing (India dan
Ceilon). Boleh jadi penduduk Batak yang semakin maju (karena proses belajar)
mendesak penduduk asing-asing dan koloni-koloni mulai ditinggalkan oleh
penduduk pendatang dan diisi oleh penduduk Batak yang sudah mulai maju dalam
segala bidang: sistem pemerintahan aristokrasi (berbasis marga), kesadaran hak
milik (negara bangsa), keahlian perang (strategi dan taktik) serta sistem logistik
(produk ekspor seperti kemenyan, kamper dan emas; produk pangan seperti tanaman
pangan dan ternak; dan produk manufaktur seperti senjata, mesiu dan tenun). Pada
fase inilah penduduk Batak di dalam sistem aristokrat (yang selama ini bersifat
bilateral dengan orang-orang India) memerlukan hubungan yang lebih luas dan
bersifat multilateral. Interaksi dengan semua bangsa baik di pedalaman maupun di
pantai-pantai terhadap bangsa-bangsa dari Timur Tengah (Mesir, Arab, Persia dan
orang-orang Moor), India dan Tiongkok.
Hasil
interaksi ini dalam bidang pengembangan music tradisi Batak diadopsi ogung
(gong) untuk menyelaraskan bunyi instrumen gondang dalam religi untuk
berkomunikasi dengan Tuhan. Ogung dalam ukuran kecil (tjenang) plus simbal
kuningan dari Tiongkok diadopsi dan digunakan dalam perang (antar huta antar
clan). Ide-ide pembuatan instrumen-intrumen lainnya menyusul seperti saroene
(dari Persia), hasapi (dari Tiongkok). Instrumen yang lebih melodis gondang dan
gong juga dikembangkan yang membentuk ensambel-ensambel gondang (tataganing)
dan gong (ogung, pangora dan doal). Kreasi musik (gondang) dan kreasi tarian
(tortor) berkembang secara bersamaan. Kreasi tarian yang awalnya tampak dalam
gerak persembahan ke Tuhan (dari unsur India) berevolusi menjadi kombinasi gerak
persembahan terhadap Tuhan dan hubungan sesama manusia (dari unsur Tiongkok)
dan hubungan terhadap alam (untuk mensyukuri pemberian alam). Varian dalam instrument
musik (dan cara memainkannya) dan varian dalam tarian (dan cara mempertunjukkannya)
merupakan unsure pembeda pada masa ini dalam musik tradisi dan tarian tradisi
antara Angkola dan Mandailing (yang meliputi Sipirok dan Padang Lawas) di satu
pihak dan Silndung dan Toba. Perbedaan itu mengindikasikan adanya tingkat
perkembangan music dan tarian yang berbeda.
Pada
fase kedatangan orang-orang Eropa (Portugis, Spanyol, Prancis dan Inggris, dan
disusul belakangan oleh Belanda) berbagai elemen-elemen kebudayaan Batak juga
mengalami perkembangan lebih lanjut. Yang pertama berubah adalah sistem pemerintahan
(dari aristokrasi ke demokratis) dan system pendidikan (dari aksara Batak ke
aksara Latin).
Tunggu
deskripsi lebih lanjut
* Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe
Baca juga:
Tradisi Menulis di Tanah Batak Sudah Ada Sejak Doeloe, Sejarah Buku (Perbukuan) di Indonesia Bermula di Mandheling en Ankola’
Baca juga:
Tradisi Menulis di Tanah Batak Sudah Ada Sejak Doeloe, Sejarah Buku (Perbukuan) di Indonesia Bermula di Mandheling en Ankola’
Asal
Usul Sejarah Lemang: Apakah Bermula di Tanah Batak?
Sejarah Catur Indonesia: Bermula di Tanah Batak
Sejarah
Marga Batak: Awal Mula Pencatatan, Bukti-Bukti Penyebaran dan Kapan Adopsi
Penulisan Marga di Belakang Nama Sejarah Catur Indonesia: Bermula di Tanah Batak
Tidak ada komentar:
Posting Komentar